You are on page 1of 5

Penyebab dan Indikator Kegagalan Bangunan Jalan dan Jembatan

Tuntutan masyarakat akan layanan transportasi semakin meningkat terus sebagai akibat
langsung dari mobilitas manusia dan barang yang meningkat hari demi hari, efektivitas
layanan transportasi sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana dan prasarana transportasi itu
sendiri. Prasarana transportasi (jalan dan jembatan) merupakan salah satu produk dari
kegiatan jasa konstruksi sehingga proses pembangunan prasarana transportasi harus
mengacu Undang-Undang yang berlaku.
Kegagalan bangunan jalan dan jembatan akan menghambat pelayanan transportasi
sehingga keempat unsur yang terkait dengan pembangunan (perencana, pengawas,
pelaksana & pengguna) harus dapat diminta pertanggung jawabnya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, maka untuk itu perlindungan terhadap kegagalan bangunan
sangatlah diperlukan.

A. Definisi Kegagalan Bangunan


Menurut Undang-Undang no.18 tahun 1999 dan PP 29 tahun 2000, Definisi Kegagalan
Bangunan secara umum adalah merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik
sacara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja dan/atau keselamatan umum, sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan
atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi
Jalan & Jembatan berfungsi sebagai prasarana untuk pergerakan arus lalu lintas. Dengan
demikian Jalan dan Jembatan direncanakan agar dapat memberi pelayanan terhadap
perpindahan kendaraan dari suatu tempat ketempat lain dengan Waktu yang Sesingkat
Mungkin dengan persyaratan Nyaman dan Aman (Comfortable and Safe). Sehingga
dapat dikatakan bahwa kecepatan (speed) adalah merupakan faktor yang dapat dipakai
sebagai indikator untuk menilai apakah suatu Jalan/ Jembatan mengalami kegagalan
fungsi Bangunan atau tidak.
Secara khusus definisi Kegagalan Bangunan untuk Jalan dan Jembatan adalah suatu
kondisi dimana bangunan Jalan dan Jembatan tidak mampu melayani pengguna jalan
sesuai dengan kecepatan rencana secara Nyaman dan Aman.

B. Penanggung Jawab Kegagalan Bangunan


Kegagalan bangunan dari segi tanggung jawab dapat dikenakan kepada institusi maupun
orang perseorangan, yang melibatkan keempat unsur yang terkait yaitu : (1) menurut
Undang-undang No. 18 tahun 1999, pasal 26, ketiga unsur utama proyek yaitu:
Perencana, Pengawas dan Kontraktor (pembangun). (2) menurut pasal 27, jika
disebabkan karena kesalahan pengguna jasa/bangunan dalam pengelolaan dan
menyebabkan kerugian pihak lain, maka pengguna jasa/bangunan wajib bertanggung-
jawab dan dikenai ganti rugi.
Kegagalan Perencana
Penyebab kegagalan perencana umumnya disebabkan oleh : (a) Tidak mengikuti TOR,
(b) Terjadi penyimpangan dari prosedur baku, manual atau peraturan yang berlaku, (c)
Terjadi kesalahan dalam penulisan spesifikasi teknik, (d) Kesalahan atau kurang
profesionalnya perencana dalam menafsirkan data perencanaan dan dalam menghitung
kekuatan rencana suatu komponen konstruksi, (e) Perencanaan dilakukan tanpa dukungan
data penunjang perencanaan yang cukup dan akurat, (f) Terjadi kesalahan dalam
pengambilan asumsi besaran rencana (misalnya beban rencana) dalam perencanaan, (g)
Terjadi kesalahan perhitungan arithmatik (h) Kesalahan gambar rencana.
Kegagalan Pengawas
Penyebab kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh : (a) Tidak melakukan
prosedur pengawasan dengan benar, (b) Tidak mengikuti TOR, (c) Menyetujui proposal
tahapan pembangunan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, (d) Menyetujui proposal
tahapan pembangunan yang tidak didukung oleh metode konstruksi yang benar, (e)
Menyetujui gambar rencana kerja yang tidak didukung perhitungan teknis.
Kegagalan Pelaksana
Penyebab kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh : (a) Tidak mengikuti
spesifikasi sesuai kontrak, (b) Salah mengartikan spesifikasi, (c) Tidak melaksanakan
pengujian mutu dengan benar, (d) Tidak menggunakan material yang benar, (e) Salah
membuat metode kerja, (f) Salah membuat gambar kerja, (g) Pemalsuan data profesi, (h)
Merekomendasikan penggunaan peralatan yang salah.
Kegagalan Pengguna Bangunan
Penyebab kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh : (a) Penggunaan bangunanan
yang melebihi kapasitas rencana, (b) Penggunaan bangunan diluar dari peruntukan
rencana, (c) Penggunaan bangunan yang tidak didukung dengan program pemeliharaan
yang sudah ditetapkan, (d) Penggunaan bangunan yang sudah habis umur rencananya.

