Professional Documents
Culture Documents
kulitnya kuning langsat. Seperti kulitku. Aida. Dulu ia teman baikku. Tapi, setelah
ia bertemu Ayu dan kawan-kawan ia bukan lagi teman dekatku. Bisa dibilang, ia
lupa denganku. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Mungkin,
karena pengaruh Ayu. Ayu memang sangat cantik. Bahkan sangat cantik.
aku begitu merindukannya. Tapi aku juga membencinya. Tidak begitu juga sih.
*****************
Hari ini begitu panas. Aku dan Dian tak henti-hentinya berkipas. Sudah
kelas.
“Eh! Enak aja, lo nuduh-nuduh gue! Gue bukan pencuri! Inget itu!”
Aida tak mau kalah. Ayu dan kawan-kawannya terus mencerca Aida. Kebanyakan
1
anak berbisik-bisik. Tapi, tak ada satu pun yang melerai. Sampai pada
puncaknya…
“heh! Perlu bukti apa lagi! Liat nih! Jelas-jelas HP gue ada di tas lo!”
menuduh Aida pencuri. Karena, handphone Rosa hilang dan di temukan di tas
Aida. Aida menangis dan terus berbicara. Melawan diri walau sendiri. Aku yang
gadis yang kini begitu lemah segera menghambur ke pelukanku. Dian terus
memegangi tanganku.
“heh! Ayu, Rosa, Mia, Ruth, Intan!! Seruku kesal. Seluruh orang
gue! Nih buktinya!” tiba-tiba seorang guru BP yang tak ku kenal menghampiri
kami.
“ikut saya ke kantor!” ujar beliau. Aku menarik tangan Aida yang
itu, ku dekap tubuh lemah sahabatku. Ia terus terisak. Aku juga bingung harus
berbuat apa.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya guru yang bernama Maria itu.
2
“jadi gini, Bu Maria. Mereka nuduh Aida sebagai pencuri tanpa bukti
yang jelas…”
“gak Bu! …” aku segera memotong ucapan Ayu. Walau aku tahu itu
“bener kok, Bu! Tiba-tiba mereka semua tuduh dia. Padahal tadi saya
lihat sendiri dia lagi duduk diam di luar kelas. Tiba-tiba mereka datang dan
tertuju padaku. Terutama Ayu dan Rosa. Aida berbisik pelan di telingaku,
menggenggam tangannya.
“heh! Jangan sok pahlawan deh lo! Lo tuh gak tahu apa-apa!” seru
Ruth tiba-tiba.
“jadi gini, Bu. Tadi saya lagi duduk di luar kelas. Tiba-tiba Rosa nanya
sentuh HP dia yang katanya baru itu.” Aida menelan ludah. Dan terus
menjelaskan,
3
“saya gak tuduh dia, Bu! Temen-temen saya aja tuh heboh. Saya juga
gak tahu apa-apa.” Ku yakin itu hanya alasan. Karena wajah anak itu seperti
orang ketakutan.
“Ya sudah. Kami akan menindak lanjuti kasus ini untuk beberapa hari
*********************************************
Sudah dua hari ini Aida bermusuhan dengan Ayu dan kawan-kawan.
adalah Intan. Karena dari beberapa hari yang lalu Intan sudah bergelagak seperti
ada yang tidak beres. Intan pula yang selalu mengompori Rosa agar bertambah
Aida dan Intan memang tidak begitu akur. Mungkin itu yang membuat
Aida berani menuduh Intan. Ah, sudahlah, ini bukan urasanku. Lebih baik aku
*********************************************
“Heh, Sena! Minggir lo!” seru Ayu dari depan kelas. Aku tak juga
kelas.
4
“siapa juga yang ngelucu!” bantah Mia.
“siapa bilang udah gede! Week,” Mia menjulurkan lidah nya. Aku
Intan disana. Ya, sudah beberapa hari gadis itu tidak masuk sekolah.
“eh, Mia! Mereka lagi ngapain sih?” tanyaku agak berbisik. Semoga
Intan… uppss!!” Mia menutup mulut dengan tangannya sendiri. Aku segera
“Gak apa, Sena. Mereka udah janji kok sama gue, gak bakal ngulangin
itu lagi.” Ucap gadis itu membuatku jengkel. Ah! Apa mau mu Aida!!
“ah, terserah lo deh. Kalo udah begini gue bisa ngomong apa lagi?”
“sabar ya, Sen.” Aku merangkul Dian. Dian memang lebih baik dari
Aida. Setidaknya dia setia dan sangat sabar menghadapiku yang penuh emosi.
“sabar itu perlu. Buat ngedukung lo. Lagian ada kok gunanya. Biar lo
balik ke Ayu and the gank itu. Uh… nyebelin banget sih!” ungkapku. Kami terus
larut dalam pembicaraan sampai bel pulang. Karena seharian tadi kami tak
*********************************************
“Sena… hiks… hiks… maafin gue gak dengar omongan lo… hiks…
hiks…” tiba-tiba Aida datang padaku yang sedang sibuk mengerjakan tugas IPA.
