You are on page 1of 14

Al-Jabiri dan Ihya Ulum al-Aqli

Oleh Novriantoni Kahar


Obsesi al-Jabiri untuk menghidupkan ilmu-ilmu rasional Islam (ihya `ulum al-`aql) pantas disambut
dan dilanjutkan lebih giat lagi. Sudah nyata di dunia Islam bahwa proyek menghidupan ilmu-ilmu
agama (ihya `ulum ad-din) al-Ghazali yang bersifat bayani dan irfani sudah sukses gilang-gemilang
dan begitu hegemonik. Hegemoninya itu mendominasi hampir semua sektor pendidikan dan
kebudayaan masyarakat Islam, sehingga umat Islam sulit untuk keluar sejengkal pun dari pantauan
radar keduanya.
Sejak wafatnya Muhammad Abid al-Jabiri, Senin, 3 Mei lalu, saya terus merenung tentang apa
sumbangan terpenting intelektual Maroko itu bagi studi Islam. Saya memiliki dan membaca hampir
semua buku karangannya. Boleh dipastikan, sebagian besar bukunya menjadi bahan rujukan utama
saya ketika menulis makalah ataupun mengajar. Tapi tetap saja sulit menjawab pertanyaan: apa sih
yang istimewa dari al-Jabiri. Saya coba kembali merenung dan mencerna ulang, apa yang saya dapat
dari al-Jabiri dan kurang saya dapatkan dari pemikir Arab kontemporer lain semisal Hassan Hanafi,
Muhammad Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan lain-lain. Setelah menimbang-nimbang, inilah beberapa
kesan saya terhadap karya-karya al-Jabiri.
Pertama, dari sebuah obituari yang dimuat sebuah media Arab, saya baru tahu kalau al-Jabiri punya
latar belakang ilmu eksakta sebelum masuk ke ilmu-ilmu sosial di bangku kuliah. Di sekolah
menengah, dia bahkan tergolong pintar dalam ilmu matematika dan pernah diutus ke Swiss untuk
melanjutkan studi. Namun suatu ketika ia terkagum pada kitab al-Muqaddimah Ibnu Khaldun sehingga
menarik minatnya untuk merambah studi khazanah intelektual Islam klasik secara serius. Dari sedikit
info ini, saya baru mengerti mengapa dia bisa menulis dengan sistematika yang sangat mengagumkan.
Tidak loncat-loncat seperti Hassan Hanafi atau terlalu bermain-main bahasa dan istilah seperti
Muhammad Arkoun. Permisalan al-Jabiri dalam soal sistematika dan kerapihan dalam menyusun
argumen, setara dengan Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Nama yang belakangan ini
adalah intelektual Suriah yang juga bukan jebolan pesantren, tapi alumni teknik elektro yang mampu
menulis buku yang mengagumkan tentang studi Alquran (al-Kitab wa al-Quran).
Saya pun jadi bertanya, adakah hubungan antara latar belakang ilmu eksakta itu dengan kerapihan
dalam menyusun argumen dan mensistematika pembahasan. Mungkin saja. Tapi bukan itu betul yang
penting. Yang menakjubkan, mereka ini bukan jebolan sekolah menengah agama seperti pesantren di
Indonesia, tapi mereka mampu melahirkan studi-studi yang inovatif, tidak konservatif, dan
menakjubkan tentang khazanah intelektualisme Islam. Ini sesuatu yang langka di Indonesia, karena
biasanya jebolan non-pesantren sini justru menjelma sebagai intelektual Islam yang jauh lebih kolot
dari jebolan pesantren.
Kedua, membaca al-Jabiri terasa sangat membantu dalam mengarungi khazalah intelektualisme Islam
klasik yang mahaluas. Tidak gampang membolak-balik kitab klasik Islam dalam beragai disiplin ilmu,
misalnya dalam bidang sejarah, teologi, ataupun etika. Selain terbentur keterbatasan sumber, aspek
bahasa, kebingunan soal konteks penulisan, aspek-aspek teknis lainnya pun bisa menguras energi yang
tak sedikit. Banyak intelektual Arab kontemporer yang mampu memainkan peran intermediasi ini bagi
peminat studi Islam klasik hari ini. Namun saya melihat hanya al-Jabiri yang secara kronologis dan
begitu sistematis mampu meringkaskan itu semua dalam berbagai karyanya.
Jika kita ingin mengetahui hampir semua ide tertulis tentang pemikiran politik Islam, baik dari sumber
Arab ataupun Persia secara runtut, kita tinggal merujuk saja ke al-`Aqlu al-Siyasi al-`Arabi (Nalar
Politik Arab). Jika hendak memahami semua gagasan yang ditinggalkan intelektual klasik Islam
tentang etika, khatamkan saja al-`Aqlu al-Akhlaqi al-`Arabi (Nalar Etis Arab). Jika berminat
mendalami aspek epistimologis atau apa dasar-dasar pembentukan khazanah klasik Islam itu, tinggal
baca saja dua karyanya sebelum itu, Takwin al-`Aql al-`Arabi (Formasi Nalar Arab) dan Bunyat al-`Aql
al-`Arabi (Struktur Nalar Arab). Karena begitu pentingnya karya-karya ini, saya berpendapat bahwa
tidaklah lengkap studi seseorang tentang pemikiran politik atau etika Islam tanpa melahap atau paling
tidak melek terhadap kedua karya ini terlebih dahulu.
Ketiga, yang menonjol dari al-Jabiri dibanding pemikir Arab lainnya adalah usaha yang sungguh-
sungguh untuk merasionalisasi hampir semua bidang studi ilmu keislaman. Kalaupun ia tidak mampu
merasionalisasi semua aspek doktriner dari Islam, paling tidak kita dibuat paham tentang konteks dari
doktrin itu, atau mengapa pemikiran atau doktrin tertentu muncul dan untuk apa. Al-Jabiri berupaya
keras untuk menunjukkan apa yang sosiologis, yang politis, dan yang historis di balik sesuatu yang
dibalut sakralitas dan berlindung di balik selubung agama. Jika di Indonesia kita mengenal istilah
“preman berjubah”, cobalah tugaskan al-Jabiri untuk menjelaskannya. Saya yakin, dia akan mampu
menyingkap jubah itu, lalu menunjukkan secara detil bahwa jubah itu tak lain hanya kedok untuk
menutupi aksi-aksi premanisme. Penjelasan dan data-data serta konteks sosial kemunculan aksi-aksi
premanisme itu, dan mengapa pula memakai jubah bukan kostum lainnya, akan betul-betul dibuat
meyakinkan di tangan al-Jabiri.
