You are on page 1of 22

KARSINOMA NASOFARING

A. Sinomin
Karsinoma nasofaring mempunyai beberapa persamaan kata antara lain :
malignant nasopharyngeal tumors, nasopharyngeal carcinoma, NPC,
nasopharyngeal kanker, NPC, kanker kepala dan leher, head and neck
carsinoma1.

B. Insedensi
Karsinoma nasofaring merupakan jenis keganasan yang sering terjadi di
Asia Tenggara. Di beberapa wilayah seperti Cina selatan, Hong Kong, Singapura,
Malaysia, dan Taiwan, tingkat kejadian dilaporkan bervariasi dari 10-53 kasus
tiap 100.000 orang per tahun. Angka kejadian juga tinggi di antara orang Eskimo
di Alaska dan Greenland dan di orang Tunisia, berkisar dari 15-20 kasus tiap
100.000 orang per tahun. Walaupun Karsinoma nasofaring adalah penyakit yang
relatif jarang di negara Barat (<1 kasus per 100.000), tetapi merupakan masalah
kesehatan yang cukup berarti di daerah Amerika Serikat di mana terdapat
penduduk orang Asia dakam jumlah besar. Tingkat kejadian bagi orang Asia di
Amerika Serikat adalah 3,0-4,2 kasus tiap 100.000 orang1.

C. Etiologi
Etiologi Karsinoma nasofaring masih belum jelas, secara umum, karsinoma
nasofaring diperkirakan merupakan hasil penggabungan antara pengaruh infeksi
dengan virus Epstein-Barr (EBV), genetik maupun faktor lingkungan seperti
karsinogen. Bukti dari terlibatnya faktor genetik adalah ditemukannya pada
kelompok penderita karsinoma nasofaring dengan genotipe HLA-A2 dan HLA-
Bsin2 yang lazim terdapat pada ras dari Cina selatan tetapi jarang ditemukan pada
ras kulit putih. Selanjutnya, kelainan multipel kromosom lainnya yang sudah
dikenali, termasuk 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 22, dan X1.
Faktor lingkungan atau kebudayaan yang mungkin dihubungkan dengan
karsinoma nasofaring diantaranya termasuk konsumsi ikan asin dan makanan
diawetkan berisi karsinogenik nitrosamines, khususnya konsumsi saat masa kecil.
Bukti keterlibatan EBV-DNA dengan ditemukan di hampir seluruh sel karsinoma
nasofaring yang dipelajari ditemukan EBV. Deteksi dari clonal EBV-DNA
memberikan bahwa keganasan clonal merupakan perluasan satu sel induk yang
ditulari oleh EBV. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa EBV hadir dalam sel
pada saat transformasi sehingga menjadi ganas dan memberi perintah untuk virus
dalam membantu menghasilkan peristiwa transformasi awal1.
Kontribusi baik faktor genetik dan faktor lingkungan untuk penyakit ini
dicerminkan pada pengamatan bahwa timbulnya karsinoma nasofaring bagi
individu yang kelahiran Amerika, generasi kedua dari orang cina lebih rendah
tingkat kejadiannya daripada dari individu cina yang kelahiran Cina, tetapi tetap
lebih tinggi daripada individu kulit putih di Amerika Serikat1.

D. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang meningkatkan resiko terserang suatu penyakit kanker
nasofaring yaitu :
- Perokok
- Pengkonsumsi alkohol
- Pengguna marijuana
- Diet tinggi konsumsi ikan asin, daging asap, daging bebek, sosis serta
makanan dengan tinggi kandungan N-nitrosamin4
- Orang China tenggara dan Hongkong
- Orang yang terinfeksi malaria5
- Orang yang terpapar EBV
- Laki-laki 2x lebih berisiko daripada wanita2
E. Klinis
Walaupun dilaporkan karsinoma nasofaring ditemukan di semua kelompok
umur, tingkat kejadian tertinggi timbulnya terjadi di individu berumur 30-60
tahun. Karsinoma nasofaring sebagian besar di temukan pada pria, dengan
perbandingan antara pria dan wanita rasio 3:1. Secara klinis, Karsinoma
nasofaring mempunyai sedikit tanda gejala awal, hal tersebut menyebabkan
diagnosa sering terlambat. Gejala awal non spesifik termasuk rasa tersumbat di
hidung, dahak diselubungi dengan darah, tinnitus, sakit kepala, sulit membuka
mulut, sakit pada tenggorok yang menetap, rasa penuh telinga, nyeri dan telinga
berdengung, kehilangan pendengaran konduksi unilateral dari serous otitis media
akut atau otitis media berulang, penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebabnya. Pada kasus dengan tingkatan menengah, tumor bisa menyerang
pangkal tengkorak dan penyebaran intrakranial lewat satu atau banyak foramina.
Bukti keterlibatan nervus kraniales (III-VI), termasuk diplopia dan rasa tebal
muka1,2.
Banyaknya pembuluh kapiler darah daerah limphatik di nasofaring
membantu penyebaran dengan prevalensi metastasis tinggi. Kira-kira 44-57%
pasien awalnya pergi kedokteran karena keluhan metastatis pada kelenjar getah
bening yang banyak timbul di leher. Pada saat diagnosa, 60-85% pasien sudah
mempunyai cervikal metastasis. Penyebaran sistemik juga terjadi lebih mudah
pada karsinoma nasofaring daripada jenis kanker kepala dan leher yang lain.
Paling sering metastase melibatkan daerah tulang, paru-paru, dan hati. Metastases
jauh didapatkan di 5-10% pasien pada pertemuan pertama6,7

