You are on page 1of 9

1.

Judul : Abstraksi HATI 2010 (Versi MS Word)


2. Pendahuluan
Uraian singkat ini merupakan bentuk penjabaran Abstraksi HATI 2010.
Beberapa bulan yang lalu kita (HATI Ikhwan.red) telah berkumpul di Masjid Salman. Kita bermalam bersama,
bertatap muka. Kita berbagi uneg-uneg, harapan-harapan, motivasi dan inspirasi mengenai HATI. Satu di antara kita
menyampaikan sesuatu dan yang lain menyimaknya. Kemudian kita membahas satu tema pembicaraan yang sama.
Satu hal yang menjadi fokus perhatian kita saat itu adalah pembenahan organisasi. Semua di antara kita telah
menyampaikan keluhan-keluhan terhadap HATI. Beberapa realitas teramati. Ada yang menyampaikan realitas apa adanya. Ada
juga yang menyampaikan hasil penelitian terhadap realitas yang ditemui di HATI. Ia menjadikan HATI sebagai objek penelitian
untuk memenuhi tugas akademisnya.
Kita patut bersyukur akan hal itu. Ada orang yang rela melakukan penelitian terhadap organisasi kita. Ia lakukan
penelitian itu dengan menggunakan sudut pandang keilmuannya. Boleh jadi, kita nanti belajar padanya untuk mengevaluasi apa
yang kita lakukan untuk menghidupkan organisasi ini. Tidak hanya hidup akan tetapi bagaimana semestinya kita hidupkan suatu
organisasi.
Hasil penelitian itu seakan menyadarkan pada kita seperti apa organisasi kita selama ini. Adalah sebuah momentum
yang baik untuk mengenal HATI saat disampaikannya hasil penelitian itu. Ini sangat berguna bagi kita yang sedang berusaha
membenahi sebuah organisasi. Salah satu parameter dalam penelitian itu adalah bisnis proses. Sederhannya, bisnis proses
menjelaskan pada kita seperti apa suatu organisasi diberlangsungkan. Dalam penelitian itu, pada bisnis proses beserta ketiga
parameter lainnya, HATI hanya mendapatkan nilai satu dari skala lima. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa selama ini
pemberlangsungan organisasi ini belum optimal. Minimalnya, pada kepengurusan saat penelitian itu dilakukan.
Kita, tidak fokus hanya pada hasil penelitian yang menilai bahwa organisasi kita belum optimal. Beberapa Ikhwan
lainnya kita tanyakan seperti apa realitas yang ditemuinya. Beberapa kali acara diberlangsungkan, dengar pendapat anggota
misalnya. Pun demikian, Rekap Data Pusdatinkom yang tercantum di dalamnya sebuah essay singkat mengenai HATI. Ada satu
bagian di antara empat bagian pada essay singkat tersebut yang dapat menggambarkan realitas HATI dari sudut pandang
masing-masing anggota.
Secara umum, realitas organisasi yang ditemui adalah manajerial organisasi yang belum baik. Visinya sudah jelas,
potensi fikrah dan thariqah sudah jelas juga. Melangsungkan kehidupan Islam visi kita, potensi fikrah dan thariqah Islam yang
menunjang pencapaian visi tadi sudah jelas dirumuskan. Hanya saja, proses untuk menggali potensi itu dan menghadirkannya
pada masa kampus masih belum jelas. Manajerial organisasi untuk mengurus hal itu belum sepenuhnya optimal.
Banyak acara yang tidak jelas, bingung apa yang akan dikaji, belum maksimal mengurus kaderisasi anggota baru
dan anggota lama, belum ada kegiatan mensyarahkan visi-misi dan pengalaman-pengalaman. Termasuk di dalamnya, kerepotan
merespon gagasan yang diusulkan pada kita. Bahwa kita kurang kritis merespon gagasan SNII yang diajukan rekan-rekan
Akhwat HATI. Di sini tidak untuk menyalahkan gagasan itu dalam bentuk baik-buruk sebuah gagasan. Akan tetapi meletakkan
gagasan itu pada posisi dan momentum yang tepat. Kita letakkan sebuah gagasan dalam sebuah ketepatan posisi. Apa yang
menjadi landasan kita bergerak dan apa tujuan yang hendak kita capai. Kita letakkan gagasan itu pada posisi yang tepat
sehingga antara eksekusi gagasan yang kita jalankan selaras dengan upaya pencapaian visi yang lahir dari satu landasan kita
bergerak.
Selain itu, kita juga butuh suatu momentum. Momentum yang tepat kita butuhkan. Seperti apa keadaan kita dahulu,
sekarang, dan nanti. Apakah pada saat itu, kita telah siap mengkader anggota untuk menyukseskan pelaksanaan SNII
misalnya?. Apakah kita sudah memberikan materi-materi kepanitiaan saat itu? apakah kita sudah melatih anggota dengan
acara-acara kecil untuk menerapkan meteri-materi yang diberikan yang jika itu dilakukan akan menunjang pelaksanaan acara
yang lebih besar, SNII?. Sudahkah kita merumuskan konsep kaderisasi dan MSDA untuk menyediakan anggota-anggota yang
profesional?. Apakah kita sudah menyiapkan konsep kajian sehingga tsaqofah terkait acara besar itu dapat dipahami anggota
karena kita adalah unit kajian bukan hanya event organizer belaka?. Apakah kita sudah merumuskan konsep Opini sehingga
SNII menjadi acara yang menunjang visi divisi Opini?. Apakah kita sudah menyiapkan konsep Pusdatinkom untuk mengarsipkan
dan mensyarahkan pengalaman acara besar pada anggota-anggota sekarang dan nanti?. Apakah kita sudah menyiapkan konsep
Hublu sehingga acara besar dapat dipublikasikan secara massif pada segenap sasaran acara besar itu?. Apakah kita sudah
menyiapkan seorang pemimpin yang siap mengarahkan jalannya acara besar itu?. Siapa pemimpinnya? Seperti apa arah gerak
yang menjadi kesepakatan bersama (Ikhwan-Akhwat)?.
Kita membutuhkan momentum yang tepat untuk mengeksekusi sebuah gagasan. Kita letakkan gagasan itu pada
posisi yang tepat sehingga tidak bertentangan dengan dasar pijakan dan menunjang pencapaian visi organisasi.
