Teks tersebut merangkum kontribusi penting intelektual Maroko Al-Jabiri bagi studi Islam, khususnya upayanya untuk merasionalisasi berbagai bidang ilmu keislaman. Al-Jabiri berusaha keras menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam dengan menganalisis karya-karya intelektual klasik secara sistematis dan berargumen. Ia juga mengkritik dominasi nalar bayani dalam pembentukan pengetahuan Islam yang hanya men
Teks tersebut merangkum kontribusi penting intelektual Maroko Al-Jabiri bagi studi Islam, khususnya upayanya untuk merasionalisasi berbagai bidang ilmu keislaman. Al-Jabiri berusaha keras menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam dengan menganalisis karya-karya intelektual klasik secara sistematis dan berargumen. Ia juga mengkritik dominasi nalar bayani dalam pembentukan pengetahuan Islam yang hanya men
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online from Scribd
Teks tersebut merangkum kontribusi penting intelektual Maroko Al-Jabiri bagi studi Islam, khususnya upayanya untuk merasionalisasi berbagai bidang ilmu keislaman. Al-Jabiri berusaha keras menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam dengan menganalisis karya-karya intelektual klasik secara sistematis dan berargumen. Ia juga mengkritik dominasi nalar bayani dalam pembentukan pengetahuan Islam yang hanya men
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online from Scribd
Obsesi al-Jabiri untuk menghidupkan ilmu-ilmu rasional Islam (ihya `ulum al-`aql) pantas disambut dan dilanjutkan lebih giat lagi. Sudah nyata di dunia Islam bahwa proyek menghidupan ilmu-ilmu agama (ihya `ulum ad-din) al-Ghazali yang bersifat bayani dan irfani sudah sukses gilang-gemilang dan begitu hegemonik. Hegemoninya itu mendominasi hampir semua sektor pendidikan dan kebudayaan masyarakat Islam, sehingga umat Islam sulit untuk keluar sejengkal pun dari pantauan radar keduanya. Sejak wafatnya Muhammad Abid al-Jabiri, Senin, 3 Mei lalu, saya terus merenung tentang apa sumbangan terpenting intelektual Maroko itu bagi studi Islam. Saya memiliki dan membaca hampir semua buku karangannya. Boleh dipastikan, sebagian besar bukunya menjadi bahan rujukan utama saya ketika menulis makalah ataupun mengajar. Tapi tetap saja sulit menjawab pertanyaan: apa sih yang istimewa dari al-Jabiri. Saya coba kembali merenung dan mencerna ulang, apa yang saya dapat dari al-Jabiri dan kurang saya dapatkan dari pemikir Arab kontemporer lain semisal Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan lain-lain. Setelah menimbang-nimbang, inilah beberapa kesan saya terhadap karya-karya al-Jabiri. Pertama, dari sebuah obituari yang dimuat sebuah media Arab, saya baru tahu kalau al-Jabiri punya latar belakang ilmu eksakta sebelum masuk ke ilmu-ilmu sosial di bangku kuliah. Di sekolah menengah, dia bahkan tergolong pintar dalam ilmu matematika dan pernah diutus ke Swiss untuk melanjutkan studi. Namun suatu ketika ia terkagum pada kitab al-Muqaddimah Ibnu Khaldun sehingga menarik minatnya untuk merambah studi khazanah intelektual Islam klasik secara serius. Dari sedikit info ini, saya baru mengerti mengapa dia bisa menulis dengan sistematika yang sangat mengagumkan. Tidak loncat-loncat seperti Hassan Hanafi atau terlalu bermain-main bahasa dan istilah seperti Muhammad Arkoun. Permisalan al-Jabiri dalam soal sistematika dan kerapihan dalam menyusun argumen, setara dengan Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Nama yang belakangan ini adalah intelektual Suriah yang juga bukan jebolan pesantren, tapi alumni teknik elektro yang mampu menulis buku yang mengagumkan tentang studi Alquran (al-Kitab wa al-Quran). Saya pun jadi bertanya, adakah hubungan antara latar belakang ilmu eksakta itu dengan kerapihan dalam menyusun argumen dan mensistematika pembahasan. Mungkin saja. Tapi bukan itu betul yang penting. Yang menakjubkan, mereka ini bukan jebolan sekolah menengah agama seperti pesantren di Indonesia, tapi mereka mampu melahirkan studi-studi yang inovatif, tidak konservatif, dan menakjubkan tentang khazanah intelektualisme Islam. Ini sesuatu yang langka di Indonesia, karena biasanya jebolan non-pesantren sini justru menjelma sebagai intelektual Islam yang jauh lebih kolot dari jebolan pesantren. Kedua, membaca al-Jabiri terasa sangat membantu dalam mengarungi khazalah intelektualisme Islam klasik yang mahaluas. Tidak gampang membolak-balik kitab klasik Islam dalam beragai disiplin ilmu, misalnya dalam bidang sejarah, teologi, ataupun etika. Selain terbentur keterbatasan sumber, aspek bahasa, kebingunan soal konteks penulisan, aspek-aspek teknis lainnya pun bisa menguras energi yang tak sedikit. Banyak intelektual Arab kontemporer yang mampu memainkan peran intermediasi ini bagi peminat studi Islam klasik hari ini. Namun saya melihat hanya al-Jabiri yang secara kronologis dan begitu sistematis mampu meringkaskan itu semua dalam berbagai karyanya. Jika kita ingin mengetahui hampir semua ide tertulis tentang pemikiran politik Islam, baik dari sumber Arab ataupun Persia secara runtut, kita tinggal merujuk saja ke al-`Aqlu al-Siyasi al-`Arabi (Nalar Politik Arab). Jika hendak memahami semua gagasan yang ditinggalkan intelektual klasik Islam tentang etika, khatamkan saja al-`Aqlu al-Akhlaqi al-`Arabi (Nalar Etis Arab). Jika berminat mendalami aspek epistimologis atau apa dasar-dasar pembentukan khazanah klasik Islam itu, tinggal baca saja dua karyanya sebelum itu, Takwin al-`Aql al-`Arabi (Formasi Nalar Arab) dan Bunyat al-`Aql al-`Arabi (Struktur Nalar Arab). Karena begitu pentingnya karya-karya ini, saya berpendapat bahwa tidaklah lengkap studi seseorang tentang pemikiran politik atau etika Islam tanpa melahap atau paling tidak melek terhadap kedua karya ini terlebih