Professional Documents
Culture Documents
SOAL :
1. Kebudayaan memiliki dua dimensi yaitu kognitif dan evaluatif.Mengapa dimensi
evaluatif setiap orang memiliki nilai berbeda dari kebudayaan yang sama?Uraikan
jawaban Saudara dalam bentuk essay 5 halaman dengan merujuk pada suatu kasus!
JAWABAN :
Apabila kita bertanya apakah yang membedakan manusia dari hewan secara
fundamental maka jawabannya adalah bahwa manusia mampu berbudaya dan menilai
sesuatu sedangkan hewan tidak bisa melakukan semua itu.Manusia di bekali tuhan untuk
berfikir dan menilai sesuatu.
Penilaian-penilaian ada yang baik dan ada juga yang buruk. Jadi setiap budaya
memiliki sistem penilaian berdasarkan standar internalnya sendiri yang berlaku pada
masyarakat tersebut. Dengan sistem penilaian tersebut digunakan untuk mengukur nilai
-normatif .
Masyarakat Jawa di pada umumnya berpandangan magic, artinya bahwa
kehidupan manusia tidak lepas dari kehidupan alam semesta, dan merupakan jagad kecil
dan jagad besar. Di antara keduanya terjalin hubungan magis yang saling
mempengaruhi.Alam semesta tertata dan tersusun dalam suatu sistem yang rapi. Masing-
masing unsur dari alam berada pada posisi dan fungsinya dalam tatanan yang sangat
tertib. Hukum manusia mengacu kepada tatanan semesta tersebut. Pelanggaran terhadap
hukum yang berlaku akan berakibat malapetaka yang bisa membahayakan kehidupan
manusia. Pemujaan arwah leluhur berarti menjunjung tinggi jasa leluhur yang telah
menciptakan adat istiadat sesuai dengan hukum alam dan berlaku turun-temurun. Adat
istiadat dan upacara religius yang diwariskan oleh para leluhur ditradisikan dengan
sebaik-baiknya agar hidup manusia bisa selamat, terhindar dari malapetaka.
Melaksanakan tradisi berarti mematuhi adat leluhur yang dianggap dapat
menjamin keselamatan hidup anak cucu dari generasi ke generasi.Kebudayaan
masyarakat Jawa purba itulah yang menjadi dasar kepribadian budaya Jawa yang mempu
menghadapi segala unsur kebudayaan yang datang dari luar.
Dari penjelasan di atas dapat di katakan bahwa kebanyakan masyarakat jawa
dalam berpikir masih berpegang teguh pada wasiat nenek moyang artinya masyarakat
jawa masih berpikir kuno dalam menanggapi sesuatu hal.
Menurut Prof.Dr.Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul “Ilmu
Anthropologi” bahwa ”kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan,tindakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang di jadikan milik diri manusia
dengan belajar.Kebudayaan juga memiliki dimensi yaitu dimensi kognitif dan dimensi
evaluatif.
Seperti yang kita ketahui bahwasanya di dunia ini terdapat bermacam-macam
kebudayaan.Misalkan kebudayaan negara kita yaitu “Indonesia”.Di dalam kebudayaan
kita terdapat kekayaan moral yang sangat banyak dan melimpah.Kekayaan itu terpelihara
dengan baik di dalam masyarakat kita karena kita memiliki sistem dan cara menurunkan
pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang hidup dan berkembang itu secara berbeda-beda
pula.Keanekaragaman itu disebabkan karena manusia dapat belajar sesuatu yang
baru,dapat menambah pengalaman dari pelajaran.
Setiap orang mempunyai pandangan atau penilaian-penilaian tersendiri kepada
sesuatu .Begitu juga dengan penilaian terhadap suatu moral dan tingkah laku seseorang
dalam suatu kebudayaan.Ada yang menilai baik dan ada yang menilai buruk, ada juga
yang menilai sopan dan ada juga yang menilai tidak sopan dan lain
sebagainya.Misalnya,kebudayaan orang “JAWA” dan kebudayaan orang
“BATAK”.Dinilai dari segi kebudayaan orang jawa terlebih dahulu,orang perempuan
jawa biasanya jika akan tunangan atau istilahnya dalam bahasa jawa adalah “lamaran”
maka pihak yang membawa perlengkapan-perlengkapan untuk pernikahan
misalnya;sandal,kain,perlengkapan rias,kerudung,mas kawin (mahar) itu semua harus di
lengkapi atau dibelikan dari pihak lelaki dan yang melamar adalah juga dari pihak
lelaki.Tetapi sebaliknya jika di lihat dari sudut pandang kebudayaan batak maka semua
itu sangatlah bertolak belakang dengan kebudayaan jawa.Bahwasanya jika kebudayaan
batak jika ada seseorang yang akan melakukan pertunangan atau lamaran maka yang
melamar itu harus dari pihak perempuan dan yang harus melengkapi atau membelikan
seperangkat kebutuhan untuk pernikahan itupun harus juga dari pihak perempuan.