Kita memang menjalankan proker yang berbeda. Divisi Hublu menjalankan prokernya. Divisi Kajian menjalankan
prokernya. Divisi Pusdatinkom menjalankan prokernya. Divisi MSDA menjalankan prokernya. Proker Hublu berbeda dengan
proker Pusdatinkom. Proker MSDA berbeda dengan proker Kajian. Proker Kajian berbeda dengan proker Hublu. Kita memang
berbeda. Pertanyaannya, bagaimana mengurus proker-proker yang berbeda itu untuk menjalankan satu visi yang sama,
melangsungkan kembali kehidupan Islam?. Bagaimana perbedaan yang ada dapat saling menguatkan bukan saling
melemahkan?. Ini baru pada ranah Ikhwan. Bagaimana hubungan kita dengan rekan-rekan Akhwat?
Kita membutuhkan sinergi gerak. Sinergi gerak antar divisi yang mempunyai proker yang berbeda-beda. Kita
membutuhkan kesepahaman bersama bagaimana sinergi gerak itu dijalankan. Kesepahaman bersama yang lahir dari dasar
pijakan bergerak dan menghasilkan sinergi gerak. Maka, hadirnya dasar pijakan kita bergerak adalah sebuah keharusan. Itu
menjadi keharusan apabila kita memang menginginkan organisasi dengan manajerial yang baik, optimal. Untuk itu, hadirnya
dasar pijakan tadi harus mendahului sebuah eksekusi. Bahwa eksekusi lahir dari dasar pijakan bergerak untuk mencapai visi. Ia
ada sebelum proker dijalankan. Oleh karena itu ia bersifat abstrak. Ia adalah abstraksi, Abstraksi HATI 2010.
3. Isi
Proses pembentukan HATI, dibagi menjadi dua dimensi. Perlu kita cermati bahwa proses pembentukan HATI di sini
tidaklah sama dengan pencarian fikrah dan thariqah yang akan HATI adopsi. Sudah menjadi kejelasan umum bahwa fikrah dan
thariqah yang HATI adopsi adalah Islam. Fikrah dan thariqah Islam yang menunjang upaya melangsungkan kembali kehidupan
Islam. Sebagai cita-cita tertinggi HATI.
Melangsungkan kembali kehidupan Islam berarti keseluruhan kehidupan yang ada diberlangsungkan dengan Islam.
Apa itu kehidupan? faktanya, kehidupan tidak bisa dilepaskan dari kata hidup. Kita meninjau kehidupan yang ada pada
sekumpulan gajah, maka kita amati bagaimana gajah-gajah itu melangsungkan kehidupannya. Demikian juga dengan kehidupan
hewan-hewan lainnnya. Kehidupan tidak bisa dilepaskan dari kata hidup.
Selanjutnya, apa itu hidup?. Saya sependapat dengan slogan Soetrisno Bachir (mantan ketua umum PAN) bahwa
hidup adalah perbuatan. Sebab, saat kita amati bagaimana kehidupan itu diberlangsungkan maka yang kita amati adalah
perbuatan-perbuatannya. Pengamatan kita terhadap gajah-gajah bagaimana mereka hidup, ada pada perbuatan-perbuatan yang
mereka lakukan. Jadi, hidup adalah perbuatan.
Sifat dari perbuatan adalah materi. Silakan Anda amati setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada
di sekitar Anda. Anda akan amati materi-materi dalam mengamati perbuatan mereka. Misalnya seseorang yang berlari. Berlari
adalah perbuatan. Pengamatan kita pada perbuatan berlari ditujukan pada berpindahnya segenap anggota-anggota badan
terhadap suatu titik acuan. Ini berarti perbuatan bersifat materi. Tidak ada perbuatan kecuali ada materi yang menyertainya.
Namun bukan berarti setiap materi dapat melakukan perbuatan. Ini tidak bisa dibalik menjadi tidak ada materi kecuali ada
perbuatan yang menyertainya.
Perbuatan hanya dilakukan oleh materi yang hidup. Materi yang mati semisal planet, matahari, bintang tidak bisa
melakukan perbuatan. Sebab ia bukan materi yang hidup. Tidak ada perbuatan kecuali ada materi yang menyertainya dan tidak
bisa dikatakan tidak ada materi kecuali ada perbuatan yang menyertainya.
Materi merupakan sesuatu yang menempati ruang. Kita di bumi menempati ruang tertentu. Kita pergi ke luar
angkasa menempati ruang tertentu. Kita menginjakkan kaki di bulan berarti kita menempati ruang tertentu pula. Kapankah kita
sedang tidak menempati ruang?.
Menempati ruang adalah perbuatan yang dapat diindera. Itu dapat dipikirkan. Sedang tidak menempati ruang adalah
perbuatan yang tidak dapat diindera. Sebab, materi yang kita indera saat melakukan perbuatan adalah ketika ia menempati
ruang. Syarat dari terinderanya materi adalah menempati ruang. Ia terikat dengan ruang. Ia materi. Materi menempati ruang.
Jadi, jika tidak sedang menempati ruang, materi tidak dapat diindera. Ia tidak dapat dipikirkan. Bahkan, dipertanyakan apakah
ia materi. Sebab materi adalah sesuatu yang menempati ruang.
Jadi, pertanyaan kapankah kita sedang tidak menempati ruang tidak bisa dipikirkan jawabannya. Hanya saja, kita
perlu mendefinisikan apa itu ‘kita’. ‘Kita’ tidak hanya materi, akan tetapi juga ruh. Jika ruh telah meninggalkan materi
(badan.red) ‘kita’, berarti tidak ada lagi ‘kita’. Karena ‘kita’ tidak hanya materi, tetapi juga ruh. Sedangkan ruh tadi
meninggalkan materi. Jadi, maksud dari pertanyaan kapankah kita sedang tidak menempati ruang adalah kapankah ruh dan
materi kita bersama-sama tidak sedang menempati ruang. Ini benar-benar di luar akal sehat manusia. Ini tidak dapat dipikirkan.
Sebab tidak ada faktanya. Kalau pun ada, hal itu haruslah menempati ruang. Hal itu tidak menempati ruang, maka fakta akan
hal itu tidak ada.
Adanya kita di dunia adalah fakta. Itu dapat kita indera. Sehingga kita menempati ruang dan tidak mungkin kita
sedang tidak menempati ruang. Selama kita hidup, kita menempati ruang. Kita materi yang hidup. Selama kita hidup berarti kita
melakukan perbuatan.
