You are on page 1of 79

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH

PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK


(Citrus nobilis var microcarpa)

Oleh :
MAULIYAH NUR HARIYATI
F34102040

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES
PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
MAULIYAH NUR HARIYATI
F34102040

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES


PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
MAULIYAH NUR HARIYATI
F34102040

Dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1984


Di Sidoarjo

Tanggal lulus : 31 Agustus 2006

Menyetujui,
Bogor, September 2006

Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Yulianingsih, MSi


Pembimbing I Pembimbing II
Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari
Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Di
bawah bimbingan Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006.

RINGKASAN

Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat.


Jumlah produksi di musim panen raya yang melebihi kapasitas pasar, berakibat
pada rendahnya harga jual jeruk. Untuk mengatasi hal tersebut maka jeruk
pontianak dikembangkan dalam bentuk puree dan jus jeruk. Pembuatan produk
tersebut menghasilkan limbah diantaranya berupa ampas jeruk. Selama ini ampas
jeruk digunakan sebagai pakan ternak atau hanya dibuang percuma. Padahal
ampas jeruk mengandung sejumlah komponen yang bermanfaat diantaranya
pektin.
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri
makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein.
Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan
pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan tingkat kolesterol. Selain itu,
pektin juga dapat membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi
dalam industri kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet.
Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan
ikatan α- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus
karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol
sekunder terasetilasi (Hoejgard, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu
ekstraksi terhadap karakteristik pektin ampas jeruk. Pektin yang dihasilkan
diharapkan memiliki mutu yang setara dengan pektin komersial dan menjadi
alternatif sumber pektin selain kulit jeruk dan kulit apel. Ekstraksi pektin
dilakukan dengan menggunakan air destilat yang telah diberi asam klorida hingga
pH 1.5. Ekstraksi pektin dilakukan dengan perlakuan suhu 65, 80, dan 95oC serta
perlakuan lama ekstraksi 40, 60, dan 80 menit. Pektin yang dihasilkan dianalisa
karakteristiknya yang meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen,
kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif.
Rendemen pektin yang dihasilkan berkisar antara 13.67-16.32%.
Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin hasil
penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu 95oC
dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang terbaik
dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan dengan
pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex
yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar metoksil.
Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil ekstraksi suhu 65oC dan
95oC selama 40 menit memiliki kulitas yang lebih baik dari pektin komersial.
Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Extraction and Characterization Pectin
from Processing Pontianak Orange Waste (Citrus nobilis var microcarpa).
Supervised by Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006.

SUMMARY

Indonesian orange production during the last three years tend to increase.
Amount of production in certain season exceed market capacities, it cause
lowering of orange price. To overcome the mentioned hence pontianak orange
developed in the form of puree and orange juice. The production process of them
produce waste, example orange pulp.. During the time, orange pulp is used as
livestock feed or sometimes only thrown or useless. Though, orange pulp contain
a number of usefull components, among others pectin.
Pectin is used widely as functional component in food industry because its
ability to form watery gel and to stabilize protein. Addition of Pectin at food will
influence metabolism process and digestion specially in glucose adsorption and
cholesterol level. Pectin also can make very good coat that is used for filler in
paper industry and textile, and also as thickener in rubber industry.
Pectins consists of an α- (1-4) linked galacturonic acid homopolymer and
L-rhamnose D-galacturonic acid repeating units carrying branched neutral sugar
side chain. Galacturonic acid units in both regions are partially methyl-esterified
(Hoejgard, 2004).
This research aim is to know the influence of extraction temperature and
time to orange pulp pectin characteristic. Orange pulp pectins are expected to have
equivalent quality with commercial pectin and become alternative source of pectin
besides lime peel and apple pomace. Pectin extraction was done by using destilate
water which have been given by chloride acid until pH 1.5. Pectin Extraction
conducted with treatment of temperature 65, 80, and 95oC and also treatment of
time extraction 40, 60, and 80 minutes. Then, pectin was analysed its
characteristic which cover yield, water content, ash content, equivalent weight,
methoxyl content, galacturonic content, esterified degree, and relative viscosity.
Yield of Pectin ia about 13.67-16.32%. Based on Bayes method which
comparing pectin characteristic result of research, the best condition of pectin
extraction is treatment of temperature 95oC with extraction time 40 minutes.
Pectin with the best extraction condition was compared to commercial pectin. The
characteristic which is compared to commercial pectin is set in Food Chemical
Codex standard that are water content, ash content, galacturonic content, and
methoxyl content. Pursuant fourth of the characteristic, pectin result from
temperature extraction 65oC and 95oC during 40 minute have better quality than
commercial pectin.
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang
berjudul Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses Pengolahan
Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) dapat diselesaikan.Dalam
pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada berbagai pihak berikut ini :
1. Ir. Ade Iskandar, MSi selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan,
nasehat, dan arahannya.
2. Ir. Yulianingsih, Msi selaku pembimbing II atas bimbingan dan
dukungannya.
3. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi selaku dosen penguji atas bimbingannya.
4. Agus Budianto, STP atas segala bantuan dan dukungannya.
5. Mamak, Bapak, Harman, Aprilia dan Rachmad atas kasih sayang, doa dan
semangatnya selama ini.
6. Para staf dan karyawan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca
Panen Pertanian terutama Ibu Tisna, Ibu Ermi, Bapak Ato, Bapak Yudi,
Mbak Meli, Mbak Dewi yang telah banyak membantu selama penelitian.
7. Sigit, Iffa, Rini, Fitri, Ocie, Wahyu, Farikin, Hari, Andri, Ocha atas
bantuan dan kebersamaannya di Balai Pasca Panen.
8. Teman-teman ”Andaleb Crew” (Nisa, , Lely, Cocom, M’Saras, M’Yanti,
Widi, Firdaus, Azzi, Maryam, Sifa, dll) atas cinta yang telah kalian
berikan dan dukungan selama ini.
9. Teman-teman TIN IPB 39 atas kebersamaannya.
10. Semua pihak yang telah membantu selama masa tugas akhir.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2006

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...........................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jeruk Pontianak.....................................................................................3
B. Pektin.....................................................................................................4
1. Pengertian dan Sumber Pektin..........................................................4
2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin..............................................6
3. Sifat- Sifat Pektin..............................................................................8
4. Proses Produksi Pektin....................................................................10
5. Aplikasi Pektin................................................................................12
III. METODOLOGI
A. Bahan dan Alat....................................................................................14
B. Metode Penelitian................................................................................14
1. Penelitian Pendahuluan....................................................................14
2. Penelitian Utama..............................................................................15
C. Rancangan Percobaan..........................................................................19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan........................................................................20
1. Analisa Proksimat.............................................................................20
2. Penentuan Bahan Baku.....................................................................21
B. Penelitian Utama..................................................................................23
1. Rendemen........................................................................................24
2. Kadar Air.........................................................................................26
3. Kadar Abu.......................................................................................27
Halaman
4. Berat Ekivalen................................................................................29
5. Kadar Metoksil...............................................................................31
6. Kadar Galakturonat........................................................................33
7. Derajat Esterifikasi.........................................................................35
8. Viskositas Relatif............................................................................37
C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial...........................................38
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan..........................................................................................43
B. Saran.....................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................45
LAMPIRAN....................................................................................................49
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia................................................1
Tabel 2. Rendemen Pektin Beberapa Bahan Baku Industri Pektin ...…...…….6
Tabel 3. Rincian Spesifikasi Mutu Pektin Komersial …................................13
Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin.......................................16
Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak.............................20
Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin………………………….39
Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial......41
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk................................................4
Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman......................................................6
Gambar 3. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat............................................7
Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat..........................................7
Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi..................................7
Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah.................................8
Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin............................................................8
Gambar 8. Diagram Alir Produksi Pektin Kulit Jeruk Pontianak..................18
Gambar 9. Hubungan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen Pektin.......21
Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen..... 25
Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air….. 26
Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu......28
Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat
Ekivalen…………………………………………………………30
Gambar 14. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Metoksil………………………………………………………...31
Gambar 15. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Galakturonat.................................................................................34
Gambar 16. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat
Esterifikasi....................................................................................35
Gambar 17 Reaksi Deesterifikasi Pektin.........................................................36
Gambar 18. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas
Relatif………………………………...........................................37
Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian.................................................................39
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk........................................................................49
Lampiran 2. Analisa Bahan..................................................................................50
Lampiran 3 Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen
Pektin Pada Perlakuan Pendahuluan ..............................................53
Lampiran 4. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen
Pektin Pada Perlakuan Utama.........................................................54
Lampiran 5. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Air
Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................55
Lampiran 6. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Abu
Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................57
Lampiran 7. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Berat
Ekivalen Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................59
Lampiran 8. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar
Metoksil Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................60
Lampiran 9. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar
Galakturonat Pektin Pada Perlakuan Utama ...................................62
Lampiran 10. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Derajat
Esterifikasi Pektin Pada Perlakuan Utama .....................................64
Lampiran 11. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas
Relatif Pektin Pada Perlakuan Utama .............................................66
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jeruk Pontianak merupakan jenis jeruk siam yang banyak diusahakan
dan paling luas penyebarannya di Indonesia. Tanaman ini bisa diusahakan di
daerah dataran rendah sampai dengan daerah berketinggian 770 meter di atas
permukaan laut (Sarwono, 1994).
Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung
meningkat. Indonesia berada di peringkat 14 pada tahun 2002 dan peringkat
10 pada tahun 2003 dan 2004. Produksi jeruk Indonesia tahun 2004 kurang
lebih 1.600.000 ton atau 2,6% dari produksi dunia (Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, 2005).
Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia
No. Negara 2002 2003 2004
Produksi % Produksi % Produksi %
1 Brasil 18.530.624 30.2 16.902.600 28.0 18.262.632 29.1
2 USA 11.225.500 18.3 10.473.450 17.3 11.729.900 18.7
3 Meksiko 3.843.960 6.3 3.969.810 6.6 3.969.810 6.3
4 India 3.120.000 5.1 3.070.000 5.1 3.070.000 4.9
5 Spanyol 2.867.100 4.7 3.112.900 5.2 2.900.000 4.6
6 Iran 1.880.000 3.1 1.850.000 3.1 1.850.000 3.0
7 Egypt 1.725.000 2.8 1.740.000 2.9 1.750.000 2.8
8 Italia 1.723.630 2.8 1.962.000 3.2 1.800.000 2.9
9 Cina 1.643.469 2.7 1.831.681 3.0 1.892.681 3.0
10 Turki 1.250.000 2.0 1.215.000 2.0 1.215.000 1.9
11 Pakistan 1.190.000 1.9 1.128.000 1.9 1.120.000 1.8
12 Yunani 1.164.508 1.9 967.681 1.6 1.000.000 1.6
13 Afrika Selatan 1.082.330 1.8 1.165.000 1.9 1.160.000 1.8
14 Indonesia 968.132 1.6 1.441.680 2.4 1.600.000 2.6
Dunia 61.644.115 60.740.954 63.039.736
Sumber: Data Produksi Jeruk FAO (2005)

Pembuatan produk dengan bahan baku jeruk seperti sari buah jeruk
akan mempunyai limbah berupa kulit, ampas dan biji. Limbah pengolahan
jeruk terutama kulit merupakan sumber serat pangan dan juga salah satu bahan
baku produksi pektin yang banyak digunakan pada industri makanan
(Herbstreith dan Fox, 2005). Ampas jeruk diperoleh sebagai produk
sampingan industri sari buah jeruk. Saat ini ampas jeruk digunakan untuk
pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah industri. Pemanfaatan ampas
tersebut kurang optimal, padahal ampas jeruk mengandung komponen yang
bermanfaat bagi manusia. Salah satu komponen yang terdapat pada ampas
jeruk adalah pektin.
Indonesia mempunyai potensi yang baik sebagai penghasil buah jeruk,
tetapi pemanfaatan limbah jeruk sebagai sumber pektin secara industri belum
dilakukan. Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya limbah jeruk yang
terkumpul cukup banyak dan kontinyu, sehingga diperlukan kerjasama dengan
pabrik yang memanfaatkan buah jeruk sebagai bahan baku seperti misalnya
pabrik sari buah jeruk (Purwantoro, 1989).
Pektin merupakan kompleks polisakarida anion yang terdapat pada
dinding sel primer dan interseluler pada tanaman tingkat tinggi. Asam D-
galakturonat merupakan molekul utama penyusun polimer pektin, dan
biasanya gula netral juga terdapat dalam pektin (O’Neill et al, 1990; Visser
dan Voragen, 1996).
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada
industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan
menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan
mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi
glukosa dan tingkat kolesterol (Baker, 1994). Selain itu, pektin juga dapat
membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi dalam industri
kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet.
Nilai ekonomi yang dimiliki pektin cukup tinggi. Harga eceran tepung
pektin berkisar antara Rp. 200.000-Rp. 300.000 per kg. Pada tahun 2001,
Indonesia mengimpor pektin sebanyak 14.242 kg dengan nilai sebesar US $
130.599 (Biro Pusat Statistik, 2001).

B. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknologi
proses pembuatan pektin dari bahan baku ampas jeruk Pontianak yang saat ini
dianggap sebagai limbah industri pengolahan sari buah jeruk. Tujuan khusus
penelitian ini adalah mencari suhu dan waktu ekstraksi terbaik dalam
menghasilkan pektin dengan mutu terbaik yaitu sesuai dengan standar mutu
pektin komersial.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jeruk Pontianak
Jeruk merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai daerah
tumbuh antara 40oLU – 40oLS. Negara asal jeruk adalah Asia Tenggara, India,
Cina, Australia, dan Kaledonia Baru (Sarwono, 1986).
Jeruk Pontianak sebenarnya adalah jeruk siam (Citrus nobilis var
Microcarpa). Tanaman ini masuk Kalimantan Barat pada tahun 1936, dan
pertama kali ditanam di daerah Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Pohon
jeruk Tebas yang telah berproduksi bisa menghasilkan buah sebanyak 15-50
kg per pohon (Sarwono, 1994).
Klasifikasi tanaman jeruk Pontianak adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicothyledonae
Suku : Rutacea
Marga : Citrus
Jenis : Citrus nobilis
Varietas : Citrus nobilis var microcarpa (Sarwono, 1994).
Jeruk Pontianak memiliki bentuk buah bulat dan licin. Daging buah
jeruk Pontianak banyak mengandung air, kulitnya tipis, agak melekat dan sulit
terlepas dari daging buah (Sarwono, 1994).
Menurut Albrigo dan Carter (1977), bagian-bagian utama buah jeruk
jika dilihat dari bagian luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun atas
epidermis, flavedo, kelenjar minyak, dan ikatan pembuluh), segmen-segmen
(terdiri atas dinding segmen, rongga cairan dan biji) dan core (bagian tengah
yang terdiri dari ikatan pembuluh dan jaringan parenkim).
Bagian-bagian buah jeruk Pontianak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk

Kulit jeruk dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu flavedo (kulit
bagian luar yang berbatasan dengan epidermis) dan albedo (kulit bagian dalam
yang berupa jaringan busa). Epidermis merupakan bagian luar yang
melindungi buah jeruk, yang terdiri dari lapisan lilin, matriks kutin, dinding
sel primer dan sel epidermal. Flavedo sebagai lapisan kedua ditandai dengan
adanya warna hijau, kuning, oranye, kelenjar minyak, dan tidak terdapat
ikatan pembuluh. Pigmen yang terdapat pada flavedo adalah kloroplas dan
karotenoid. Dalam perkembangannya kloroplas akan terdegradasi, sehingga
buah yang sebelum matang berwarna hijau menjadi berwarna oranye pada saat
matang (Albrigo dan Carter, 1977).
Juring atau lamella jeruk banyak mengandung pektin, karena itu rugi
bila mengkonsumsi jeruk hanya menyerap sarinya dan membuang kulit
juringnya. Pektin pada jeruk yang bila dimakan atau diolah menjadi jus
dengan dagingnya akan bermanfaat sebagai pembersih racun dari dalam tubuh
(Kurniasih, 2004).

B. Pektin
1. Pengertian dan sumber pektin
Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar
tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan
jaringan dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga
berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith
dan Fox, 2005). Pektin merupakan senyawa polisakarida dengan bobot
molekul tinggi yang banyak terdapat pada tumbuhan. Pektin digunakan
sebagai pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly, marmalade,
makanan rendah kalori dan dalam bidang farmasi digunakan untuk obat
diare (National Research Development Corporation, 2004).
Kata pektin berasal dari bahasa Latin “pectos” yang berarti pengental
atau yang membuat sesuatu menjadi keras/ padat. Pektin ditemukan oleh
Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790,
pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun
1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh
Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai
asam pektat (Herbstreith dan Fox, 2005).
Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer
yang berisi unit asam galakturonat (sedikitnya 65%). Kelompok asam
tersebut bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium,
kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida
(IPPA, 2002).
Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam
buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah. Pada
umumnya, protopektin yang tidak larut itu lebih banyak terdapat pada buah-
buahan yang belum matang (Winarno, 1997).
Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman,
khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa
pektin berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan yang
lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut dinamakan
lamella tengah (Winarno, 1997). Gambar 2 menunjukkan senyawa pektin
pada dinding sel tanaman (IPPA, 2002).
Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman

Kandungan pektin dalam tanaman sangat bervariasi, baik berdasarkan


jenis tanamannya maupun dari bagian-bagian jaringannya. Bagian kulit dan
albedo buah jeruk lebih banyak mengandung pektin daripada jaringan
parenkimnya (Winarno, 1997). Tabel 2 menunjukkan rendemen pektin yang
dihasilkan dari beberapa jenis buah-buahan di Indonesia.
Tabel 2. Rendemen pektin beberapa bahan baku industri pektin
Sumber Rendemen (% bobot kering)
Apel 10-15
Gula Bit 10-20
Bunga matahari 15-25
Kulit jeruk 20-35
Sumber : Herbstreith dan Fox, 2006.

2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin


Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi
bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930,
Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan
Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut
(Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat
yang berikatan dengan ikatan α- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam
poligalakturonat. Gugus karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol
dan sebagian gugus alkohol sekunder terasetilasi (Herbstreith dan Fox,
2005). Gambar 3 di bawah ini menunjukkan struktur kimia unit asam α-
galakturonat.

Gambar 3. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat

Menurut Hoejgaard (2004), pektin merupakan asam poligalakturonat yang


mengandung metil ester. Pektin diekstraksi secara komersial dari kulit buah
jeruk dan apel dalam kondisi asam. Masing-masing cincin merupakan suatu
molekul dari asam poligalakturonat, dan ada 300 – 1000 cincin seperti itu
dalam suatu tipikal molekul pektin, yang dihubungkan dengan suatu rantai
linier.

Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat

Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua


golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar
metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan
metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai
kandungan pektin maksimal 7% (Guichard et al, 1991).
Gambar di bawah ini merupakan rumus molekul dari pektin bermetoksil
tinggi dan pektin bermetoksil rendah (IPPA, 2002).

Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi


Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah

Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu


rantai molekul panjang. Rantai utama ini diselingi oleh kelompok rhamnosa
dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa).
Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat
diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2002). Selain asam D-galakturonat
sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa,
dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia pektin
sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam
isolasinya (Willats et al, 2006).

Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin (Herbstreith dan Fox, 2005).

3. Sifat-sifat pektin
Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin
sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan
sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat
berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan,
kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran
matang. Gliksman (1969) menyatakan bahwa pektin kering yang telah
dimurnikan berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan yang
berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya.
Sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin (Guichard
et al., 1991). Faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat
kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion
kalsium, dan gula (Chang dan Miyamoto, 1992). Kekentalan larutan pektin
mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin,
garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat (Rouse, 1977).
Pektin dengan kadar metoksil lebih rendah dari 7% dapat membentuk
gel bila ada ion-ion logam bivalen. Ion logam bivalen dapat bereaksi dengan
gugus-gugus karboksil dari 2 molekul asam pektat dan membentuk
jembatan. Pada pembentukan gel ini, tidak diperlukan gula dan tekstur gel
yang terbentuk kurang keras (Guichard et al., 1991).
Pembentukan gel dari pektin dengan derajat metilasi tinggi
dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH. Semakin
besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi 1%
telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Gula yang ditambahkan
tidak boleh lebih dari 65% agar terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel
dapat dicegah (Guichard et al., 1991). Pembentukan gel pektin metoksil
tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan
antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan
membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu
membentuk gel dengan adanya ion kalsium (Gliksman, 1969).
Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang
bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif.
Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi
ini dapat dihambat dengan penambahan garam.
Menurut Rouse (1977), degradasi dan dekomposisi pektin dapat
disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi. Kecepatan degradasi tergantung
pada suhu, pH, dan konsentrasi agen pengoksidasi.
4. Proses Produksi Pektin
Tahapan-tahapan dalam pembuatan pektin yaitu persiapan bahan,
ekstraksi, penggumpalan, pencucian, dan pengeringan. Metode yang
digunakan untuk mengekstrak pektin dari jaringan tanaman sangat beragam.
Akan tetapi pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan
ekstraksi asam. Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi
pektin. Menurut Kertesz (1951), asam yang digunakan dalam ekstraksi
pektin adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat,
asam fosfat tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral
yang murah seperti asam sulfat, asam khlorida, dan asam nitrat. Beberapa
artikel saat ini menyarankan untuk menggunakan asam khlorida (Kalapathy
dan Proctor, 2001; Hwang et al., 1998; Dinu, 2001) dan asam nitrat (Pagán
et al., 2001).
Ekstraksi dengan menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen
yang lebih tinggi dibandingkan asam organik. Asam mineral pada pH rendah
lebih baik dari pada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan
Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk
memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam pektinat dengan
selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil dan
menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951).
Suhu yang tinggi selama ekstraksi dapat meningkatkan rendemen
pektin. Suhu yang agak tinggi akan membantu difusi pelarut ke dalam
jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam
menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman,
khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Penggunaan
suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak
jernih, sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekutan gel berkurang
(Kertesz, 1951).
Pektin dalam jaringan tanaman banyak dalam bentuk protopekin yang
tidak larut dalam air. Dengan adanya asam, kondisi larutan dengan pH
rendah akan menghidrolisa protopektin menjadi pektin yang lebih mudah
larut. Ekstraksi pektin sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada
kisaran pH 1.5 sampai 3.0 dengan suhu pemanasan 60 – 100oC selama
setengah jam sampai satu setengah jam (Towle dan Christensen, 1973).
Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis
pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik
gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam
galakturonat (Smith dan Bryant, 1968).
Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin
dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari
gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik
isoelektrik seperti kebanyakan koloidal hidrofilik. Pektin lebih utama
distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Penambahan
etanol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan
koloidalnya, dan akibatnya pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977).
Ranganna (1977) menggunakan etanol 95% sebanyak dua kali volume
filtrat untuk mengendapkan pektin kulit jeruk. Dewan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004) mengendapkan pektin dengan
menggunakan etanol 95% yang mengandung 2 ml asam khlorida pekat
setiap satu liter etanol sebanyak 1.5 kali volume filtrat.
Pada tahap pemurnian pektin, Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi
dan Industri Sumatra Barat (2004) melakukan pencucian pektin markisa
dengan menggunakan alkohol 95% sampai pektin bebas khlorida. Suradi
(1984) melakukan pencucian pektin dari kulit jeruk dengan alkohol 80%
sampai bebas khlorida. Salah satu tujuan pencucian pektin adalah untuk
menghilangkan khlorida yang ada pada pektin.
Tahap akhir dari ekstraksi pektin adalah pengeringan endapan pektin.
Ranganna (1977) menganjurkan pengeringan dilakukan pada tekanan yang
rendah agar pektin tidak terdegradasi. Menurut Dewan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004), pengeringan pektin markisa
dapat dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40 - 60oC
selama 6 - 10 jam. McCready (1965) menggunakan suhu 60oC dalam oven
keadaan vakum selama 16 jam untuk pengeringan pektin kulit jeruk.
5. Aplikasi Pektin
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada
industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan
menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan
mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada
adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan
minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik
pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah.
Selain itu pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, jam,
dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005).
Pektin memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Towle dan
Christensen (1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin digunakan dalam
penyembuhan diare dan menurunkan kandungan kolesterol darah. Pektin
melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang
berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin
digunakan sebagai emulsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada
bayi dan anak-anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut
kecepatan penyerapan bermacam-macam obat. Selain itu, pektin juga
berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan
antibiotika, bahan pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran
dan jaringan rusak atau hancur sehingga luka tetap bersih dan cepat sembuh,
serta bahan injeksi untuk mencegah pendarahan (Hoejgaard, 2004).
Kualitas pektin komersial ditentukan oleh sifat-sifat fisik pektin. Sifat
fisik tersebut diantaranya warna dan cita rasa yang cocok, kelarutan (untuk
pektin padat), derajat gel, kecepatan membeku, serta tidak mengandung
bahan atau zat berbahaya bagi kesehatan. Sifat fisik tersebut dipengaruhi
oleh sifat kimia pektin (IPPA, 2002).
Tabel 3. Spesifikasi mutu pektin komersial
Karakteristik Nilai
Kadar air (maksimum) 12 %
Kadar abu (maksimum) 1%
Pektin bermetoksil tinggi (minimum) 7%
Pektin bermetoksil rendah (maksimum) 7%
Asam galakturonat (minimum) 65 % (bk)
Logam berat (maksimum) 0.002 %
Sumber: Food Chemical Codex (1996)
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan Dan Alat


Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah jeruk yang
merupakan sisa perasan jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) yaitu
bagian lamella, core dan pulp. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi
pektin adalah etanol 95%, asam khlorida (HCl), air destilat, dan perak nitrat
(AgNO3) untuk uji ion khlorida serta bahan kimia untuk analisis yaitu NaOH,
etanol, NaCl, HCl, dan fenol merah.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, timbangan,
oven, tanur, pH-meter, kain saring tebal, viskometer Brookfield, blender,
stopwatch, stirrer hot plate , serta alat-alat gelas.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama.
Tahap 1. Penelitian Pendahuluan
Pada tahap penelitian pendahuluan ini dilakukan analisis proksimat
terhadap bahan baku berupa limbah jeruk Pontianak. Metode analisa dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Pada tahap penelitian pendahuluan juga dilakukan penentuan perlakuan
bahan baku. Ampas jeruk ditimbang sebanyak 200 gram untuk tiap sampel.
Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven selama 5 jam, 10 jam, dan 15
jam. Sebagian ampas dikeringkan dengan cara dijemur matahari selama 1 hari,
2 hari, dan 3 hari. Ekstraksi dilakukan pada ampas yang telah kering dan
ampas segar. Sebelum diekstrak, ampas diblender terlebih dahulu dengan
penambahan akuades sebanyak tiga kali berat ampas segar. Kemudian
ditambahkan HCl 0.1N sampai pH larutan menjadi 1.5. Campuran tersebut
dipanaskan di atas penangas ambil diaduk dengan suhu 95oC selama 40 menit.
Menurut Fardiaz (1984), ekstraksi pada pH 1.5 memberikan jumlah rendemen
pektin kulit jeruk yang tertinggi.
Campuran tersebut disaring. Filtratnya didinginkan sampai mencapai
suhu kamar, kemudian ditambahkan etanol 95% yang telah diasamkan (satu
liter etanol diasamkan dengan 2 ml HCl pekat) sebanyak 1.5 kali volume
filtrat, dan diendapkan selama 12 jam. Endapan pektin disaring dan dicuci
dengan etanol 95% sampai bebas khlorida (khlorida masih ada jika terdapat
endapan putih pada etanol bekas pencucian ketika ditambahkan perak nitrat.
Endapan pektin khlorida dikeringkan dengan oven pada suhu 40oC selama 8
jam kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya.
Tahap 2. Penelitian Utama
(a) Ekstraksi pektin
Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi
suhu dan waktu reaksi terhadap pektin yang dihasilkan. Tahap-tahap
produksi pektin terdiri dari :
a. Ekstraksi
Ampas segar ditimbang dan dihancurkan dengan menggunakan
blender selama 2 menit dengan menambahkan air sebanyak 3 kali bobot
bahan basah. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan asam
khlorida 0.1 N sampai mencapai pH 1.5. Ekstraksi dilakukan di atas
penangas dengan suhu dan waktu bervariasi sebagai perlakuan. Selama
ekstraksi dilakukan pengadukan.
Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 65oC, 80oC, dan
95oC. Sedangkan waktu reaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
40 menit, 60 menit, dan 80 menit. Campuran yang telah diekstrak disaring
dengan menggunakan kain saring yang cukup tebal dan diperas untuk
memisahkan filtrat dari ampasnya. Kemudian dilakukan pengentalan
sampai volume menjadi setengah volume semula dengan pemanasan pada
suhu 80 oC.
b. Pengendapan (isolasi)
Filtrat yang telah dikentalkan didinginkan sampai dengan suhu
kamar kemudian dilakukan pengendapan pektin dengan menambahkan
etanol 95% yang telah diasamkan dengan menambahkan 2 ml asam
khlorida pekat per satu liter etanol. Perbandingan filtrat dengan etanol
yang ditambahkan adalah 1 : 1.5. Proses pengendapan dilakukan selama
12 jam. Endapan pektin yang terbentuk disaring dengan menggunakan
kain saring tebal untuk memisahkan endapan pektin dari larutan etanol
dengan air.
c. Pencucian
Endapan pektin yang diperoleh dicuci dengan menggunakan etanol
95% hingga bebas khlorida. Pemisahan endapan pektin dengan etanol
bekas cucian dilakukan dengan kain saring tebal kemudian diperas. Untuk
mengetahui terdapatnya khlorida, dapat dilakukan dengan menambahkan
beberapa tetes larutan perak nitrat (AgNO3) pada cairan bekas cucian.
Apabila khlorida masih ada, maka akan terbentuk endapan putih (AgCl).
d. Pengeringan
Pengeringan pektin basah hasil cucian dilakukan dalam oven pada
suhu 40oC selama 8 jam. Tepung pektin diperoleh dengan memblender
pektin kering kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan
ayakan 60 mesh.
Karakterisasi pektin yang dihasilkan
Karakterisasi pektin yang dihasilkan dilakukan dengan pengujian
kadar abu, kadar air, berat ekivalen, kandungan metoksil, kadar
galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif.
Perbandingan terhadap pektin komersial
Pektin terbaik yang dihasilkan melalui perhitungan metode Bayes
diperbandingkan dengan karakteristik dari pektin komersial. Tiap
karakteristik pektin diberi bobot sesuai dengan tingkat kepentingannya.
1 : sangat tidak penting
2 : tidak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5. sangat penting
Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin
kadar berat kadar kadar derajat viskositas
karakteristik rendemen abu ekivalen metoksil galakturonat esterifikasi relatif Jumlah
Peringkat 5 4 4 3 4 3 2 25
Bobot 0,2 0,16 0,16 0,12 0,16 0,12 0,08 1
Nilai tiap parameter mutu pektin diurutkan dari yang terkecil sampai
yang terbesar. Perlakuan ekstraksi yang memiliki rendemen tertinggi
diberi nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan perlakuan ekstraksi yang memiliki
rendemen terendah diberi nilai satu. Pektin yang memiliki kadar abu
terendah memiliki nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan pektin yang memiliki
kadar abu tertinggi memiliki nilai satu. Pektin dengan berat ekivalen
tertinggi diberi nilai 9. Pektin dengan kadar metoksil tertinggi diberi nilai
9. Pektin yang memiliki kadar galakturonat tertinggi diberi nilai 9. Pektin
yang memiliki derajat esterifikasi tertinggi diberi nilai 9. Pektin yang
memiliki viskositas tertinggi diberi nilai 9.
Nilai tiap karakteristik yang diberikan pada langkah tersebut diatas
dikalikan dengan bobot karakteristik tersebut. Hasil perhitungan untuk tiap
karakteristik mutu pektin dijumlahkan sehingga diperoleh nilai total.
Pektin yang memiliki nilai total tertinggi adalah pektin terbaik.Pektin
terbaik tersebut akan dibandingkan dengan pektin komersial. Selain itu,
pektin yang diperoleh pada ekstraksi suhu dan waktu terendah juga
dibandingkan dengan pektin komersial.
Ampas jeruk
pontianak
Air sebanyak 3
kali bobot bahan
basah
Penghancuran dengan blender (2 menit)

Ekstraksi pada pH 1,5 dengan suhu dan


waktu sesuai perlakuan

Penyaringan ampas

Filtrat

Pengentalan sampai volume menjadi


setengahnya Etanol 95%
(ditambah HCl) 1,5
kali volume filtrat
Pengendapan pektin selama 12 jam
(isolasi)

Penyaringan filtrat

Pencucian endapan pektin beberapa kali


dengan etanol 95% sampai bebas khlorida

Endapan pektin

Pengeringan endapan pektin


(oven 40oC, 8 jam)

Pektin kering

Penghancuran dan Pengayakan

Tepung pektin

Gambar 8. Diagram Alir Ekstraksi Pektin


C. Rancangan Percobaan
Pada penelitian utama, rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial 3 x 3 dengan
ulangan 3 kali ulangan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Yijk = M + Ei + Fj + EFij + Ek (ij)
i = 1, 2, 3
j = 1, 2, 3
k = 1,2, 3
Yijk : variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor A dan
taraf ke j faktor B yang terdapat pada observasi ke k
M : efek rata-rata yang sebenarnya
Ei : efek sebenarnya dari taraf ke i faktor suhu
Fj : efek sebenarnya dari taraf ke j faktor waktu
EF ij : efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor suhu dengan
taraf j faktor waktu
Ek (ij): efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi
perlakuan (ij)
Hipotesis :
Ho : Menyatakan terdapat pengaruh faktor suhu dan waktu keduanya
saling mempengaruhi
H1 : Menyatakan tidak adanya pengaruh suhu dalam eksperimen
H2 : Menyatakan tidak adanya pengaruh faktor waktu dalam eksperimen
H3 : Menyatakan tidak terdapat interaksi antara factor suhu dan waktu
dalam eksperimen
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan
1. Analisa Proksimat
Pada tahap awal penelitian analisa proksimat dilakukan untuk
mengetahui komposisi dari ampas jeruk Pontianak yang meliputi persentase
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan
kadar serat kasar. Parameter yang dianalisa tersebut berpengaruh terhadap
proses ekstraksi pektin dan karakter pektin hasil ekstraksi.
Menurut Tressler dan Joyslin (1954), kadar serat berpengaruh
terhadap jumlah pektin yang dapat diekstrak. Grape fruit dan orange dengan
kadar serat kasar 0.6-0.9% akan memiliki rendemen pektin sebesar 1-2%
basis basah.
Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak Segar
Jenis Analisa % Hasil (bb) % Hasil (bk)
Kadar air 82.48 470.78
Kadar abu 0.57 3.25
Kadar lemak 0.84 4.79
Kadar protein 4.50 25.69
Kadar karbohidrat 11.61 66.27
Kadar serat kasar 4.15 23.69

Hasil analisa proksimat yang dilakukan memperlihatkan bahwa


limbah pengolahan jus jeruk berupa ampas jeruk Pontianak memiliki kadar
air sebanyak 82.48 %. Kadar air yang tinggi pada bahan baku akan
mempercepat degradasi senyawa pektin oleh reaksi enzimatis menjadi
senyawa gula. Adanya enzim pektinase pada ampas jeruk akan
mendegradasi pektin menjadi asam pektat dan senyawa sederhana lainnya.
Kadar air bahan yang tinggi menjadi dasar pemikiran dilakukannya
pengeringan bahan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama.
2. Penentuan Bahan Baku
Tahap pendahuluan pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
bahan baku yang terbaik untuk proses ekstraksi pada penelitian utama.
Suhu yang digunakan untuk ekstraksi adalah 95oC dengan lama ekstraksi
40 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Fitriani
(2002) tentang ekstraksi dan karakteriasi pektin dari jeruk lemon yang
memberikan hasil terbaik pada suhu 95oC dengan lama ekstraksi 40 menit.
Grafik hubungan antara perlakuan bahan baku terhadap rendemen pada
penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 9.

Rendemen Pektin

16 14,68 14,29 13,91


13,47
rendemen (% basis kering)

14 12,83
12,13
12 11,31

10

8
6
4
2
0
ampas oven 5 oven 10 oven 15 jemur 1 jemur 2 jemur 3
segar jam jam jam hari hari hari
perlakuan