Memang upaya seperti ini bukanlah khas al-Jabiri, namun juga dilakukan oleh intlektual Arab
kontemporer lain seperti Mahmud Qumni, Mahmud Ismail, atau Khalil Abdul Karim. Tapi pada al-
Jabiri-lah asumsi-asumsi metodologis dan bangunan teori yang dibuatnya mampu ditopang oleh
argumen dan data-data yang menakjubkan dan meyakinkan. Ambillah contoh soal konsep al-Jabiri
tentang aqidah, qabilah, ghanimah, yang lantas dijadikannya kerangka untuk menjelaskan gagasan dan
dinamika politik Islam sejak masa nabi sampai masa kini. Ketiganya dibahas dengan rinci, umpamanya
bagaimana aqidah dibentuk, mengapa qabilah penting, dan apa peran ghanimah dalam menggerakkan
dinamika politik Islam. Aqidah di sini adalah aspek ideologisnya; qabilah merupakan aspek
sosiologisnya; dan ghanimah adalah aspek ekonomisnya.
Keempat, orang sering bertanya, mengapa ilmu-ilmu keislaman berputar-putar dan tidak beranjak dari
situ-situ saja dan hampir tidak banyak inovasi dan gagasan baru yang muncul. Untuk menjawab soal
ini, bacalah Takwin al-`Aql al-`Arabi dan Bunyat al-`Aql al-`Arabi. Di situ, al-Jabiri mengulas tiga
bentuk nalar yang berfungsi dalam pembentukan dan reproduksi keilmuan Islam dan berkontestasi
untuk mendapatkan tempat di bumi Islam. Nalar bayani yang begitu dominan di dunia Islam adalah
penjelas utamanya. Juara kedua ditempati nalar irfani, dan yang paling sial adalah nalar burhani.
Nalar bayani adalah sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti Quran, hadis, pendapat
atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk pengetahuan. Teks yang hidup, masih terus
vital, dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayankan atau dijelaskan secara tidak
berkesudahan sehingga muncullah ilmu seolah-olah. Ilmu muncul karena restatement atau lewat
pengungkapan ulang apa yang sudah dikatakan dan dijelaskan di dalam teks masa lampau. Hampir
tidak ada yang terlalu baru di masa kini berbanding masa lampau. Inilah yang disebut al-Jabiri sebagai
aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz). Jadi yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya
bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata-
kata yang sudah ada sebelumnya tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang
mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam.
Juara dua yang mendominasi alam intelektual dunia Islam adalah nalar irfani. Pengetahuan yang
didapat lewat intuisi atau zdauq dan mukasyafah inilah yang menempati tingkat keabsahan kedua
sebagai anak kandung ilmu pengetahuan Islam. Dalam bentuk aktivisme, nalar irfani menjelma dalam
bentuk istiqashah, tarekat (baik yang muktabarah maupun ghaira muktabarah), zikir lokal, interlokal,
maupun nasional, dan berbagai bentuk pencarian aspek esoterisme Islam lainnya. Aspek yang popular
dari nalar irfani akan menghasilkan zikir, ratapan, tobat nasional, munajat-munajat, dan training ESQ.
Sementara aspek yang filosofis dari nalar ini menghasilkan khazanah mistisisme Islam yang spekulatif
seperti ditunjukkan al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, maupun Ibnu Arabi.
Yang sial adalah nalar burhani. Nalar ini tidak terlalu berhasil membumi di dunia Islam kecuali di masa
keemasannya. Ia minggat ke Eropa setelah menguatnya neo-Hanbalisme di dunia Islam, dan tak pernah
balik sampai kini. Nalar ilmiah inilah yang redup dan tak kunjung bersinar di dunia Islam. Sudah sejak
lama ia tidak mendapat tempat yang layak di ranah-ranah pendidikan dan kebudayaan Islam, bahkan
sampai kini. Di sektor ekonomi-politik pun, nalar ini tak menjadi acuan. Al-Jabiri tampak berupaya
keras untuk menyalakan kembali pelita nalar ini lewat kajian ulangnya terhadap karya-karya intelektual
klasik Islam seperti Ibnu Rusyd (bidang filsafat), Ibnu Khaldun (bidang sejarah), maupu as-Syathibi
(bidang hukum/fikih). Ia punya impian besar agar peradaban Islam dibangun atas fondasi rasionalitas
ilmu pengetahuan, bukan legalisme dan formalisme hukum agama dan non-agama, ataupun racauan
mistikus mabuk.
Justru karena itulah dia dituduh sebagai fanatis Ibnu Rusyd dan mengidap sindrom egosentrisme
sektoral dalam menelaah khazanah intelektualisme Islam. Dalam buku Hiwar al-Masyriq wa al-
Maghrib (Polemik Intelektual Timur Arab dan Barat Arab), dia dianggap kurang fair karena
menganggap khazanah intelektualisme Islam di kawasan Maghribi lebih rasional dari kompatriotnya di
kawasan timur Arab. Al-Jabiri dianggap kurang apresiatif terhadap Ibnu Sina, al-Farabi, al-Ghazali, dan
pencapaian-pencapaian intelektualisme kawasan Arab sebelah timur, dan hanya memuji-muji Ibnu
Rusyd, Ibnu Khaldun, as-Syathibi, dan bahkan Ibnu Hazm yang dikenal sebagai seorang legalis-
formalis.
