You are on page 1of 15

DON’T CRY MY BEST FRIEND

Namanya Aida. Ia gadis teman sekelasku. Wajahnya cantik dan

kulitnya kuning langsat. Seperti kulitku. Aida. Dulu ia teman baikku. Tapi, setelah

ia bertemu Ayu dan kawan-kawan ia bukan lagi teman dekatku. Bisa dibilang, ia

lupa denganku. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Mungkin,

karena pengaruh Ayu. Ayu memang sangat cantik. Bahkan sangat cantik.

Banyak teman laki-laki di kelasku yang berterus terang bahwa mereka

menyukainya. Tidak sedikit yang mengaku sangat mencintainya.

Kini Aida sudah berubah. Sangat-sangat-sangat-berubah! Terkadang,

aku begitu merindukannya. Tapi aku juga membencinya. Tidak begitu juga sih.

Jadi, apa kata yang cocok untuk melampiaskan kekesalanku ?

*****************

Hari ini begitu panas. Aku dan Dian tak henti-hentinya berkipas. Sudah

dua botol es teh manis kami habiskan.

Sedang asik-asiknya berbincang, tiba-tiba terdengar keributan di luar

kelas.

“alaahh… sekali pencuri ya tetep pencuri!” bentak Rosa menuduh.

Aida menunduk ketakutan. Berusaha menahan tangis.

“Eh! Enak aja, lo nuduh-nuduh gue! Gue bukan pencuri! Inget itu!”

Aida tak mau kalah. Ayu dan kawan-kawannya terus mencerca Aida. Kebanyakan

1
anak berbisik-bisik. Tapi, tak ada satu pun yang melerai. Sampai pada

puncaknya…

“heh! Perlu bukti apa lagi! Liat nih! Jelas-jelas HP gue ada di tas lo!”

seru Rosa mengacung-acungkan Handphonenya. Ternyata, mereka semua

menuduh Aida pencuri. Karena, handphone Rosa hilang dan di temukan di tas

Aida. Aida menangis dan terus berbicara. Melawan diri walau sendiri. Aku yang

tak tahan mendengar adu mulut itu segera memisahkan mereka.

“udah ! udah! Udah! Cukuuuuuuuuupp!!!” teriakku histeris. Aida,

gadis yang kini begitu lemah segera menghambur ke pelukanku. Dian terus

memegangi tanganku.

“Sena… udah, tahan emosi lo!”

“gak bisa, Yan! Aida udah terlalu sering disakitin.”

“heh! Ayu, Rosa, Mia, Ruth, Intan!! Seruku kesal. Seluruh orang

menatapku heran. Berani sekali… mungkin begitu pikir mereka.

“atas dasar apa lo nuduh sahabat baik gue! Mana buktinya??!!”

“ngapain sih lo ikut campur! Jelas-jelas sahabat lo itu udah nyuri HP

gue! Nih buktinya!” tiba-tiba seorang guru BP yang tak ku kenal menghampiri

kami.

“ikut saya ke kantor!” ujar beliau. Aku menarik tangan Aida yang

gametaran mengikuti guru BP itu. Sesampainya di ruang yang sangat tertutup

itu, ku dekap tubuh lemah sahabatku. Ia terus terisak. Aku juga bingung harus

berbuat apa.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya guru yang bernama Maria itu.

Sebelum yang lain berbicara, aku segera berkata,

2
“jadi gini, Bu Maria. Mereka nuduh Aida sebagai pencuri tanpa bukti

yang jelas…”

“gak Bu! …” aku segera memotong ucapan Ayu. Walau aku tahu itu

tidak sopan, aku harus lakukan itu.

“bener kok, Bu! Tiba-tiba mereka semua tuduh dia. Padahal tadi saya

lihat sendiri dia lagi duduk diam di luar kelas. Tiba-tiba mereka datang dan

nuduh yang enggak-enggak.” Jelasku sedikit berbohong. Lagi-lagi semua mata

tertuju padaku. Terutama Ayu dan Rosa. Aida berbisik pelan di telingaku,

“makasih ya, Sena. Lo emang sahabat gue.” Aku mengangguk dan

menggenggam tangannya.