Gambar 9. Hubungan Pengeringan Bahan Terhadap


Rendemen Pektin

Rendemen pektin yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan ini


berkisar antara 11.31 – 14.68 % (bk). Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan bahan memberikan pengaruh
nyata terhadap rendemen pektin. Uji analisis keragaman dan uji lanjut
Duncan terhadap rendemen pektin dapat dilihat pada Lampiran 3.
Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan bahan terhadap
rendemen menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air bahan maka
semakin rendah pula rendemen pektin. Penurunan rendemen semakin
besar pada pengeringan dengan menggunakan matahari. Hal ini
disebabkan karena panas matahari yang cenderung tidak stabil akan
mempercepat terjadinya degradasi pektin menjadi senyawa yang lebih
sederhana.
Menurut Fitriani (2002), pengeringan kulit jeruk pada suhu 55oC
selama 15 jam sampai kadar air 10% memberikan rendemen yang lebih
tinggi daripada kulit jeruk segar. Tingginya kadar air bahan akan menutup
permukaan dan menyulitkan difusi larutan asam untuk mengekstrak pektin
dari bahan. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra
Barat (2004) menyatakan bahwa pengeringan kulit jeruk dapat dilakukan
dengan menggunakan panas matahari selama 3 hari.
Pada produksi pektin komersial, bahan yang akan diekstrak
dikeringkan terlebih dahulu. Menurut Kalapathy dan Proctor (2001),
pengeringan bahan tersebut bertujuan untuk mencegah deteriorasi selama
penyimpanan dan transportasi bahan.
Hasil penelitian pendahuluan tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Fitriani (2002). Hal ini disebabkan bahan yang diekstrak
berbeda. Pada penelitiannya Fitriani (2002) menggunakan kulit jeruk
lemon. Kulit jeruk lemon mengandung sejumlah minyak atsiri yang
cenderung bersifat nonpolar yang menghambat difusi larutan asam yang
bersifat polar. Dengan adanya pengeringan bahan, sebagian minyak atsiri
juga ikut menguap bersama uap air.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas jeruk
Pontianak yang kadar minyak atsirinya sangat berbeda dengan kulit jeruk
lemon. Pengeringan bahan dengan menggunakan oven menghasilkan
rendemen pektin yang lebih rendah dari bahan segar. Semakin lama bahan
dikeringkan maka semakin rendah pula rendemen pektin yang dihasilkan.
Semakin lama bahan dijemur, maka semakin rendah pula rendemen
pektinnya. Pada kadar air yang hampir sama, pengeringan bahan dengan
panas matahari memberikan rendemen yang lebih rendah daripada
pengeringan dengan oven.
Pada proses pengeringan, degradasi pektin dalam ampas mulai
terjadi. Ampas jeruk memiliki jumlah kandungan enzim pektin esterase dan
pektinase yang lebih tinggi dari bagian yang lain dari buah jeruk (Rousse,
1977). Enzim tersebut mampu mendegradasi pektin menjadi asam pektat.
Adanya proses pengeringan pada suhu yang tidak terlalu tinggi akan
memberikan kesempatan terjadinya degradasi pektin bahkan dimungkinkan
enzim semakin aktif mendegradasi pektin pada suhu tersebut.
Dalam struktur polimer pektin terdapat gula yang terletak pada rantai
cabang (IPPA, 2002). Selama proses pengeringan juga terjadi oksidasi yang
ditunjukkan dengan perubahan warna ampas menjadi coklat pada
permukaan ampas. Pengeringan dengan matahari menghasilkan kualitas
ampas yang lebih rendah dari pengeringan dengan oven.Selain suhu yang
tidak konstan, lamanya proses pengeringan juga memberikan kesempatan
terjadinya oksidasi sehingga degradasi pektin menjadi lebih besar.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan
dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda nyata dengan ampas
segar. Pengeringan dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda
nyata dengan pengeringan dengan matahari selama satu hari yang memiliki
rendemen yang berbeda nyata dengan ampas segar. Dari hasil tersebut
maka dipilih ampas segar sebagai bahan penelitian utama karena
memberikan rendemen pektin yang tertinggi.
Rouse (1977) menyatakan bahwa ekstraksi bahan segar akan
menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi daripada bahan yang
dikeringkan. Pektin yang dihasilkan dari bahan segar memiliki kadar
metoksil, tingkat kemurnian, unit gel, dan grade gel yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan bahan kering.

B. Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan dengan melakukan ekstraksi pektin dari
bahan yang diperoleh dari hasil terbaik penelitian pendahuluan yaitu berupa
ampas segar. Bahan diekstrak sesuai perlakuan yang telah ditentukan yaitu
dengan adanya variasi suhu dan waktu ekstraksi. Pektin yang dihasilkan dari
masing-masing perlakuan ditentukan karakteristiknya yang meliputi
rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar
galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif. Karakteristik pektin
terbaik yang dihasilkan dibandingkan dengan pektin komersial.

1. Rendemen
Pektin termasuk dalam kelompok kompleks heteropolisakarida yang
beragam. Seperti polisakarida tanaman yang lain, pektin memiliki
komposisi dan ukuran molekul yang beragam sehingga struktur kimia dan
bobot molekulnya beragam. Komposisi tersebut tergantung pada jenis
bahan yang diekstrak, kondisi ekstraksi, lokasi asal bahan, dan faktor
lingkungan yang lain (Chang et al, 1994).
Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi
menggunakan pelarut, dalam hal ini berupa air yang diasamkan dengan
asam khlorida. Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan
bagian tanaman yang diekstrak. Sebelum diekstrak, dilakukan persiapan
bahan sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan
yang akan mempermudah proses ekstraksi.
Rendemen pektin yang dihasilkan dari ampas jeruk Pontianak
berkisar antara 13.67-16.32% (bk). Rendemen tertinggi diperoleh pada
ekstraksi dengan suhu 95oC selama 80 menit dan rendemen terendah
diperoleh pada ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit. Grafik hubungan
perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen pektin yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10. Semakin lama waktu dan
semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin
besar.
17,00

rendemen pektin (%bk)


16,00
40 menit
15,00
60 menit
14,00
80 menit
13,00
12,00
65 C 80 C 95 C
suhu ekstraksi (˚C)

Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap


Rendemen

Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 4b menunjukkan bahwa


waktu dan suhu ekstraksi memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen
pektin yang dihasilkan, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut
tidak berpengaruh nyata. Pengaruh masing-masing perlakuan dapat
diketahui dari hasil uji lanjut Duncan.
Pada suhu ekstraksi 65oC rata-rata rendemen yang dihasilkan 14.04%
berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 14.57% dan berbeda nyata pula
dengan suhu 95oC yaitu 15.56%. Semakin tinggi suhu ekstraksi, maka
kinetika reaksi hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga
rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar.
Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan rendemen pektin yang tidak
berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit tetapi berbeda nyata dengan
waktu ekstraksi 80 menit. Waktu ekstraksi 60 menit dan 80 menit memiliki
rendemen pektin yang yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata
dengan waktu ekstraksi 40 menit. Semakin lama waktu ekstraksi sampai
batas waktu 80 menit, semakin tinggi pula rendemen pektin yang
dihasilkan.
Pada ekstraksi 40 menit dihasilkan rendemen pektin sebesar 14.36%
dan semakin meningkat menjadi 15.12% pada waktu ekstraksi 80 menit.
Semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut, akan
memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menghidrolisis protopektin
yang terdapat dalam bahan sehingga dapat meningkatkan rendemen pektin
yang dihasilkan.
Goycoolea dan Adriana (2003) menjelaskan bahwa penggunaan HCl
dengan konsentrasi 0.1 N pada proses ekstraksi pektin memberikan
rendemen pektin yang terbaik. Peningkatan suhu lebih dari 100oC dan
waktu lebih dari 80 menit tidak akan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap rendemen pektin Oppuntia sp. yang dihasilkan.

2. Kadar Air
Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan.
Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan kerentanan terhadap
aktivitas mikroba. Dalam upaya memperpanjang masa simpan, dilakukan
pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu. Pengeringan pada
suhu rendah bertujuan meminimalkan degradasi pektin.
Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan pada oven pengering suhu
40oC selama 8 jam. Kadar air pektin yang dihasilkan berkisar antara 7.94-
11.91% atau 8.62-13.53% (bk). Nilai kadar air tersebut masih berada
dalam kisaran nilai kadar air yang diizinkan The Council Of The European
Communities (1998) yaitu tidak lebih dari 12%. Hubungan perlakuan
waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar air pektin dapat dilihat pada
Gambar 11. Kadar air pektin yang dihasilkan semakin rendah dengan
meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.

16,00
14,00
12,00
kadar air (%)

10,00 40 menit
8,00 60 menit
6,00 80 menit
4,00
2,00
0,00
65 80 95
suhu (°C)

Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap


Kadar Air (bk)

Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 5b memperlihatkan bahwa


suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata
terhadap kadar air pektin. Pada suhu 65oC kadar air pektin yang
dihasilkan 11.70%, berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 10.26%, dan
berbeda nyata pula dengan suhu 95oC yaitu 8.22%. Pada waktu ekstraksi
40 menit, kadar air pektin yang dihasilkan 10.51% dan waktu ekstraksi 60
menit yaitu 10.38% berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu
9.29%.
Kadar air pektin tertinggi diperoleh pada pelakuan suhu 65oC dan
waktu ekstraksi 40 menit yaitu 11.91%, sedangkan kadar air terendah
diperoleh pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit yaitu
7.94%. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu
ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar air pektin. Semakin tinggi
suhu dan semakin lama waktu ekstraksi akan meningkatkan jumlah air
yang menguap selama proses ekstraksi sehingga mempermudah proses
pengeringan yang berakibat semakin rendahnya kadar air pektin.Tingginya
suhu dan lamanya waktu ekstraksi mampu menghidrolisis polimer pektin
sehingga rantai molekulnya menjadi lebih pendek. Semakin pendek rantai
polimer pektin akan semakin memudahkan pengeringan karena kandungan
air yang terperangkap di dalamnya semakin sedikit.

3. Kadar Abu
Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa
pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat dilihat
dari kadar abu yang dimiliki bahan tersebut. Kadar abu berpengaruh pada
tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi kadar abu dalam pektin, tingkat
kemurnian pektin semakin rendah. Jika kadar abu dalam tepung pektin
tinggi, maka persentase kandungan pektin yang terdapat didalamnya
semakin rendah dan tingkat kemurnian tepung pektin tersebut juga rendah.
Kadar abu pektin dipengaruhi oleh residu bahan anorganik yang terdapat
pada bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin (Kalapathy dan
Proctor, 2001).
1,40
1,20

kadar abu (%)


1,00
40 menit
0,80
60 menit
0,60
0,40 80 menit
0,20
0,00
65 80 95
suhu (°C)

Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap


Kadar Abu (bk)

Kadar abu tepung pektin yang diperoleh berkisar antara 0.64-1.22%


(bb) atau 0.73 -1.33% (bk). Kadar abu tepung hasil ekstraksi selama 80
menit memiliki nilai lebih dari 1%, sedangkan pektin hasil ekstraksi
selama 40 menit dan 60 menit memiliki kadar abu kurang atau sama
dengan 1%. Pektin yang dihasilkan pada ekstraksi 40 dan 60 menit
memiliki nilai kadar abu masih berada dalam kisaran nilai kadar abu yang
diizinkan oleh The Council Of The European Communities (1998) yaitu
tidak lebih dari 1%. Ekstraksi selama 80 menit memiliki kadar abu
melebihi batas maksimum yang telah diizinkan. Grafik hubungan
perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar abu pektin dapat
dilihat pada Gambar 12.
Kadar abu tepung pektin yang dihasilkan semakin meningkat dengan
meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. 5b
memperlihatkan bahwa suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata
terhadap kadar abu tepung pektin, sedangkan interaksi antara kedua faktor
tersebut tidak berpengaruh nyata.
Menurut Meyer (1985), dalam buah-buahan dan sayuran,
protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat.
Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan mengakibatkan
bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak.
Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang
diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
asam, suhu, dan waktu reaksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap
bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan alcohol
(Kalapathy dan Proctor, 2001).
Pektin dengan waktu ekstraksi 40 menit memiliki kadar abu 0.73%
berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 0.93% dan berbeda
nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 1.1033%. Semakin lama
waktu ekstraksi semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut
yang dapat memperbesar kesempatan terjadinya reaksi hidrolisis
protopektin yang berakibat pada semakin tingginya kadar abu.
Pektin yang dihasilkan pada suhu ekstraksi 65oC memiliki kadar abu
sebesar 0.85% dan suhu 80oC sebesar 0.89% berbeda nyata dengan suhu
95oC sebesar 1.03%. Semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi hidrolisis
protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu pektin juga semakin
tinggi.
Kadar abu merupakan salah satu parameter mutu pektin. Semakin
rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin tinggi. Perlakuan ekstraksi
selama 40 dan 60 menit menghasilkan kadar abu pektin yang sesuai
dengan nilai standar yaitu tidak lebih dari 1 %.

4. Berat Ekivalen
Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam
galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin
(Ranganna, 1977). Asam pektat murni merupakan zat pektat yang
seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus
metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat murni memiliki
berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam galakturonat
dengan methanol menunjukkan semakin rendahnya jumlah asam bebas
yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Rouse, 1977).
Berat ekivalen tepung pektin yang dihasilkan berkisar antara 587.07 -
1334.11. Hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap berat
ekivalen dapat dilihat pada Gambar 13.
1600,00
1400,00
1200,00

bobot ekivalen
1000,00 40 menit
800,00 60 menit
600,00 80 menit
400,00
200,00
0,00
65 80 95
suhu ekstraksi (˚C)

Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap


Berat Ekivalen

Berat ekivalen pektin yang dihasilkan semakin menurun dengan


semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. Hasil
analisa sidik ragam pada Lampiran 7b menunjukkan bahwa suhu, waktu
dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap
berat ekivalen pektin.
Berat ekivalen pektin hasil ekstraksi selama 40 menit yaitu 1003.84
berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 896.10 dan berbeda
nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 783.94. Ekstraksi pada
suhu 65oC menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 1204.61 berbeda
nyata dengan ekstraksi suhu 80oC yaitu 861.52 dan berbeda nyata pula
dengan ekstraksi suhu 95oC yaitu 617.75.
Ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit menghasilkan pektin
dengan berat ekivalen tertinggi yaitu sebesar 1334.11. Berat ekivalen
terendah dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80
menit yaitu sebesar 548.07. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara
suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata.
Kim et al (1978) menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan
akan memperkecil terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Menurut
Padival et al (1979), karakteristik gel dan bobot molekul akan menurun
dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Semakin tinggi suhu dan semakin
lama waktu ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya
depolimerisasi pektin sehingga memiliki nilai berat ekivalen yang semakin
rendah.
Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan
baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Pada
umumnya, pektin berbobot molekul tinggi lebih disukai untuk
pembentukan gel (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin yang terbaik
adalah pektin yang memiliki nilai bobot ekivalen yang tinggi. Semakin
tinggi suhu dan lama ekstraksi, mutu pektin akan semakin rendah jika
dilihat dari nilai bobot ekivalennya.