dahulu. Ketiga, yang menonjol dari al-Jabiri dibanding pemikir Arab lainnya adalah usaha yang sungguh- sungguh untuk merasionalisasi hampir semua bidang studi ilmu keislaman. Kalaupun ia tidak mampu merasionalisasi semua aspek doktriner dari Islam, paling tidak kita dibuat paham tentang konteks dari doktrin itu, atau mengapa pemikiran atau doktrin tertentu muncul dan untuk apa. Al-Jabiri berupaya keras untuk menunjukkan apa yang sosiologis, yang politis, dan yang historis di balik sesuatu yang dibalut sakralitas dan berlindung di balik selubung agama. Jika di Indonesia kita mengenal istilah “preman berjubah”, cobalah tugaskan al-Jabiri untuk menjelaskannya. Saya yakin, dia akan mampu menyingkap jubah itu, lalu menunjukkan secara detil bahwa jubah itu tak lain hanya kedok untuk menutupi aksi-aksi premanisme. Penjelasan dan data-data serta konteks sosial kemunculan aksi-aksi premanisme itu, dan mengapa pula memakai jubah bukan kostum lainnya, akan betul-betul dibuat meyakinkan di tangan al-Jabiri. Memang upaya seperti ini bukanlah khas al-Jabiri, namun juga dilakukan oleh intlektual Arab kontemporer lain seperti Mahmud Qumni, Mahmud Ismail, atau Khalil Abdul Karim. Tapi pada al- Jabiri-lah asumsi-asumsi metodologis dan bangunan teori yang dibuatnya mampu ditopang oleh argumen dan data-data yang menakjubkan dan meyakinkan. Ambillah contoh soal konsep al-Jabiri tentang aqidah, qabilah, ghanimah, yang lantas dijadikannya kerangka untuk menjelaskan gagasan dan dinamika politik Islam sejak masa nabi sampai masa kini. Ketiganya dibahas dengan rinci, umpamanya bagaimana aqidah dibentuk, mengapa qabilah penting, dan apa peran ghanimah dalam menggerakkan dinamika politik Islam. Aqidah di sini adalah aspek ideologisnya; qabilah merupakan aspek sosiologisnya; dan ghanimah adalah aspek ekonomisnya. Keempat, orang sering bertanya, mengapa ilmu-ilmu keislaman berputar-putar dan tidak beranjak dari situ-situ saja dan hampir tidak banyak inovasi dan gagasan baru yang muncul. Untuk menjawab soal ini, bacalah Takwin al-`Aql al-`Arabi dan Bunyat al-`Aql al-`Arabi. Di situ, al-Jabiri mengulas tiga bentuk nalar yang berfungsi dalam pembentukan dan reproduksi keilmuan Islam dan berkontestasi untuk mendapatkan tempat di bumi Islam. Nalar bayani yang begitu dominan di dunia Islam adalah penjelas utamanya. Juara kedua ditempati nalar irfani, dan yang paling sial adalah nalar burhani. Nalar bayani adalah sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti Quran, hadis, pendapat atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk pengetahuan. Teks yang hidup, masih terus vital, dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayankan atau dijelaskan secara tidak berkesudahan sehingga muncullah ilmu seolah-olah. Ilmu muncul karena restatement atau lewat pengungkapan ulang apa yang sudah dikatakan dan dijelaskan di dalam teks masa lampau. Hampir tidak ada yang terlalu baru di masa kini berbanding masa lampau. Inilah yang disebut al-Jabiri sebagai aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz). Jadi yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata- kata yang sudah ada sebelumnya tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam. Juara dua yang mendominasi alam intelektual dunia Islam adalah nalar irfani. Pengetahuan yang didapat lewat intuisi atau zdauq dan mukasyafah inilah yang menempati tingkat keabsahan kedua sebagai anak kandung ilmu pengetahuan Islam. Dalam bentuk aktivisme, nalar irfani menjelma dalam bentuk istiqashah, tarekat (baik yang muktabarah maupun ghaira muktabarah), zikir lokal, interlokal, maupun nasional, dan berbagai bentuk pencarian aspek esoterisme Islam lainnya. Aspek yang popular dari nalar irfani akan menghasilkan zikir, ratapan, tobat nasional, munajat-munajat, dan training ESQ. Sementara aspek yang filosofis dari nalar ini menghasilkan khazanah mistisisme Islam yang spekulatif seperti ditunjukkan al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, maupun Ibnu Arabi. Yang sial adalah nalar burhani. Nalar ini tidak terlalu berhasil membumi di dunia Islam kecuali di masa keemasannya. Ia minggat ke Eropa setelah menguatnya neo-Hanbalisme di dunia Islam, dan tak pernah balik sampai kini. Nalar ilmiah inilah yang redup dan tak kunjung bersinar di dunia Islam. Sudah sejak lama ia tidak mendapat tempat yang layak di ranah-ranah pendidikan dan kebudayaan Islam, bahkan sampai kini. Di sektor ekonomi-politik pun, nalar ini tak menjadi acuan. Al-Jabiri tampak berupaya keras untuk menyalakan kembali pelita nalar ini lewat kajian ulangnya terhadap karya-karya intelektual klasik Islam seperti Ibnu Rusyd (bidang filsafat), Ibnu Khaldun (bidang sejarah), maupu as-Syathibi (bidang hukum/fikih). Ia punya impian besar agar peradaban Islam dibangun atas fondasi rasionalitas ilmu pengetahuan, bukan legalisme dan formalisme hukum agama dan non-agama, ataupun racauan mistikus mabuk. Justru karena itulah dia dituduh sebagai fanatis Ibnu Rusyd dan mengidap sindrom egosentrisme sektoral dalam menelaah khazanah intelektualisme Islam. Dalam buku Hiwar al-Masyriq wa al- Maghrib (Polemik Intelektual Timur Arab dan Barat Arab), dia dianggap kurang fair karena menganggap khazanah intelektualisme Islam di kawasan Maghribi lebih rasional dari kompatriotnya di kawasan timur Arab. Al-Jabiri dianggap kurang apresiatif terhadap Ibnu Sina, al-Farabi, al-Ghazali, dan pencapaian-pencapaian intelektualisme kawasan Arab sebelah timur, dan hanya memuji-muji Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, as-Syathibi, dan bahkan Ibnu Hazm yang dikenal sebagai seorang legalis- formalis. Terlepas dari polemik di atas, obsesi al-Jabiri untuk menghidupkan ilmu-ilmu rasional Islam (ihya `ulum al-`aql) pantas disambut dan dilanjutkan lebih