Terlepas dari polemik di atas, obsesi al-Jabiri untuk menghidupkan ilmu-ilmu rasional Islam (ihya
`ulum al-`aql) pantas disambut dan dilanjutkan lebih giat lagi. Sudah nyata di dunia Islam bahwa
proyek menghidupan ilmu-ilmu agama (ihya `ulum ad-din) al-Ghazali yang bersifat bayani dan irfani
sudah sukses gilang-gemilang dan begitu hegemonik. Hegemoninya itu mendominasi hampir semua
sektor pendidikan dan kebudayaan masyarakat Islam, sehingga umat Islam sulit untuk keluar sejengkal
pun dari pantauan radar keduanya. Al-Jabiri dalam hal ini juga merekomendasikan kita untuk menjadi
anshar Ibnu Rusyd daripada Ibnu Hanbal dan al-Ghazali.
Umat Islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan secara
turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkap rahasia dan hikmah ilahiah
di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan porsi lebih banyak kepada aktivitas penalaran
agar ciri khas manusia sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide”—sebagaimana dikatakan
filsuf Ibnu Bajah—dapat teralisasi. Jika tidak, isi otak umat Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan
biji tasbih tanpa ditemukannya bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Sebuah
harapan yang gampang diucapkan, tapi tidak mudah diwujudkan, bukan?!
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
MUHAMMAD ABID AL-JABIRI TENTANG
TURÂTS DAN HUBUNGAN ARAB DAN
BARAT
Al-Jabiri is a Muslim thinker who tried to realize the glory and progress of Arab-Islam. He thought this
could be done only when the soul of Islamic glory during the era of the Prophet and the middle ages
were brought to life. In his book, al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, he elaborates the methodology of
Arabian thinking about turâts (civilization), which has to be implemented in Arab-Islam societies. The
study analyses his thoughts of the turâts and the problems in its implementation in Muslim
communities.
Term Kunci: turâts, pemikiran modern Islam, peradaban
Dalam penelitiannya terhadap metodologi akal Arab mengenai turâts, yang ia tuangkan dalam karyanya
al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, ia sampai kepada kesimpulan bahwa pemikiranan Arab masih berputar
dalam lingkaran yang tidak mencapai kemajuan apa pun dalam banyak persoalan yang dihadapi selama
ini. Al-Jabiri mencatat sebuah karakter problem struktural dalam pemikiran Arab, yakni kecenderungan
untuk memberi otoritas referensial pada model masa lampau. Pemikiran Arab tidak bertolak dari
realitas, tatapi berangkat dari satu model masa lalu yang secara konstan menghalanginya dari
pertemuan dengan realitas, dan konsekuensinya mengalihkan wacananya pada apa "yang mungkin",
secara intelektual diangap seolah-olah sebagai fakta yang nyata. Selain menggunakan model masa lalu,
pemikiran Arab juga meminjam model pemikiran Eropa. Dalam kasus terakhir ini, pemikiran Arab
terjebak pada problem yang sama. Untuk itulah al-Jabiri melihat perlunya jalan keluar dari problem
tersebut.
Jalan keluarnya adalah independensi dan pembebasan diri dari "otoritas referensial" baik model
"Turâts" (warisan) Arab Islam maupun model kebudayaan dan pemikiran Eropa. Caranya tidak
menyingkirkan tradisi dan menghabaikan kebudayaan Barat, tetapi dengan dialog kritis dengan
keduanya, untuk memahami historitas dan retivitas konsep-konsep serta kategori-kategori yang ada di
dalamnya. Lebih jauh, kritisisme serta kategori-kategori di dalamnya. Lebih jauh kritisme ini dapat
terlaksana bila terdapat kesadaran Arab bahwa dirinya merupakan produk perkembangan sejarah.
Angan-angan Arab sejak masa nahdah, yang diselimuti oleh pengaruh warisan masa lalu dan pemikiran
Eropa, harus dikoreksi melalui "Kritik Nalar Arab" untuk membongkar struktur epistemologis, struktur
politis dan strukturalis, kebudayaan Arab secara ilmiah. Pembongkaran struktur epistemologis
dilakukan dalam dua buku yang pertama Takwin al'Aql al-'Arabi dan Bunyah al-'Aql al-'Arabi.
Pembongkaran struktur serta pembongkaran epistemologinya pada bukunya al- Aql al-Akhlaqi al-
Arabi. Maka untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam pembahasan, agar pemikiran al-Jabiri
mengenai turâts menjadi jelas.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan
ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pemikiran Muhamamd Abid al-Jabiri dalam berbagai bukunya
yang menjadi objek studi ini berada dalam lingkup teori yang merupkan hasil karya sendiri. Sedangkan
konsep-konsep dan pemikirannya hanya mungkin didekati dengan mengunakan pendekatan historis
sebagai metode penyelidikan yang memungkinkan untuk memahami segala sesuatu secara lebih
komprehensif dan sehakiki mungkin yang terdapat dalam berbagai karyanya tersebut. Sedangkan
pendekatan filosofis, yaitu suatu pendekatan yang sistematis yang didasarkan kepada hasil pemikiran
filosofis, tokoh-tokoh terkemuka dan sebagainya mengenai. pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri.
Penelitian ini berbentuk pemaparan, penjelasan, penilaian dan kritik terhadap subjek atau bidang
tertentu, dan pendekatan seperti ini bersifat normatif. Dengan menggunakan metodologi seperti yang
disebutkan di atas, maka studi ini mengunakan metode induktif dan deduktif secara berdampingan
tanpa mempersoalkan mana yang harus dilakukan.
Sumber data; Adapun sumber datanya, berupa data primer dan sekunder. Data primernya adalah buku
karya Muhammad Abid al-Jabiri. Sedangkan data sekundernya adalah berbagai buku yang berkenaan
dengan judul penelitian ini.