“heh! Jangan sok pahlawan deh lo! Lo tuh gak tahu apa-apa!” seru

Ruth tiba-tiba.

“tauk lo! Ngapain sih lo ikut campur?!” Tanya Mia.

“sudah … sudah ! jadi sebenarnya apa yang terjadi?! Saya ingin

dengar penjelasan dari masing-masing anak!”

“mungkin di mulai dari kamu, Aida.” Ujar beliau menunjuk Aida.

“jadi gini, Bu. Tadi saya lagi duduk di luar kelas. Tiba-tiba Rosa nanya

in HP nya. Anak-anak langsung nuduh saya. Padahal jelas-jelas saya nggak

sentuh HP dia yang katanya baru itu.” Aida menelan ludah. Dan terus

menjelaskan,

“saya bingung dong, kenapa mereka tuduh saya! Terus ya mereka

cek tas saya, tanpa seizin saya.”

“cukup.” Kata guru itu.

“sekarang kamu, Ayu.”

3
“saya gak tuduh dia, Bu! Temen-temen saya aja tuh heboh. Saya juga

gak tahu apa-apa.” Ku yakin itu hanya alasan. Karena wajah anak itu seperti

orang ketakutan.

Dan akhirnya semua telah melontarkan pendapatnya. Termasuk aku.

“Ya sudah. Kami akan menindak lanjuti kasus ini untuk beberapa hari

kedepan. Sebaiknya sekarang kalian kembali ke kelas.” Ucap Bu Maria mengelus

pundakku. Kami pun menuju kelas dengan perasaan kesal.

*********************************************

Sudah dua hari ini Aida bermusuhan dengan Ayu dan kawan-kawan.

Kemarin, Aida datang kerumahku sambil menangis. Menurutnya, pencurinya

adalah Intan. Karena dari beberapa hari yang lalu Intan sudah bergelagak seperti

ada yang tidak beres. Intan pula yang selalu mengompori Rosa agar bertambah

marah pada Aida.

Aida dan Intan memang tidak begitu akur. Mungkin itu yang membuat

Aida berani menuduh Intan. Ah, sudahlah, ini bukan urasanku. Lebih baik aku

mengurusi masalahku sendiri.

*********************************************

“Heh, Sena! Minggir lo!” seru Ayu dari depan kelas. Aku tak juga

menuruti perintahnya. Memangnya dia siapa?! Mia segera menyeretku keluar

kelas.

“ih! Apaan sih lo! Gak lucu tauk!”

4
“siapa juga yang ngelucu!” bantah Mia.

“lepasin gue! Kayak anak kecil tauk!”

“siapa bilang udah gede! Week,” Mia menjulurkan lidah nya. Aku

segera menuju jendela kelas. Mengintip apa yang sedang terjadi.

Dian dan Aida sedang di kerubungi Ayu dan kawan-kawan. Wajah

mereka ketakutan. Rosa terus berbicara sambil menunduk. Tak ku temukan

Intan disana. Ya, sudah beberapa hari gadis itu tidak masuk sekolah.

“eh, Mia! Mereka lagi ngapain sih?” tanyaku agak berbisik. Semoga

cewek bodoh ini mau memberi tahu.

“oh, itu. Mereka mau minta maaf ma Aida. Ternyata pelakunya si

Intan… uppss!!” Mia menutup mulut dengan tangannya sendiri. Aku segera

menghampiri kerumunan itu.

“Aida! Lo masih mau maafin mereka setelah lo di permaluin kayak

gitu?!” tanyaku sedikit membentak. Dia segera mendekatiku. Dian selalu

memegangi tanganku. Mungkin takut aku menonjok pipi mulus mereka.

“Gak apa, Sena. Mereka udah janji kok sama gue, gak bakal ngulangin

itu lagi.” Ucap gadis itu membuatku jengkel. Ah! Apa mau mu Aida!!

“ah, terserah lo deh. Kalo udah begini gue bisa ngomong apa lagi?”

ujarku langsung mengajak Dian pergi dari kerumunan itu.