Dilihat dari dimensi evaluatifnya kedua kebudayaan itu sudah berbeda dan
bertolak belakang satu sama lain.Misalnya saja jika di lihat dari kebudayaan batak
terhadap jawa.Jika demikian maka hal seperti itu dapat dikatakan “tidak pantas” menurut
orang jawa.Dan jika melakukan hal demikian maka menurut orang jawa perempuan
tersebut dapat dikatakan perempuan yang tidak punya harga diri (tidak tau malu).Tetapi
berbeda pula menurut pandangan orang batak,mereka menganggap bahwa hal semacam
itu sudah biasa dilakukan di daerah mereka maka dari itu mereka tidak merasa malu atau
merasa tidak punya harga diri sebagai laki-laki.Karena hal semacam itu sudah menjadi
tradisi atau kebiasaan di daerah mereka dan melekat sebagai kebudayaan.
Dari sebuah contoh di atas dapat dikatakan bahwa setiap orang atau setiap daerah
yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda,mereka juga akan mempunyai penilaian
yang berbeda-beda pula.Begitu juga dengan mereka yang mempunyai kebudayaan yang
sama,mereka juga akan mempunyai penilaian yang berbeda-beda pula terhadap suatu
tingkah laku atau suatu kebudayaan lainnya.
Dalam ilmu antropologi segi-segi moral (dan estetis) dari suatu kebudayaan
tertentu, unsur-unsur evaluatif,pada umumnya di ringkas dengan istilah etos yang artinya
adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang
direfleksikan dalam kehidupan. Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka
tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang alam, diri, dan masyarakat.
Nilai-nilai keutamaan dan kebaikan adalah manifestasi yang berlaku umum di
Indonesia menyatakan soal keyakinan hidup seseorang tentang makna kehidupan yang
semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan,
baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan moral sebagai arah rujukan makna-
makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan oleh para seniman. Asumsi yang
mendasari pengerjaan karya-karya ini menempatkan alasan atau jawaban moral tertentu
sebagai landasasan penggalian makna-makna dari persoalan yang menjadi daya tarik maupun
tantangan bagi para seniman untuk dihadapi.
Umumnya beberapa kalangan akan sepakat apabila relativisme diajukan
sebagai suatu paham yang menekankan pada suatu masyarakat yang memiliki nilai-nilai
tersendiri, tidak kebenaran mutlak. Corak perbedaan antara yang satu dengan yang
lainnya.Yang terdapat sling perbedaan.
Prinsip budaya (dalam relativism) adalah berbeda -beda dan esensinya adalah
nilai, jadi nilai dalam budaya berbeda pula, karena itu ageneral. Pandangan relativism
didukung oleh paradigma determenisme kebudayaan yang berasumsi bahwa budaya dalam
suatu masyarakat adalah aturan (regulasi) yang digunakan untuk memahami budayanya.
Penggambaran suatu bentuk masyarakat misalnya pelukisan tentang masyarakat bugis,
masyarakat jawa dan sebagainya yang satu sama lain berbeda dan memiliki ciri masing
-masing (cultural identity). Penilaian-penilaian mana yang baik dan buruk. Jadi setiap
budaya memiliki sistem penilaian berdasarkan standar internalnya sendiri yang berlaku
pada masyarakat tersebut. Dengan sistem penilaian tersebut digunakan untuk mengukur
nilai -normatif .
Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna
dan simbol tersebut individu -individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan
persaaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka secara berbeda-beda pula.