Langkah-langkah pengumpulan data dan analisis: Langkah pertama yang dilakukan selain merancang
desain operasional yang dibuat secara tentatif, juga melakukan pendalaman terhadap sejumlah literatur
yang relevan untuk memperkaya wawasan dan konsep-konsep tentang studi yang dilakukan. Langkah
kedua, merupakan pengumpulan data dari sumber tertulis baik yang primer maupun sekunder. Selama
pengumpulan data berlangsung, kritik sumber langsung dilaksanakan. Data yang berasal dari sumber
yang lolos kritik akan segera digolong-golongkan menurut sistematis yang secara tentative telah
dirancang. Langkah ketiga, adalah melakukan interpretasi terhadap data yang telah digolong-
golongkan, terutama untuk menemukan saling hubungan berbagai informasi yang dikandungnya,
kemudian dianalisis dengan penelaran yang logis, yang umum dipakai dalam pendekatan ini ialah
metode content analysis (analisis isi), yaitu metode yang berusaha memahami sistem pemikiran dengan
jalan merekonstruksikan kemudian dianalisis dengan penalaran yang logis. Langkah terakhir dari
seluruh kegiatan ini adalah menyajikan laporan penelitian lengkap dalam satu sistematika yang telah
dirancang secara tentative, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini.
Temuan Penelitian
Biografi al-Jabiri Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan
pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan
sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma
Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat.
Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan
lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan.
Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda
Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab
Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.
Al-Jabiri meraih gelar doktor falsafat pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi, disertasi
Doktornya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun dengan judul, Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah
wa al-Dawlaha Ma'alim Nazariyyah Khalduniyah fi al-Tarikh al-Islami. (Pemikiran Ibn Khaldun,
Asabiyah dan Negara: Rambu-rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam)
Pada dekade 50-an, ketika masih kuliah di universitas, Muhammad al-Jabiri banyak membaca dan
mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku
sebagi salah seorang pengagum ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah suatu yang aneh. Sebagai seorang
yang lahir dan tumbuh di Negara bekas protektoriat Perancis, al-Jabiri tidak kesulitan untuk mengakses
buku atau pemikiran berbahasa Perancis, Postruktruralis maupun posmodernis yang rata-rata memang
lahir dari Perancis. Akan tetapi, ia kemudian meragukan efektivitas pendekatan Marxian dalam konteks
sejarah Pemikiran Islam, apalagi setelah membaca karya Yves Lacoste yang membandingkan Karl
Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan Islam. Dari situ kemudian dia balik mempertanyakan
asumsi-asumsi para peneliti orentalis yang mengkaji Islam dinilainya terlalu memaksakan kehendak,
sehingga perlu membangun metodologi tersendiri terhadap turâts Arab.
Berdasarkan metode yang di gagasnya, al-Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran
Islam, namun dalam hal ini ia hanya membatasi dirinya hanya pada Islam-Arab, tempat lahirnya Islam
dan muncul dipermukaan bumi ini, dan kebanyakan sejarah kebudayaan Islam ditulis dalam berbahasa
Arab, dan juga tulisan non-Arab tentang kebudayaan Islam, seperti teks-teks Persia, baik yang ditulis
cendikiwan muslim maupun cendikiawan non muslim, agar hasilnya kualitatif dan tidak berat sebelah
tentang sejarah kebudayaan Islam, selain dalam metodologinya ia juga membatasi pada persoalan
efistemologi, yakni mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam berbagai hal-hal,
yang kebanyakan telah dipengaruhi kebudayaan pemikiran Barat, karena itu dalam banyak karyanya,
al-Jabiri tidak akan mempersoalkan persoalan yang berbau ideologis dari agama yang di anutnya.
Muhammad al-Jabiri adalah seorang politikus asal Maroko, ia merupakan salah seorang pemikir Islam
kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif, di kalangan pemikir Arab, yang
memiliki pemikiran dan ide yang cemerlang untuk memajukan dunia Arab khususnya.
Dia adalah merupakan seorang aktivis politik berideologis sosialis, yang bergabung dengan partai
Union Nationale Des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialis Des
Forces Populaires (USFP) pada tahun 1975 dan menjadi pengurus partai tersebut., di samping aktif
dalam berpolitik, al-Jabiri juga banyak bergerak dibidang pendidikan, dari tahun 1964 dia telah
mengajar filsafat di sekolah menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan Nasional.
Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Omari dan Ahmaed Sattati menerbitkan dua buku
teks. Pertama tentang pemikiran Islam dan kedua tentang filsafat. Buku terkahir mempunyai dampak
yang besar bagi para mahasiswa selama akhir dekade 1960-an dan awal 1970an. Buku ini menekankan
hubungan antara turâts, dan masyarakat, serta peran penting yang dimainkan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dalam konteks masyarakat yang sedang menuju perubahan. Aktivitas al-Jabiri dalam
bidang pendidikan dengan segala problematikanya, telah menghasilkan bagian yang cukup penting bagi
pembentukan intelektualnya selama periode itu.
Al-Jabiri sebagai seorang pemikir, dan kajian yang kritis tentang turâts (sejarah) kebudayaan Islam
sebagai bagian dari kegiatan intelektualnya dalam berbagai hal yang dapat menguncang cara berpikir
para pemikir dunia Arab, baik disadari ataupun tidak, tetapi hasil pemikirannya paling tidak dapat
memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara membaca
Turâts Arab.
Dari awal, al-Jabiri mengatakan bahwa dia menggunakan pendekatan Sejarah kebudayaan Islam, serta
rasa keingintahuannya yang modern dan berlebihan, dia tidak mengikuti pandangan bahwa kenyataan
sejarah hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Sebaliknya dia berpendapat, bahwa kenyataan
sejarah dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia dan tidak ada pilihan lain dalam
menafsirkan sejarah kebudayaan Islam, dengan menghubungkan konteks historis Islam.
Dengan demikian, dia serius ingin menjelaskan kenyataan turâts Arab, dengan menggunakan dan
mempertimbangkan metodologi sejarah ini sebagai bagain dari apa yang ia sebut dengan turâts, hal
tersebut tidak akan membuat kerancuan berpikir tentang tentang sejarah kebudayaan Islam tersebut,
tetapi adalah untuk memperjelas tentang keberadaan kebudayaan Islam itu sendiri. Kebudayaan Barat
dan Arab itu sangat jauh berbeda, maka dia mengatakan tidak boleh mengikuti turâts Barat dalam
membaca turâts Arab.