“sabar ya, Sen.” Aku merangkul Dian. Dian memang lebih baik dari

Aida. Setidaknya dia setia dan sangat sabar menghadapiku yang penuh emosi.

“sabar. Sabar. Sabar. Sebenernya apa gunanya lo ngomong sabar ke

gue? Toh gak ada gunanya. Cuman bikin emosi!”

“sabar itu perlu. Buat ngedukung lo. Lagian ada kok gunanya. Biar lo

bisa nahan emosi.”


5
“Aida tuh gak tau terima kasih banget sih! Udah gue bantu. Malah

balik ke Ayu and the gank itu. Uh… nyebelin banget sih!” ungkapku. Kami terus

larut dalam pembicaraan sampai bel pulang. Karena seharian tadi kami tak

belajar. Tak ada satu pun guru yang masuk.

*********************************************

“Sena… hiks… hiks… maafin gue gak dengar omongan lo… hiks…

hiks…” tiba-tiba Aida datang padaku yang sedang sibuk mengerjakan tugas IPA.

“kenapa lagi lo? Jangan bilang karena Rosa atau Ayu atau siapa lagi

tuh…” kataku agak jutek. Bodoh. Enak saja aku di jadikan pelampiasan atas

kekesalannya. Kalau sedih datang padaku. Kalau senang, mana ingat!

“maafin gue Sena! Dian! Hiks…hikss..” Aida bercerita padaku,

katanya, lagi-lagi ia di tuduh menusuk Ayu dari belakang. Semua bermula ketika

Aida sedang berbincang dengan Ryo. Kekasih Ayu. Lalu, Ryo mengungkapkan

bahwa ia menyukai Aida. Ternyata, pada saat itu Ayu berada di belakang mereka

dan mendengar semua yang mereka bicarakan. Padahal, jelas-jelas Aida

menolak cinta Ryo dan Ryo terus memohon kepada gadis itu untuk menerima

cintanya.

“Ryo aja yang kegatelan!” ungkap Aida kesal.

“lo juga bodoh. Kenapa lo nggak jelasin semuanya ke Ayu dari awal.

Dari pertama Ryo ngedeketin lo. Jadi sekarang salah siapa?” ucapku ketus. Aida

memang gadis lemah yang tak bisa apa-apa. Mungkin kedengarannya begitu

kasar. Tapi memang begitu adanya. Ia tak pernah bias menyelesaikan

masalahnya sendiri. Selalu saja minta bantuan orang lain. Apakah dia tak sadar

akan sifatnya? Entahlah…


6
“gue kan nggak tau kalo bakal berujung begini. Kalo tau juga gue

bakal kayak gini..” Aida masih terisak.

“sabar ya,” aku menepuk-nepuk pundaknya. Lantas meninggalkan

gadis itu merenungkan semuanya.

*********************************************

“Sena! Bantu gue!” seru Aida duduk di sebelahku. Dian memegangi

tanganku. Ah, anak itu.

“dengar ya Aida! Lo nggak bisa apa ngatasin masalah lo sendiri?

Kenapa selalu minta bantuan gue?! Lo inget gak sih, kalo lo lagi susah lo selalu

datang ke gue. Mohon-mohon minta bantuan gue. Tapi, setelah masalah lo

selesai apa??!! Lo tinggalin gue. Pergi sama teman-teman lo itu! Sakit Aida. Sakit

banget.” Seruku penuh emosi. Bebanku serasa telah terlepas. Dian menarik

tanganku menjauhi Aida. Aku melihat tatapan Dian ke Aida begitu tajam. Anak

itu tak pernah marah. Baru kali ini ku lihat ia begitu marah. Aku juga melirik

sekilas Aida yang menunduk dan menangis sesengkukan tanpa ada yang

membantu. Sungguh tak tega.

*********************************************

Aku bertengkar hebat dengan Aida. Mungkin aku tak akan pernah

memaafkannya. Begini ceritanya…

Malam itu aku dan Dian sedang asik membahas soal musik di

rumahku. Tiba-tiba Aida datang. Masih dengan tangisnya.