“kenapa lagi lo? Jangan bilang karena Rosa atau Ayu atau siapa lagi
tuh…” kataku agak jutek. Bodoh. Enak saja aku di jadikan pelampiasan atas
katanya, lagi-lagi ia di tuduh menusuk Ayu dari belakang. Semua bermula ketika
Aida sedang berbincang dengan Ryo. Kekasih Ayu. Lalu, Ryo mengungkapkan
bahwa ia menyukai Aida. Ternyata, pada saat itu Ayu berada di belakang mereka
menolak cinta Ryo dan Ryo terus memohon kepada gadis itu untuk menerima
cintanya.
“lo juga bodoh. Kenapa lo nggak jelasin semuanya ke Ayu dari awal.
Dari pertama Ryo ngedeketin lo. Jadi sekarang salah siapa?” ucapku ketus. Aida
memang gadis lemah yang tak bisa apa-apa. Mungkin kedengarannya begitu
masalahnya sendiri. Selalu saja minta bantuan orang lain. Apakah dia tak sadar
*********************************************
Kenapa selalu minta bantuan gue?! Lo inget gak sih, kalo lo lagi susah lo selalu
selesai apa??!! Lo tinggalin gue. Pergi sama teman-teman lo itu! Sakit Aida. Sakit
banget.” Seruku penuh emosi. Bebanku serasa telah terlepas. Dian menarik
tanganku menjauhi Aida. Aku melihat tatapan Dian ke Aida begitu tajam. Anak
itu tak pernah marah. Baru kali ini ku lihat ia begitu marah. Aku juga melirik
sekilas Aida yang menunduk dan menangis sesengkukan tanpa ada yang
*********************************************
Aku bertengkar hebat dengan Aida. Mungkin aku tak akan pernah
Malam itu aku dan Dian sedang asik membahas soal musik di
“udah Sen, biarin aja. Dia udah sakitin lo. Cewek itu gak pantas kita
maafin. Terlalu banyak dosa.” Ucapnya. Tapi aku meluluh dan memaafkan Aida.
“jadi gue harus bantu apa?” tanyaku lembut pada Aida. Aida
tersenyum penuh kemenangan kepada Dian. Aku mencium sesuatu yang tidak
beres.
“Dian, jangan pulang sendirian. Ini udah malam banget. Gue antar
“udah lah Sen, Dian mau pulang sendiri kok. Biarin aja.” Aku melirik
tajam Aida. Ku lihat jam dinding rumahku, menunjukan pukul 21.45 malam.
“udah, gak perlu Sen! Lo urusin aja teman lo itu!” Dian menekankan
ucapannya pada kata TEMAN. Tiba-tiba saja aku memeluk Dian. Seolah tak mau
melepaskannya.
“jangan pergi! Jangan tinggalin gue!” ucapku. Aku pun tang mengerti
“gue harus pergi cantik… udah ada Aida yang bisa gantiin gue. Jaga
“nggak Dian. Nggak ada yang bisa gantiin posisi lo! Sekalipun Aida.”
“Ah!!! Kalian ini kenapa sih???!!! Apa-apa an!! Hey! Sadar dong! Kita
ini sahabat baik dan nggak mungkin berpisah! Gue nggak mau kehilangan
8
“aku pamit ya, Sena. Aida. Hmm… maafin semua kesalahanku.”
AKU ??? jarang sekali kami berbicara ‘aku’ dan ‘kamu’ satu sama lain. Biasanya
“oke. Kalo itu mau lo, Yan.” Sekali lagi ku peluk sahabatku itu. Sena
rumahku. Kebetulan motorku sedang di pakai Kak Toni. Kakak laki-lakiku yang
PRANG !!!
Aku menjatuhkan foto. Fotoku dan Dian. Ku tatap wajah Dian di dalam
foto itu. Begitu manis. Wajahnya teduh. Sayang, bingkainya pecah dan wajah
“Kenapa Sen?” Tanya Aida. Rumahku dan rumah Aida memang tak
“emm… foto gue… bareng Dian pecah, pas…” belum selesai aku
“Halo Assalamualaikum…”
seberang.
“Dian masih di sana ya? Belum pulang dari tadi.” Jelas Mamanya Dian.
9
“yang bener Sena! Jangan bercanda!” aku langsung menjatuhkan
“mamanya Dian! Ini Aida, Sena hampir pingsan. Dian udah pulang
kok.” Aku berusaha menyadarkan diriku. Mama dan Papaku sendiri sudah
tertidur pulas. Aku langsung menaiki sepeda dan mengacu dengan kecepatan
yang sangat cepat. Aku tak ingat dimana Aida. Mungkin ia menyusul. Seingatku,
Dian tadi naik angkot menuju rumahku. Maka, sekarang aku harus menyusuri
jalannya. Saat aku mengacu sepeda, di ujung sana terdapat banyak orang yang
berkerumun. Jantungku berdegup kencang. Aku lemas dan hampir pingsan lagi.