5. Kadar Metoksil
Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat
di dalam pektin. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika memiliki nilai
kadar metoksil sama dengan 7% atau lebih. Jika kadar metoksil kurang
dari 7% maka pektin disebut bermetoksil rendah (Goycoolea dan Adriana,
2003).
Kadar metoksil pektin hasil ekstraksi berkisar antara 4.87 -6.95%.
Berdasarkan nilai kadar metoksil tersebut, maka pektin yang dihasilkan
dalam penelitian ini tergolong dalam pektin berkadar metoksil rendah.
Grafik hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar
metoksil pektin dapat dilihat pada Gambar 14. Grafik tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata kadar metoksil pektin akan semakin tinggi
dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.

8,00
7,00
kadar metoksil (%)

6,00
5,00 40 menit
4,00 60 menit
3,00 80 menit
2,00
1,00
0,00
65 80 95
s uhu e k s tr ak s i (˚C)

Gambar 14. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap


kadar metoksil
Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 8b memperlihatkan bahwa
waktu, suhu dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata. Kadar
metoksil tertinggi dimiliki pektin hasil ekstraksi pada suhu 95oC selama 80
menit yaitu 6.95%, sedangkan kadar metoksil terendah dimiliki pektin
hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit yaitu 4.87%. Hal ini
menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan lama ekstraksi berpengaruh
nyata terhadap kadar metoksil pektin.
Kadar metoksil pektin pada suhu ekstraksi 65oC sebesar 5.21%
semakin meningkat menjadi 6.74% pada suhu 95oC. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin hasil ekstraksi suhu
65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan
suhu 95oC.
Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan pektin dengan kadar
metoksil sebesar 5.73% dan semakin meningkat menjadi 6.34% pada
ekstraksi selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa
ekstraksi selama 40 menit menghasilkan kadar metoksil pektin yang
berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula
dengan waktu ekstraksi 80 menit.
Kadar metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan
sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan
tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin bermetoksil
tinggi membentuk gel dengan adanya gula dan asam. Kondisi yang
diperlukan untuk pembentukan gel adalah kadar gula 58-75% dengan pH
2.8-3.5. Pektin bermetoksil rendah tidak memiliki kemampuan membentuk
gel dengan adanya gula dan asam, tetapi dapat membentuk gel dengan
adanya kation polivalen (Cruess, 1958).
Perusahaan pektin biasanya menghasilkan pektin bermetoksil tinggi
meskipun ada tanaman yang menghasilkan pektin bermetoksil rendah. Ada
empat metode demetilasi termasuk yang menggunakan asam, alkali, enzim
dan amonia dalam etanol. Demetilasi dengan menggunakan asam lebih
umum digunakan untuk menghasilkan pektin bermetoksil rendah (Kertesz,
1951). Ekstraksi pektin bermetoksil tinggi lebih mudah dilakukan dengan
biaya yang lebih murah. Selain itu, sebagian besar sumber bahan bakunya
menghasilkan pektin yang bermetoksil tinggi. Pektin bermetoksil tinggi
lebih dianggap dapat memenuhi kebutuhan pasar. Jika pasar menginginkan
pektin bermetoksil rendah, maka dengan mudah pektin bermetoksil tinggi
ni dapat dirubah menjadi pektin bermetoksil rendah. Tetapi tidak
sebaliknya pada pektin bermetoksil rendah yang lebih sulit untuk dijadikan
pektin bermetoksil tinggi.
Pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk pektin
bermetoksil rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation
polivalen seperti ion kalsium. Hal ini lebih menguntungkan karena pektin
bermetoksil rendah dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses
demetilasi seperti pektin bermetoksil rendah yang diproduksi dari pektin
bermetoksil tinggi.

6. Kadar Galakturonat
Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan
penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar
galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin
(Constenla dan Lozano, 2006).
Kadar asam galakturonat pektin hasil ekstraksi berkisar antara 40.84-
71.60 % (basis basah) atau 46.70-78.82 % (basis kering) tanpa abu.
Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar asam
galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung
berdasarkan basis kering tanpa abu. Berdasarkan nilai tersebut, yang
memenuhi syarat tersebut adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC
selama 40 menit, 60 menit, 80 menit dan suhu 80oC selama 80 menit.
Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap
kadar galakturonat dapat dilihat pada Gambar 15.
80,00

kadar galakturonat (%)


60,00
40 menit
40,00 60 menit
80 menit
20,00

0,00
65 80 95
suhu ekstraksi (˚C)

Gambar 15. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap


kadar galakturonat

Gambar 15 menunjukkan bahwa kadar asam galakturonat semakin


meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu
ekstraksi. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 9b menunjukkan
bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi kedua faktor tersebut
berpengaruh nyata terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan.
Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan kadar
galakturonat sebesar 44.35% dan meningkat menjadi 67.28% pada suhu
95oC. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa suhu ekstraksi 65oC
menghasilkan kadar galakturonat pektin yang berbeda nyata dengan suhu
80oC dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu
ekstraksi akan meningkatkan kinetika reaksi hidrolisis pektin, sehingga
kadar galakturonat pektin yang dihasilkan juga meningkat.
Ekstraksi pektin selama 40 menit memiliki kadar galakturonat
51.12% dan meningkat menjadi 60.02% pada waktu ekstraksi 80 menit.
Waktu ekstraksi 40 menit menghasilkan kadar galakturonat pektin yang
berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula
dengan waktu ekstraksi 80 menit. Semakin lama waktu ekstraksi, kadar
galakturonat semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin lamanya reaksi
hidrolisis protopektin sehingga kadar galakturonat yang dihasilkan juga
semakin meningkat.
Kadar galakturonat tertinggi diperoleh pada ekstraksi dengan suhu
95oC selama 80 menit, sedangkan kagar galakturonat terendah diperoleh
pada suhu 65oC selama 40 menit. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
interaksi antara faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata
terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan.
Salah satu yang menentukan mutu pektin adalah kadar
galakturonat. Semakin tinggi nilai kadar galakturonat, maka mutu pektin
semakin tinggi. Ekstraksi pektin pada suhu 95oC selama 40, 60, dan 80
menit serta ekstraksi pada suhu 80oC selama 80 menit memiliki nilai kadar
galakturonat yang sesuai dengan standar yaitu minimal 65% (bk) tanpa
abu.

7. Derajat Esterifikasi
Menurut Whistler dan Daniel (1985), derajat esterifikasi merupakan
persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya
teresterifikasi dengan etanol. Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari
nilai kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Persentase dari
kelompok karboksil teresterifikasi oleh methanol dinamakan derajat
esterifikasi (Fennema, 1996).
Nilai derajat esterifikasi pektin hasil penelitian berkisar antara 55.13-
67.68%. Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi
terhadap derajat esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil analisa
sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa suhu, waktu, dan
interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap derajat ekivalen pektin
yang dihasilkan.

80,00
derajat esterifikasi (%)

60,00
40 menit
40,00 60 menit
80 menit
20,00

0,00
65 80 95
suhu ekstraksi (˚C)

Gambar 16. Hubungan perlakuan dan waktu ekstraksi terhadap


derajat esterifikasi
Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan derajat
esterifikasi 66.74 % dan menurun menjadi 57.03% pada suhu ekstraksi
95oC. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pektin hasil ekstraksi
suhu 65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula
dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, nilai derajat esterifikasi
semakin rendah.
Pektin yang dihasilkan dengan lama ekstraksi 40 menit memiliki
nilai derajat esterifikasi 64.07% menurun menjadi 60.64% pada ekstraksi
selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pektin yang
diekstrak selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang berbeda
nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula dengan
ekstraksi selama 80 menit. Semakin lama ekstraksi dilakukan, nilai derajat
esterifikasi semakin rendah.
Tingginya suhu dan lamanya proses ekstraksi dapat menyebabkan
degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh
adanya asam. Asam yang digunakan dalam ekstraksi pektin akan
menghidrolisa ikatan hidrogen (Kertesz, 1951). Ikatan glikosidik gugus
metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam
galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah
menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil
ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang
tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi. Reaksi deesterifikasi pektin
dapat dilihat pada Gambar 19.

+ H2O + CH3OH

Asam pektinat Air Asam pektat metanol


Gambar 17. Reaksi Deesterifikasi Pektin
Derajat esterifikasi tertinggi diperoleh pada pektin yang diekstrak
dengan suhu 65oC selama 40 menit, sedangkan derajat esterifikasi
terendah pada pektin yang diekstrak dengan suhu 95oC selama 80 menit.
Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara faktor waktu dan suhu
ekstraksi berpengaruh nyata terhadap derajat esterifikai pektin yang
dihasilkan.

8. Viskositas Relatif
Viskositas adalah karakteristik dari makromolekul yang
berhubungan langsung dengan kemampuan untuk mengalir, dan tidak
langsung berhubungan dengan ukuran dan bentuk molekul (Tanglertpaibul
dan Rao, 1987). Pada larutan yang sangat encer, pengaruh tersebut saling
tumpang tindih dan interaksi dari makromolekul tidak relevan (Chou dan
Kokini, 1987). Viskositas relatif diukur dengan melarutkan pektin dalam
air destilat.
Viskositas relatif larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara
14.50-73.3 cP. Grafik hubungan perlakuan suhu dan waktu ekstraksi
terhadap viskositas relatif pektin dapat dilihat pada Gambar 18.

80,00
70,00
60,00
viskositas (cP)

50,00 40 menit
40,00 60 menit
30,00 80 menit
20,00
10,00
0,00
65 80 95
suhu ekstraksi (˚C)

Gambar 18. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap


viskositas relatif

Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan


semakin lama waktu ekstraksi maka viskositas larutan pektin semakin
rendah. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 11b. menunjukkan
bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
terhadap viskositas relatif larutan pektin.
Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi suhu 65oC sebesar
56.02 cP turun menjadi 16.87 cP pada ekstraksi suhu 95oC. Larutan pektin
hasil ekstraksi suhu 65oC memiliki viskositas relatif yang berbeda nyata
dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan ekstraksi pada suhu
95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, viskositas relatif larutan pektin
semakin rendah.
Pektin yang diekstrak selama 40 menit memiliki viskositas relatif
sebesar 42.77 cP dan turun menjadi 26.99 cP pada ekstraksi selama 80
menit. Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi selama 40 menit
berbeda nyata dengan 60 menit dan berbeda nyata pula dengan 80 menit.
Viskositas tertinggi diperoleh pada larutan pektin hasil ekstraksi
suhu 65oC selama 40 menit yaitu 73.3 cP dan terendah pada ekstraksi suhu
95oC selama 80 menit yaitu 14.50 cP. Hal tersebut menunjukkan bahwa
interaksi faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap
viskositas larutan pektin. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu
ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi depolimerisasi
yang akan memperkecil nilai viskositas larutan pektin yang dihasilkan.
Menurut Padival et al (1979), karakteristik gel, dan bobot molekul
menurun dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Kim et al (1978)
menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan akan memperkecil
terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Viskositas pektin juga
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti suhu, konsentrasi larutan, pH,
dan keberadaan garam (Constenla dan Lozano, 2006).