7
“Sena… Dian… hiks… maafin gue!” ringkuhnya.

“udah Sen, biarin aja. Dia udah sakitin lo. Cewek itu gak pantas kita

maafin. Terlalu banyak dosa.” Ucapnya. Tapi aku meluluh dan memaafkan Aida.

“jadi gue harus bantu apa?” tanyaku lembut pada Aida. Aida

tersenyum penuh kemenangan kepada Dian. Aku mencium sesuatu yang tidak

beres.

“gue pulang, Sen.” Seru Dian dengan kesal. Wajahnya memerah

tanda kemarahannya padaku.

“Dian, jangan pulang sendirian. Ini udah malam banget. Gue antar

ya?” tanyaku merangkulnya.

“udah lah Sen, Dian mau pulang sendiri kok. Biarin aja.” Aku melirik

tajam Aida. Ku lihat jam dinding rumahku, menunjukan pukul 21.45 malam.

“udah, gak perlu Sen! Lo urusin aja teman lo itu!” Dian menekankan

ucapannya pada kata TEMAN. Tiba-tiba saja aku memeluk Dian. Seolah tak mau

melepaskannya.

“jangan pergi! Jangan tinggalin gue!” ucapku. Aku pun tang mengerti

apa yang ku ucapkan itu. Dian balas memelukku.

“gue harus pergi cantik… udah ada Aida yang bisa gantiin gue. Jaga

diri lo ya.” Ucapnya membuatku terisak. Aida hanya diam.

“nggak Dian. Nggak ada yang bisa gantiin posisi lo! Sekalipun Aida.”

“jadi gitu ya, Sena?!” Tanya Aida.

“Ah!!! Kalian ini kenapa sih???!!! Apa-apa an!! Hey! Sadar dong! Kita

ini sahabat baik dan nggak mungkin berpisah! Gue nggak mau kehilangan

kalian. Sahabat terbaik gue.”

8
“aku pamit ya, Sena. Aida. Hmm… maafin semua kesalahanku.”

AKU ??? jarang sekali kami berbicara ‘aku’ dan ‘kamu’ satu sama lain. Biasanya

‘gue’ dan ‘elo’.

Aku mengangguk dan berkata,

“oke. Kalo itu mau lo, Yan.” Sekali lagi ku peluk sahabatku itu. Sena

pun jalan ke pertigaan jalan. Kami mengantarnya sampai ke ujung gang

rumahku. Kebetulan motorku sedang di pakai Kak Toni. Kakak laki-lakiku yang

bekerja paruh waktu.

PRANG !!!

Aku menjatuhkan foto. Fotoku dan Dian. Ku tatap wajah Dian di dalam

foto itu. Begitu manis. Wajahnya teduh. Sayang, bingkainya pecah dan wajah

Dian tergores pecahan kaca itu.

“Kenapa Sen?” Tanya Aida. Rumahku dan rumah Aida memang tak

begitu jauh. Sehingga ia pernah beberapa kali menginap.

“emm… foto gue… bareng Dian pecah, pas…” belum selesai aku

berbicara, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kami tersentak kaget.

“Halo Assalamualaikum…”

“wa’alaikum salam… Sena, ini mama nya Dian.” Kata suara di

seberang.

“oh, kenapa Mama Dian?”

“Dian masih di sana ya? Belum pulang dari tadi.” Jelas Mamanya Dian.

Nada suaranya terdengar sangat gelisah.

“HAH????” aku tersentak kaget.

“udah Tante! Dari setengah jam yang lalu kok!”

9
“yang bener Sena! Jangan bercanda!” aku langsung menjatuhkan

handphoneku. Dan hampir pingsan.

“mamanya Dian! Ini Aida, Sena hampir pingsan. Dian udah pulang

kok.” Aku berusaha menyadarkan diriku. Mama dan Papaku sendiri sudah

tertidur pulas. Aku langsung menaiki sepeda dan mengacu dengan kecepatan

yang sangat cepat. Aku tak ingat dimana Aida. Mungkin ia menyusul. Seingatku,

Dian tadi naik angkot menuju rumahku. Maka, sekarang aku harus menyusuri

jalannya. Saat aku mengacu sepeda, di ujung sana terdapat banyak orang yang

berkerumun. Jantungku berdegup kencang. Aku lemas dan hampir pingsan lagi.

