Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah,
reaksi atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi
obat, dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau menyertai
campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi.1
Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling banyak ditemukan,
lalu disusul oleh asthma bronchiale dan urticaria. Meskipun rhinitis alergika
kelihatannya tidak seberapa payah, tapi dalam praktek kita, banyak sekali yang
mendapat cukup gangguan-gangguan hidungnya antara lain berair terus sehingga
memakai lebih dari 10 saputangan sehari, matanya berair dan gatal-gatal yang
hilang timbul, berbangkis-bangkis yang tak henti-henti, terutama dipagi hari atau
kalau penderita banyak kena debu. Kalau hal ini dibiarkan terus, kelak akan
timbul berbagai komplikasi yang menyangkut kesulitan-kesulitan di daerah
hidung (sinusitis dsb).1
Pada rhinitis alergika yang menjadi alergen biasanya berbentuk inhalan;
pada asthma bronehiale umumnya juga inhalan, meskipun seperti pada urticaria
semua bentuk alergen dapat menimbulkannya, sehingga pengobatan terbaik dari
penyakit ini adalah dengan menghindari faktor pencetus yaitu alergen.2
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rhinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau
menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rhinitis alergi,
rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam rhinitis kronik.
Rhinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu bentuk rhinitis kronis
adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh kuman Kliebsiella ozaena atau
akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A.2
Rhinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi
hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang
diperantarai IgE.2
Ada 2 jenis rhinitis alergika:
1. Rhinitis alergika perennial
• Alergi terjadi sepanjang tahun
• Alergen yang memicu terutama debu, bulu binatang, tungau, bau
bahan-bahan kimia. Alergen ini ditemui sepanjang tahun
2. Rhinitis alergika seasonal
• Alergi terjadi pada musim-musim tertentu
• Alergen berupa serbuk sari bunga, kayu, rumput dll.3,4
2
2.2 Etiologi
Gejala rhinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:4
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala
rhinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan
alergen hirupan utama penyebab rhinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rhinitis.
Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar
termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
Mekanisme terjadinya rhinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui
lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rhinitis
alergika pada penderita tertentu.
2.3 Patofisiologi
Secara klasik rhinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang
terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat
inflamasi yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rhinitis alergika selain
granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE
rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons
selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel
transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan
RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya
menyebabkan inflamasi alergi.4
3
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil,
sel CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya
terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5,
IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast
menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin
akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES
menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan
masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5.4
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan
cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rhinitis alergika
menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil
menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi
langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator
Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala
bersin.4
Terdapat hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang. Fakta ini
membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF)
dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi
alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons
imun di atas, merupakan tanda penting rhinitis alergika.4
4
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan
sumbatan hidung. Gejala rhinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang
abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas),
allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan
tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal
dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan
sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan.
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan
masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan
disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-
morbiditas. Pengobatan rhinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif
maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non
sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain
yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-
sedang-berat.3,4
5
Gambar 1. Gejala klinis rhinitis alergika
2.5 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik
dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan
riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran
nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rhinitis alergika.
Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang
penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE
spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi
nasal masih terbatas pada bidang penelitian.8
6
Gambar 2. Allergic crease dan allergic shiner sebagai gejala dan tanda dalam
mendiagnosis rhinitis alergika.6
Gambar 3. Uji cukit (skin prick test) untuk menentukan penyebab dari alergi
7
2.6 Diagnosa Banding
Rhinitis alergika harus dibedakan dengan:4,7
1. Rhinitis vasomotor
2. Rhinitis bacterial
3. Rhinitis virus
4. Influenza (Flu)
8
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rhinitis alergika meliputi:1
Rhinitis akut yang menyertai influenza dapat diobati dengan dekongestan
sistemik seperti influenza
Kebiasaan menggunakan kongestan tetes hidung pada rhinitis kronis
sering menyebabkan terjadinya rhinitis medikamentosa yang secara klinis
menyerupai rhinitis vasomotor.