Karya-karya Al-Jabiri
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel Koran, majalah atau
berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat
dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wal Turast-nya,
disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-'Arabi al Mua'sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua
buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek
inteletualnya 'Naqd al-al' Aql al-'Arabi (kritik akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan
mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini
telah menerbitkan Takwim al-'Aql al-'Arabi, Bunya al-'Aql-'Arabi, al-A'ql al-Siyasi-'Arabi, al-'Aq al-
Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah.
Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-'Arabi al-
Mua'asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta'sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-
Fikr al 'Mu'asir Al'awlamah, Sira' al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah.
Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-'Arabi Muraja'ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-
Shari'ah, Mas'alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-'Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa
Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A'rabi.
Kemudian dua buku berikutnya: al-Aql al-Siyîsî Arabî dan al-Aql Akhlâqî Arabî menjelaskan dari sisi
metode praktik (amaliyah) yang mempraktekkan pendekatan teori pada medan nyata politik dan
akhlaq. Karenanya, jika dilihat sepintas upaya dari Kritik Akal Arab ini berpeluang menjadikan masa
depan dunia Arab-Islam lebih cerah. Proyeknya tidak lepas dari tradisi, kesimpulan ini bisa kita bidik
dalam karya Binyah dan Takwîn: sumber-sumber klasik disana dibahas dalam bentuk yang mewakili.
Bahkan Kamal Abdul Latief dalam buku al-Turâts wa al-Nahdah: Qirâ’ah fî A’mal Abid al-Jabiri
memberi kesaksian mengagumkan: "al Jabiri membaca isi kitab turâts dan menulis penjelasan sekaligus
mengkritik krangka pikir serta pola pemikiran Arab-Islam...".
Pemikiran Al Jabiri Tentang Turâts
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam dikursus pemikiran Arab kontemporer merujuk
kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al-
Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas
maknanya. Akan tetapi istilah Turâts paling sering digunakan dan paling sering disebut. Bahkan istilah
itu kini menjadi kata kunci buat memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral
Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau
diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab
kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili
istilah tersebut.
Istilah-istilah al-adah (kebiasaan) urf (adat) dan sunnah (kehidupan Rasul) meskipun mengandung
makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turâts. Begitu juga dalam
literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel tepat. Menurut al-Jabiri, kata legacy dan heritage
dalam bahasa Inggris atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakili yang dipikirkan
oleh orang Arab tentang turâts.
Bagi al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada
dalam kerangkeng pemikir masa lalu. turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini,
terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point
atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat
ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap
pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan
tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.
Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri,
yaitu, Pertama epistemologis bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio
bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani
rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran
keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas
sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis. Dikalangan ulama terdapat kesepakatan
bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran, al-Sunnah dan Ijma’. Ketentuan ini sesuai
dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt, yang penjabarannya
dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw. Di dalam Alquran surat an-Nisa ayat 59.
Kedua Epistemologi al-Irfan, Dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua
padanan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah "Gnose/gnosis" yang berarti pengetahuan
intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah
"gnostik" yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada:
gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Kelihatannya pengertian kedualah
yang dikehendaki oleh al-Jabiri.
Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-
Kasyf dan al-bayan ( intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda,
kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini
oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi dibalik wujud eksoteris dari teks
agama. Adapun dari perspektif epistemologinya, gnostik merupakan konsep dan prosedur yang
membangun dunia berpikir gnostik dalam pembentukan turâts, dengan dua porosnya, yang pertama
adalah pengalihan bahasa, dengan menggunakan pasangan efistemologis makna eksoteris/esoteris yang
sejajar dengan pasangan kata/makna dalam trend akal teoritis. Hanya saja al-Jabiri melihat pasangan ini
secara terbalik artinya menjadikan makna sebagai asal dan kata sebagai cabang. Kedua mengabdi dan
menggali manfaat secara bersamaan, baik secara terang-terangan maupun secara implisit, dengan
menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang paralel dengan pasangan epistemologis
dalam pembentukan turâts Arab.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas
teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ
kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara
metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
Ketiga Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan
dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan
dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga
epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik
atau furu' kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada
Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika
atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang
dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang
masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses
pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian
terhadap kebenaran konsep tersebut.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme.
Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas al-Jami' yang mengacu
kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang
disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai.
Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka
ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu 1. tahap pengertian, 2. tahap
pernyataan, 3. tahap penalaran.
Dengan metode terakhir, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh
kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan rohaniah, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional
dengan menggunakan argumen rasional. Pengetahaun atau hikmah ini tidak hanya memberikan
pencerahan kognisi tetapi juga realisasi, mengubah wujud sipenerima pencerahan itu sendiri dan
merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud, semua itu tidak bisa
tercapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggunakan metode
bayani.
Kritik al-Jabiri Terhadap Pemikiran Hubungan Arab-Barat tentang Turâts
Al-Jabiri, sangat prihatin tentang Arab (Islam) yang senantiasa mengalami kemunduran dalam berbagai
aspek, karena itu ia melontarkan pertanyaan penting untuk dipikirkan. Benarkah Arab telah mengalami
kemunduran dalam pikiran, benarkan pemikiran yang diadopsi oleh Arab adalah sepenuhnya dari Barat.
Bagi al-Jabiri, kemunduran Arab dalam pikiran adalah merupakan refeksi dari zaman posmo. Pada
tingkat sosiologis, era posmo di tandai dengan sejumlah ciri-ciri pokok antara lain semangat
pluralisme, rasa sekeptis yang meningkat terhadap ortodoksi-ortodoksi tradisional, yang menolak dunia
sebagai totalitas universal.
Kemudian al-Jabiri bertanya-tanya apakah Islam bisa bangkit kembali dan kejayaan tentang turâts. Ini
adalah pertanyaan yang selalu mengiang-ngiang antara utopia dan harapan. Maka menjelang dan
pascakolonialisme, gerakan-gerakan Islam terutama yang bernuansa pemikiran, di samping gerakan
revolusi, bermunculan di seluruh belahan dunia Islam khususnya Arab. Gerakan-gerakan Islam yang
ada sampai saat ini berupaya untuk mengembalikan kemajuan turâts yang telah lama hilang, juga
berupaya merevitalisasi turâts yang lama, kepada turâts yang baru. Tetapi dalam dataran visi aplikatif
al-Jabiri berbeda dengan para tokoh yang lain yang ingin memajukan dunia Arab, bahkan perbedaan ini
mengarah kepada munculnya penghujatan terhdap ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri.