C. Elemen-lemen Bangunan Yang Potensial Memberi Kontribusi Terhadap Kegagalan


Bangunan
Kekurang memadainya elemen-elemen dari Jalan dan Jembatan yang secara langsung
akan mempengaruhi mutu pelayanan dan kinerja dari prasarana tranportasi yang akan
mememberi konstribusi terhadap kegagalan bangunan. Secara umum konstruksi dari
Jalan sedikit berbeda dengan Jembatan, sehingga pengelompokan elemen elemen yang
berpengaruh terhadap kecepatan berbeda pula.

Kegagalan Bangunan Jalan


(1) Geoteknik
Kegiatan di bidang geoteknik mencakup mulai dari pemilihan trace jalan, penyiapan
badan jalan, timbunan, galian sampai pada penyiapan tanah dasar (subgrade). Dengan
demikian kegagalan di bidang ini dapat berupa : (a) Longsoran badan jalan sebagai akibat
salah pemilihan trase jalan pada daerah yang labil dari segi geologi, (b) Longsoran lereng
timbunan (embankment slope), (c) Longsoran tebing galian (cutting slope), (d)
Penurunan atau kegagalan daya dukung tanah dasar, (e) dan sebagainya.
(2) Geometrik
Kegiatan di bidang geometrik mencakup perencanaan alinyemen baik vertikal maupun
horizontal. Semua besaran dari elemen elemen geometrik sangat tergantung dari kelas
jalan tersebut yang akan mempengaruhi besaran kecepatan rencana (design speed).
Dengan demikian kegagalan di bidang ini dapat berupa : (a) Lebar lajur lalu lintas yang
terlalu sempit, (b) Jari jari tikungan yang terlalu kecil, (c) Jarak pandang (henti dan
menyiap) terlalu pendek, (d) Superelevasi yang tidak memadai, (e) Landai kritis yang
terlalu besar, (f) Cross fall yang tidak memenuhi syarat, (g) Bahu yang terlalu sempit, (e)
dan sebagainya..
(3) Perkerasan
Kegiatan di bidang perkerasan mencakup mulai dari pemilihan bahan lapis pondasi
bawah, lapis pondasi atas dan lapis penutup (sub base, base and wearing course), juga
mencakup perhitungan tebal perkerasan (tebal masing masing lapisan) berdasarkan
perkiraan beban rencana untuk suatu umur rencana tertentu. Dengan demikian kegagalan
di bidang ini dapat berupa : (a) Stripping, (b) Differential settlement, (c) Pothole, (d)
Permanent deformation, (e) Cracks, (f) Polishing, (g) Rutting, (h) dan sebagainya.
Besaran dari semua faktor diatas adalah mutu dari permukaan jalan (riding quality) dalam
bentuk parameter “Kekasaran” (Roughness) dan “Kekesatan” (Skid Resistance).
(4) Drainase dan Perlengkapan Jalan
Kegiatan di bidang drainase dan meliputi pembuatan saluran samping, gorong gorong,
guide post, guard rail, rambu lalu-lintas dll. Dengan demikian kegagalan bangunan di
bidang ini dapat berupa : (a) Saluran samping tidak mampu memuat debit air sehingga
jalan terendam air untuk suatu perioda tertentu, (b) Gorong gorong terlalu kecil sehingga
air melimpas lewat perkerasan (c) Guard rail yang tidak memadai atau tidak ada pada
tempat yang membutuhkan, (d) Guide post yang tidak memadai atau tidak pada tempat
yang membutuhkan, (e) Rambu lalu lintas yang tidak memadai baik dari segi jumlah
maupun dari segi ketepatan jenis rambu lalu lintas yang dibutuhkan, (f) dan sebagainya.

Kegagalan Bangunan Jembatan


(1) Bangunan Bawah
Pondasi adalah merupakan bagian yang paling penting dari bangunan bawah struktur
jembatan yang harus meneruskan beban kendaraan serta bagian-bagian diatasnya ke
lapisan tanah. Kegagalan bangunan bawah (pilar atau abutmen) terjadi apabila
keruntuhan atau amblasnya bangunan bawah tersebut dan atau terjadi keretakan struktural
yang berpengaruh terhadap fungsi struktur bangunan atas. Kegagalan pondasi dibagi
sesuai dengan jenis pondasi yaitu:
(a) Pondasi Langsung, kegagalan pada pondasi langsung secara fisik dapat terjadi apabila
struktur tersebut mengalami:
AMBLAS, berarti elevasi pondasi berada pada level yang lebih rendah daripada elevasi
rencana.
MIRING, berarti posisi pondasi langsung tersebut tidak sesuai dengan posisi vertikal
rencana.
PUNTIR, berarti terjadinya suatu amblas yang disertai posisi miring yang tidak beraturan
.
(b) Pondasi sumuran, kegagalan pondasi sumuran secara fisik sama dengan Pondasi
Langsung.