Perbuatan dilakukan pada rentang waktu tertentu. Setiap perbuatan membutuhkan rentang waktu tertentu itu.
Maka, maksud dari melangsungkan kembali kehidupan Islam adalah melangsungkan kembali secara keseluruhan
perbuatan-perbuatan pada rentang waktu tertentu dengan menggunakan Islam. Walaupun hewan adalah materi yang hidup
sehingga dapat melakukan perbuatan tidak masuk dalam perbuatan di atas. Sebab, Islam tidak memberikan taklif hukum
(syara’) kecuali pada makluk hidup yang berakal. Hewan tidak berakal. Maka hewan tidak dibebani taklif hukum.
Melangsungkan kembali kehidupan Islam diartikan sebagai upaya agar perbuatan-perbuatan manusia
pada rentang waktu tertentu dilakukan dengan menggunakan Islam. Perbuatan tidak dilakukan kecuali adanya Islam
yang menyertainya. Ini adalah cita-cita yang dasyat. Bukan cita-cita biasa.
Adapun maksud dari proses pembentukan tidak lain adalah untuk mencari dan merumuskan wasilah dan uslub yang
akan HATI adopsi. Keduanya akan diadopsi dan dijalankan guna mencapai efisiensi dan efektivitas upaya-upaya mewujudkan
cita-cita tadi. Proses pembentukan ini juga tidak sama dengan proses pendirian organisasi. Bedanya, pendirian organisasi adalah
bentuk pada awal berdirinya organisasi. Sedangkan proses pembentukan organisasi itu ada selama waktu itu ada. Selama
organisasi itu ada, proses pembentukan akan tetap berlangsung.
Kedua dimensi itu adalah dimensi ruang (sudah sedikit dibahas pada Abstraksi HATI 2010) dan dimensi waktu yang
tidak terdapat di dalamnya. Pada dimensi ruang dikatakan sedikit sebab masih ada yang lain selain yang sudah dibahas.
Walaupun ukuran sedikit atau banyak itu relatif. Pastinya, satu lebih sedikit daripada dua.
Dimensi ruang mempunyai arti bahwa proses pembentukan HATI tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya yang
menempati satu ruang. Sedangkan sesuatu yang lain menempati ruang yang lain. Sepintas, dimensi satu ini tidak begitu
berpengaruh dalam proses pembentukan HATI. Namun, dengan sedikit mengaitkan perbedaan ruang tersebut akan didapati
bahwa HATI berbeda dengan sesuatu yang lain dan proses pembentukan ideal HATI tidak bisa dilepaskan dari perbedaan ruang
itu.
Pada uraian Efisiensi HATI 2010, disebutkan bahwa proses pemberlangsungan suatu organisasi dipengaruhi oleh
proses dan hasil beberapa tahapan. Beberapa tahapan tersebut ialah interaksi-proses-abstraksi-eksekusi. Proses
pemberlangsungan organisasi tidak jauh berbeda dengan proses pembentukan organisasi. Sebab, bentuk organisasi dapat kita
indera dari bagaimana organisasi itu diberlangsungkan. Selama berlangsung, bentuk organisasi itu dapat kita amati. Jadi,
pembentukan organisasi ini ada selama organisasi itu berlangsung.
Adapun terkait dengan dimensi ruang, perbedaan ruang memungkinkan terjadinya perbedaan proses dan hasil
keempat tahapan tersebut. Orang-orang yang berinteraksi pada satu sekretariat berbeda dengan orang-orang yang berinteraksi
pada sekretariat lain. HATI dan lembaga lain mempunyai sekretariat yang berbeda. Sekretariat berada pada dimensi ruang.
Perbedaan orang-orang yang berinteraksi menyebabkan proses dan hasil setiap tahapan pemberlangsungan organisasi dari
tahap interaksi hingga tahap eksekusi itu berbeda. Itu mempengaruhi keberlangsungan dan pembentukan organisasi. Jadi,
perbedaan dimensi ruang menyebabkan perbedaan pembentukan organisasi.
Lantas, apa pentingnya memperhatikan perbedaan dimensi ruang itu?. Pertanyaan ini terkait erat dengan
pengopinian Islam oleh HATI. Sebagaimana yang kita ketahui, sebagai unit kajian, HATI tidak bisa begitu saja meninggalkan
budaya pengopinian. Pengopinian membawakan hasil kajian dan pemberlangsungan kajian diintegrasikan dengan pengopinian.
Walaupun harus diakui, selama ini kita belum bisa mengintegrasikan dengan apik antara kajian dan pengopinian. Terkait dengan
pertanyaan di atas, jawaban akan diuraikan dengan menghubungkan pengopinian dan kajian dan kajian dengan pembentukan
HATI. Ujung tombak HATI adalah opini dan pembentukan HATI tidak bisa dilepaskan dari kajian itu sendiri.
Pertanyaannya, seperti apakah bentuk opini itu?. Pertanyaan ini sederhana, namun uraiannya mencakup HATI dan
seluruh lembaga yang menjadi bagian dari kampus. Mereka merupakan objek dakwah. Selanjutnya pertanyaan tadi diperinci
menjadi, seperti apakah bentuk opini itu sehingga fikrah dan thariqah HATI dapat mereka adopsi?. Pun demikian perincian itu
bisa kita lanjutkan lagi menjadi, seperti apakah bentuk opini itu sehingga fikrah dan thariqah HATI mereka adopsi yang mana
mereka telah tergabung dalam organisasi-organisasi dengan bentuk yang berbeda yang dipengaruhi oleh proses
pemberlangsungan organisasi masing-masing?. Sekiranya inilah pertanyaan terinci yang dapat kita jadikan sebagai instrumen
penelaahan perbedaan dimensi ruang HATI dengan lembaga lain dan proses pembentukan HATI.
Mari kita coba jawab pertanyaan di atas. Bahwa proses pembentukan organisasi pada lembaga lain itu pasti ada. Kita
bisa lihat, mereka juga berkumpul, berinteraksi, melahirkan gagasan-gagasan, dan menerapkan gagasan-gagasan itu dalam
bentuk eksekusi. Sebagaimana yang biasa kita jalani. Mereka tidak berbeda dengan kita. Artinya, sama-sama melakukan proses
pembentukan organisasi. Hanya saja, bentuk organisasi kita dan mereka itu berbeda. Ada di antara mereka yang
mengutamakan acara besar setiap tahunnya. Acara itu merupakan akumulasi dari latihan-latihan rutin setiap waktu tertentu.