Dalam soal hubungan Arab dan Barat, al-Jabiri membagi sikap muslim dengan tiga kategori, yaitu
tradisonalis, radikalis dan modernis. Pertama, tradisonalis adalah pemikiran yang lebih mementingkan
pesan-pesan universal Islam dari pada perbedaan personal atau sektarian yang sempit. Karena itu,
kelompok ini punya kecenderungan sufistik, karena sufistik menurut al-Jabiri termasuk memiliki pesan
penting tentang universalisme dan toleransi, kecenderungan tersebut bisa diatasi.
Kedua radikalis atau pemikiran yang berusaha mengimplementasikan ajaran Islam lewat perjuangan
bersenjata dan konfrontasi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini pada umumnya amat benci dan
jijik dengan apa yang disebut Barat, sehingga mereka banyak membangkitkan kemarahan dan
kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Mereka mempublikasikan pikiran-pikiran yang
merefleksikan kelemahan umum umat Islam terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan sejenisnya.
Sikap-sikap dan perilaku tersebut sangat sesuai dengan sikap stereotype media dunia sehigga nama
mereka sering muncul dalam media massa dan menjadi terkenal meski secara kuantitas jumlah mereka
tidak banyak.
Ketiga, modernis, yaitu pemikiran yang mempunyai keyakinan bahwa agama sebagai kekuatan, obat
mujarab, dan bimbingan sudah tidak diperlukan dan tidak sahih lagi dalam keadaan sekarang. Mereka
yang termasuk dalam kelompok ini menolak tradisi Islam untuk kemudian menggantikannya dengan
ide-ide dan tradisi di luar Islam. Kebanyakan dari kelompok ini adalah para sarjana muslim yang
terdidik dan menerima pemikiran Marxisme secara total di samping peradaban Barat. Mereka cukup
dikenal di Barat dan dianggap sebagai panutan oleh mahasiswa karena tradisionalis tampak sebagai
orang tua yang kolot sementara kaum radikal adalah manusia liar. Dalam hubungan sesamanya, kaum
modernis pada umumnya membentuk organisasi-organisasi yang rapi yang saling mendukung antara
satu dengan yang lainnya. Mereka cukup vokal dan sering menjadi juru bicara resmi media tentang
Islam. Meski demikian menurut al-Jabiri. Posisi apa yang dilakukan kaum moderrnis tidak banyak
memberi pengaruh pada kebanyakan masyrakat muslim Arab. Hal ini, al-Jabiri mengeluhkan banyak
tulisan mereka justru menciptakan perasaan cemas dan dikhianati di kalangan masyarakat muslim.
Sementara itu al-Jabiri membagi kalangan Barat yang berhubungan dengan Islam kedalam tiga
kategori, orentalis tradisionalis, sarjana baru, dan generalis media. Pertama, kaum orientalis, kelompk
ini pada umumnya melihat dan mengkaji Islam, termasuk juga Timur berdasarkan semangat
kolonialisme dan superioritas Barat. Oleh karena itu, dalam pikiran orientalis tidak terdapat sesuatu
yang pokok yang diperlukan dalam sebuah kajian ilmiah, yaitu konsep kemanusiaan yang universal
yang meliputi seluruh manusia tanpa perbedaan warna kulit dan keyakinan. Dengan menolak
kemanusiaan itu berarti orientalisme telah merasuk jiwa dan menghilangkan semangat ke arah
munculnya pemahaman dan pengetahuan tentang orang lain secara lengkap utuh dan obyektif.
Kedua, sarjana baru yaitu kelompok pemikiran dari Barat yang lahir pasca orientalisme tradisional dan
tidak dipengaruhi superioritas kultural atau rasisme. Karena karya dan kajian mereka lebih akademis
dan objektif tanpa memihak. Mereka mempunyai dan menguasai metodologi penelitian yang baik
sehingga memungkinkan responden berbicara atas namanya sendiri. Mereka memberi kesempatan bagi
di dengarnya suara orang lain melalui literatur dan para sarjananya sendiri.
Ketiga, kaum generalis dan orang media, kelompok ini menurut al-Jabiri lebih dekat dan bahkan lebih
kejam dan lebih liar dari pada kaum oreintalis sendiri. Mereka menggunakan khazanah-khazanah klasik
orientalis yang sudah basi dan tidak ilmiah untuk menghantam Islam dan masyarakatnya. Mereka telah
melupakan peranannya sebagai pengamat netral dan menjadi peserta aktif dalam drama politik yang
menggambarkan Islam dalam sosok kaum yang tidak pernah ramah. Betapa di antaranya bahkan
menasehati pemerintah untuk segera menguasai Negara-negara muslim menguasi kekayaan dan ladang
minyak demi keamanan Barat.
Hubungan Islam dan Barat merupakan fenomenal dalam sejarah yang menumbuhkan kembali
semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Hubungan ini juga
membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan
dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu:
menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini,
Alquran telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits
yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan
isyarat ini.
Hubungan Islam dan Barat yang sedang diperbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang
sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Hubungan Islam dan Barat
mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga
mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.
Hubungan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru.
Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran
turâts.
Hubungan Islam dan Barat, menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Hubungan tersebut
merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang
bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, hubungan Islam dan Barat, tidak hanya bergumul
dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham.
Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang hubungan Islam dan Barat,
kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ide-ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri untuk
memajukan dunia Arab tentang turâts, dengan idenya tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya.
Demikian pula hubungan Islam dan Barat, tidak hanya mengakar di bumi Arab.