giat lagi. Sudah nyata di dunia Islam bahwa proyek menghidupan ilmu-ilmu agama (ihya `ulum ad-din) al-Ghazali yang bersifat bayani dan irfani sudah sukses gilang-gemilang dan begitu hegemonik. Hegemoninya itu mendominasi hampir semua sektor pendidikan dan kebudayaan masyarakat Islam, sehingga umat Islam sulit untuk keluar sejengkal pun dari pantauan radar keduanya. Al-Jabiri dalam hal ini juga merekomendasikan kita untuk menjadi anshar Ibnu Rusyd daripada Ibnu Hanbal dan al-Ghazali. Umat Islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan secara turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkap rahasia dan hikmah ilahiah di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan porsi lebih banyak kepada aktivitas penalaran agar ciri khas manusia sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide”—sebagaimana dikatakan filsuf Ibnu Bajah—dapat teralisasi. Jika tidak, isi otak umat Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Sebuah harapan yang gampang diucapkan, tapi tidak mudah diwujudkan, bukan?! PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER MUHAMMAD ABID AL-JABIRI TENTANG TURÂTS DAN HUBUNGAN ARAB DAN BARAT Al-Jabiri is a Muslim thinker who tried to realize the glory and progress of Arab-Islam. He thought this could be done only when the soul of Islamic glory during the era of the Prophet and the middle ages were brought to life. In his book, al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, he elaborates the methodology of Arabian thinking about turâts (civilization), which has to be implemented in Arab-Islam societies. The study analyses his thoughts of the turâts and the problems in its implementation in Muslim communities. Term Kunci: turâts, pemikiran modern Islam, peradaban Dalam penelitiannya terhadap metodologi akal Arab mengenai turâts, yang ia tuangkan dalam karyanya al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, ia sampai kepada kesimpulan bahwa pemikiranan Arab masih berputar dalam lingkaran yang tidak mencapai kemajuan apa pun dalam banyak persoalan yang dihadapi selama ini. Al-Jabiri mencatat sebuah karakter problem struktural dalam pemikiran Arab, yakni kecenderungan untuk memberi otoritas referensial pada model masa lampau. Pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tatapi berangkat dari satu model masa lalu yang secara konstan menghalanginya dari pertemuan dengan realitas, dan konsekuensinya mengalihkan wacananya pada apa "yang mungkin", secara intelektual diangap seolah-olah sebagai fakta yang nyata. Selain menggunakan model masa lalu, pemikiran Arab juga meminjam model pemikiran Eropa. Dalam kasus terakhir ini, pemikiran Arab terjebak pada problem yang sama. Untuk itulah al-Jabiri melihat perlunya jalan keluar dari problem tersebut. Jalan keluarnya adalah independensi dan pembebasan diri dari "otoritas referensial" baik model "Turâts" (warisan) Arab Islam maupun model kebudayaan dan pemikiran Eropa. Caranya tidak menyingkirkan tradisi dan menghabaikan kebudayaan Barat, tetapi dengan dialog kritis dengan keduanya, untuk memahami historitas dan retivitas konsep-konsep serta kategori-kategori yang ada di dalamnya. Lebih jauh, kritisisme serta kategori-kategori di dalamnya. Lebih jauh kritisme ini dapat terlaksana bila terdapat kesadaran Arab bahwa dirinya merupakan produk perkembangan sejarah. Angan-angan Arab sejak masa nahdah, yang diselimuti oleh pengaruh warisan masa lalu dan pemikiran Eropa, harus dikoreksi melalui "Kritik Nalar Arab" untuk membongkar struktur epistemologis, struktur politis dan strukturalis, kebudayaan Arab secara ilmiah. Pembongkaran struktur epistemologis dilakukan dalam dua buku yang pertama Takwin al'Aql al-'Arabi dan Bunyah al-'Aql al-'Arabi. Pembongkaran struktur serta pembongkaran epistemologinya pada bukunya al- Aql al-Akhlaqi al- Arabi. Maka untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam pembahasan, agar pemikiran al-Jabiri mengenai turâts menjadi jelas. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pemikiran Muhamamd Abid al-Jabiri dalam berbagai bukunya yang menjadi objek studi ini berada dalam lingkup teori yang merupkan hasil karya sendiri. Sedangkan konsep-konsep dan pemikirannya hanya mungkin didekati dengan mengunakan pendekatan historis sebagai metode penyelidikan yang memungkinkan untuk memahami segala sesuatu secara lebih komprehensif dan sehakiki mungkin yang terdapat dalam berbagai karyanya tersebut. Sedangkan pendekatan filosofis, yaitu suatu pendekatan yang sistematis yang didasarkan kepada hasil pemikiran filosofis, tokoh-tokoh terkemuka dan sebagainya mengenai. pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri. Penelitian ini berbentuk pemaparan, penjelasan, penilaian dan kritik terhadap subjek atau bidang tertentu, dan pendekatan seperti ini bersifat normatif. Dengan menggunakan metodologi seperti yang disebutkan di atas, maka studi ini mengunakan metode induktif dan deduktif secara berdampingan tanpa mempersoalkan mana yang harus dilakukan. Sumber data; Adapun sumber datanya, berupa data primer dan sekunder. Data primernya adalah buku karya Muhammad Abid al-Jabiri. Sedangkan data sekundernya adalah berbagai buku yang berkenaan dengan judul penelitian ini. Langkah-langkah pengumpulan data dan analisis: Langkah pertama yang dilakukan selain merancang desain operasional yang dibuat secara tentatif, juga melakukan pendalaman terhadap sejumlah literatur yang relevan untuk memperkaya wawasan dan konsep-konsep tentang studi yang dilakukan. Langkah kedua, merupakan pengumpulan data dari sumber tertulis baik yang primer maupun sekunder. Selama pengumpulan data berlangsung, kritik sumber langsung dilaksanakan. Data yang berasal dari sumber yang lolos kritik akan segera digolong-golongkan