F. Anatomi nasofaring
Nasofaring didefinisikan sebagai rongga yang pada bagian anteriornya
dibatasi oleh choane posterior, bagian posterior dibatasi oleh clivus dan vertebra
cervicalis 1-2, superior dibatasi oleh lantai dari os sphenoid, dan inferior dibatasi
oleh tingkat batas bebas dari palatum mole. Nasofaring terbagi menjadi 3 bagian
yaitu: dinding posterosuperior, dinding lateral, dan permukaan dari
posterosuperior palatum mole. Torus tubarius merupakan tempat terbuka dari tuba
Eustachi ke dalam dari lateral dinding nasofaring. Fossa Rosenmuller adalah
celah atau tempat tersembunyi di belakang torus, yang sebagai penghubung antara
dinding lateral dan posterior. Karsinoma nasofaring paling sering terjadi pada
daerah ini2.

Medical Illustrations

Posterior dan lateral dinding nasopharyngeal terdiri dari 3 lapisan tissue.


Mucosa epithelium nasofaring adalah kompleks, terdiri sebagian besar
pseudostratified columnar ciliated epithelium dekat choanae dan bagian
berdampingan atap nasofaring, trantitional epithelium di atap dan dinding lateral,
dan epithelium squamous berlapis sepanjang bagian posterior dan bagian-bagian
lebih rendah nasofaring. Otot konstriktor superior dan buccopharyngeal fascia
melingkungi mucosa. Secara superior, buccopharyngeal fascia bersatu dengan
pharyngobasilar fascia, yang lekat pada alas tengkorak1.
Buccopharyngeal fascia berjalan posterolateral dari pinggir bebas yang
ditengah-tengah pterygoid plate ke batas bagian samping arteri karotis. Fascia ini
memisahkan nasofaring dari parapharyngeal (paranasopharyngeal) space1.
Garis yang menghubungkan pinggir bebas yang ditengah-tengah pterygoid
plate posterolaterally ke styloid pembagi proses paranasopharyngeal space ke
anterior prestyloid space dan retrostyloid space (berisi sarung karotis dan nervus
craniales) di belakang. Paranasopharyngeal space diikat anterior oleh
pterygomandibular raphe, yang berhubungan dengan lateral pterygoid plate ke
mandibula. Retropharyngeal space berisi kelenjar getah bening retropharyngeal
dan kelenjar Rouviere. Space ini ditemukan posterior buccopharyngeal fascia dan
anterior prevertebral fascia; oleh karena itu, lesi yang berjalan melewati
buccopharyngeal fascia posterior melibatkan retropharyngeal space, sedangkan
luka yang berjalan menyamping di sisi yang lain ini fascia menjangkau
parapharyngeal space1.
Nasofaring adalah bidang yang sulit secara anatomis untuk dilakukan
pembedahan membuka. Bidang ini tertutup serta berdekatan kepada beberapa
foramina dan menghubungkan vital neurovascular struktur. Ini termasuk foramen
ovale, foramen spinosum, foramen lacerum, kanal karotis, dan foramen jugularis1.

Leher
Ho semula menggambarkan supraclavicular fossa sebagai daerah segi tiga
ditegaskan oleh 3 point: end sternal dari clavicula, lateral end os clavicula, dan
titik di mana leher bertemu bahu. Bidang ini secara klinis punya arti penting, pada
daerah tersebut banyak terlibat ialah, lesi N3 dan, oleh karena itu, stadium IV
kanker1.
G. Lab Studies
Banyak studi sudah menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring secara
bermakna berhubungan dengan EBV. Seroepidemiologik sudah memperlihatkan
bahwa 80-90% pasien dengan World Health Organization (WHO) tipe 2 NPC dan
WHO tipe 3 NPC telah meningkatkan kadar immunoglobulin (IgA) antibodi
untuk virus capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA). Tetapi, hanya 10-20%
pasien dengan WHO tipe 1 NPC telah meningkatkan kadar IgA antibodi untuk
VCA. Peningkatan titer EBV juga mungkin dihubungkan dengan entensitas
penyakit lain, seperti sinonasal undefferentiated carcinoma (SNUC), sinonasal
lymphoma, dan kanker lidah1.