Ada pula yang mengopinikan nilai-nilai Humanisme, Demokrasi, dan ide-ide lainnya. Ada yang mengutamakan pengembangan
potensi keprofesian dan kewirausaahan anggotanya. Sedangkan berbeda dengan yang lain, kita mengutamakan kajian dan opini
Islam untuk disampaikan kepada warga kampus. Inilah perbedaan antara kita dan mereka.
Bentuk organisasi tidak lagi dipandang secara sempit. Berupa visi-misi dan strukur organisasi. Hanya saja, harus
tetap diingat bahwa bentuk organisasi juga merupakan hasil turunan dari visi-misi dan strukur organisasi. Keluasan bentuk
organisasi adalah keseluruhan apa yang ada pada organisasi itu, dapat diindera dan dibentuk selama waktu itu ada. Mereka
yang menjalani perbedaan shift pemakaian sekretariat antara laki-laki dan perempuan ataupun mereka yang hanya
menggunakan satu shift artinya tidak diatur kapan waktu pemakaian sekretariat antara laki-laki dan perempuan juga merupakan
bagian dari bentuk organisasi.
Ringkasnya, bentuk organisasi merupakan jawaban atas pertanyaan, “organisasi yang itu tuh apa sih?”
Subjek dari pembentukan organisasi adalah pengurus. Merekalah yang menciptakan bentuk organisasi. Selain sebagai subjek,
mereka juga mengadopsi bentuk organisasi itu. Sebab, merekalah yang menciptakan bentuk organisasi. Mereka melahirkan
kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan itu diadopsi dan menjadi persepsi baginya. Sebagai misal, pada organisasi tersebut,
disepakati bahwa laki-laki dan perempuan bisa menempati sekretariat dalam satu waktu terlepas perlu tidaknya interaksi
mereka selama berada di dalam ruang sekretariat itu. Artinya, ikhtilat menjadi kesepakatan bersama untuk diperbolehkan dan
menjadi persepsi bagi mereka. Maka, bukan tidak mungkin ikhtilat ini akan menjadi persepsi oleh sebagaian pengurus. Persepsi
ini akan dibawa selaras dirinya berada menempati ruang lain di hamparan bumi ini.
Setelah bentuk organisasi itu ada, orang lain yang bukan pengurus namun tergabung dalam organisasi tersebut akan
terpengaruh dengan bentuk organisasi tersebut. Walaupun kuantitas keterpengaruhannya tidak sebanyak pengurus. Mereka
akan mendukung bentuk organisasinya. Kesimpulannya, bentuk organisasi ini dapat mempengaruhi persepsi orang yang
menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Pengkristalan persepsi di atas bukanlah sesuatu yang instan. Melalui pemberlangsungan organisasi secara terus
menerus, pengkristalan persepsi itu terjadi. Setiap tahap pemberlangsungan organisasi (interaksi-proses-abstraksi-eksekusi)
dijalankan, persepsi itu terbangun secara bertahap. Inilah yang selanjutnya kita sebut sebagai konstruksi pemikiran. Konstruksi
pemikiran dibentuk secara tidak instan.
Sebagai misal, mari kita amati kejadian di lingkungan sekitar kita. Seorang paman menceritakan pada keponakannya
bahwa plat “B” adalah plat nomor kendaraaan nasional. Sehingga bisa lolos dari suatu operasi polisi di daerah lain selain daerah
yang dilingkupi plat “B”. Adapun, selain plat “B” seandainya melintas daerah itu akan dipermasalahkan. Terlepas dari kebenaran
bahwa selain plat “B” akan dipermasalahkan jika melintasi daerah lain selain daerah yang dilingkupinya. Seorang keponakan itu
diasumsikan sudah mempunyai persepsi bahwa plat “B” adalah plat nomor kendaraan DKI Jakarta. Inilah persepsinya. Setelah
datang informasi lain padanya bahwa plat “B” itu plat nomor nasional, terjadilah benturan pemikiran. Benturan pemikiran terjadi
pada awal interaksi. Sebab terjadi perbedaan persepsi antara dirinya dengan seorang paman saat awal interaksi. Persepsi
keponakan mengatakan bahwa plat “B” adalah plat nomor DKI Jakarta. Sedangkan persepsi paman mengatakan bahwa plat “B”
adalah plat nomor nasional.
Keponakan tadi tidak akan mudah menerima persepsi baru dari pamanya hingga ada pembuktian yang pasti. Bukti
itu akan meniadakan persepsi lain seandainya dua persepsi tersebut bertentangan. Namun, akan berbeda kasusnya seandainya
kedua persepsi tersebut tidak saling bertentangan akan tetapi selaras. Misalnya pada kasus di atas, plat “B” adalah plat nomor
kendaraan DKI Jakarta dan nasional. Pada kasus ini, kedua persepsi tidak saling meniadakan walaupun sudah ada bukti yang
pasti. Maka keponakan tadi akan menambah persepsi baru dengan tetap mempertahankan persepsi lama. Plat “B” adalah plat
nomor kendaraan DKI Jakarta dan nasional.
Pembuktian yang pasti merupakan persepsi awal yang sudah menjadi persepsi bersama antara paman dan
keponakan. Seandainya antara paman dengan keponakan berbeda persepsi awal maka pembuktian akan dipermasalahkan oleh
salah satu pihak di antara mereka. Pembuktian awal yang pasti misalnya dengan cara bertabayun kepada pihak kepolisian yang
menangani hal ini. Sedangkan yang tidak pasti misalnya seorang paman bertabayun kepada istrinya sedangkan seorang
keponakan pada adiknya. Pada kasus ini, diasumsikan antara istri paman dan adik keponakan juga mempunyai perbedaan
persepsi. Maka hal ini tidak akan mencapai pembuktian yang pasti.
Kembali pada dimensi ruang di atas. Dimensi ruang ini mempengaruhi pembangunan konstruksi pemikiran.
Organisasi mengambil peran penting dalam pembangunan konstruksi pemikiran secara sistematis orang-orang yang menjadi
bagian darinya. Sebab, dalam organisasi berlangsung tahap pemberlangsungan organisasi (interaksi-proses-abstraksi-eksekusi).