Pembahasan
Pemikiran al-Jabiri tentang Turâts
Kesalahan fatal lain yang banyak disinyalir olah para pengkritisinya adalah sikap selektif al-Jabiri
dalam membuat kutipan. Ia cenderung memlilih perkataan dan pendapat orang lain yang hanya sesuai
dengan tujuan dan ideologinya demi untuk mempertahankan pandangannya, meskipun dalam pendapat
tersebut tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini dalam sebuah
seminar yang dihadirinya di Tunis pada tahun 1982, al-Jabiri pernah mengungkapkan bahwa pikiran al
fikr dan akal Arab adalah bayani. Untuk memperkuat argumennya dia telah menyebutkan al jahidz
dalam kitab al-Baya wa al Tahyin sebagai contoh, kata Tizini dalam hal ini Jabiri telah melaksanakan
dua kesalahan
Pertama generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al-
Jahid, kedua sample yang digunakannya yaitu al-jahidz, tidak dapat mewakili keseluruhan bangunan
akal Arab. Contoh lain adalah yang diungkapkan oleh Nur al Din al Daghir dalam usahanya untuk
membuktikan dan mempertahankan rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di mana ia menjadi bagian dari
padanya, dan selanjutnya membuktikan keterpengaruhan Shiah dengan pemikiran asing, ia hanya
merujuk kepada empat buku teks Syiah saja. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari
kelompok Sunni dan hanya memilih buku yang punya kecenderungan salafi Ashariyyah seperti
Maqalat Islamiyyin-nya Imam al Ashari, al-Farq Bayn firaq-nya Abdul Qahar, Mihaya al Aqdam-nya
Shahrastani, al-Masail fi al Khilaf bayn al Basriyyin wa al Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburi dan
al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.
Berdasarkan fakta ini maka tak salah kiranya banyak penulis seperti Ali Harb yang menilai bahwa
kajian turast al-Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab maghribi centrism, bahkan secara khusus
Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi, al-Jabiri adalah seoarang ideolog, yang telah memiliki pola berpikir
dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam. Jika ia menuduh
sejumlah imam besar seperti al Ghazali, terkooptasi dan terpengaruh oleh kekuasaan ketika itu, maka ia
sendiri pun terbukti terkooptasi dan terpengaruih oleh ideologi tertentu. Jadi persepsinya terhadap
ulama terdahulu yang belum tentu benar itu sebenarnya dipengaruhi oleh kondidsi dirinya yang telah
terkooptasi oleh ideologi.
Dalam pandangan Nuruddin al Ghadir, metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri sebenarnya
sangat berbahaya bagi tradisi Arab Islam itu sendiri ia bahkan sempat berkesimpulan bahwa
sesungguhnya buku-buku al-Jabiri itu tidak layak untuk diterbitkan, karena pada prinsipnya kajian-
kajiannya dalam turâts bukan untuk merekonstruksi turâts, tapi malah menghancurkannya. Ghadir,
menuliskan berdasarkan fakta ini (kritik yang dilakukan al-Jabiri), maka sesungguhnya ide al-Jabiri itu
pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turâts pada seluruh dimensinya, bahkan akan mencabik
eksistensi turâts orang Arab.
Bila kita cermati secara jujur menggkaji model-model kajian turâts yang ditawarkan oleh pemikir
kontemporer Arab muslim lain, maka kemungkinan besar kita juga akan sampai pada kesimpulan
seperti yang dibuat oleh Ghadir ini, sehingga beliau menilai bahwa apapun model metodologi yang saat
ini ditawarkan oleh pemikir Arab muslim kontemporer. Maka sesungguhnya justru berakhir pada
pemenggalan turâts itu sendiri. Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, metodologi-
metodologi seperti inilah yang ingin kita kembangkan dalam upaya untuk merekonstruksi (turâts)
peradaban Islam kembali.
Baik sadar atau tidak al-Jabiri sebenarnya telah hanyut ke dalam rentetan kelompok liberal yang
menurutnya menjadikan peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali turâts Islam.
Gagasan al-Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah keinginannya agar umat Islam melakukan
epistemic rupture sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena proses ini sudah pernah
dilakukan oleh Ibn Rusyd ketika berhasil memutuskan hubungan epistemologinya dengan mazhab
pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan Ghazali, hanya menurut al-Jabiri secara kuat terpengaruh oleh
pemikiran Hermeticism Yunani. Tetapi benarkah Ibn Rusyd berhasil melepaskan dari jaringan
pemikiran yang dibangun oleh falsafah Arab timur dengan mazhab peripatetiknya. Sebab realitasnya
Ibn Rusyd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Memang benar bahwa Ibn Rusyd bukan tipikal tapi ahli filsafat yang telah berhasil memberikan arah
tersendiri dalam filsafat. Namun al-Jabiri tidak dapat menafikan bahwa Ibn Rusydlah tradisi filsafat
peripatetic mencapai titik keilmuannya. Bahkan menurut al-Jabiri tidak boleh dibaca seorang pemikir
klasik dalam bentuk fragmentatif. Al Ghazali misalnya tidak bisa dibaca hanya sebagai filsuf, karena
dia juga seorang theologian, ahli fiqh, sufi dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan seorang faqih
harus dibaca dalam kapasistasnya yang bervariasi. Demikianlah seterusnya dengan mufassir, ahli
sejarah dan sebagainya.
Pengunggulan yang dilakukan oleh al-Jabiri atas epistemologi dan logika modernitas, dengan
meniscayakan kekuatan "rasionalisme" dan menyandarkan sepenuhnya pada revitalisasi epistemologi
diskursus filosofis dan penyelidikan empiris, hanya akan mengkerdilkan posisi Turâts peradaban Islam
di tengah peradaban modern. Dengan menggunakan prototipe Ibn Rusyd, dan menghalau semua
khazanah tradisi keilmuan Islam di luarnya, peradaban Arab-Islam hanya akan terseok pada proses
peminggiran (marginalisasi) peradaban dunia. Karena tentunya hal ini akan memaksa kita
menggantungkan diri pada upaya yang juga dilakukan oleh Humanisme di Renaissan Eropa. Yakni
menjadikan Yunani sebagai satu-satunya kiblat peradaban. Dalam pandangan penulis, hal ini hanya
akan menimbulkan "keminderan" dalam mengungkap orisinalitas peradaban Arab-Islam. Dalam hal ini,
tanpa sadar, al-Jabiri telah mengubur impiannya untuk mencari autentisitas Islam.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapatlah dipahami, bahwasannya pemikiran al-Jabiri memfokuskan kajian
pada turâts yang dimiliki Arab Islam, terutama terfokus pada turâts abad pertengahan. Kajian terhadap
turâts ataupun modernitas (Eropa) ini menjadi sangat strategis, dengan alasan bahwa ternyata terdapat
beberapa kutub pemikiran yang memperlakukan keduanya secara berbeda antara pro-kontra. Para
intelektual senior sebelum al-Jabiri dengan melakukan beberapa dialog dan kajian di antara mereka
untuk menentukan format terbaik dalam merekonstruksi akal Arab tentang turâts yang tengah
mengalami keterpurukan saat itu.