Table 1. Prediksi nilai dari Ebstain Barr Virus Serologi kombinasi

IgA
IgA Antibody Probability of
Antibody to
to VCA NPC
EA

+ + 100%

+ — 100%

— — 5.5%

— + 37.8%
Serologic test yang lain termasuk IgA antibodi yang ditujukan melawan
EBV, Epstein-Barr (virus) nuklir antigen (EBNA) -1 (ditemukan di sekitar 90%
dari pasien dengan Karsinoma nasofaring), dan immunoglobulin G (IgG) antibodi
untuk EBV replication activator (ZEBRA). Tes laboratorium lain untuk
pertimbangan termasuk hitungan CBC dan tes fungsi hati (LFT) untuk
mengetahui penyebaran metastasis1.
H. Imaging Studies
MRI dengan gadolinium dan fat suppresion merupakan radiologic modality
terpilih. Dapat membedakan jika terdapat penyebaran ke intracranial dari tumor
yang membungkus parenkim otak atau sinus cavernous. Penjalaran ke intracranial
bisa terjadi lewat beberapa foramina yang berada disekitar nasofaring. Foramin-
foramen tersebut antara lain foramen ovale, foramen spinosum, foramen lacerum,
kanal karotis, dan foramen jugular. Deteksi dari penyebaran tumor ke dalam
retropharyngeal, parapharyngeal, dan pterygomaxillary, sebaik infratemporal
fossa dan sinus. Imaging studi lain termasuk radiography dada, CT scan dada jika
kesimpulan di radiograph abnormal, abdominal CT scan jika kesimpulan LFT
abnormal, scan tulang, dan bone marrow untuk lesi stadium IV. Untuk penyakit
berulang atau sisa yang terjadi setelah terapi radiasi, membedakan jaringan tumor
dari radionecrosis atau fibrosis mungkin sulit. Positron emisi tomography (PET)
mungkin membantu untuk mengetahui lesi di nasofaring dan dasar tengkorak.
Jika lesi apakah lesi di intracrania, spectral MRI mungkin lebih berguna untuk
membedakan tumor dari radionecrosis1.

I. Prosedur diagnostik
Transnasal biopsi nasopharyngeal mass
Mendapatkan sampel dari multipel biopsi pada tempat primer untuk secara
akurat memutuskan WHO histologic tipe tumor; Pembedaan yang akurat penting
karena klasifikasi mempunyai implikasi prognostik yang signifikan. Kebanyakan
karsinoma nasofaring ialah homogenous, Shanmugaratnam menemukan 26,4%
karsinoma nasofaring mempunyai gambaran lebih dari 1 tipe histologic. Fee
menemukan kesimpulan yang mirip di 35% dari kasus Karsinoma nasofaring
berulang. Jenis heterologous tumor dklasifikasikan sebagai bentuk predominan
histologik tipe. Karena campuran banyak lymphocytes, deteksi jarsinoma
nasofaring dengan histopathology rutin mungkin sulit. Diagnostik karsinoma
nasofaring dari sampel biopsi berlangsung dari jaringan sebelumnya yang disinari
juga sulit dilakukan identifikasi, karena hubungan di antara karsinoma nasofaring
dan EBV adalah molekul EBV-spesifik yang mapan yang baik bisa dipakai
sebagai petanda untuk deteksi karsinoma nasofaring di sampel biopsi. Salah satu
molekul EBV-spesifik EBV encoded small RNA (EBER). Penelitian di Taiwan,
insitu hybridization assay untuk EBV encoded RNA 1 (EBER1) dilaporkan
mempunyai sensitifitas 96,4% untuk mendeteksi klarsinoma nasofaring primer.
ketika di ujikan ke beberapa subtipe, sensitifitas adalah 80% untuk WHO tipe 1,
97,3% untuk WHO tipe 2, dan 97,3% untuk WHO tipe 3. Kegunaan petanda
yang lain adalah gen EBV mampu menyandikan laten membran protein 1
(LMP1). Walaupun gen tersebut menyandikan LMP1 (LMP1) tetapi tidak
ekspresikan secara terus-menerus pada semua karsinoma nasofaring (hanya
sekitar 65%), LMP1 dapat ditemukan di setiap sel karsinoma nasofaring. Dengan
munculnya teknik polymerase reaksi berantai (PCR), hanya sedikit sel karsinoma
nasofaring diperlukan untuk mendeteksi LMP1. Oleh karena itu, swab dari
nasofaring dan test untuk LMP1 secara teoretis bisa dipakai sebagai alat screening
untuk deteksi awal karsinoma nasofaring di wilayah dengsan insidensi yang
tinggi. Tetapi, ketidakmampuan tes ini untuk mengetahui submucosal tumor.
Baru-baru ini, Hao et al melapor menggunakan LMP1 sebagai petanda mungkin
untuk membantu membedakan antara Karsinoma nasofaring berulang dari
osteoradionecrosis di sequestrectomy spesimens1.
Nasofaring normal kaya akan jaringan limfoid, dimana tempat ini
merupakan target untuk infeksi EBV pada kondisi seperti mononukleosis. Banyak
infiltrasi lymphocyte juga timbul pada karsinoma nasofaring. Karena itu,
kekhawatiran timbul karena molekul EBV-spesifik yang diketahui dari nasofaring
mungkin berasal dari sel yang dulunya ditulari oleh EBV dan tidak dari sel
karsinoma nasofaring. Chen et al, asal jaringan ini dan menggunakan
immunohistochemistry untuk mempertunjukkan bahwa EBV-DNA dilokalisir
hanya dalam sel karsinoma nasofaring dan tidak di lymphocytes melindungi sel
tumor atau di normal jaringan nasopharyngeal. Pemeriksa lain juga sudah
menunjukkan bahwa infeksi laten EBV tidak terjadi di sel epithelial
nasopharyngeal normal. Keganasan lain, seperti human virus leukemia T-sel tipe
1 (HTLV-1)-associated T-sel lymphoma dewasa, nasal lymphoma, kanker lidah,
dan suatu letal midline granuloma, juga dihubungkan dengan EBV. Meskipun lesi
ini jarang, mereka harus dimasukkan di diagnosa diferensial ketika pada pasien
test positif untuk molekul EBV-spesifik. Diagnosa histologis dari penyakit
persisten radioterapi kadang-kadang mungkin menyesatkan. Biopsi diambil
dengan segera mengikuti radiasi mungkin memperlihatkan sel kanker yang dapat
berfungsi, yang akhirnya akan menjalani kematian sel. Kwong et al mempelajari
803 pasien dengan karsinoma nasofaring, dengan diambil serial biopsi post-
radioterapi nasopharyngeal. Mereka menemukan bahwa mungkin sampai 10
minggu untuk penyelesaian terapi radiasi agar sel kanker mengalami kematian sel.
Dengan begitu, biopsi untuk menegakkan penyakit persistent biasanya minimal
10 minggu untuk mengikuti penyelesaian pengobatan radiasi untuk menghindari
diagnosa false-positif1.