Pada rhinitis atropi hidung dicuci dengan air garam. Dekongestan akan
memperburuk keadaan.
Pengobatan rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor dapat ditambah dengan
CTM 1-2mg/kali.8
Pemilihan Obat-Obatan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain:4
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik.
9
4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4
kali/hari.
5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan
2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15
mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60
mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
7. Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih
parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
• Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4
tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
• Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11
tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,
1 kali/hari.
• Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6
tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai
bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.
8. Leukotrien antagonis
• Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
10
diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rhinitis alergi
dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 tahun setelah dihentikan.3
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih
meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan
kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro. TIAS
menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF-
memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin
tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA. 3
Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rhinitis alergi, derajat mild-
persistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau
tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh
pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu
dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan
yang kompeten.4
Tabel 3. Pengobatan Rhinitis Alergi dan Efeknya
Jenis obat Bersin Rinorea Hidung Gatal Keluhan
tersumbat hidung mata
Antihistamin H1
Oral ++ ++ + +++ ++
Intranasal ++ ++ + ++ -
Intraokuler - - - - +++
Kortikosteroid +++ +++ +++ ++ ++
intranasal
Kromolin
Intranasal + + + + -
Intraokuler - - - - ++
Dekongestan
Intranasal - - +++ - -
Oral - - + - -
Antikolinergik - ++ - - -
Antilekotrien - + ++ - ++
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok
11
pada pengobatan rhinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus,
gastrointestinal, otot polos, dan otak.6
Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal
dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita
rhinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena
12
mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif
mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.6
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan
lambat dari rhinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan
migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-
CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis
dan apoptosis eosinofil 1.6
Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British
Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik
digunakan sebagai terapi lini pertama rhinitis daripada antihistamin, ditilik dari
segi keamanan dan cost-effective-nya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rhinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.6
Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan
cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja
dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah
rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang
terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rhinitis medikamentosa)
dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.6
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6
jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah
tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing
melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.6
13
kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah
frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi
kepatuhan pasien.6
Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rhinitis adalah dengan
cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam
peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab
merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE
dalam darah.6
Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE
bebas dan memperbaiki gejala rhinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,
immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+.
Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.4
Fototerapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rhinitis yang tidak
mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu
dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and
Clinical Immunology 2005.6
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada
beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis
limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan
cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi
gejala rhinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3
minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2
setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan
sebesar 0,06 J/cm2.4
14
Hasilnya, gejala rhinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
Menghindari Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan
menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe
pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. 1
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi.
Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan
maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan
padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah
gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa.
Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
atau berlanjutnya penyakit.6
Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara
rhinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila
dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International
Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico
mengemukakan, rhinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2
juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai
akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika
Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh
dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan
kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat
diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant
inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rhinitis alergi. 6
15
BAB III
KESIMPULAN
1. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rhinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau
menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi.
2. Ada 2 jenis rhinitis alergika:
a. Rhinitis alergika perennial dan
b. Rhinitis alergika seasonal.
3. Gejala rhinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:
a Alergen
b Polutan
c Aspirin
4. Gejala klinis dari rhinitis alergika adalah ingus kental, rinorea, gatal
hidung, bersin-bersin, dan sumbatan hidung. Tanda-tanda fisik yang sering
ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi,
allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema konjungtiva,
mata gatal dan kemerahan.
5. Diagnosis rhinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik
dan uji laboratorium. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau lipid disertai adanya sekret encer bening dan banyak.
Untuk mencari penyebab dapat dilakukan uji cukit (skin prick test), uji gores
(scratch test), uji intrakutan atau intradermal tunggal atau berseri (skin end
point titration) dan intracutaneous provocative food test (IPFT).
6. Pengobatan pada rhinitis alergi meliputi pengobatan dengan dekongestan,
antihistamin dan kortikosteroid.
16
DAFTAR PUSTAKA
17