menurut sistematis yang secara tentative telah dirancang. Langkah ketiga, adalah melakukan interpretasi terhadap data yang telah digolong- golongkan, terutama untuk menemukan saling hubungan berbagai informasi yang dikandungnya, kemudian dianalisis dengan penelaran yang logis, yang umum dipakai dalam pendekatan ini ialah metode content analysis (analisis isi), yaitu metode yang berusaha memahami sistem pemikiran dengan jalan merekonstruksikan kemudian dianalisis dengan penalaran yang logis. Langkah terakhir dari seluruh kegiatan ini adalah menyajikan laporan penelitian lengkap dalam satu sistematika yang telah dirancang secara tentative, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini. Temuan Penelitian Biografi al-Jabiri Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Al-Jabiri meraih gelar doktor falsafat pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi, disertasi Doktornya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun dengan judul, Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa al-Dawlaha Ma'alim Nazariyyah Khalduniyah fi al-Tarikh al-Islami. (Pemikiran Ibn Khaldun, Asabiyah dan Negara: Rambu-rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam) Pada dekade 50-an, ketika masih kuliah di universitas, Muhammad al-Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku sebagi salah seorang pengagum ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah suatu yang aneh. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di Negara bekas protektoriat Perancis, al-Jabiri tidak kesulitan untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa Perancis, Postruktruralis maupun posmodernis yang rata-rata memang lahir dari Perancis. Akan tetapi, ia kemudian meragukan efektivitas pendekatan Marxian dalam konteks sejarah Pemikiran Islam, apalagi setelah membaca karya Yves Lacoste yang membandingkan Karl Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan Islam. Dari situ kemudian dia balik mempertanyakan asumsi-asumsi para peneliti orentalis yang mengkaji Islam dinilainya terlalu memaksakan kehendak, sehingga perlu membangun metodologi tersendiri terhadap turâts Arab. Berdasarkan metode yang di gagasnya, al-Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam, namun dalam hal ini ia hanya membatasi dirinya hanya pada Islam-Arab, tempat lahirnya Islam dan muncul dipermukaan bumi ini, dan kebanyakan sejarah kebudayaan Islam ditulis dalam berbahasa Arab, dan juga tulisan non-Arab tentang kebudayaan Islam, seperti teks-teks Persia, baik yang ditulis cendikiwan muslim maupun cendikiawan non muslim, agar hasilnya kualitatif dan tidak berat sebelah tentang sejarah kebudayaan Islam, selain dalam metodologinya ia juga membatasi pada persoalan efistemologi, yakni mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam berbagai hal-hal, yang kebanyakan telah dipengaruhi kebudayaan pemikiran Barat, karena itu dalam banyak karyanya, al-Jabiri tidak akan mempersoalkan persoalan yang berbau ideologis dari agama yang di anutnya. Muhammad al-Jabiri adalah seorang politikus asal Maroko, ia merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif, di kalangan pemikir Arab, yang memiliki pemikiran dan ide yang cemerlang untuk memajukan dunia Arab khususnya. Dia adalah merupakan seorang aktivis politik berideologis sosialis, yang bergabung dengan partai Union Nationale Des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialis Des Forces Populaires (USFP) pada tahun 1975 dan menjadi pengurus partai tersebut., di samping aktif dalam berpolitik, al-Jabiri juga banyak bergerak dibidang pendidikan, dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di sekolah menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan Nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Omari dan Ahmaed Sattati menerbitkan dua buku teks. Pertama tentang pemikiran Islam dan kedua tentang filsafat. Buku terkahir mempunyai dampak yang besar bagi para mahasiswa selama akhir dekade 1960-an dan awal 1970an. Buku ini menekankan hubungan antara turâts, dan masyarakat, serta peran penting yang dimainkan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam konteks masyarakat yang sedang menuju perubahan. Aktivitas al-Jabiri dalam bidang pendidikan dengan segala problematikanya, telah menghasilkan bagian yang cukup penting bagi pembentukan intelektualnya selama periode itu. Al-Jabiri sebagai seorang pemikir, dan kajian yang kritis tentang turâts (sejarah) kebudayaan Islam sebagai bagian dari kegiatan intelektualnya dalam berbagai hal yang dapat menguncang cara berpikir para pemikir dunia Arab, baik disadari ataupun tidak, tetapi hasil pemikirannya paling tidak dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara membaca Turâts Arab. Dari awal, al-Jabiri mengatakan bahwa dia menggunakan pendekatan Sejarah kebudayaan Islam, serta rasa keingintahuannya yang modern dan berlebihan, dia tidak mengikuti pandangan bahwa kenyataan sejarah hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Sebaliknya dia berpendapat, bahwa kenyataan sejarah dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia dan tidak ada pilihan lain dalam menafsirkan sejarah kebudayaan Islam, dengan menghubungkan konteks historis Islam. Dengan demikian, dia serius ingin menjelaskan kenyataan turâts Arab, dengan menggunakan dan mempertimbangkan metodologi sejarah ini sebagai bagain dari apa yang ia sebut dengan turâts, hal tersebut tidak akan membuat kerancuan berpikir tentang tentang sejarah kebudayaan Islam tersebut, tetapi adalah untuk memperjelas tentang keberadaan kebudayaan Islam itu sendiri. Kebudayaan Barat dan Arab itu sangat jauh berbeda, maka dia mengatakan tidak boleh mengikuti turâts Barat dalam membaca turâts Arab. Karya-karya Al-Jabiri Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel Koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wal Turast-nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-'Arabi al Mua'sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya 'Naqd al-al' Aql al-'Arabi (kritik akal Arab). Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Takwim al-'Aql al-'Arabi, Bunya al-'Aql-'Arabi, al-A'ql al-Siyasi-'Arabi, al-'Aq al- Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-'Arabi al- Mua'asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta'sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al- Fikr al 'Mu'asir Al'awlamah, Sira' al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-'Arabi Muraja'ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al- Shari'ah, Mas'alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-'Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A'rabi. Kemudian dua buku berikutnya: al-Aql al-Siyîsî Arabî dan al-Aql Akhlâqî Arabî menjelaskan dari sisi metode praktik (amaliyah) yang mempraktekkan pendekatan teori pada medan nyata politik dan akhlaq. Karenanya, jika dilihat sepintas upaya dari Kritik Akal Arab ini berpeluang menjadikan masa depan dunia Arab-Islam lebih cerah. Proyeknya tidak lepas dari tradisi, kesimpulan ini bisa kita bidik dalam karya Binyah dan Takwîn: sumber-sumber klasik disana dibahas dalam bentuk yang mewakili. Bahkan Kamal Abdul Latief dalam buku al-Turâts wa al-Nahdah: Qirâ’ah fî A’mal Abid al-Jabiri memberi kesaksian mengagumkan: "al Jabiri membaca isi kitab turâts dan menulis penjelasan sekaligus mengkritik krangka pikir serta pola pemikiran Arab-Islam...". Pemikiran Al Jabiri Tentang Turâts Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam dikursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al- Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah Turâts paling sering digunakan dan paling sering disebut. Bahkan istilah itu kini menjadi kata kunci buat memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah al-adah (kebiasaan) urf (adat) dan sunnah (kehidupan Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turâts. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel tepat. Menurut al-Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakili yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turâts. Bagi al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini. Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri, yaitu, Pertama epistemologis bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat). Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis. Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran, al-Sunnah dan Ijma’. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt, yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw. Di dalam Alquran surat an-Nisa ayat 59. Kedua Epistemologi al-Irfan, Dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah "Gnose/gnosis" yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah "gnostik" yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Kelihatannya pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al- Kasyf dan al-bayan ( intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi dibalik wujud eksoteris dari teks agama. Adapun dari perspektif epistemologinya, gnostik merupakan konsep dan prosedur yang membangun dunia berpikir gnostik dalam pembentukan turâts, dengan dua porosnya, yang pertama adalah pengalihan bahasa, dengan menggunakan pasangan efistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan pasangan kata/makna dalam trend akal teoritis. Hanya saja al-Jabiri melihat pasangan ini secara terbalik artinya menjadikan makna sebagai asal dan kata sebagai cabang. Kedua mengabdi dan menggali manfaat secara bersamaan, baik secara terang-terangan maupun secara implisit, dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang paralel dengan pasangan epistemologis dalam pembentukan turâts Arab. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan. Ketiga Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu' kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut. Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas al-Jami' yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu 1. tahap pengertian, 2. tahap pernyataan, 3. tahap penalaran. Dengan metode terakhir, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan rohaniah, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen rasional. Pengetahaun atau hikmah ini tidak hanya memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi, mengubah wujud sipenerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud, semua itu tidak bisa tercapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggunakan metode bayani. Kritik al-Jabiri Terhadap Pemikiran Hubungan Arab-Barat tentang Turâts Al-Jabiri, sangat prihatin tentang Arab (Islam) yang senantiasa mengalami kemunduran dalam berbagai aspek, karena itu ia melontarkan pertanyaan penting untuk dipikirkan. Benarkah Arab telah mengalami kemunduran dalam pikiran, benarkan pemikiran yang diadopsi oleh Arab adalah sepenuhnya dari Barat. Bagi al-Jabiri, kemunduran Arab dalam pikiran adalah merupakan refeksi dari zaman posmo. Pada tingkat sosiologis, era posmo di tandai dengan sejumlah ciri-ciri pokok antara lain semangat pluralisme, rasa sekeptis yang meningkat terhadap ortodoksi-ortodoksi tradisional, yang menolak dunia sebagai totalitas universal. Kemudian al-Jabiri bertanya-tanya apakah Islam bisa bangkit kembali dan kejayaan tentang turâts. Ini adalah pertanyaan yang selalu mengiang-ngiang antara utopia dan harapan. Maka menjelang dan pascakolonialisme, gerakan-gerakan Islam terutama yang bernuansa pemikiran, di samping gerakan revolusi, bermunculan di seluruh belahan dunia Islam