Fine needle aspirasi pada massa di leher


Fine needle aspirasi pada massa di leher mungkin berguna untuk deteksi
tumor nasopharyngeal primer yang tersembunyi. Teknik PCR bisa dipergunakan
untuk evaluasi aspirat untuk adanya EBV-DNA, atau insitu hybridization bisa
dipergunakan untuk menentukan adanya EBER (EBER1-ISH). In situ assay
dilaporkan mempunyai sensitifitas 98,1% dan spesifik sebanyak 100%, di daerah
seperti Taiwan, di mana sebagian besar penduduk ditulari dengan EBV. PCR pun
teknik mempunyai sensitifitas lebih rendah sebanyak 90,7% dan positif di 7 dari
61 pasien tanpa karsinoma nasofaring (spesifik 88,5%). Beberapa peneliti dari
negara Barat merekomendasikan penggunaan tes ini untuk area yang tidak
endemik. Dictor et al melaporkan sensitifitas sebanyak 88,9% dan spesifik
sebanyak 100% yang memakai EBER1-ISH di atas sampel biopsi dari cervikal
metastasis. Ke-2 kasus hasil negatif palsu cervikal metastasis dari keratinizing
NPC1.

Histologic Findings
Seperti diperlihatkan di table 2. Karsinoma nasofaring bisa dikelompokkan
ke dalam 3 kategori menurut WHO klasifikasi sistem.

Table 2.

WHO Tipes Histology Tipes Frequency

Keratinizing squamous cell


WHO tipe 1 10%
carcinoma

Nonkeratinizing squamous cell


WHO tipe 2 20%
carcinoma

Undifferentiated carcinoma
WHO tipe 3 70%
(lymphoepithelioma)