C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial


Penentuan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Bayes dengan
semua parameter memiliki bobot yang sama. Perhitungan pektin terbaik dapat
dilihat pada Tabel 5. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat
pada Gambar 19.
Pektin komersial

Pektin ekstraksi suhu


Pektin ekstraksi suhu
65oC selama 40 menit
95oC selama 40 menit

Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian


Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin
kadar berat kadar kadar derajat viskositas
Karakteristik rendemen abu ekivalen metoksil galakturonat esterifikasi relatif Jumlah Peringkat
Bobot 0,2 0,16 0,16 0,12 0,16 0,12 0,08 1
40 menit 65 oC 1 9 9 1 1 9 9 5,16 4
o
40 menit 80 C 4 8 6 4 4 6 6 5,36 2
40 menit 95 oC 7 7 3 7 7 3 3 5,56 1
o
60 menit 65 C 2 6 8 2 2 8 8 4,80 7
60 menit 80 oC 5 5 5 5 5 5 5 5,00 5
o
60 menit 95 C 8 4 2 8 8 2 2 5,20 3
80 menit 65 oC 3 3 7 3 3 7 7 4,44 9
o
80 menit 80 C 6 2 4 6 6 4 4 4,64 8
80 menit 95 oC 9 1 1 9 9 1 1 4,84 6

Rendemen terbaik dipilih dengan mengambil perlakuan ekstraksi yang


menghasilkan rendemen tertinggi yaitu pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC
selama 80 menit. Perlakuan lainnya yang menghasilkan nilai rendemen
tertinggi adalah ekstraksi pada suhu 95oC selama 60 menit dan ekstraksi pada
suhu 95oC selama 40 menit.
Kadar air dapat mempengaruhi umur simpan bahan. Kadar air yang
tinggi dapat memicu aktivitas mikroorganisme. Pektin bersifat higroskopis
atau mudah menyerap air dan kadar airnya dipengaruhi oleh derajat
pengeringan. Derajat pengeringan yang tinggi akan menghasilkan pektin
dengan kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi mempengaruhi
perhitungan rendemen sehingga nilai rendemen lebih tinggi dari nilai
sebenarnya. Kadar air tidak diperhitungkan dalam penentuan pektin terbaik
karena kadar air pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah memenuhi
standar yaitu dibawah 12%, selain itu kadar air dianggap sebagai parameter
yang dapat diatur sesuai kebutuhan dalam perdagangan.
Tingkat kemurnian pektin ditentukan oleh kadar abu. Semakin tinggi
kadar abu dalam pektin, maka tingkat kemurniannya semakin rendah. Kadar
abu terendah diperoleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40
menit.
Berat ekivalen menunjukkan kandungan gugus asam galakturonat bebas
dalam rantai molekul pektin. Semakin rendah kandungan gugus asam
galakturonat bebas, berat ekivalen pektin semakin tinggi. Nilai berat ekivalen
yang dipilih adalah yang memiliki nilai tertinggi dari semua perlakuan. Berat
ekivalen tertinggi dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama
40 menit.
Berdasarkan kadar metoksilnya, pektin dibedakan atas pektin
bermetoksil tinggi dan pektin bermetoksil rendah. Pektin yang dihasilkan
dalam penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena nilainya kurang
dari 7%. Pektin bermetoksil rendah lebih banyak digunakan karena mampu
membentuk gel tanpa adanya gula dan asam. Pektin terbaik adalah yang
memiliki nilai tertinggi tetapi lebih kecil dari 7%. Dalam hal ini dipilih pektin
hasil ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit.
Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar
asam galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung
berdasarkan basis kering tanpa abu. Pektin terbaik memiliki nilai kadar
galakturonat yang tertinggi. Kadar galakturonat tertinggi dimiliki oleh pektin
yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80 menit.
Menurut Hoejgaard (2004), pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini
termasuk pektin berkadar ester tinggi dengan nilai derajat esterifikasi di atas
50%. Pektin yang terbaik adalah yang memiliki nilai tertinggi yaitu hasil
ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit.
Viskositas relatif menggambarkan kekuatan gel yang mampu dibentuk
oleh pektin. Pektin terbaik adalah yang memiliki nilai viskositas relatif
tertinggi yaitu hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit.
Dari hasil analisa diperoleh peringkat satu pada perlakuan ekstraksi suhu
95oC selama 40 menit, sehingga dipilih sebagai perlakuan terbaik dan
dibandingkan dengan karakteristik pektin komersial. Selain dibandingkan
dengan pektin terbaik hasil penelitian, pektin komersial juga dibandingkan
dengan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terendah. Jika perlakuan suhu dan
waktu terendah memiliki nilai sesuai dengan yang ditetapkan pada standar
pektin komersial, maka hal ini akan menguntungkan dalam aplikasi. Pada
industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan
meningkatkan biaya produksi.
Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial
Pektin Hasil Pektin Hasil
Parameter Nilai Penelitian Penelitian Pektin
Standar (65oC, 40 menit) (95oC, 40 menit) Komersial
Kadar air (%) 12 11.91 8.44 12.00
Kadar abu (%) 1 0.64 0.87 1.33
Berat ekivalen - 1334.11 739.78 877.41
Kadar metoksil (%) <7 4.87 6.47 4.21
Kadar galakturonat (%) 65 (bk) 46.70 (bk) 66.77 (bk) 44.19 (bk)
Derajat esterifikasi - 67.68 60.71 62.35
Viskositas (cP) - 73.30 20.00 18.3

Secara fisik pektin yang dihasilkan dalam penelitian tidak berbeda


dengan pektin komersial. Kadar air yang dimiliki pektin komersial lebih tinggi
daripada pektin hasil penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit. Pektin hasil
penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit, suhu 65oC selama 40 menit, dan
pektin komersial memiliki nilai yang memenuhi standar Food Chemical
Codex (1996) dan The Council Of The European Communities (1998) yaitu
sebesar 12%.
Kadar abu pektin komersial melebihi nilai standar Food Chemical Codex
(1996) yaitu sebesar 1%. Pektin hasil penelitian memiliki nilai kadar abu yang
memenuhi nilai standar. Kadar abu menunjukkan tingkat kemurnian. Semakin
tinggi kadar abu, maka tingkat kemurnian pektin semakin rendah.
Pektin hasil penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena kadar
metoksil lebih rendah dari 7%. Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit
memiliki nilai kadar metoksil yang lebih tinggi dari pektin komersial. Pektin
ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki nilai kadar metoksil yang
sedikit lebih tinggi dari pektin komersial.
Berat ekivalen pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit sedikit lebih
rendah dari pektin komersial, sedangkan pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40
menit memiliki nilai lebih tinggi dari pektin komersial. Kadar galakturonat
pektin hasil penelitian suhu 65oC dan 95oC selama 40 menit lebih tinggi dari
nilai pektin komersial. Kadar galakturonat pektin komersial dan pektin hasil
ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak memenuhi standar nilai yang
ditetapkan Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of The European
Communities (1998) yaitu minimal 65% (bk) tanpa abu.
Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit memiliki nilai derajat
esterifikasi yang lebih rendah dari pektin komersial. Pektin ekstraksi suhu
65oC selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang lebih tinggi dari
pektin komersial. Viskositas relatif pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40
menit sedikit lebih tinggi dari pektin komersial, sedangkan viskositas relatif
pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit jauh lebih tinggi dari pektin
komersial.
Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang
ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of
The European Communities (1998) yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar
galakturonat, dan kadar metoksil. Dari keempat parameter tersebut, pektin
hasil penelitian ekstraksi suhu 65oC dan 95oC memiliki nilai yang lebih tinggi
dari pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil
ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki mutu yang lebih baik dari
pektin komersial. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak
memenuhi standar karena nilai kadar galakturonat berada di bawah nilai
standar yaitu kurang dari 65% (bk) tanpa abu. Yang memenuhi keempat
persyaratan nilai standar adalah pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40
menit.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Limbah industri sari buah jeruk berupa ampas jeruk Pontianak dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pektin. Hasil analisa proksimat
memperlihatkan bahwa kadar air ampas jeruk cukup tinggi yaitu sebesar
82.48%. Reaksi browning pada saat pengeringan bahan karena kadar protein
dan karbohidratnya yang cukup tinggi dapat mempengaruhi warna pectin yang
dihasilkan. Dari hasil penelitian pendahuluan, diperoleh ampas segar sebagai
bahan baku yang terbaik untuk penelitian utama dengan rendemen 14.68% bk.
Penelitian utama menghasilkan pektin yang memenuhi standar Food
Chemical Codex. Rendemen pektin yang dihasilkan dalam penelitian berkisar
antara 13.67-16.32%. Rendemen tertinggi diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC
selama 80 menit. Kadar air pektin yang dihasilkan kurang dari 12% yaitu
sekitar 7.94-11.91%. Kadar air terendah diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC
selama 80 menit. Kadar abu pada ekstraksi selama 40 dan 60 menit memiliki
kadar abu kurang dari 1%. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar
antara 548.07-1334.11. Berat ekivalen tertinggi diperoleh pada pektin
ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit.
Pektin yang dihasilkan dalam penelitian termasuk dalam pektin
bermetoksil rendah dengan nilai kadar metoksil 4.87-6.95%. Pektin yang
memenuhi syarat kadar galakturonat minimum 65% basis kering tanpa abu
adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 40 menit, 60 menit, 80
menit dan suhu 80oC selama 80 menit. Pektin yang dihasilkan memiliki
derajat esterifikasi sekitar 55.13-67.68. Derajat esterifikasi tertinggi dimiliki
oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Viskositas relatif
larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara 14.50-73.30 cP. Viskositas
relative tertinggi diperoleh pada larutan pektin yang diekstrak pada suhu 65oC
selama 40 menit.
Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin
hasil penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu
95oC dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang
terbaik dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan
dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical
Codex yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar
metoksil. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit juga memiliki
mutu yang lebih baik dari pektin komersial tetapi kadar galakturonatnya tidak
sesuai dengan standar mutu pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter
tersebut, pektin terbaik yaitu hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit
memiliki mutu yang lebih baik dari pektin komersial dan memenuhi standar
mutu pectin komersial.

B. Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang ekstraksi ampas jeruk pada
suhu lebih dari 95oC dan waktu ektraksi lebih dari 80 menit.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah
dihasilkan.
3. Perlu adanya analisa kelayakan dari penelitian ini untuk mengetahui
seberapa besar industri ini dapat dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA

Albrigo, L. G dan R. D Carter. Structure of Citrus Fruit in Reaction to Processing


di dalam S. Nagy, P. E. Shaw, dan M. K. Veldhuis (eds). Citrus Science and
Technology Volume I. The AVI Publishing Company Inc. West Point,
Connecticut.

Baker, R. A. 1994. Pectin. Carbohydrate Polymer. 12: 133-138.

Biro Pusat Statistik. 2001. Statistik Perdagangan Ekspor Impor Indonesia. Biro
Pusat Statistik. Jakarta.

Caplin, M. 2004. Pectin. http://www.lsbu.ac.uk/water/hypec.html

Chang, K. C., Dhurandhar, N., You, X. dan Miyamoto, A. 1994. Cultivar/


Location and Processing Methods Affect The Quality of SunFlower Pectin.
J. Food Sci., 59: 602-612.

Chang, K. C. dan Miyamoto A. 1992. Gelling Characteristics of Pectin from


Sunflower Head Residue. Di dalam Sahari. M. A., A. Akbarian dan M.
Hamedi. 2002. Effect of Variety and Acid Washing Method on Extraction
Yield and Quality of Sunflower Head Pektin. J. Food Chemistry, 83:43-47.

Chou, T.D. and J.L. Kokini. 1987. Rheological Properties and Conformation of
Tomato Paste Pectins, Citrus and Apple Pectins, J. Food Science 52(6):
1658-1664.

Constenla, D., A.G. Ponce and J.E. Lozano. 2002. Effect of Pomace Drying on
Apple Pectin. Lebensmittel Wissenschaft und Technology. 35(3): 216-221.

Constenla, D. dan J.E. Lozano. 2006. Kinetic Model of Pectin Demethylation.


http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1516-8913200500
0200013

Cruess, W.V. 1958. Commercially Fruits and Vegetable Products. McGraw Hill
Book Co, New York.

Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat. 2004. Pektin
Markisa. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/pengolahan_pangan_idx.php?
doc=6d26

Dinu, D. 2001, Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran.


Roumanian Biotechnology Letter, 6: 37-43.

Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Panduan Pasca Panen
dan Pengolahan Jeruk. Departemen Pertanian. Jakarta.
Fardiaz, Dedi. 1984. Pemanfaaatan Limbah Jeruk Sebagai Bahan Pembuat Pektin.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian. Bogor.

Fennema. 1996. Food Chemistry. Edisi 3. Marcel Dekker. Inc., New York.

Food Chemical Codex. 1996. Pectins. http://arjournals.annualreviews.org/doi/abs/


10.1146/annurev.bi.20.070151.000435

Fitriani, V. 2002. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon
(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian. Bogor.

Goycoolea, F.M. dan Adriana Cardenas. 2003. Pectins from Opuntia Spp. : A
Short Review. J.PACD. 17-29.

Guichard, E. S., A, Issanchou., Descovieres dan P. Etievant. 1991. Pectin


Concentration, Molekular Weight and Degree of Esterification. Influence on
Volatile Composition and Sensory Caracteristic of Strawberry Jam. J. Food
Science, 56:1621

Glicksman. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academic Press. New
York.

Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreith-


fox.de/pektin/forschung und entwicklung /forschung_entwicklung04a.htm

Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Funcionality, and Applications.


http://www.cpkelco.com/Ptalk/ptalk.htm.

Hwang, Jae-Kwan; Kim, Chul-Jin and Kim, Chong-Tai (1998), Extrusion of


Apple Pomace Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, 63:
841-844.

IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin.


http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm.

Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol


Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food
Chemistry 73 : 393 – 396.

Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc., New York

Kim, W.J., C.J.B. Smit dan V.N.M. Rao. 1978. Demethylation of Pectin Using
Acid and Ammonia, Journal of Food Science. 43, 74-78 .

Kurniasih, Nia. 2004. Jeruk Kurangi Resiko Kanker. http://pikiran-


rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya03.htm.
May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production, and Application.
Carbohydrate Polymer. 12: 79-84.

McCready, R.M. 1965. Extraction of the Pectin from the Citrus Peels and
Preservation of Pectin Acid. Method Carbohydrate Chem, 8:167-170.

National Research Development Corporation. 2004. High Grade Pectin From


Lime Peels. http://www. nrdcindia.com/pages/pect.htm.

O’Neill, M., P. Albersheim, dan A. Darvil. 1990. Methods in Plant Biochemistry.


2: 514-441.

Padival, R.A., S. Ranganna and S.P. Manjrekar. 1979. Low Methoxyl Pectins
from Lime Peel, J. Food Technology. 14: 333-342 .

Pagán, J.; Ibarz, A.; Llorca M.; Pagán A. and Barbosa-Cánovas G. V. 2001,
Extraction and characterization of pectin from stored peach pomace. Food
Research International, 34: 605-612.

Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. McGraw


Hill, New Delhi.

Rouse, A.H. 1977. Pectin: Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E.


Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1.
The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut.

Rouse dan Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and lemon Peel as Extracted by
Nitric Acid. Di dalam Attri, B.L. dan Maini. 1996. Pectin from Galgal
(Citrus pseudolimon Tan.) Peel. Bioresources Technology, 55: 89-91.

Sarwono, B. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Smith dan Bryant. 1968. Properties of Pectin Fraction Separated on


Diethylleaminoethyl-Cellulose Columns. Di dalam Nelson, D.B., C.J.B.
Smith dan R.L Wiles. 1977. Commercially Important Pectic Substances.
AVI Publ. Inc., Westport, Connecticut.

Suradi, K., 1984. Ekstraksi, Isolasi dan Karakterisasi Pektin dari Beberapa Jenis
Kulit Jeruk. Thesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tanglertpaibul, T. and M.A. Rao. 1987. Intrinsic Viscosity of Tomato Serum as


Affected by Method of Determination and Methods of Processing
Concentrates, J. Food Science 52(6): 1642-1645.

The Council Of The European Communities, 1998.


http://www.legaltext.ee/text/en/T41047.htm
Towle, G.A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Di dalam R.L Whistler (ed.)
Industrial Gum. Academic Press, New York.

Visser, A., G. J. Voragen. Pectins and Pectinases. J. Food Chemistry. !4: 25-35.

Willats, WGT.,J. Paul Knox dan Jorn D.M, 2006. Pectin : New Insights Into An
Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science & Technology.
17: 97-104.

Whistler, R.L dan Daniel. 1985. Industrial Gum. Academic Press, New York.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.
Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk
Lampiran 2. Analisa Bahan

1. Kadar Air (Ranganna, 1977)


Sebanyak satu gram contoh dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC
selama 4 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot yang tetap.
% Kadar air (bb) = a x 100 % Kadar air (bk) = a x 100
B (b-a)
Dimana a = kehilangan bobot pektin
b = bobot awal pektin
2. Kadar Abu (Ranganna, 1977)
Cawan porselin dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian
didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai wadah. Satu gram
contoh ditimbang di dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya.
Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu 600oC selama 3 – 4 jam. Abu
yang telah diperoleh didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot konstan.
Kadar abu (%) = bobot abu x 100
bobot contoh
3. Kadar Lemak (Balit Pasca Panen Pertanian)
Sampel ampas jeruk pontianak sebanyak lima gram dibungkus dengan
kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam soxlet dan ditambahkan pelarut
n-hexan sebanyak 200 ml. Sampel diekstrak selama enam jam. Setelah selesai,
labu lemak yang menampung hasil ekstraksi diuapkan sampai pelarutnya
habis. Labu lemak dikeringkan di dalam oven. Labu lemak yang sudah kering
didinginkan dan ditimbang.
Kadar lemak (%) = (berat labu + lemak hasil ekstraksi) – berat labu x 100%
bobot contoh
4. Kadar Protein (Balit Pasca Panen Pertanian)
Sampel sebanyak 0.2 gram ditambahkan katalis selen dan ditambahkan 5
ml H2SO4 pekat. Sampel tersebut didekstruksi selama satu jam yaitu sampai
larutan berwarna jernih. Setelah didekstruksi, sampel didiamkan terlebih
dahulu sampai uapnya hilang, kemudian dibilas dengan akuades dan
ditambahkan 30 ml NaOH 30%. Sampel selanjutnya didestilasi dan
penampungnya adalah Erlenmeyer yang berisi 15 ml asam borat 4%. Pada
tahap ini asam borat akan berubah warna dari merah menjadi hijau. Destilasi
dihentikan setelah penampung berubah volumenya menjadi 45 – 50 ml (tiga
kali lipatnya). Larutan hasil tampungan dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai
berubah warna dari hijau menjadi merah.
Kadar N = ml HCl x N HCl x 14 x 100 %
mg sampel
Kadar protein = kadar nitrogen x 6.25

5. Kadar Serat Kasar (SNI)


Sampel ditimbang sebanyak 2-4 gram kemudian dibebaskan lemaknya
dengan cara ekstraksi dengan Soxlet atau dengan cara mengaduk dan
mencampur contoh dengan pelarut organic sebanyak tiga kali berat,. Contoh
dikeringkan dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer 500 ml, kemudian
ditambahkan 50 ml NaOH 1.25% dan dididihkan selama 30 menit dengan
menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml NaOH 3.25%
dan dididihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas, disaring dengan
corong Bucher yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54.41/541 yang
telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas
saring dicuci berturut-turut dengan menggunakan H2SO4 1025% panas, air
panas, dan etanol. Kertas saring beserta isinya dimasukkan kedalam kotak
timbang yang telah diketahui bobotnya, kemudian dikeringkan pada suhu
105oC, didinginkan dan ditimbang sampai bobot konstan. Bila ternyata kadar
serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring beserta isinya diabukan.
Bila serat kasar < 1%, % serat kasar = w x 100%
w2

Bila serat kasar > 1%, % serat kasar = w-w1 x 100%


w2

w : bobot contoh (g)


w1 : bobot abu (g)
w2 : bobot endapan (g)
6. Berat Ekivalen (BE) (Ranganna, 1977)
Pektin sebanyak 0.5 gram dibasahi dengan 5 ml etanol dan dilarutkan
dalam 100 ml air suling bebas karbonat yang berisi satu gram NaCl. Larutan
hasil campuran tersebut dititrasi perlahan-lahan dengan 0.1 N NaOH memakai
indikator fenol merah sampai terjadi perubahan menjadi merah kekuningan
(pH 7.5) yang bertahan sedikitnya 30 detik.
Berat Ekivalen (BE) = bobot contoh (mg)
ml NaOH x N NaOH
7. Kandungan metoksil (Ranganna, 1977)
Larutan netral dari penentuan BE ditambah 25 ml larutan 0.25 N NaOH,
dikocok dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam keadaan
tertutup. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan 0.25 N HCl dan dititrasi
dengan larutan 0.1 N NaOH dengan indikator fenol merah sampai titik akhir
seperti pada penentuan BE.
Kadar metoksil (%) = ml NaOH x 31 x N NaOH x 100
Bobot contoh (mg)
Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH3O
8. Kadar galakturonat (McCready, 1965)
Kadar galakturonat dihitung dari µek (miliekivalen) NaOH yang diperoleh
dari penentuan BE dan kandungan metoksil.
% galakturonat = µek (BE + metoksil) x 176 x 100
Bobot contoh (mg)
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat
9. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965)
Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar galakturonat
yang telah diperoleh.
DE (%) = Kadar metoksil x 176 x 100
Kadar galakturonat x 31
10. Viskositas Larutan Pektin (Goycoolea dan Adriana, 2003)
Viskositas pektin diukur dengan menggunakan viskosimeter. Nilai
viskositas dalam satuan centipoises (cP). Spindel yang digunakan adalah
spindel nomer 3 dengan kecepatan 60 rpm.
Lampiran 3a. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan Terhadap
Rendemen Pada Penelitian Pendahuluan
Perlakuan Kadar air bahan Rendemen (%bk)
(%) Ulangan1 Ulangan 2 rata-rata
ampas segar 84,26 14,61 14,74 14,68
oven 5 jam 58,01 13,85 14,74 14,29
oven 10 jam 15,89 13,72 14,10 13,91
oven 15 jam 13,21 11,94 12,33 12,13
jemur 1 hari 48,84 13,09 13,85 13,47
jemur 2 hari 15,29 12,58 13,09 12,83
jemur 3 hari 12,63 11,18 11,44 11,31

Lampiran 3b. Uji analisis keragaman rendemen pektin pada penelitian


pendahuluan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Rendemen
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 17,567(a) 6 2,928 20,385 ,000
Intercept 2451,519 1 2451,519 17068,464 ,000
Perlakuan 17,567 6 2,928 20,385 ,000
Error 1,005 7 ,144
Total 2470,092 14
Corrected Total 18,573 13
a R Squared = ,946 (Adjusted R Squared = ,899)

Lampiran 3c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan


Terhadap Rendemen

Rendemen
Duncan
Subset
Perlakuan N 1 2 3 4 5
jemur 3 hari 2 11,3100
oven 15 jam 2 12,1350 12,1350
jemur 2 hari 2 12,8350 12,8350
jemur 1 hari 2 13,4700 13,4700
oven 10 jam 2 13,9100 13,9100
oven 5 jam 2 14,2950 14,2950
ampas segar 2 14,6750
Sig. ,066 ,107 ,138 ,075 ,093
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,144.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 4a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap
Rendemen
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 13,35 13,77 13,89 13,67
40' 80 C 14,32 14,40 14,74 14,49
40' 95 C 14,91 15,33 14,42 14,89
60' 65 C 13,85 13,98 14,40 14,08
60' 80 C 14,49 14,57 14,65 14,57
60' 95 C 14,40 16,65 15,37 15,47
80' 65 C 14,15 14,27 14,70 14,37
80' 80 C 14,53 14,65 14,82 14,67
80' 95 C 16,05 16,31 16,60 16,32

Lampiran 4b. Uji Analisis Keragaman Rendemen Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: rendemen
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 14,614(a) 8 1,827 8,742 ,000
Intercept 5854,145 1 5854,145 28013,240 ,000
waktu 2,688 2 1,344 6,431 ,008
suhu 10,702 2 5,351 25,606 ,000
waktu * suhu 1,224 4 ,306 1,465 ,254
Error 3,762 18 ,209
Total 5872,521 27
Corrected Total 18,376 26
a R Squared = ,795 (Adjusted R Squared = ,704)

Lampiran 4c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2
40' 9 14,3478
60' 9 14,7067 14,7067
80' 9 15,1200
Sig. ,113 ,071
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,209.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 4d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Rendemen
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
65 C 9 14,0400
80 C 9 14,5744
95 C 9 15,5600
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,209.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 4e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Rendemen
kombinasi suhu dan waktu
Duncan
Subset
Perlakuan N 1 2 3 4
40 ' 65 3 13,6700
60 ' 65 3 14,0767 14,0767
80 ' 65 3 14,3733 14,3733
40 ' 80 3 14,4867 14,4867
60 ' 80 3 14,5700
80 ' 80 3 14,6667 14,6667
40 ' 95 3 14,8867 14,8867
60 ' 95 3 15,4733
80 ' 95 3 16,3200
Sig. ,058 ,068 ,054 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,209.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05

Lampiran 5a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Air
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 11,97 11,80 11,97 11,91
40' 80 C 11,38 11,01 11,14 11,18
40' 95 C 8,59 8,39 8,34 8,44
60' 65 C 11,86 11,57 11,79 11,74
60' 80 C 11,15 11,10 11,10 11,12
60' 95 C 8,72 8,27 7,89 8,29
80' 65 C 11,38 11,49 11,49 11,45
80' 80 C 8,35 8,55 8,55 8,48
80' 95 C 7,98 7,86 7,98 7,94
Lampiran 5b. Uji Analisis Keragaman Kadar Air Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kadarair
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 69,864(a) 8 8,733 279,803 ,000
Intercept 2733,503 1 2733,503 87581,095 ,000
waktu 8,069 2 4,034 129,259 ,000
suhu 54,951 2 27,476 880,317 ,000
waktu * suhu 6,844 4 1,711 54,817 ,000
Error ,562 18 ,031
Total 2803,929 27
Corrected Total 70,425 26
a R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,988)