khususnya Arab. Gerakan-gerakan Islam yang ada sampai saat ini berupaya untuk mengembalikan kemajuan turâts yang telah lama hilang, juga berupaya merevitalisasi turâts yang lama, kepada turâts yang baru. Tetapi dalam dataran visi aplikatif al-Jabiri berbeda dengan para tokoh yang lain yang ingin memajukan dunia Arab, bahkan perbedaan ini mengarah kepada munculnya penghujatan terhdap ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri. Dalam soal hubungan Arab dan Barat, al-Jabiri membagi sikap muslim dengan tiga kategori, yaitu tradisonalis, radikalis dan modernis. Pertama, tradisonalis adalah pemikiran yang lebih mementingkan pesan-pesan universal Islam dari pada perbedaan personal atau sektarian yang sempit. Karena itu, kelompok ini punya kecenderungan sufistik, karena sufistik menurut al-Jabiri termasuk memiliki pesan penting tentang universalisme dan toleransi, kecenderungan tersebut bisa diatasi. Kedua radikalis atau pemikiran yang berusaha mengimplementasikan ajaran Islam lewat perjuangan bersenjata dan konfrontasi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini pada umumnya amat benci dan jijik dengan apa yang disebut Barat, sehingga mereka banyak membangkitkan kemarahan dan kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Mereka mempublikasikan pikiran-pikiran yang merefleksikan kelemahan umum umat Islam terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan sejenisnya. Sikap-sikap dan perilaku tersebut sangat sesuai dengan sikap stereotype media dunia sehigga nama mereka sering muncul dalam media massa dan menjadi terkenal meski secara kuantitas jumlah mereka tidak banyak. Ketiga, modernis, yaitu pemikiran yang mempunyai keyakinan bahwa agama sebagai kekuatan, obat mujarab, dan bimbingan sudah tidak diperlukan dan tidak sahih lagi dalam keadaan sekarang. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini menolak tradisi Islam untuk kemudian menggantikannya dengan ide-ide dan tradisi di luar Islam. Kebanyakan dari kelompok ini adalah para sarjana muslim yang terdidik dan menerima pemikiran Marxisme secara total di samping peradaban Barat. Mereka cukup dikenal di Barat dan dianggap sebagai panutan oleh mahasiswa karena tradisionalis tampak sebagai orang tua yang kolot sementara kaum radikal adalah manusia liar. Dalam hubungan sesamanya, kaum modernis pada umumnya membentuk organisasi-organisasi yang rapi yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Mereka cukup vokal dan sering menjadi juru bicara resmi media tentang Islam. Meski demikian menurut al-Jabiri. Posisi apa yang dilakukan kaum moderrnis tidak banyak memberi pengaruh pada kebanyakan masyrakat muslim Arab. Hal ini, al-Jabiri mengeluhkan banyak tulisan mereka justru menciptakan perasaan cemas dan dikhianati di kalangan masyarakat muslim. Sementara itu al-Jabiri membagi kalangan Barat yang berhubungan dengan Islam kedalam tiga kategori, orentalis tradisionalis, sarjana baru, dan generalis media. Pertama, kaum orientalis, kelompk ini pada umumnya melihat dan mengkaji Islam, termasuk juga Timur berdasarkan semangat kolonialisme dan superioritas Barat. Oleh karena itu, dalam pikiran orientalis tidak terdapat sesuatu yang pokok yang diperlukan dalam sebuah kajian ilmiah, yaitu konsep kemanusiaan yang universal yang meliputi seluruh manusia tanpa perbedaan warna kulit dan keyakinan. Dengan menolak kemanusiaan itu berarti orientalisme telah merasuk jiwa dan menghilangkan semangat ke arah munculnya pemahaman dan pengetahuan tentang orang lain secara lengkap utuh dan obyektif. Kedua, sarjana baru yaitu kelompok pemikiran dari Barat yang lahir pasca orientalisme tradisional dan tidak dipengaruhi superioritas kultural atau rasisme. Karena karya dan kajian mereka lebih akademis dan objektif tanpa memihak. Mereka mempunyai dan menguasai metodologi penelitian yang baik sehingga memungkinkan responden berbicara atas namanya sendiri. Mereka memberi kesempatan bagi di dengarnya suara orang lain melalui literatur dan para sarjananya sendiri. Ketiga, kaum generalis dan orang media, kelompok ini menurut al-Jabiri lebih dekat dan bahkan lebih kejam dan lebih liar dari pada kaum oreintalis sendiri. Mereka menggunakan khazanah-khazanah klasik orientalis yang sudah basi dan tidak ilmiah untuk menghantam Islam dan masyarakatnya. Mereka telah melupakan peranannya sebagai pengamat netral dan menjadi peserta aktif dalam drama politik yang menggambarkan Islam dalam sosok kaum yang tidak pernah ramah. Betapa di antaranya bahkan menasehati pemerintah untuk segera menguasai Negara-negara muslim menguasi kekayaan dan ladang minyak demi keamanan Barat. Hubungan Islam dan Barat merupakan fenomenal dalam sejarah yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Hubungan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Alquran telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini. Hubungan Islam dan Barat yang sedang diperbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Hubungan Islam dan Barat mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an. Hubungan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran turâts. Hubungan Islam dan Barat, menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Hubungan tersebut merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, hubungan Islam dan Barat, tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang hubungan Islam dan Barat, kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ide-ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri untuk memajukan dunia Arab tentang turâts, dengan idenya tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula hubungan Islam dan Barat, tidak hanya mengakar di bumi Arab. Pembahasan Pemikiran al-Jabiri tentang Turâts Kesalahan fatal lain yang banyak disinyalir