Urutan tahapan ini mewakili pembentukan konstruksi pemikiran dari awal hingga akhir. Dari upaya menyusun dasar filosofis
(interaksi-proses-abstraksi) hingga tahap pengujian dasar filosofis dengan meraih pengalaman (eksekusi). Adapun dengan
mengintegrasikan studi kasus kejadian yang dialami seorang keponakan dengan pamannya tadi, kita simpulkan bahwa tidak
selamanya persepsi baru yang datang mudah untuk diterima. Penerimaan persepsi baru membutuhkan proses yang menyentuh
konstruksi pemikiran yang sudah terbangun itu.
Inilah sebagian dari penelaahan pertanyaan di atas.
Begitu penting kita sebagai lembaga dakwah kampus mengarah keluar (memincam istilah Ekstensialisme). Ruang
yang kita tempati berbeda dengan ruang yang mereka tempati. Perbedaan tersebut menghasilkan jarak. Untuk bisa menghayati
mereka diperlukan arah gerak keluar dari ruang kita pada ruang mereka. Sebab kita dan mereka berjarak. Inilah maksud dari
mengarah keluar.
Sudah menjadi mahfum bagi kita bahwa lembaga dakwah kampus mempunyai bentuk keumuman untuk
menyebarkan risalah Islam kepada massa kampus. Risalah dikemas dalam bentuk opini. Opini Islam ini merupakan persepsi
baru bagi warga kampus sebagaimana kasus plat “B” di atas. Persepsi baru yang mempunyai konstruksi pemikiran yang
dilahirkan dari upaya pemberlangsungan organisasi (lembaga dakwah kampus.red). Begitu pula calon penerima (warga
kampus.red) persepsi baru itu, adakalanya mereka sudah mempunyai konstruksi pemikiran. Sedangkan konstruksi pemikirannya
bertentangan dengan konstruksi pemikiran yang kita bangun. Inilah sebabnya, opini Islam yang kita sampaikan tidak mudah
untuk mereka terima. Konstruksi pemikiran lamanya menghalangi dirinya untuk menerima konstruksi pemikiran baru.
Itu terjadi saat opini Islam yang kita sampaikan hanya berada pada ranah slogan. Itu tidak menyentuh konstruksi
pemikiran bahkan pemikiran mereka. Opini yang berada pada ranah slogan tidak membangun konstruksi pemikiran sebab tidak
disertai hujjah. Adapun opini pada ranah pemikiran susah untuk meruntuhkan konstruksi pemikiran lama dan membangun
konstruksi pemikiran baru sebab upaya pengaitan pemikiran satu dengan pemikiran lain tidak diadakan. Ada satu atau beberapa
pemikiran lama yang beluh diruntuhkan. Pemikiran-pemikiran lama itu berkaitan dan membangun konstruksi pemikiran lama.
Keterkaitan pemikiran membentuk konstruksi pemikiran. Jadi, opini pada ranah konstruksi pemikiran mengharuskan adanya
upaya pengaitan antara satu pemikiran dengan pemikiran lain. Setiap pemikiran baru bukan tidak mungkin akan dihadapkan
pada pemikiran lama calon penerima. Opini pada ranah ini mensyaratkan dijalaninya benturan setiap pemikiran dan
menyelesaikannya dengan menanamkan pemikiran baru itu. Keterkaitan antar pemikiran baru yang berhasil ditanamkan
menghasilkan konstruksi pemikiran baru.
Suatu ketika kita mudik ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri. Kebetulan, kita sudah tergabung dalam
satu kelompok dakwah. Kita sebagai anggota kelompok dakwah itu. Kelompok dakwah kita menetapkan bahwa hari raya Idul
Fitri bertepatan pada hari Kamis. Sedangkan kakak dan lingkungan masyarakat di kampung kita mengikuti pendapat kelompok
lain. Pendapat itu berbeda dengan pendapat kelompok dakwah kita. Bahwa kelompok lain itu menetapkan hari raya Idul Fitri
bertepatan pada hari Jumat. Sehingga, saat kita telah rampung puasa, kakak kita masih berpuasa. Saat, mereka berpuasa di
siang hari, kita diperbolehkan makan di siang hari. Bagaimana kita mengatasi masalah ini?. Apakah kita akan melarang kakak
kita untuk berpuasa pada hari itu karena haramnya puasa pada hari Idul Fitri?. Seandainya kita langsung melarang kakak kita
berpuasa pada hari Jumat bukan tidak mungkin akan terjadi ketegangan dan kekacauan. Kekacauan terjadi, sebab perkara halal
dan haram tidak lagi hanya membekas pada alam pikiran kita. Akan tetapi juga sudah menjadi perasaan dalam hidup kita. Kita
menyukai yang halal dan membenci yang haram.
Persepsi yang menyatakan hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat mengandung sebuah konstruksi pemikiran.
Untuk menghindarkan ketegangan dan kekacauan di atas, kita bisa menyampaikan pemikiran dari rangkaian konstruksi
pemikiran kita. Mungkin kita cukup sampaikan pada kakak kita hujjah mengapa kita adopsi ketetapan hari Kamis sebagai hari
raya Idul Fitri. Bahwa kita adopsi ketetapan itu dalam rangka menjalankan kewajiban taat pada seorang pemimpin selama tidak
menyeru pada kemaksiatan. Namun, kakak kita belum bisa menerima pendapat kita. Ternyata, kakak kita belum memahami
kewajiban adanya kelompok dakwah di antara kaum Muslim yang kita berada di dalamnya. Kita akan sampaikan hal itu. Namun,
kakak kita masih belum menerima pendapat kita. Akhirnya kita sampaikan argumentasi lain yang mendukung argumen kita
sebelumnya. Kita sampaikan kewajiban menggunakan rukyatul hilal dalam penetapan hari raya Idul Fitri dan bulan sabit tanggal
1 hanya terlihat sekali di seluruh hamparan bumi. Mungkin, hingga argumentasi terakhir ini kakak kita masih belum menerima
pendapat yang kita sampaikan dan kita akan terus mencari argumentasi lain yang mendukung arguemtasi kita sebelumnya.
Penyampaian opini pada ranah konstruksi pemikiran memang rumit. Itu hanya contoh kasus yang masih datar.
Mungkin kita akan mendapat respon lain yang berbeda dengan respon kakak kita pada kasus di atas. Kita akan melalui benturan
pemikiran yang dasyat hingga kita akan mengkaji kembali hal-hal mendasar yang telah kita adopsi. Jika kita gagal
menyampaikan opini pada ranah konstruksi pemikiran, kita jadi tahu apa yang belum kita kuasai. Kita akan evaluasi dan
mengkaji tsaqofah lebih dalam lagi. Sebaliknya, seandainya kita berhasil, perubahan realitas kehidupan masyarakat akan
semakin cepat terwujud.
