You are on page 1of 3

MENGUNGKAP MOTIF TERORISME

Oleh: Ahmad Khoirul Fata

Ustad di Pon-Pes Arraudlatul Ilmiyah (Taman Pengetahuan)


Kertosono, Nganjuk, Jatim.

Lagi-lagi agama (baca: Islam) didudukkan di kursi pesakitan


sebagai tertuduh tindakan kekerasan. Setelah
pengungkapan kasus bom dua hotel di Jakarta beberapa
waktu lalu, muncul rencana pengawasan atas aktivitas
dakwah oleh Polri selama Ramadan kemarin. Meski wacana
ini dibantah Kapolri dalam jumpa pers bersama Menag
(25/09/09), tak pelak wacana itu mengundang reaksi dari
ormas Islam. PP Muhammadiyah melalui Ketum Prof Dr Din
Syamsuddin menilai rencana itu terlalu belebihan.

Tentu kita appreciate pada kinerja aparat kepolisian dalam


mengungkap kasus terorisme tersebut. Kita juga
menyambut baik keinginan mencegah hal-hal yang bisa
menimbulkan ancaman terorisme, karena mencegah lebih
baik dari mengobati. Namun pencegahan dengan cara-cara
di atas adalah sebuah langkah konyol yang akan
mengembalikan negeri ini ke kondisi otoritarian ala Orde
Baru.

Pun demikian, hal itu tidak menyentuh akar persoalan


terorisme, bahkan dapat semakin mengembangbiakkan
benih-benih terorisme yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Kompleks

Wacana pengawasan atas dakwah mengekspresikan betapa


masih banyaknya pihak-pihak di negeri ini yang phobia
terhadap Islam. Ketakutan seperti ini memiliki akar
mendalam dalam sejarah negeri ini, mulai dari rezim Orba,
Orla, hingga kolonial Belanda. Tampaknya, sisa-sisa phobia
itu belum lenyap hingga kini. Dan melalui isu terorisme,
mereka pun mencoba ‘menembak’ Islam.

Sesungguhnya mengkaitkan Islam dengan kekerasan atau


terorisme berdasar beberapa kasus terorisme yang
melibatkan umat Islam adalah sebuah kekeliruan berfikir
kategori fallacy of dramatic instance. Kesesatan berpikir ini
berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa
yang dikenal dengan over-generalisation, yaitu mengambil
satu kesimpulan yang bersifat umum dengan menggunakan
satu-dua kasus.

Tentu saja kesimpulan itu tidak tepat mengingat kekerasan


dan terorisme memiliki dimensi yang luas dan kompleks,
tidak sesederhana kesimpulan tersebut. Dari perspektif
historis, kekerasan terjadi sepanjang sejarah umat manusia
yang sedang mengalami krisis akibat proses perubahan
sosial, politik, ekonomi, atau budaya secara cepat dan
radikal. Ketidaksiapan masyarakat mengantisipasi dan
merespons perubahan tersebut melahirkan krisis dan
berujung pada terjadinya kekerasan, kerusuhan, konflik dan
bahkan revolusi.

Pada aras ini Johan Galtung melihat kekerasan yang terjadi


di era modern merupakan akibat dari proses transformasi
masyarakat, dengan kekomplekan tata nilai dan struktur
sosialnya, secara cepat dan dipaksakan. Ini semakin
diperparah oleh berbagai kebijakan pembangunan yang
dikeluarkan pemegang power (modal ekonomi atau
kekuasaan) yang tidak memperhatikan emosi, tata nilai,
budaya dan kepentingan masyarakat bersangkutan, dan
terjadinya pemusatan aset-aset sosial, politik dan ekonomi
pada sekelompok orang.

Sedangkan dalam perspektif politik, Arron T Back melihat


adanya dua jalur kekerasan: cold calculated violence dan hot
reactive violence. Pada jalur pertama kekerasan dijadikan
sebagai instrumen mencapai kepentingan politik. Sementara
jalur kedua terjadi akibat endapan kebencian (sosial,
ekonomi, politik) yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dalam
jalur kedua ini kekerasan akan mudah terjadi jika ada
pemicunya, meski berupa persoalan sepele.

Dalam konteks ini, mungkin saja pelaku terorisme adalah


orang-orang Islam yang taat menjalankan ritual keagamaan.
Namun, fakta ini belum tentu menjadi motif utama aksi
pengeboman tersebut. Sangat mungkin, dalam hati pelaku
terorisme itu memang sudah terdapat endapan kebencian
terhadap kelompok tertentu yang kemudian diekspresikan
dengan bom. Dan boleh jadi, kebencian itu terjadi akibat
modernisasi yang dilakukan negara atau kekuatan ekonomi
tertentu yang mendesak mereka ke posisi marjinal.

Akar kebencian itulah, bukan ketaatan ritual dan keyakinan


keagamaan pelaku kekerasan dan teror, yang seharusnya
diungkap oleh akademisi, pengamat, media, dan aparat
keamanan agar aksi terorisme bisa diselesaikan secara
efektif. Wallahu a’lam.

You might also like