“ayo Sena! Harus kuat!” aku membatin. Sampai di kerumunan itu aku

langsung bertanya pada salah seorang penduduk.

“ada apa sih, Dek?”

“itu Kak, ada tabrakan angkot sama angkot. Angkot yang satunya lagi

mabok dah kayaknya. Kita mah kaga merhatiin……..”

Dian !

Nama Dian berkecamuk di otakku. Aku segera menerobos kerumunan

itu. Dan langsung menangis. Dian! Wajahnya penuh goresan kaca mobil. Darah

terus mengucur. Tapi tak ada satupun warga yang berusaha menolong.

“CEPET PANGGIL AMBULANS!!!!!!!” teriakku histeris. Air mataku terus

mengalir deras. Sontak, semuanya langsung heboh kebingungan. Kurogoh

kantong, tak kutemukan HP ku. Aku langsungh merampas sebuah handphone.

Dan menelfon Rumah Sakit. Tak lama, ambulans pun datang. Dian di bawa ke

Rumah Sakit yang aku sendiri pun tak tahu apa namanya. Sesampainya di

Rumah Sakit aku segera menelfon keluarga ku dan keluarga Dian. Mereka

sangat kaget. Seperti ekspresiku tadi.

10
“ini semua karena lo!!!! Lo penyebabnya!” omelku pada Aida

sesampainya ia di Rumah Sakit. Waktu menunjukan pukul 00.21 malam.

“lho, kok gue?”

“kalo lo nggak dateng, Dian nggak akan minta pulang, dan kalo lo

nggak ngomporin supaya Dian pulang, Dian nggak akan naik angkot. Dan nggak

ada kecelakaan ini!!”

“heh! Enak aja lo salahin gue! Biarin aja dia mati!”

PLAK!!!

Aku langsung menampar pipinya.

“jaga mulut lo! Lebih baik lo yang mati! Nggak ada yang butuhin lo!

Dasar cewek nyusahin!!!”

“heh! Gue dari awal juga udah gak suka dia!”

“Mbak Sena… Mbak Sena… Mbak Dian…” isak Alika. Alika adalah adik

Dian. Aku langsung memeluk Alika yang ketakutan.

“kenapa Alika sayang?”

“Mbak Dian mati…”

“HAH?? Kamu gak boleh ngomong kayak gitu! Dian nggak mungkin

ninggalin kita!”

“tapi Alika yakin!” ujar anak berumur 11 tahun itu.

“Alika gak boleh ngomong kayak gitu. Kematian hanya Allah yang

tahu. Kalau Alika ngomong kayak gitu, berarti Alika mendahului Tuhan.” Jelasku

tanpa maksud menggurui.

“Astagfirullah… maaf!” ucapnya. Kami pun berdoa bersama untuk

kesembuhan Dian.

11
*********************************************

Matahari belum terbit. Tapi kegiatan Rumah Sakit itu sudah berjalan.

Aku mengintip kamar tempat Dian di rawat. Disana banyak sekali suster dan dua

orang dokter. Sang dokter memasang sebuah alat serupa gosokan yang di

tempelkan di dada Dian. Lalu melepasnya. Begitu seterusnya.

Tiba-tiba Alika datang membawa sebuah buku bersampul Hello Kitty.

Aku ingat buku itu buku diary pemberianku ketika Dian berulang tahun.

“ayo kita baca, Mbak…” seru Alika.

“tapi ini diary Dian dan kita nggak boleh buka.”

“tapi Mbak Dian pernah bilang, kalau dia sudah meninggal kita boleh

baca.”

“Alika!! Dian nggak akan mati!”

“Mbak salah kalo bicara kayak gitu! Semua manusia pasti akan

meninggal.”

“baiklah..”