“ayo Sena! Harus kuat!” aku membatin. Sampai di kerumunan itu aku
“itu Kak, ada tabrakan angkot sama angkot. Angkot yang satunya lagi
Dian !
itu. Dan langsung menangis. Dian! Wajahnya penuh goresan kaca mobil. Darah
terus mengucur. Tapi tak ada satupun warga yang berusaha menolong.
Dan menelfon Rumah Sakit. Tak lama, ambulans pun datang. Dian di bawa ke
Rumah Sakit yang aku sendiri pun tak tahu apa namanya. Sesampainya di
Rumah Sakit aku segera menelfon keluarga ku dan keluarga Dian. Mereka
10
“ini semua karena lo!!!! Lo penyebabnya!” omelku pada Aida
“kalo lo nggak dateng, Dian nggak akan minta pulang, dan kalo lo
nggak ngomporin supaya Dian pulang, Dian nggak akan naik angkot. Dan nggak
PLAK!!!
“jaga mulut lo! Lebih baik lo yang mati! Nggak ada yang butuhin lo!
“Mbak Sena… Mbak Sena… Mbak Dian…” isak Alika. Alika adalah adik
“HAH?? Kamu gak boleh ngomong kayak gitu! Dian nggak mungkin
ninggalin kita!”
“Alika gak boleh ngomong kayak gitu. Kematian hanya Allah yang
tahu. Kalau Alika ngomong kayak gitu, berarti Alika mendahului Tuhan.” Jelasku
kesembuhan Dian.
11
*********************************************
Matahari belum terbit. Tapi kegiatan Rumah Sakit itu sudah berjalan.
Aku mengintip kamar tempat Dian di rawat. Disana banyak sekali suster dan dua
orang dokter. Sang dokter memasang sebuah alat serupa gosokan yang di
Aku ingat buku itu buku diary pemberianku ketika Dian berulang tahun.
“tapi Mbak Dian pernah bilang, kalau dia sudah meninggal kita boleh
baca.”
“Mbak salah kalo bicara kayak gitu! Semua manusia pasti akan
meninggal.”
“baiklah..”
Kami pun membaca buku itu penuh dengan rasa haru. Di bagian
depan banyak tertulis puisi. Puisi indah karya nya. Sampai hampir ke belakang
12
Aida emang nggak pantes buat jadi sahabat Sena. Dia selalu sakitin Sena.
Mungkin cuman gue yang pantes jadi sahabat cewek itu. Gue benci banget sama
Aida. Udah dua kali Aida kirim SMS ke gue yang isi nya gue harus jauh-jauh dari
Sena. Emang dia siapa! Gue itu sahabat dia dan dia bukan siapa-siapa Sena.
Emang sih, Sena selalu mentingin Aida. Tapi toh… Aida selalu sakitin Sena. Tapi
gue sabar aja ngadepin tuh cewek. Ah Aida! Pergi lo dari hidup gue!
*********************************************
Lagi lagi Aida kirim SMS ke gue, dia caci maki gue dan nuduh ini itu yang gak
bener. Tuhan… berapa lama lagi saya harus sabar. Tapi, gue seneng banget tadi
Sena marahin Aida. Aida emang nyusahin. Dan dia cewek terjelek yang pernah
*********************************************
*********************************************
Gue sempetin nulis diary lagi. Aida SMS gue lagi dan suruh gue pergi dari rumah
Sena. Gak tau apa yang bakal terjadi malam ini. Nikmati saja… K
13
Aku menangis membaca diary itu. Banyak hal tentang aku. Aku baru
“Saudara Sena, Dian ingin berbicara pada Anda.” Ucap suster itu. Aku
segera memasuki kamar Dian dengan tergesa-gesa. Rasanya ruangan ini begitu
“gue baca diary lo! Apa bener Aida suka SMS lo?” tanyaku sambil
menangis.
Dian mengangguk.
“don’t cry friend…” ucap Dian. Ahh.. itu ucapan yang sering ku ucapkan.
“dan sekarang gue yang harus bilang ke elo. Please, don’t cry… my
best friend…”
“maafin gue ya, Sen? Udah bikin lo susah…” aku mengangguk. Tiba-
tiba layar yang menunjukan kondisi jantung Dian melemah. Berubah menjadi
14
Dokter dan suster pun datang dengan tergesa-gesa. Keluargaku,
keluarga Dian, Alika dan juga Aida. Semua menunggu dengan berbagai macam
rasa. Takut. Itu salah satunya. Aku sangat mengantuk dan tak terasa tertidur di
*********************************************
Rumah yang dulu begitu ramai dengan kicauannya, kini sepi. Diganti
dengan duka yang menghias. Kelas yang dulu penuh tawa, kini sunyi. Di ganti
renungan dan isakan tangis. Hari-hariku yang dulu begitu indah, kini begitu
senyap. Tak ada lagi yang berkata sabar padaku. Tak ada lagi yang memegangi
tanganku ketika aku di selimuti emosi. Kini Dian telah tiada. Ia begitu banyak
mengajariku pengalaman hidup. Ia yang selalu ada saat aku sedih maupun
Doaku menyertaimu…
15