Budaya Jawa seperti kebudayaan bangsa lain, tidaklah statis, tetapi selalu
mengalami perubahan dari masa ke masa, sejak zaman prasejarah sampai masa kini dan
nanti. Budaya Jawa juga akan tetap hidup selama masih ada masyarakat Jawa sebagai
pendukung dan pelakunya. Alam pikiran Jawa akan terus mengalami perubahan dan
perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat Jawa.Di
masa lampau masyarakat Jawa menerima berbagai pengaruh dari kebudayaan luar. Namun
sejarah telah membuktikan bahwa local genious Jawa cukup kuat untuk bertahan dan bahkan
kebudayaan luar itu luluh dan yang menonjol justru kepribadian Jawanya.
Adat istiadat Jawa bila dikaji dengan seksama juga sarat dengan unsur-unsur
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagi orang Jawa, baik yang beragama Islam,
Kristen, maupun agama-agama lainnya. Perbedaan kepercayaan itu tidak merenggangkan
ikatan budayanya antara sesama orang Jawa. Dalam kegiatan adat upacara tradisional mereka
bersama-sama bekerja secara gotong-royong.
Sikap toleransi juga mengembangkan rasa simpati terhadap sesamanya, dan
menghindari timbulnya konflik antar sesama, menjaga kerukunan dalam hidup
bermasyarakat. Dalam lingkungan budaya Jawa nilai kerukunan merupakan salah satu nilai
budaya yang tertinggi. Dengan kerukunan itulah suasana hidup bisa diciptakan dengan penuh
rasa kedamaian, tenteram dan bahagia. Tujuan hidup orang Jawa yang utama adalah bisa
hidup tenteram dan damai. Cita-cita atau idaman hidup tersebut bukan saja terbatas di
lingkungan masyarakat Jawa, tetapi juga bisa dikembangkan bagi kesejahteraan lahir batin
seluruh manusia di dunia. Dalam hubungan bisnis pun nilai kerukunan lebih diutamakan
daripada keuntungan material. Ungkapan Jawa “Tuna sathak bathi sanak” mengandung nilai
persaudaraan diatas nilai material.Masyarakat jawa lebih mengutamakan kerukunan dan
persaudaraan.
Koentjaraningrat menguraikan bahwa menurut pandangan orang Jawa sendiri,
kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen. Keanekaragaman regional
kebudayaan Jawa tampak pada unsur-unsur adat upacara, kesenian, kehidupan beragama dan
lain-lain. Ada kebudayaan Jawa yang berakar di keraton, di pedesaan dengan budaya
masyarakat petani, di kota-kota pantai utara pulau Jawa berkembang kebudayaan pesisir, di
daerah Jawa Timur kebudayaan Jawa diwarnai dengan kebudayaan Madura. Ada lagi orang
Jawa yang memiliki logat dan peradaban khas yaitu orang Tengger, orang Osing di
Banyuwangi dan orang Blambangandi ujung Timur pulau Jawa.
Keanekaragaman kebudayaan Jawa tersebut jika dikaji secara seksama tetap
memperlihakan identitas kebudayaan Jawa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
suku bangsa Jawa yang tersebar di mana mana. Betapa heterogennya masyarakat Jawa namun
mereka tetap beridentitas sebagai orang Jawa dan menjadi pendukung kebudayaan Jawa
dengan local genious budaya Jawa sebagai esensinya.
Sebelum terbentuk negara kesatuan kebudayaan yang ada di Indonesia adalah
kebudayaan etnis di daerah-daerah yang sangat beranekaragam. Kebudayaan Jawa sebagai
salah satu budaya etnis tumbuh dan berkembang sebagai dunia yang utuh bulat dan lengkap
degan sistem budayanya sendiri. Pandangan hidup, adat istiadat, bahasa, kesenian dan unsur-
unsur kebudayaan yang lain mempunyai ciri khas budaya Jawa. Semua yang dipaparkan dia
tas merupakan penyelisikan untuk memberikan gambaran sekilas mengenai budaya Jawa di
masa lampau, terutama untuk mengenali ketahanan jati dirinya dalam menghadapi budaya
luar.