Staging: American Joint Committee di Cancer-Union Internationale Contre


le Cancer (AJCC-UICC) 2002 Klasifikasi1,8:
 Tumor primer
TX - Tumor primer tidak bisa dinilai.
T0 - Tak ada bukti primer tumor
Tis - Carcinoma di situ
T1 - Tumor terbatas di nasofaring
T2 - Tumor sampai soft tissue oropharynx dan/atau yang hidung fossa.
T2a - Tanpa perluasan parapharyngeal
T2b - Dengan parapharyngeal extension
T3 - Tumor invasi ke struktur bertulang dan/atau paranasal sinus.
T4 - Tumor dengan penyebaran ke intracranial dan/atau keterlibatan nervus
craniales, infratemporal fossa, hypopharyng, orbit, atau masticator space
 Kelenjar getah bening regional
NX - Kelenjar getah bening regional tidak bisa dinilai.
N0 - Tak ada metastasis getah bening regional
N1 - Unilateral metastasis di getah bening node (S), 6 cm atau kurang, di atas
supraclavicular fossa
N2 - Bilateral metastasis di getah bening node (S), 6 cm atau kurang di paling
hebat dimensi, di atas supraclavicular fossa
N3 - Metastasis di getah bening node (S)
N3a - Lebih besar daripada 6 cm di dimensi
N3b - Penyebaran ke supraclavicular fossa
 Penyebaran metastasis
MX - Jauh metastasis tidak bisa dinilai.
M0 – tidak ada metastasis
M1 - Jauh metastasis
 Stage2
Stage 0 – karsinoma insitu (Tis), N0, M0
Stage I - T1, N0, m0
Stage IIA - T2a, N0, m0
Stage IIB - T1/T2a, N1, m0; T2b, N0/N1, m0
Stage III - T1/T2a/T2b, N2, m0; T3, N0/N1/N2, m0
Stage IVA - T4, N0/N1/N2, m0
Stage IVB - T Yang Mana Pun, N3, m0
Stage IVC - T Yang Mana Pun, sembarang N, m1
Stage 0:

Larger image
Stage I:

Larger image
Stage IIA:

Larger image
Stage IIB:

Larger image
Stage III:

Stage IVA:

Larger image
Stage IVB:

Larger image
Stage IVC:

Larger image
J. Penatalaksanaan
Eksternal beam radiation therapy
Eksternal beam radiation therapy merupakan model utama managemen
terhadap karsinoma nasofaring baik itu pada lokasi utama maupun pada bagian
leher. Hal ini disebabkan tumor mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi
terhadap radiasi serta keterbatasan anatomi untuk tindakan operasi pada daerah
nasofaring yang cukup kompleks. Adanya kemajuan kemampuan dalam
menggambarkan lokasi tumor secara akurat dan pengembangan teknik-tehnik
radioterapi baru-baru ini seperti Stereotactic radioterapy boost sangat membantu
memperbaikai tingkat kontrol lokoregional. Serta pada saat yang sama komplikasi
terapi radiasi dapat dikurangiPemberian radiasi minimum yang direkomendasikan
adalah minimal 65-75 Gy pada daerah primer1,8,9.
Saat terapi radiasi secara tunggal memberikan respon yang sangat baik
pada penanganan karsinoma nasofaring tahap I dan II, pemberian terapi
kemoterapi adjuvan setelah radioterpi pada karsinoma nasofaring pada tahap
lanjut (tahap II-IV) masih merupakan opini yang kontroversi karena perbedaan
literatur yang dipergunakan. Pada tingkat kontrol dan angka kelangsungan hidup
di Asia Tenggara lebih baik jika dibandingkan pada pasien-pasien orang-orang
barat 1,8.
Kemoterapi bisa diberikan terlebih dahulu (neoadjuvant), selama
(berbarengan), atau mengikuti (adjuvant) terapi radiasi. Bahan-bahan kemoterapi
yang aktif yang digunakan antara lain cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU),
doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantrone, methotrexate, dan vinca
alkaloid. Berbagai pendekatan kemoterapeutik telah dilakukan untuk
meningkatkan tingkat respon serta meminimalisasi toksisitas 1,8.
Pada 1998, Al-Saraaf et al. Melaporkan hasil penelitian yang dilakukan
dengan cara pemeriksaan acak yang bersifat prospektif yang besar di Amerika
Utara bahwa kemoradiasi konkomitan (cisplatin 100 mg/m2 yang diberikan pada
hari-hari 1, 22, dan 43) diikuti dengan kemoterapi adjuvant dengan menggunakan
cisplatin (80 mg/m2) dan 5-FU (1 g/m2) tiap-tiap 4 minggu untuk 3 putaran dapat
memperbaiki kelangsungan hidup keseluruhan (OS) pada 3 tahun selama pasien
dengan tahap karsinoma nasofaring lanjut setelah menjalani radioterapi tunggal
(75% lawan 46%). Al-Saraaf et al juga melaporkan bahwa pasien yang
mendapatkan kemoradiasi berkelanjutan dapat meningkatkan tingkat survival
hidup 5 tahun jika dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan radiasi
saja (67%:37%) Penelitian ini merupakan percobaan secara acak yang besar yang
pertama kali dilakukan yang menunjukkan hasil yang signifikan terhadap tingkat
hidup dengan memberikan kombinasi kemoterapi dengan radiasi. Hal ini juga
ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan di amerika serikat1.
Namun pada penelitian-penelitian di Asia menunjukkan hasil yang
sebaliknya dimana pemberian kemoradiasi tidak meningkatkan tingkat hidup 5
tahun secara signifikan pada karsinoma nasofaring stadium lanjut(81%: 55%)
pada pemberian radiasi secara tunggal. Begitu juga pada penelitian di Asia-
oceania tidak berhasil menunjukkan keuntungan yang signifikan pada pemberian
kombinasi pada 3 tahun daya hidup1.