Kami pun membaca buku itu penuh dengan rasa haru. Di bagian

depan banyak tertulis puisi. Puisi indah karya nya. Sampai hampir ke belakang

halaman, kami membaca tulisannya,

Senin, 15 Maret 2001

12
Aida emang nggak pantes buat jadi sahabat Sena. Dia selalu sakitin Sena.

Mungkin cuman gue yang pantes jadi sahabat cewek itu. Gue benci banget sama

Aida. Udah dua kali Aida kirim SMS ke gue yang isi nya gue harus jauh-jauh dari

Sena. Emang dia siapa! Gue itu sahabat dia dan dia bukan siapa-siapa Sena.

Emang sih, Sena selalu mentingin Aida. Tapi toh… Aida selalu sakitin Sena. Tapi

gue sabar aja ngadepin tuh cewek. Ah Aida! Pergi lo dari hidup gue!

*********************************************

Selasa, 16 Maret 2001

Lagi lagi Aida kirim SMS ke gue, dia caci maki gue dan nuduh ini itu yang gak

bener. Tuhan… berapa lama lagi saya harus sabar. Tapi, gue seneng banget tadi

Sena marahin Aida. Aida emang nyusahin. Dan dia cewek terjelek yang pernah

gue kenal! Tapi sayang, kayaknya Sena bakal maafin Aida L L L

*********************************************

Kamis, 18 Maret 2001

Gue mau main dirumah Sena! Yeppiee!! Tanpa Aida.

*********************************************

Kamis, 18 Maret 2001

Gue sempetin nulis diary lagi. Aida SMS gue lagi dan suruh gue pergi dari rumah

Sena. Gak tau apa yang bakal terjadi malam ini. Nikmati saja… K

13
Aku menangis membaca diary itu. Banyak hal tentang aku. Aku baru

tahu, ternyata selama ini mereka memperebutkan aku.

“Saudara Sena, Dian ingin berbicara pada Anda.” Ucap suster itu. Aku

segera memasuki kamar Dian dengan tergesa-gesa. Rasanya ruangan ini begitu

jauh dan luas. Sehingga aku tak dapat menjangkaunya.

“Dian! Gue panik banget pas tau lo tabrakan.”

“maafin gue Sena.”

“gue baca diary lo! Apa bener Aida suka SMS lo?” tanyaku sambil

menangis.

Dian mengangguk.

“kenapa nggak pernah bilang?”

“gue gak mau nyusahin lo…”

“seperti Aida nyusahin gue?”

Dian mengangguk lagi. Aku memeluk Dian dan menangis terisak.

“don’t cry friend…” ucap Dian. Ahh.. itu ucapan yang sering ku ucapkan.

“haha.. bisa aja…” Dian menghapus air mataku.

“dulu, lo kan sering bilang kayak gitu ke gue…” kata Dian.

“dan sekarang gue yang harus bilang ke elo. Please, don’t cry… my

best friend…”

“maafin gue ya, Sen? Udah bikin lo susah…” aku mengangguk. Tiba-

tiba layar yang menunjukan kondisi jantung Dian melemah. Berubah menjadi

garis lurus yang terkadang melonjak. Aku segera berteriak.

14
Dokter dan suster pun datang dengan tergesa-gesa. Keluargaku,

keluarga Dian, Alika dan juga Aida. Semua menunggu dengan berbagai macam

rasa. Takut. Itu salah satunya. Aku sangat mengantuk dan tak terasa tertidur di

bangku Rumah Sakit.

*********************************************

Rumah yang dulu begitu ramai dengan kicauannya, kini sepi. Diganti

dengan duka yang menghias. Kelas yang dulu penuh tawa, kini sunyi. Di ganti

renungan dan isakan tangis. Hari-hariku yang dulu begitu indah, kini begitu

senyap. Tak ada lagi yang berkata sabar padaku. Tak ada lagi yang memegangi

tanganku ketika aku di selimuti emosi. Kini Dian telah tiada. Ia begitu banyak

mengajariku pengalaman hidup. Ia yang selalu ada saat aku sedih maupun

senang. Selamat jalan Cantik…

Doaku menyertaimu…

15

You might also like