Lampiran 5c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2
80' 9 9,2922
60' 9 10,3833
40' 9 10,5100
Sig. 1,000 ,146
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,031.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 5d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
95 C 9 8,2244
80 C 9 10,2589
65 C 9 11,7022
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,031.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 5e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Kadar Air
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Subset
Perlakuan N 1 2 3 4 5 6
80 ' 95 3 7,9400
60 ' 95 3 8,2933
40 ' 95 3 8,4400
80 ' 80 3 8,4833
60 ' 80 3 11,1167
40 ' 80 3 11,1767 11,1767
80 ' 65 3 11,4533 11,4533
60 ' 65 3 11,7400 11,7400
40 ' 65 3 11,9133
Sig. 1,000 ,228 ,682 ,071 ,062 ,245
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,031.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 6a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Abu
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 0,62 0,69 0,62 0,64
40' 80 C 0,66 0,71 0,71 0,69
40' 95 C 0,88 0,86 0,86 0,87
60' 65 C 0,89 0,87 0,9 0,89
60' 80 C 0,95 0,94 0,85 0,91
60' 95 C 0,99 0,99 1,01 1,00
80' 65 C 1,12 0,99 0,99 1,03
80' 80 C 1,02 1,12 1,02 1,05
80' 95 C 1,18 1,23 1,26 1,22

Lampiran 6b. Uji Analisis Keragaman Kadar Abu Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kadarabu
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model ,781(a) 8 ,098 52,929 ,000
Intercept 23,019 1 23,019 12480,018 ,000
waktu ,613 2 ,307 166,289 ,000
suhu ,155 2 ,078 42,042 ,000
waktu * suhu ,012 4 ,003 1,693 ,195
Error ,033 18 ,002
Total 23,833 27
Corrected Total ,814 26
a R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,941)
Lampiran 6c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2 3
40' 9 ,7344
60' 9 ,9322
80' 9 1,1033
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,002.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 6d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2
65 C 9 ,8544
80 C 9 ,8867
95 C 9 1,0289
Sig. ,129 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,002.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 6e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Kadar Abu
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Subset
Perlakuan N 1 2 3 4
40 ' 65 3 ,6433
40 ' 80 3 ,6933
40 ' 95 3 ,8667
60 ' 65 3 ,8867
60 ' 80 3 ,9133
60 ' 95 3 ,9967
80 ' 65 3 1,0333
80 ' 80 3 1,0533
80 ' 95 3 1,2233
Sig. ,171 ,223 ,142 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,002.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 7a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat
Ekivalen
Waktu suhu ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 rata-rata
40' 65 C 1377,8380 1310,7140 1313,7780 1334,1100
40' 80 C 906,7742 989,2157 916,9091 937,6330
40' 95 C 740,4225 738,3824 740,5405 739,7818
60' 65 C 1256,7500 1267,0270 1206,0000 1243,2590
60' 80 C 899,8077 884,5313 854,5593 879,6328
60' 95 C 562,8889 599,4059 533,9175 565,4041
80' 65 C 1026,9090 1038,2980 1044,1670 1036,4580
80' 80 C 767,5758 764,5588 769,7692 767,3013
80' 95 C 562,3596 546,0241 535,8333 548,0723

Lampiran 7b. Uji Analisis Keragaman Berat Ekivalen Pektin Pada Penelitian
Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: beratekivalen
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1816670,063(a) 8 227083,758 319,514 ,000
Intercept 21609701,408 1 21609701,408 30405,554 ,000
waktu 217626,755 2 108813,377 153,104 ,000
suhu 1564597,007 2 782298,504 1100,719 ,000
waktu * suhu 34446,301 4 8611,575 12,117 ,000
Error 12792,881 18 710,716
Total 23439164,351 27
Corrected Total 1829462,944 26
a R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,990)

Lampiran 7c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Berat
Ekivalen
waktu
Duncan
waktu N Subset
1 2 3
80' 9 783,943867
60' 9 896,098622
40' 9 1003,841600
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 710,716.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 7d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Berat
Ekivalen
suhu
Duncan
suhu N Subset
1 2 3
95 C 9 617,752744
80 C 9 861,522344
65 C 9 1204,609000
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 710,716.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 7e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Berat Ekivalen
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6 7
80 ' 95 3 548,0723
60 ' 95 3 565,4041
40 ' 95 3 739,7818
80 ' 80 3 767,3012
60 ' 80 3 879,6327
40 ' 80 3 937,6330
80 ' 65 3 1036,4580
60 ' 65 3 1243,2590
40 ' 65 3 1334,1100
Sig. ,436 ,222 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 710,716.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05

Lampiran 8a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Metoksil
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 4,8730 4,7636 4,9689 4,8685
40' 80 C 5,7409 5,8549 5,9342 5,8433
40' 95 C 6,5782 6,3593 6,4866 6,4747
60' 65 C 5,0472 5,0306 5,0092 5,0290
60' 80 C 6,0768 6,2738 6,1233 6,1580
60' 95 C 6,6849 6,7794 6,8748 6,7797
80' 65 C 5,6397 5,8218 5,7168 5,7261
80' 80 C 6,2900 6,3741 6,3700 6,3447
80' 95 C 6,8252 7,0907 6,9434 6,9531
Lampiran 8b. Uji Analisis Keragaman Kadar Metoksil Pektin Pada Penelitian
Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kadarmetoksil
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 12,614(a) 8 1,577 176,594 ,000
Intercept 109578,44
978,386 1 978,386 ,000
2
waktu 1,701 2 ,850 95,242 ,000
suhu 10,630 2 5,315 595,253 ,000
waktu * suhu ,284 4 ,071 7,941 ,001
Error ,161 18 ,009
Total 991,161 27
Corrected Total 12,775 26
a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,982)

Lampiran 8c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Metoksil
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2 3
40' 9 5,728844
60' 9 5,988889
80' 9 6,341300
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,009.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 8d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar
Metoksil
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
65 C 9 5,207867
80 C 9 6,115333
95 C 9 6,735833
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,009.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 8e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Kadar Metoksil
kadarmetoksil
Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6
40 ' 65 3 4,868500
60 ' 65 3 5,029000
80 ' 65 3 5,726100
40 ' 80 3 5,843333
60 ' 80 3 6,157967
80 ' 80 3 6,344700
40 ' 95 3 6,474700
60 ' 95 3 6,779700
80 ' 95 3 6,953100
Sig. ,052 ,146 1,000 ,109 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,009.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 9a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Galakturonat
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 40,4397 40,4728 41,6070 40,8398
40' 80 C 52,0030 51,0326 52,8859 51,9738
40' 95 C 61,1174 59,9403 60,5936 60,5504
60' 65 C 42,6594 42,4516 43,0330 42,7147
60' 80 C 54,0603 55,5165 55,3600 54,9789
60' 95 C 69,2203 67,8519 71,9950 69,6891
80' 65 C 49,1578 50,0036 49,3122 49,4912
80' 80 C 58,6403 59,2083 59,0292 58,9592
80' 95 C 70,0462 72,4899 72,2666 71,6009

Lampiran 9b. Data Hasil Kadar Galakturonat (% Bk Tanpa Abu) Pada Pektin
Hasil Penelitian Utama
ulangan ulangan rata-
waktu suhu ulangan 1 2 3 rata
40' 65 C 46,264386 46,24929 47,59983 46,7045
40' 80 C 59,121145 57,80765 59,99531 58,9747
40' 95 C 67,510673 66,04992 66,73301 66,7645
60' 65 C 48,893349 48,48288 49,28763 48,8880
60' 80 C 61,502021 63,11566 62,87331 62,4970
60' 95 C 76,664362 74,77618 79,02856 76,8230
80' 65 C 56,18029 57,13393 56,34394 56,5527
80' 80 C 64,702967 65,54661 65,27608 65,1752
80' 95 C 77,109449 79,73808 79,62388 78,8238
Lampiran 9c. Uji Analisis Keragaman Kadar Galakturonat Pektin Pada Penelitian
Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kadargalakturonat
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2775,153(a) 8 346,894 349,096 ,000
Intercept 83599,590 1 83599,590 84130,218 ,000
waktu 356,409 2 178,204 179,336 ,000
suhu 2367,918 2 1183,959 1191,474 ,000
waktu * suhu 50,826 4 12,707 12,787 ,000
Error 17,886 18 ,994
Total 86392,630 27
Corrected Total 2793,040 26
a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,991)

Lampiran 9d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar
Galakturonat
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2 3
40' 9 51,121367
60' 9 55,794222
80' 9 60,017122
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,994.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 9e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar
Galakturonat
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
65 C 9 44,348567
80 C 9 55,304011
95 C 9 67,280133
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,994.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 9f. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Kadar Galakturonat
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Perlakua
n N Subset
1 2 3 4 5 6 7 8
40 ' 65 3 40,8398
60 ' 65 3 42,7146
80 ' 65 3 49,4912
40 ' 80 3 51,9738
60 ' 80 3 54,9789
80 ' 80 3 58,9592
40 ' 95 3 60,5504
60 ' 95 3 69,6890
80 ' 95 3 71,6009
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 ,066 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,994.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 10a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap
Derajat Esterifikasi
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 68,4131 66,8226 67,8023 67,6794
40' 80 C 62,6762 65,1363 63,7050 63,8392
40' 95 C 61,1073 60,2340 60,7773 60,7062
60' 65 C 67,1717 67,2785 66,0872 66,8458
60' 80 C 63,8187 64,1592 62,7973 63,5917
60' 95 C 54,8293 56,7257 54,2136 55,2562
80' 65 C 65,1351 66,1008 65,8187 65,6849
80' 80 C 60,8983 61,1206 61,2666 61,0952
80' 95 C 55,3199 55,5345 54,5488 55,1344

Lampiran 10b. Uji Analisis Keragaman Derajat Esterifikasi Pektin Pada


Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: derajatesterifikasi
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 509,897(a) 8 63,737 103,069 ,000
Intercept 168938,89
104470,946 1 104470,946 ,000
7
waktu 54,413 2 27,206 43,995 ,000
suhu 429,291 2 214,645 347,101 ,000
waktu * suhu 26,194 4 6,548 10,589 ,000
Error 11,131 18 ,618
Total 104991,974 27
Corrected Total 521,028 26
a R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,969)
Lampiran 10c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat
Esterifikasi
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2 3
80' 9 60,638144
60' 9 61,897911
40' 9 64,074900
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,618.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 10d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Derajat
Esterifikasi
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
95 C 9 57,032267
80 C 9 62,842022
65 C 9 66,736667
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,618.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 10e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Derajat Esterifikasi
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Subset
Perlakuan N 1 2 3 4 5
80 ' 95 3 55,134400
60 ' 95 3 55,256200
40 ' 95 3 60,706200
80 ' 80 3 61,095167
60 ' 80 3 63,591733
40 ' 80 3 63,839167
80 ' 65 3 65,684867
60 ' 65 3 66,845800 66,845800
40 ' 65 3 67,679333
Sig. ,852 ,552 ,704 ,087 ,211
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = ,618.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 11a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap
Viskositas Relatif
ulangan ulangan ulangan rata-
waktu suhu 1 2 3 rata
40' 65 C 73,30 73,30 73,30 73,30
40' 80 C 38,30 36,70 30,00 35,00
40' 95 C 20,00 18,30 21,70 20,00
60' 65 C 55,00 53,30 55,00 54,43
60' 80 C 30,00 36,70 35,00 33,90
60' 95 C 18,30 15,00 15,00 16,10
80' 65 C 41,00 38,30 41,70 40,33
80' 80 C 25,00 26,70 26,70 26,13
80' 95 C 13,50 15,00 15,00 14,50

Lampiran 11b. Uji Analisis Keragaman Viskositas Relatif Pektin Pada Penelitian
Utama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: viskositas
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 8865,267(a) 8 1108,158 226,978 ,000
Intercept 32802,563 1 32802,563 6718,777 ,000
waktu 1120,249 2 560,124 114,727 ,000
suhu 7035,536 2 3517,768 720,526 ,000
waktu * suhu 709,482 4 177,371 36,330 ,000
Error 87,880 18 4,882
Total 41755,710 27
Corrected Total 8953,147 26
a R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,986)

Lampiran 11c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas
Relatif
waktu
Duncan
Subset
waktu N 1 2 3
80' 9 26,9889
60' 9 34,8111
40' 9 42,7667
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 4,882.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 11d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Viskositas
Relatif
suhu
Duncan
Subset
suhu N 1 2 3
95 C 9 16,8667
80 C 9 31,6778
65 C 9 56,0222
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 4,882.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 11e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap
Viskositas Relatif
Kombinasi waktu dan suhu
Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6 7
80 ' 95 3 14,500
60 ' 95 3 16,100
40 ' 95 3 20,000
80 ' 80 3 26,133
60 ' 80 3 33,900
40 ' 80 3 35,000
80 ' 65 3 40,333
60 ' 65 3 54,433
40 ' 65 3 73,300
Sig. ,387 1,000 1,000 ,550 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 4,882.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.

You might also like