olah para pengkritisinya adalah sikap selektif al-Jabiri dalam membuat kutipan. Ia cenderung memlilih perkataan dan pendapat orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan dan ideologinya demi untuk mempertahankan pandangannya, meskipun dalam pendapat tersebut tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Tunis pada tahun 1982, al-Jabiri pernah mengungkapkan bahwa pikiran al fikr dan akal Arab adalah bayani. Untuk memperkuat argumennya dia telah menyebutkan al jahidz dalam kitab al-Baya wa al Tahyin sebagai contoh, kata Tizini dalam hal ini Jabiri telah melaksanakan dua kesalahan Pertama generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al- Jahid, kedua sample yang digunakannya yaitu al-jahidz, tidak dapat mewakili keseluruhan bangunan akal Arab. Contoh lain adalah yang diungkapkan oleh Nur al Din al Daghir dalam usahanya untuk membuktikan dan mempertahankan rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di mana ia menjadi bagian dari padanya, dan selanjutnya membuktikan keterpengaruhan Shiah dengan pemikiran asing, ia hanya merujuk kepada empat buku teks Syiah saja. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok Sunni dan hanya memilih buku yang punya kecenderungan salafi Ashariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al Ashari, al-Farq Bayn firaq-nya Abdul Qahar, Mihaya al Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al Khilaf bayn al Basriyyin wa al Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburi dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah. Berdasarkan fakta ini maka tak salah kiranya banyak penulis seperti Ali Harb yang menilai bahwa kajian turast al-Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab maghribi centrism, bahkan secara khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi, al-Jabiri adalah seoarang ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam. Jika ia menuduh sejumlah imam besar seperti al Ghazali, terkooptasi dan terpengaruh oleh kekuasaan ketika itu, maka ia sendiri pun terbukti terkooptasi dan terpengaruih oleh ideologi tertentu. Jadi persepsinya terhadap ulama terdahulu yang belum tentu benar itu sebenarnya dipengaruhi oleh kondidsi dirinya yang telah terkooptasi oleh ideologi. Dalam pandangan Nuruddin al Ghadir, metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri sebenarnya sangat berbahaya bagi tradisi Arab Islam itu sendiri ia bahkan sempat berkesimpulan bahwa sesungguhnya buku-buku al-Jabiri itu tidak layak untuk diterbitkan, karena pada prinsipnya kajian- kajiannya dalam turâts bukan untuk merekonstruksi turâts, tapi malah menghancurkannya. Ghadir, menuliskan berdasarkan fakta ini (kritik yang dilakukan al-Jabiri), maka sesungguhnya ide al-Jabiri itu pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turâts pada seluruh dimensinya, bahkan akan mencabik eksistensi turâts orang Arab. Bila kita cermati secara jujur menggkaji model-model kajian turâts yang ditawarkan oleh pemikir kontemporer Arab muslim lain, maka kemungkinan besar kita juga akan sampai pada kesimpulan seperti yang dibuat oleh Ghadir ini, sehingga beliau menilai bahwa apapun model metodologi yang saat ini ditawarkan oleh pemikir Arab muslim kontemporer. Maka sesungguhnya justru berakhir pada pemenggalan turâts itu sendiri. Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, metodologi- metodologi seperti inilah yang ingin kita kembangkan dalam upaya untuk merekonstruksi (turâts) peradaban Islam kembali. Baik sadar atau tidak al-Jabiri sebenarnya telah hanyut ke dalam rentetan kelompok liberal yang menurutnya menjadikan peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali turâts Islam. Gagasan al-Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah keinginannya agar umat Islam melakukan epistemic rupture sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena proses ini sudah pernah dilakukan oleh Ibn Rusyd ketika berhasil memutuskan hubungan epistemologinya dengan mazhab pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan Ghazali, hanya menurut al-Jabiri secara kuat terpengaruh oleh pemikiran Hermeticism Yunani. Tetapi benarkah Ibn Rusyd berhasil melepaskan dari jaringan pemikiran yang dibangun oleh falsafah Arab timur dengan mazhab peripatetiknya. Sebab realitasnya Ibn Rusyd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Memang benar bahwa Ibn Rusyd bukan tipikal tapi ahli filsafat yang telah berhasil memberikan arah tersendiri dalam filsafat. Namun al-Jabiri tidak dapat menafikan bahwa Ibn Rusydlah tradisi filsafat peripatetic mencapai titik keilmuannya. Bahkan menurut al-Jabiri tidak boleh dibaca seorang pemikir klasik dalam bentuk fragmentatif. Al Ghazali misalnya tidak bisa dibaca hanya sebagai filsuf, karena dia juga seorang theologian, ahli fiqh, sufi dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan seorang faqih harus dibaca dalam kapasistasnya yang bervariasi. Demikianlah seterusnya dengan mufassir, ahli sejarah dan sebagainya. Pengunggulan yang dilakukan oleh al-Jabiri atas epistemologi dan logika modernitas, dengan meniscayakan kekuatan "rasionalisme" dan menyandarkan sepenuhnya pada revitalisasi epistemologi diskursus filosofis dan penyelidikan empiris, hanya akan mengkerdilkan posisi Turâts peradaban Islam di tengah peradaban modern. Dengan menggunakan prototipe Ibn Rusyd, dan menghalau semua khazanah tradisi keilmuan Islam di luarnya, peradaban Arab-Islam hanya akan terseok pada proses peminggiran (marginalisasi) peradaban dunia. Karena tentunya hal ini akan memaksa kita menggantungkan diri pada upaya yang juga dilakukan oleh Humanisme di Renaissan Eropa. Yakni menjadikan Yunani sebagai satu-satunya kiblat peradaban. Dalam pandangan penulis, hal ini hanya akan menimbulkan "keminderan" dalam