Al-Jabiri memandang bahwa turâts yang dibangun oleh Barat telah menghujamkan kaki-kakinya secara
paksa. Hal ini telah berlangsung sejak adanya imperialisme dan kolonialisme di negara-negara Arab.
Barat menurut Jabiri telah memaksakan dirinya sebagai model yang mendunia. Seolah turâts Eropa
menjadi sebuah model kemajuan yang harus ditiru oleh negara-negara muslim yang nota bene tengah
dijajah oleh Barat. unsur-unsur yng telah membangun turâts Eropa adalah semangat untuk menguasai
wilayah lain sebagai bagian dari kedaulatannya, sehingga dengan sendirinya mereka dapat
memasukkan budaya sekuler yang mereka miliki. Hal ini menunjukkan adanya konflik kepentingan
ideologi yang dihembuskan dunia Barat.
Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya ideologi tandingan yang muncul dari negara-negara di dunia
Ketiga, khususnya dari Dunia Arab-Islam. Alur yang ditawarkan oleh ideologi baru ini mesti
melakukan perlawanan terhadap dominasi Barat. Secara politis, alur ini akan banyak tergantung pada
kepemimpinan yang dimunculkan oleh negara-negara ini sebagai pembela kepentingan turâts. Mereka
yang mampu memainkan perannya sebagai pengususng turâts tandingan adalah mereka yang memiliki
kualitas yang "menjanjikan", yakni negara yang memiliki turâts, dengan keunggulan budaya dan
keberlangsungan peranan yang dimainkannya secara historis, peranan regional yang tak tertandingi,
dan pengalaman dalam mengaplikasikan turâts untuk perubahan (revolusi), serta adanya desakan
eksternal yang mematikan langkah-langkah turâts selama ini.
Penulis adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan alumni S2 IAIN Sumatera Utara
Medan.
Pustaka Acuan
Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi (Bandung: Gema Risalah
Press,1996).
Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988).
Al-Jabiri, Bunyah al-'Aqlu al-'Arabi, (Beirut:Dar al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).
__________, Iskaliyyat al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir, (Beirut: Markaz Dirasah al-
Arabiyah).
___________,al-Turâts wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasat (Beirut: al-Markaz al
Tsaqafi al- Arabi, 1991).
____________, al- 'Aql al-Siyasi al-'Arabi Muhadditatuh wa Tajaliyyatuh (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1991).
____________, Takwin al-Aql al-Arabi (Beirut: Markaz al Tsaqafi al Arabi, 1991).
Akbar S Ahmed, Postmpdernism and Islam: Predicament and Promise terj
Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan
cet IV, 1996) hlm.52).
A.W. Benn, History of English Rationalism in the Nieteenth Cnetury (New York: Rusell
and Rusel, 1962).
Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988).
Ahmad Baso,"Pengantar dalam Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS,
2000)
Ali Harb, Naqd al-Nass (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1993).
A.Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, edisi revisi, (Jakarta:
Rajawali Perss, cet II, 2002).
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta:
LSSPA, 2000)
______________, Islam dan Pembebasan terj Hairus Salim, (Yogyakarta: LKiS, 1993).
Arthur Hyman dan James Walsh ed, Philosophy in the Middle Age (Indianapolis: Hacket
Publishing Company, 1986).
Al-Zarqani, Manabil al-Arfan fi Ulumul Qur’an (Mesir: Isa al-Baby, tt.
Evrand Ibrahamian, Khomeinism:Essay on the Islamic Republic,(London: Tauris, 1993).
Ibn Rusyd¸ Kaitan Filsafat Dengan Syari'at¸ terj Shadiq nor, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996).
Fuad Jabali, Ibn Khaldun and IslamicTthought Style A Sosial Perspectif, terj Ibn
Khaldun Dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus cet II, 2003).
M. Aunul Abied Shah, ed, Islam Garda Depan: Mosaik pemikrian Islam Timur Tengah,
(Bandung: Mizan, cet I, 2001)
Parvis Morewedge, Islamic Philosofhy and Mysticism (New York: Caravan Books,
1981)
Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise terj
Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan
cet IV, 1996)
Smith Alhadar, Palestina dalam Pandangan Imam Khomeini, (Jakarta: Madani Grafika,
2004).
Solomon Grayzel, A History of The Jews, (New York: Meridian 1984.
Stephen R. Humpreys, "artikel dalam Michael Curtis" (Ed.), Religion and Politics in
Middle East, (Boulder: Westview, 1981).
The Charter of Allah: The Platform Islamic Resistance Movement (HAMAS),
htt://www.fas.org/irp/world/para/docs/880818.htm, 25.02/06.
The HAMAS Background, Information Division, Israel Foreign Ministry – Jerusalem
Mail all Queries to ask@israel-info.gov.il. URL: http://www.israel-mfa.gov.il.
Gopher://israel-info. gov.il.
Tore Kjeilen, Encyclopaedia of Orient, Atlas of the Orient, Babel: arabic,
W. Lacquer, A. History of Zionism, (New York: 1972).
Yusril Ihza Mahendara, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999).
Yusuf Qardhawi, Al Quds Masalah Kita Bersama, terj. Tim Samahta-Sanggar Terjemah
dan Pustaka ICMI Orsat Kairo, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999).
Sumber:www.litagama.org

from:wacanaislam.blogspot.com

You might also like