(c) Pondasi Tiang Pancang Beton/ Baja, kegagalan pondasi tiang pancang beton/ baja
secara fisik dapat terjadi apabila struktur tersebut mengalami:
AMBLAS, berarti elevasi pondasi berada pada level yang lebih rendah daripada elevasi
rencana.
PATAH, yaitu kondisi dimana tidak ada kesatuan antara tiang dan poor bangunan bawah
yang mengakibatkan tiang pancang tidak berfungsi, atau tiang pancang beton mengalami
retak struktural.
(2) Bangunan Atas
Kegagalan Bangunan Atas Jembatan dapat dibagi sesuai dengan jenis bangunan atas
yaitu:
(a) Retak Struktural
Unsur retak akan mempengaruhi kekuatan struktur adalah lebarnya dan kedalaman retak
yang terjadi. Lebar retak yang berlebihan, disamping akan secara langsung mengurangi
kekuatan struktur juga akan memberikan peluang udara dan air yang akan mengakibatkan
terjadinya korosi yang pada akhirnya juga mengurangi kekuatan struktrur. Maka oleh
karena itu lebar maksimum dan kedalaman retak harus dibatasi. Besarnya kedalaman
maksimum retak yang diizinkan adalah proporsional dengan tebal struktur itu sendiri.
(b) Lendutan
Lendutan yang berlebihan, disamping akan mempengaruhi kekuatan struktur juga
mempunyai dampak psikologis bagi sipengendara. Besarnya lendutan maksimum yang
diizinkan adalah proporsional dengan bentang jembatan yang bersangkutan.
(c) Getaran/ Goyangan
Amplitudo getaran harus dibatasi sedemikian rupa, baik akibat angin maupun pergerakan
lalu lintas disamping sehingga masih memenuhi persyaratan baik dari segi stabilitas
struktur maupun dari dari kenyamanan sipengendara. Besarnya amplitudo getaran
maksimum yang diizinkan adalah proporsional dengan bentang jembatan yang
bersangkutan.
(d) Kerusakan Lantai Kendaraan
Kerusakan lantai kendaran berupa retak, terkelupas dan atau pecah akan berpengaruh
secara langsung terhadap riding quality lantai kendaraan yang menyebabkan kenyaman
sipengendara akan berkurang. Maka. luas kerusakan dibatasi tidak boleh melebihi angka
yang dipersyaratkan yaitu persentase luas yang rusak terhadap suatu luas segmen yang
ditinjau.
(e) Tumpuan (Bearing)
Kerusakan tumpuan pada derajat tertentu akan mempengaruhi sistem pendukungan
tumpuan terhadap beban yang pada akhirnya sistem distribusi beban berubah. Oleh sebab
itu tingkat kerusakan tumpuan ini harus dibatasi sehinga tidak sampai merubah sistem
pembebanan original. Besarnya tingkat kerusakan maksimum yang diizinkan tergantung
dari jenis tumpuan itu sendiri.
(f) Expansion Joint
Kerusakan expansion joint yang berupa robek atau terkelupasnya joint sealantnya tidak
terlalu berpengaruh terhadap kekuatan struktur. Namun akan sangat berbahaya jika
lubang yang yang terjadi cukup besar yang dapat mengakibatkan bahaya bagi kendaraan
yang melaju dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu tingkat kerusakan expansion joint
ini harus sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kepada pengendara kendaraan.

D. Acuan Standar
Standar yang dipergunakan adalah standar yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
Republik Indonesia yang sudah mendapat status “Standar Nasional Indonesia” (SNI),
Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) dan Standar standar yang telah
dikeluarkan oleh Dit.Jen. Prasarana Wilaya (Dit.Jen. Binamarga) yang masih dalam
proses menuju RSNI dan SNI. Khusus untuk pekerjaan Jalan dan Jembatan, SNI maupun
RSNI yang sudah ada sebagian besar merujuk kepada Standar-standar yang sudah dikenal
secara internasional (world wide) mis. AASHTO, ASTM , BS, NAASRA dll. Standar
standar tersebut dapat berupa “Metoda”, “Tata Cara” dan “Spesifikasi”.
E. Parameter Yang Diukur dan Persyaratannya
Persyaratan (spesifikasi) yang diperlukan oleh parameter parameter dari elemen elemen
yang potensial terhadap kegagalan bangunan dapat bersifat sangat relatif, untuk jalan
tergantung dari kecepatan rencana dan volume kendaraan yang lewat (LHR) yang akan
menentukan kelas jalan tersebut, dan untuk jembatan tergantung dari jenis dan tipe
jembatan, dimana jenis dan tipe ini dapat dipengaruhi oleh panjang bentang jembatan
tersebut.
Persyaratan dalam bentuk nilai nominal parameter parameter dari Elemen Elemen
Bangunan Jalan dan Jembatan yang potensial memberi kontribusi terhadap Kegagalan
Bangunan beserta Acuan Standar sedang dalam proses penyusunan.

You might also like