Hal ini terkait dengan efisiensi energi. Efisiensi energi terbesar terkait pengopinian ada pada ranah konstruksi
pemikiran bukan pemikiran atau pun slogan. Sebab, konstruksi pemikiran yang berhasil diadopsi oleh objek dakwah
memungkinkannya untuk disampaikan pada orang lain. Pada saat tersebut berarti objek dakwah telah berubah statusnya dari
objek dakwah semata menjadi objek dakwah dan juga pendakwah. Ini berarti, energi potensial yang kita miliki yang semestinya
digunakan untuk menyampaikan opini pada orang lain tersebut tidak perlu dikeluarkan. Energi potensial tidak perlu dikeluarkan
untuk menyampaikan opini pada orang lain tersebut. Sehingga, energi potensial tadi dapat digunakan untuk mencapai hasil yang
lain. Semakin banyak hasil yang dicapai, perubahan realitas kehidupan masyarakat akan cepat terwujud. Sebab, setiap usaha
yang kita lakukan memang ditujukan untuk mengubah realitas kehidupan masyarakat.
Adapun, kemungkinan objek dakwah menyampaikan opini yang kita sampaikan pada orang lain itu cukup besar.
Opini pada ranah konstruksi pemikiran mengharuskan adanya keterkaitan antara satu pemikiran dengan pemikiran lain yang kita
sampaikan. Setiap pemikiran dipertemukan dengan pemikiran lama objek dakwah. Antara Islam dan kekufuran dipertentangkan.
Terjadinya pergolakan pemikiran pada objek dakwah adalah keniscayaan. Adanya pergolakan pemikiran adalah gerbang awal
keruntuhan konstruksi pemikiran lama objek dakwah. Minimalnya pergolakan pemikiran akan menciptakan keraguan padanya.
Ini akan menghambat laju pembentukan konstruksi pemikiran lamanya. Objek dakwah disebut telah berhasil melewati
pergolakan pemikiran manakala ia mengadopsi konstruksi pemikiran baru, Islam.
Saat itulah, idealitas Islamnya mulai terbentuk. Idealitasnya dibawanya untuk meninjau setiap realitas kehidupan
yang ia temui. Selanjutnya akan muncul pola pikir kritis padanya. Ia akan berusaha mengubah realitas kehidupan yang ditemui
dengan idealitasnya. Ia akan mengajak orang lain agar mempunyai pemikiran yang sama dengannya. Qiyadah fikriyahnya Islam
telah terbentuk. Jika berhasil, akan terbentuk idealitas yang sama antara dirinya dengan orang lain tersebut. Inilah keutamaan
opini pada ranah konstruksi pemikiran. Opini ini mempunyai efisiensi terbesar dalam upaya menyampaikan opini Islam untuk
membangun sebuah negara.
Selama ini, opini Islam banyak disampaikan oleh kaum Muslim. Mereka tergabung dalam satu komunitas dakwah
atau pun individu-individu. Saya membayangkan begitu banyak informasi yang beredar setiap harinya. Baik melalui media
cetak, virtual, elektronik maupun melalui tatap muka secara langsung. Setiap opini Islam yang disampaikan mempunyai tujuan
dan metode yang berbeda-beda. Ada yang bertujuan untuk memperbaiki akhlak, ada yang bertujuan untuk kembali pada
golongan salaf, ada yang bertujuan mewujudkan ekonomi syariah di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang bertujuan
mengembalikan kehidupan Islam, dsb. Ada yang menggunakan metode perubahan bertahap, menggunakan parlemen, tidak
menggunakan parlemen, dsb. Pun demikian, konten dari opini itu. Beberapa konten diantaranya, akidah, akhlak, sistem
ekonomi, sistem pergaulan sosial, sistem politik, sistem keuangan, kepribadian, dsb. Begitu banyak informasi yang beredar pada
masyarakat. Termasuk masyarkat di sini adalah warga kampus yang merupakan objek dakwah kita.
Banyaknya, informasi yang beredar belum tentu mempercepat terwujudnya perubahan realitas kehidupan
masyarakat. Boleh jadi, warga masyarakat yang belum mempunyai konstruksi pemikiran Islam akan kesusahan mengkonstruksi
pemikiran Islamnya. Sebab, berbagai informasi tadi menyimpan beragam tujuan disampaikannya informasi. Sebab, antar tujuan
terkadang malah saling bertentangan. Sehingga saling melemahkan. Misalnya saja, ada satu partai Islam yang menyerukan
nasionalisme sebagai upaya untuk mencapai tujuannya. Sedangkan partai Islam lain mencerca nasionalisme. Nasionalisme
menghalangi terwujudnya cita-cita yang hendak diwujudkan.
Inilah zaman yang kaum Muslim tidak mendapatkan pendidikan Islam secara terstruktur dalam sebuah kurikulum.
Warga masyarakat benar-benar susah mengkonstruksi pemikiran Islamnya.
Oleh sebab itu, opini yang kita sampaikan semestinya bisa komprehensif. Satu pemikiran dikaitkan dengan pemikiran
lain. Bisa saja, nantinya kita akan menyampaikan mahalnya energi di negeri Ini dengan sistem pemerintahan yang digunakan.
Kemudian dikaitkan lagi dengan minimnya partai Islam yang menyampaikan ideologi Islam. Ini merupakan opini pada ranah
konstruksi pemikiran bukan pemikiran atau pun slogan. Adapun pengaitan pemikiran tersebut dimulai dari pemikiran yang
mendasar dan menyeluruh hingga pemikiran bercabang-cabang dan pemikiran sederhana menjadi pemikiran yang kompleks.
Selama ini kita sudah menerapkan opini pada ranah konstruksi pemikiran pada internal organisasi kita. Sedangkan untuk
eksternal organisasi belum dijalankan.
Walaupun demikian, kita harus tetap meninjau realitas kemahasiswaan ITB itu seperti apa. Sebab, itulah realitas
yang menjadi objek dakwah kita. Pengalaman saya menjadi mentor INKM 2010, saya dapatkan pengetahuan baru. Bahwa laju
pembentukan konstruksi pemikiran mahasiswa dimulai dari visi hidup, posisi, potensi, dan peran mahasiswa di masyarakat,
realitas dan potensi bangsa, budaya kampus, dan bergerak. Jadi mahasiswa baru dibangun konstruksi pemikirannya dari visi
hidupnya hingga mereka mau bergerak untuk mengabdi kepada masyarakat dan bangsanya.