Setelah terbentuk negara kesatuan Republik Indonesia orientasi kebudayaan
daerah terarah pada kebudayaan nasional dengan semangat kebangsaan Indonesia. Budaya
daerah dibina dan dikembangkan untuk menjadi penunjang terwujudnya kebudayaan
nasional. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara dan digunakan sebagai alat
komunikasi antar warga. Lambat laun pemakaian bahasa daerah terdesak oleh bahasa
nasional. Daya kekuatan bahasa daerah sebagai penopang hidupnya kebudayaan daerah
menjadi lemah dan memudar. Tetapi pada umumnya masyarakat jawa masih menjaga
eksistensinya untuk tetap melestarikan kebudayaan-kebudayaan jawa yang ada.
Di dalam masyarakat juga ada norma-norma yang berlaku.Di antaranya adalah :
a. Cara berbuat (usage)
Norma yang disebut "cara" hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan
sangatlemah dibanding norma yang lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan
hubungan antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi
pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya mendapatkan sanksi sanksi yang ringan,
seperti berupa cemo'ohan atau celaan dari individu lain yang dihubunganinya. Perbuatan
seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai
perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan berdiri dan sebagainya.
Bila tanggal dan hari pernikahan sudah disetujui, maka dilakukan langkah
selanjutnya yaitu pemasangan tarub menjelang hari pernikahan. Tarub dibuat dari daun
kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat
sebagai talinya. Agar pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa
penyajian nasi tumpeng lengkap. Bersamaan dengan pemasangan tarub, dipasang juga
tuwuhan. Yang dimaksud dengan tuwuhan adalah sepasang pohon pisang raja yang sedang
berbuah, yang dipasang di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan
dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru ini nantinya cukup harta dan
keturunan. Biasanya di kanan kiri pintu masuk juga diberi daun kelor yang bermaksud untuk
mengusir segala pengaruh jahat yang akan memasuki tempat upacara, begitu pula janur yang
merupakan simbol keagungan.
4.Midodareni
Rangkaian upacara midodareni diawali dengan upacara siraman. Upacara
siraman dilakukan sebelum acara midodareni. Tempat untuk siraman dibuat sedemikian rupa
sehingga nampak seperti sendang yang dikelilingi oleh tanaman beraneka warna. Pelaku
siraman adalah orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang
kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon pengantin membasuh
wajah (istilah Jawa: raup) dengan air kendi yang dibawa oleh ibunya, kemudian kendi
langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan kata-kata: "cahayanya sekarang sudah
pecah seperti bulan purnama". Setelah itu, calon penganten langsung dibopong oleh ayahnya
ke tempat ganti pakaian.
5.Akad Nikah
Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya akad nikah dilakukan
sebelum acara resepsi. Akad nikah disaksikan oleh orang tua atau keluarga-keluarga yang
lebih tua dari kedua calon penganten dan orang yang dituakan. Pelaksanaan akad nikah
dilakukan oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama.
6.Panggih
Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembang mayang yang merupakan
sarana dari rangkaian panggih. Sesudah itu dilanjutkan dengan balangan suruh, ngidak
endhog, dan mijiki (mengusap atau membersihkannya).
7.Balangan suruh
Upacara balangan suruh dilakukan oleh kedua pengantin secara bergantian.
Gantal yang dibawa untuk dilemparkan ke pengantin putra oleh pengantin putri disebut
gondhang kasih, sedang gantal yang dipegang pengantin laki-laki disebut gondhang tutur.
Makna dari balangan suruh adalah berupa harapan semoga segala goda akan hilang dan
menjauh akibat dari dilemparkannya gantal tersebut. Gantal dibuat dari daun sirih yang
ditekuk membentuk bulatan (istilah Jawa: dilinting) yang kemudian diikat dengan benang
putih/lawe. Daun sirih merupakan perlambang bahwa kedua penganten diharapkan bersatu
dalam cipta, karsa, dan karya.
8.Ngidak endhok
Upacara ngidak endhog diawali oleh juru paes, yaitu orang yang bertugas untuk
merias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin, dengan mengambil telur dari dalam
bokor, kemudian diusapkan di dahi pengantin pria yang kemudian pengantin pria diminta
untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endhog mempunyai makna secara seksual, bahwa
kedua pengantin sudah pecah pamornya.
9.Sungkeman
Sungkeman adalah suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin
duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua
pengantin putra maupun orangtua pengantin putri. Makna upacara sungkeman adalah suatu
simbol perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua.
10. Dulangan
Dulangan merupakan suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin
saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai simbol seksual,
saling memberi dan menerima.