Leher
Terapi radiasi lebih mudah mengontrol pada penyakit leher disebabkan
oleh karsinoma nasofaring daripada penyakit leher yang disebabkan carsinoma
kepala dan leher pada bagian lain1.
Pemberian radiasi minimal yang direkomendasikan adalah 65-75gy pada
penderita dengan nodul leher yang positif. Pemberian sangat dianjurkan pada
karsinoma nasofaring yang yang mempunyai kecenderungan untuk terjadi
metastase ke leher, sebagian besar peneliti menganjurkan pemberian pengobatan
elektif pada leher pada saat N01.

Carsinoma nasofaring yang persisten atau rekurren (locoregional failure)


Meskipun terdapat kemajuan yang terbaru pada pengobatan karsinoma
nasofaring, tingkat locoregional failure masih signifikan yakni berkisar antara
15.6-58% (median, 34%). Frekuensi regional failure dilaporkan untuk berkisar
dari 18-58%. Pengobatan penyakit yang berulang secara lokal dapat diberikan
dengan re-irradiasi atau dengan tindakan nasopharyngectomy. Pemberian re-
irradiasi berkaitan dengan tingginya tingkat komplikasi antara lain nekrosis lobus
temporal, kerusakan batang otak , neuropathy kranialis, disfungsi endokrin,
gangguan pendengaran dan penglihatan, osteonekrosis, nekrosis jaringan ikat dan
trismus. Komplikasi-komplikasi ini dapat dikurangi dengan pemberian
brachytherapy atau streotactic radioterapi. Meski telah dilaporkan tingkat
kelangsungan hidup 3 tahun mencapai 34-48% namun pasien yang tidak disertai
penyakit penyerta hanya sekitar 15-23%1.

Leher – regional failure


Frekuensi penyakit pada leher yang persisten atau berulang dilaporkan
berkisar dari 8-34%. Pasien yang perlakuannya gagal secara regional bisa diobati
dengan baik dengan re-irradiasi atau diseksi pada leher. Laju kontrol setelah re-ia
dilaporkan antara 28% dan 33%. Bahkan , Wei et al melaporkan tingkat kontrol
regional mencapai 66% setelah dilakukan diseksi leher radikal1.
Meskipun ada kesempatan kontrol regional yang relatif baik, pasien dengan
penyakit leher yang persisten atau berulang biasanya mempunyai resiko yang
tinggi untuk terjadi metastase1.

Metastase jauh
Paien dengan karsinoma nasofaring mempunyai prevalensi metastase yang
cukup tinggi tingkat kegagalan dilaporkan berkisar 18-35%. Pada saat pertama
pemberian, 5-10% pasien mungkin sudah mengalami metastase jauh. Tingginya
angka metastase tidak berkaitan dengan ukuran tumor primernya tetapi dengan
adanya penyakit pada nodul dan berkembangnya penyakit yang penyerta dimana
sebesar 38% pasien dengan N+ menunjukkan metastase jauh sedangkan pada N0
hanya 11% yang menunjukkan kejadian metastase, Sedangkan pada N3 angka
metastasenya mencapai 80%. Organ yang paling sering terkena adalah paru-paru,
tulang dan hati1,9.
Sekarang ini, pengobatan pasien dengan metastase yang jauh belum ada
yang efektif. Terapi yang dilakukan hanya bersifat paliatif yang ditujukan untuk
menghilangkan rasa sakit, mengontrol gejala-gejala yang timbul dan memperbaiki
daya hidup 1,8,9,10.
Pemberian radiasi pada pasien dengan rasa sakit yang timbul dari metastase
ke tulang masih sangat efektif. Sedangkan penggunaan kemoterapi paliatif pada
pasien yang disertai gejala-gejala simtomatis masih bisa diberikan namun pada
pasien-pasien yang tidak disertai dengan keluhan masih kurang jelas 1,8,9,10.

Terapi operasi:
Karena tumor mempunyai tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap terapi
radiasi dan adanya keterbatasan anatomis untuk akses operasi pada daerah
nasopharingeal yang kompleks. Nasopharingektomi direkomendasikan hanya
pada karsinoma nasofaring yang rekuren yang disertai penyakit yang terbatas1.

Karsinoama Nasofaring yang rekuren atau persisten (locoregiona failure)


Nasofaring- regional failure
Meski Nasofaringektomi mampu mencapai kontrol lokal yang agak lebih
baik dan mempunyai tingkat komplikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan
re-irradiasi, namun tindakan pembedahan ini hanya dapat dilakukan pada pasien
dengan penyakit yang terbatas seperti rT1, rT2, rT31.
Penyakit yang berulang atau yang tersisa yang mengenai fossa kranial
bagian tengah dapat dilakukan diseksi ulang lewat pendekatan kraniofacial.
Sebagian besar ahli bedah mempertimbangkan adanya sinus kavernosus dan arteri
karotis sebagai kotraindikasi untuk dilakukan intervensi operasi, meski secara
teknis tumor pada daerah ini dapat diangkat. Tindakan operasi merupakan
kontraindikasi dikarenakan tingginya angka morbiditas akibat terpotongnya arteri
karotis interna dan nervus kraniales.Tingkat kontrol 5 tahun berkisar 30-60%1.
Berbagai pendekatan operasi nasofaring telah dikembangkan. Masing-
masing pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena
kompleksitasnya daerah nasofaring secara anatomi, seorang ahli bedah harus
memahami semua pendekati operasi1.