Mencermati realitas kemahasiswaan ITB yang demikiran, saya mengajukan pendapat. Laju pembentukan konstruksi
pemikiran Islam harus seiring dengan laju pembentukan konstruksi pemikiran mereka. Konsep ini adalah konsep alur tema
pengopinian yang insya Allah akan disampaikan setelah uraian ini.
Opini pada ranah konstruksi pemikiran memang penting. Namun adakalanya kita tinggalkan opini ranah itu dan
digantikan dengan opini pada ranah slogan. Misalnya saja, opini pada ranah itu ditujukan pada mahasiswa baru. Pada umumnya
mereka yang dari SMA masih polos. Belum terbangun konstruksi pemikirannya. Sehingga opini pada ranah slogan tidak menjadi
masalah untuk disampaikan pada mereka. Bahkan, seandainya mereka yang masih polos disampaikan opini pada ranah
konstruksi pemikiran bukan tidak mungkin mereka yang malas untuk berpikir akan meninggalkan opini kita. Mereka
berpendapat, “bahasanya terlalu tinggi”, “susah dicerna”, dsb. Mereka akan menjauhi kita.
Akan tetapi, slogan dalam pengopinian tidak sembarang slogan. Slogan ini semestinya terintegrasi dengan pemikiran
dan konstruksi pemikiran. Usaha untuk mengintegrasikan ranah-ranah opini disusun menjadi alur tema pengopinian. Artinya,
tema yang diopinikan pada ranah slogan saat sekarang menunjang penerimaan opini pada ranah konstruksi pemikiran pada
waktu kemudian. Alur tema pengopinian sejalan dengan laju pembentukan konstruksi pemikiran mahasiswa baru.
Mahasiswa baru belum menempati ruang tertentu di dalam kampus hingga waktu tertentu. Mereka belum tergabung
unit, himpunan, dan juga kemahasiswaan terpusat. Ini adalah fase kosong. Setelah memasuki salah satu ruang di antara ruang-
ruang yang ada di kampus (unit, himpunan, dan kemahasiswaan terpusat), akan terlihat bahwa mereka mulai terbangun
konstruksi pemikirannya. Pemikiran sederhana menjadi kompleks dan pemikiran mendasar menjadi pemikiran cabang. Jadi, laju
pembentukan konstruksi pemikiran dimulai pada saat awal menjadi mahasiswa baru.
Untuk meraih efisiensi pengopinian, diadakan konsep alur tema pengopinian. Setiap upaya pengopinian ditujukan
untuk membangun konstruksi pemikiran Islam. Alur tema pengopinian ini dilandaskan pada laju pembentukan konstruksi
pemikiran mahasiswa sebagai elemen utama massa kampus. Pembentukan konstruksi pemikiran massa kampus mengharuskan
mereka berpikir dan merasakan sesuatu. Pikiran dan perasaan mereka tertuju pada satu fokus, tema konstruksi pemikiran.
Tema opini kita yang sama dengan tema pembentukan konstruksi pemikiran mereka memudahkan penerimaan terhadap opini
kita. Sebab, pikiran dan perasaannya sedang tertuju ke tema itu.
Mulanya, mereka menerima informasi awal-informasi awal untuk mengkonstruksi pemikiran. Untuk membangun
konstruksi pemikiran itu, dibutuhkan pemikiran-pemikiran. Pemikiran-pemikiran dihasilkan dari usaha mengaitkan informasi
awal-informasi awal dengan fakta-fakta. Pemikiran-pemikiran dihasilkan. Satu pemikiran menunjang pembangunan konstruksi
pemikiran dengan dikaitkannya dengan pemikiran lain. Konstruksi pemikiran akan mudah terbangun saat pemikiran-pemikiran
itu tidak mempunyai pertentangan dengan pemikiran lain. Sebab, keberadaan pemikiran lain yang bertentangan itu akan
meniadakan pemikiran-pemikiran yang mereka terima.
Sebagai misal, ada satu pemikiran bahwa menetapkan hukum oleh anggota parlemen merupakan salah satu bentuk
musyawarah. Sedangkan pemikiran lain menyatakan bahwa menetapkan hukum oleh anggota parlemen bukan termasuk
musyawarah. Kedua pemikiran ini saling bertentangan. Keduanya bersifat saling meniadakan.
Pada kondisi ini, penerima opini terkendala upayanya untuk mengkonstruksi pemikiran dari pemikiran lama yang
mereka hasilkan. Upaya itu dirintangi dengan kemunculan pemikiran baru yang sifatnya bertentangan dengan pemikiran lama.
Oleh karenanya, pemikiran baru lebih efektif dan efisien diopinikan pada mereka saat mereka mengkonstruksi pemikiran dengan
pemikiran lamanya. Ini yang biasa dikenal dengan momentum dakwah. Saat pikiran dan perasaan objek dakwah tertuju pada
satu tema, tema konstruksi pemikiran.
Ada tanggapan terhadap opini pada ranah konstruksi pemikiran. Konstruksi pemikiran akan mudah dilakukan di suatu
organisasi. Di sanalah dapat dilakukan pertemuan intens dengan pemberian materi secara berjenjang. Sedangkan pertemuan
intens susah dilakukan pada masyarakat. Opini pada ranah konstruksi pemikiran menjadi sesuatu yang utopis untuk dijalankan.
Lebih baik opini diarahkan pada rekrutmen. Bahwa opini yang kita lakukan tidak lain adalah untuk menghasilkan anggota baru
yang masuk ke organisasi kita. Setelah masuk, konstruksi pemikiran akan mudah dibentuk ketimbang konstruksi pemikiran di
bentuk di luar organisasi, kelompok. Jadi lebih baik opini ditujukan untuk merekrut anggota baru yang kemudian konstruksi
pemikiran akan mudah dibentuk.
Pertama, landasan dari dilakukannya opini pada ranah konstruksi pemikiran adalah sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Kedua, pada perlu dibedakan capaian antara opini dan rekrutmen. Capaian dari opini adalah tersebarkannya
pemikiran pada masyarakat bukan merekrut anggota baru. Meskipun untuk merekrut anggota baru harus dilakukan dengan cara
menyebarkan opini. Seandainya capaian dari opini adalah rekrutmen, maka saat objek dakwah gagal bergabung dalam
kelompok kita, berarti opini kita gagal. Meskipun, pemikiran Islam sudah tersebar pada objek dakwah tersebut.