mengungkap orisinalitas peradaban Arab-Islam. Dalam hal ini, tanpa sadar, al-Jabiri telah mengubur impiannya untuk mencari autentisitas Islam. PENUTUP Dari pembahasan di atas dapatlah dipahami, bahwasannya pemikiran al-Jabiri memfokuskan kajian pada turâts yang dimiliki Arab Islam, terutama terfokus pada turâts abad pertengahan. Kajian terhadap turâts ataupun modernitas (Eropa) ini menjadi sangat strategis, dengan alasan bahwa ternyata terdapat beberapa kutub pemikiran yang memperlakukan keduanya secara berbeda antara pro-kontra. Para intelektual senior sebelum al-Jabiri dengan melakukan beberapa dialog dan kajian di antara mereka untuk menentukan format terbaik dalam merekonstruksi akal Arab tentang turâts yang tengah mengalami keterpurukan saat itu. Al-Jabiri memandang bahwa turâts yang dibangun oleh Barat telah menghujamkan kaki-kakinya secara paksa. Hal ini telah berlangsung sejak adanya imperialisme dan kolonialisme di negara-negara Arab. Barat menurut Jabiri telah memaksakan dirinya sebagai model yang mendunia. Seolah turâts Eropa menjadi sebuah model kemajuan yang harus ditiru oleh negara-negara muslim yang nota bene tengah dijajah oleh Barat. unsur-unsur yng telah membangun turâts Eropa adalah semangat untuk menguasai wilayah lain sebagai bagian dari kedaulatannya, sehingga dengan sendirinya mereka dapat memasukkan budaya sekuler yang mereka miliki. Hal ini menunjukkan adanya konflik kepentingan ideologi yang dihembuskan dunia Barat. Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya ideologi tandingan yang muncul dari negara-negara di dunia Ketiga, khususnya dari Dunia Arab-Islam. Alur yang ditawarkan oleh ideologi baru ini mesti melakukan perlawanan terhadap dominasi Barat. Secara politis, alur ini akan banyak tergantung pada kepemimpinan yang dimunculkan oleh negara-negara ini sebagai pembela kepentingan turâts. Mereka yang mampu memainkan perannya sebagai pengususng turâts tandingan adalah mereka yang memiliki kualitas yang "menjanjikan", yakni negara yang memiliki turâts, dengan keunggulan budaya dan keberlangsungan peranan yang dimainkannya secara historis, peranan regional yang tak tertandingi, dan pengalaman dalam mengaplikasikan turâts untuk perubahan (revolusi), serta adanya desakan eksternal yang mematikan langkah-langkah turâts selama ini. Penulis adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan alumni S2 IAIN Sumatera Utara Medan. Pustaka Acuan Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi (Bandung: Gema Risalah Press,1996). Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988). Al-Jabiri, Bunyah al-'Aqlu al-'Arabi, (Beirut:Dar al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). __________, Iskaliyyat al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir, (Beirut: Markaz Dirasah al- Arabiyah). ___________,al-Turâts wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasat (Beirut: al-Markaz al Tsaqafi al- Arabi, 1991). ____________, al- 'Aql al-Siyasi al-'Arabi Muhadditatuh wa Tajaliyyatuh (Beirut: al- Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1991). ____________, Takwin al-Aql al-Arabi (Beirut: Markaz al Tsaqafi al Arabi, 1991). Akbar S Ahmed, Postmpdernism and Islam: Predicament and Promise terj Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan cet IV, 1996) hlm.52). A.W. Benn, History of English Rationalism in the Nieteenth Cnetury (New York: Rusell and Rusel, 1962). Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988). Ahmad Baso,"Pengantar dalam Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Ali Harb, Naqd al-Nass (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1993). A.Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Perss, cet II, 2002). Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LSSPA, 2000) ______________, Islam dan Pembebasan terj Hairus Salim, (Yogyakarta: LKiS, 1993). Arthur Hyman dan James Walsh ed, Philosophy in the Middle Age (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1986). Al-Zarqani, Manabil al-Arfan fi Ulumul Qur’an (Mesir: Isa al-Baby, tt. Evrand Ibrahamian, Khomeinism:Essay on the Islamic Republic,(London: Tauris, 1993). Ibn Rusyd¸ Kaitan Filsafat Dengan Syari'at¸ terj Shadiq nor, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Fuad Jabali, Ibn Khaldun and IslamicTthought Style A Sosial Perspectif, terj Ibn Khaldun Dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus cet II, 2003). M. Aunul Abied Shah, ed, Islam Garda Depan: Mosaik pemikrian Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, cet I, 2001) Parvis Morewedge, Islamic Philosofhy and Mysticism (New York: Caravan Books, 1981) Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise terj Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan cet IV, 1996) Smith Alhadar, Palestina dalam Pandangan Imam Khomeini, (Jakarta: Madani Grafika, 2004). Solomon Grayzel, A History of The Jews, (New York: Meridian 1984. Stephen R. Humpreys, "artikel dalam Michael Curtis" (Ed.), Religion and Politics in Middle East, (Boulder: Westview, 1981). The Charter of Allah: The Platform Islamic Resistance Movement (HAMAS), htt://www.fas.org/irp/world/para/docs/880818.htm, 25.02/06. The HAMAS Background, Information Division, Israel Foreign Ministry – Jerusalem Mail all Queries to ask@israel-info.gov.il. URL: http://www.israel-mfa.gov.il. Gopher://israel-info. gov.il. Tore Kjeilen, Encyclopaedia of Orient, Atlas of the Orient, Babel: arabic, W. Lacquer, A. History of Zionism, (New York: 1972). Yusril Ihza Mahendara, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999). Yusuf Qardhawi, Al Quds Masalah Kita Bersama, terj. Tim Samahta-Sanggar Terjemah dan Pustaka ICMI Orsat Kairo, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999). Sumber:www.litagama.org