Leher- regional failure


Tindakan diseksi radikal pada leher dapat dilakukan untuk penyakit yang
berulang atau tersisa pada leher setelah dilakukan terapi radiasi dengan
kemungkinan kontrol regional yang bagus1.
Wei et al melaporkan tingkat kontrol regional sebesar 66% setelah diseksi
leher radikal. Berdasarkan kesimpulan ini, Wei et al menganjurkan pemotongan
diseksi radikal pada leher sebagai prosedur penyelamatan yang terpilih. Jika
retropharyngeal atau parapharyngeal space terlibat, diseksi radikal pada leher
diperpanjang sampai daerah ini1.
Penilaian sebelum operasi: Peilaian yng detail mengenai perkembangan
tumor sangatlah penting. Pertimbangan keberadaan sinus kavernosu dan arteri
interna serta tingkat metastase dari tumor hrus benar-benar dipertimbangkan
sebelum dilakukan tindakan operasi. Penilaian intraoperatif berkaitan
dengan pendekatan yang akan dilakukan, bisa transpalatal, transmaksilaris atau
transcervikal dengan pertimbangan bagi operator dan meminimalisasi angka
morbiditas pasien.Untuk mengisolasi dan melindungi arteri karotis interna dapat
dilakukan pendekatan transervikal dengan melakukan reseksi pada dinding lateral
nasofaring sehingga dapat meminimalisasi resiko pada arteri karotis dan saraf
kranial. Penyakit yang meluas sampai pada ruang pterygomaksilaris dapat
dilakukan pendekatan transmaksilaris dengan melalui dinding posterior sinus
maksilaris.kemudian dilakukan pengeboran pada clivus dan tulang vertebra 1.
Tingkat kontrol lokal 5 tahun sebanyak 67% dengan tingkat kelangsungan hidup
5 tahun sebesar 52% yang tanpa penyakit dan tingkat OS 60% tercapai. Fisch
memperkenalkan pendekatan fossa infratemporal, Gros dan Panje
memperkenalkan pendekatan temporo lateral. Kedua pendekatan ini mempunyai
kelebihan untuk ekplorasi tumor yang meluas sampai fossa infratemporal dan
parapharyngeal space. Kerugiannya adalah insisi pada pendekatan ini dilakukan
disebelah lesi sehingga terjadi kesulitan jika tumor meluas sampai nasofaring
kontralateradenl disamping itu angka morbiditas cukup tinggi dan dapat disertaai
dengan hilangnya sensoris pendengaran, kebocoran cairan serebrospinal(CSF),
paralisis laring unilateral,dan defisit pada nervus fasialis1.
Wei et al (1995) menyarankan gagasan baru untuk kontak nasopharynx
lewat maxillary swing (translokasi muka).Pendekatan ini memerlukan insisi
Weber-Fergusson. Namun pada cara ini kontrol terhadap arteri karotis interna
kurang optimal. Tingkat kontrol lokal sebanyak 42% pada 3.5 tahun1.
Biller dan Krespi memperkenalkan pendekatan transcervico-mandibulo-
palatal. Pendekatan ini memberikan ruang yang luas pada nasofaring dan
perlindungan terhadap arteri karotis interna yang cukup baik. Morton et al
melaporkan tingkat kontrol lokal sebanyak 67% pada 2 tahun dengan pendekatan
ini. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebanyak 47% dengan tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun sebanyak 42% yang tanpa penyakit1.
Sebagian besar kasus kekambuhan terjadi dalam 5 tahun, 5-15%
kambuhnya mungkin muncul di antara yang ke-5 dan ke-10 tahun. Oleh karena
itu, pasien dengan karsinoma nasofaring sebaiknya diamati selama sedikitnya 10
tahun sesudah pengobatan disamping itu untuk mengamati keefektifan
pengobatan khusus karsinoma nasofaring.

K. Komplikasi
Radiasi
Komplikasi yang disebabkan oleh radioterapi pada karcinoma nasofaring
maupun pada leher dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem organ1:
 Otak – disfungsi pituitary, brainstem enchepalopaty, nekrosis lobus temporal,
kelumpuhan saraf cranial.
 Telinga – Hilangnya Sensorineural pendengaran, otitis media yang disertai
effuse, disfungsi tuba eustachi.
 Mata – Sindrom mata kering, ischemic retinopathy
 Thyroid - Hypothyroidism
 Gastrointestinal sistem – mukositis yang hebat, xerostomia, mual, muntah,
dysphagia, dehidrasi, striktur pada esophagus.
 Musculoskeletal sistem - fibrosis yang eksesif, trismus, myelitis radiasi,
osteoradionecrosis, soft tissue nekrosis , osteomyelitis
 Sistem pembuluh darahm - Stenosis arteri karotis)

Pembedahan
Komplikasi-komplikasi pembedahan dapat dibedakan berdasarkan
kaitannya dengan nasofaringektomi dan yang berkaitan dengan diseksi leher.
Karena biasanya tindakan operasi dilakukan setelah dilakukan radioterapi radikal
sehingga mengakibatkan penyembuhan luka bekas operasi menjadi sangat
lambat1.

L. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi Prognostis pada pasien dengan
karsinoma nasofaring adalah bayak sedikitnya tumor primer (invasi ke dasar
tengkorak , keterlibatan syaraf cranial, infiltrasi ke paraparingeal), kadar penyakit
di leher, sub-tipe histologi, umur dan jenis kelamin pasien, dan macam dan teknik
radioterapi. Tingkat kelangsungan hidup umumnya lebih baik pada wanita
daripada pria1.
Beberapa Penelitian melaporkan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun yang
tanpa penyakit 40-60% dengan pengobatan radiasi primer. Tingkat 5 tahun OS
ialah 85-95% untuk NPC tingkat I dan 70-80% untuk NPC tingkst II pada
pemberian dengan radioterapi tunggal. Pada tingkat III dan IV pemberian
radioterapi tunggal mempunyai tingkat hidup 5 tahun berkisar antara 24-80% dan
pada pasien-pasien yang berasal dari Asia Tenggara menunjukkan hasil yang
cukup bagus1.
DAFTAR PUSTAKA

1. Shang L.H. Malignant Nasopharyngeal tumor. eMedicine (Online)


(http://www.emedicine.com /med/topic269.htm diakses tanggal 9 Juli 2006)

2. PLWC Editor. Nasopharyngeal Cancer. Oncologist-approved cancer


information from the Amerika Society of Clinikal Onkology (Online)
(http://www.plwc.org/portal/site/PLWC/menuitem.7dc. diakses tanggal 9 Juli
2006)

3. Razmpa E. A Five Year Study of Nasopharyngeal masses in Patients


Admitted inAmir and imam Khomeiny Hospital between 1991 and 1996.
Temran University of Medical Sciences (Online)
( http://www.razmpa.com/En/Articles/20.aspx diakses tanggal 9 Juli 2006)

4. Moorhead C.J. Nasopharyngeal Carsinoma. Baylor College of Medicine


(Online) (http://www.bcm.edu/oto/grand/21794.html diakses tanggal 9 Juli
2006)

5. Fahracus. Epstein-Barr Virus Causes Nasopharyngeal Cancer and


Lymphomas. International Agency for Research on Cancer (Online)
(http://www.smokershistory.com/EBV.htm diakses tanggal 9 Juli 2006)
6. S. F. Gal´an, F. Aguado, F. J. D´ıez1, and J. Mira. NasoNet, Modeling the
Spread of Nasopharyngeal Cancer with Networks of Probabilistic Events in
Discrete Time. Servicio de Oncolog´ıa Radioter´apica Hospital Cl´ınico
Universitario San Carlos (Online)(http://www.ia.uned.es/~fjdiez/
papers/nasonet.pdf diakses tanggal 9 Juli 2006)

7. Porter K. Chemoradiation and Treatment of Nasopharyngeal Cancer.


Commision on Cancer American college of Surgery (Online)(
http://www.facs.org/cancer/ ncdb/ np study instructionsanddataitems.pdf
diakses tanggal 9 Juli 2006)

8. K. Thephamongkhol, G. Browman, I. Hodson, T. Oliver, L. Zuraw,


Chemotherapy with Radiotherapy for Nasopharyngeal Cancer Program in
Evidence-based Care, Cancer Care Ontario. Developed by the Provincial
Head and Neck Cancer Disease Site Group. Desember 2004

9. Practice guideline report. The Role of Neoadjuvant Chemotherapy in


the Treatment of Locally Advanced Squamous Cell Carcinoma of the Head
and Neck (excluding nasopharynx). New evidence added to the guideline
report: February 2003

10. Cancer Care Ontario Practice Guidelines Initiative. Hyperfractionated


Radiotherapy for Locally Advanced Squamous Cell Carcinoma of the Head
and Neck New evidence added to the guideline report: January 2003

11. Daly .D, Leung,H. Cheung1’4. Metreweli Thoracic Metastases from


Carcinoma of the Nasopharynx: High Frequency of Hilar and Mediastinal
Lym phadenopathy Department of diagnostic Radiology and Organ Imaging,
Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital, Shatin, Hong
Kong

You might also like