Kita tidak akan jadikan keseluruhan masyarakat bergabung dalam kelompok kita untuk memperjuangkan visi yang
sama. Faktanya, di kehidupan masayrakat saat ini, terdapat banyak kelompok dengan visi dan misi yang berbeda. Bahkan antar
kelompok Islam sekalipun, mempunyai visi dan misi yang berbeda. Kelompok-kelompok tadi bagian dari masyarakat. Mereka
termasuk objek dakwah kita. Keberhasilan dakwah (opini) adalah saat pemikiran Islam menjadi landasan perjuangan
mewujudkan visi dan misi kelompok mereka. Itu mendukung visi dan misi kita. Artinya, mereka tidak perlu masuk kelompok kita
untuk memperjuangkan visi dan misi kita. Walaupun proses pengkristalan pemikiran lebih ideal dilakukan di dalam suatu
kelompok bukan di luar kelompok.
Untuk itulah, kita akan tetap melakukan rekrutmen. Walaupun penyebaran opini pada ranah konstruksi pemikiran
telah dilakukan.
Selain mengarah keluar dimensi ruang dalam kampus, ada juga mengarah keluar dimensi luar kampus. Konsep
ini hampir sama dengan konsep sebelumnya. Bedanya, cakupan konsep ini lebih luas daripada konsep sebelumnya, mengarah
keluar dimensi ruang dalam kampus. Keluasan cakupannya meliputi, lembaga dakwah kampus di kampus lain, kemahasiswaan
di kampus lain, instansi terkait, dan masyarakat luas.
Kita perlu memahami bentuk lembaga dakwah kampus di kampus lain. Pemahaman ini akan menunjang pencapaian
salah satu visi HATI yang terdapat dalam Abstraksi HATI 2010, menjadi rujukan lembaga dakwah kampus se-Indonesia dalam
pengembangan pemikiran Islam.
Kata “rujukan” di sana bukan berarti lembaga kita yang paling terdepan dalam pengembangan pemikiran sehingga
kita mengabaikan keberadaan lembaga dakwah kampus lain. “Rujukan” lebih dimaksudkan dengan arah yang yang ditempuh.
Supaya nantinya, kita bisa menjadi rujukan lembaga dakwah kampus. Itulah arahnya. Itu yang akan kita bentuk pada organisasi
kita ini. Adapun untuk membentuk sebagaimana yang disebutkan tadi, kita harus mengarah keluar pada lembaga dakwah
kampus lain.
Sama, seperti kita dan organisasi pada umumnya, mereka melakukan tahapan-tahapan pemberlangsungan
organisasi. Terkadang mereka mempunyai dasar filosofis (Interaksi-Proses-Abstraksi) yang fikrah dan thariqah Islamnya
cenderung sama dengan organisasi kita. Namun wasilah dan uslubnya berbeda. Sehingga pengujian dasar filosofis (Eksekusi)
mereka berbeda dengan eksekusi yang kita jalankan. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan konstruksi pemikiran, antara kita
dan mereka.
Setiap eksekusi selesai dijalankan, pengalaman juga telah dihasilkan. Pengalaman dan eksekusi itu mirip. Ada yang
mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Ada benarnya juga dari pernyataan tersebut. Walaupun bukan berarti guru
terbaik termasuk bagian dari sumber hukum dalam Islam. Pengalaman adalah perbuatan. Pada perbuatan pemahaman diproses.
Artinya ada pemahaman tertentu dalam setiap perbuatan tertentu. Pemahaman inilah yang dalam tahapan pemberlangsungan
organisasi disebut sebagai dasar filosofis (Interaksi-Proses-Abstraksi). Selama pemahaman menyertai proses
perbuatan/pengalaman, pemahaman itu diuji dengan fakta-fakta. Fakta yang benar-benar ada bukan fakta yang diabstraksikan
saat membangun pemahaman/persepsi/konstruksi pemikiran.
Orang yang berpengalaman berarti telah memperkaya diri dengan pemahaman akan fakta-fakta baru. Fakta baru itu
tidak diabstraksikan sebelum mencapai pengalaman. Sebagai misal, ada kalimat seperti ini, lima buah jeruk yang ada di lemari
es itu manis. Kalimat itu tertanam di dalam benak kita saat kita jauh dari lemari es. Kemudian kita dekati lemari es. Kita ambil
lima buah jeruk di dalamnya dan semuanya kita cicipi. Ternyata benar, kelima buah jeruk itu manis. Sebelum menikmati
manisnya buah jeruk, kita kelupas kulitnya. Saat itulah kita amati bahwa jeruk kesatu berwarna kuning mutlak. Jeruk kedua
berwarna kuning dominan dan hijau sebagian. Jeruk ketiga berwarna hijau dominan kuning sebagian. Jeruk keempat berwarna
hijau mutlak. Sedangkan jeruk kelima berwarna kuning kemerah-merahan. Saat kita jauh dari lemari es, kalimat lima buah
jeruk yang ada di lemari es itu manis masih berupa abstraksi dalam benak kita. Fakta yang diabstraksikan hanyalah lima buah
jeruk. Sedangkan pemahaman kita akan fakta itu adalah lima buah jeruk itu manis. Adapun setelah kita mengambilnya dari
lemari es kemudian mengelupas kelima kulit jeruk tersebut berarti kita sedang berproses untuk mencapai pengalaman. Fakta
yang baru didapat dengan melalui proses pengalaman berupa perbedaan warna kelima buah jeruk. Inilah maksud dari fakta
baru yang tidak diabstraksikan saat kita membangun pemahaman/persepsi/konstruksi pemikiran akan kelima jeruk itu. Kelima
jeruk itu manis. Kemudian dari sini didapatkan kesimpulan baru bahwa kelima buah jeruk yang manis itu mempunyai warna
yang berbeda-beda. Jeruk dengan warna yang berbeda bisa memiliki rasa yang cenderung sama, manis. Kesimpulan baru itu
merupakan abstraksi baru, abstraksi yang sudah dilengkapi dengan fakta baru. Ini bisa juga disebut sebagai pemahaman baru
akan fakta kelima jeruk itu.
Setalah mencapai pengalaman, maka abstraksi kita akan kelima jeruk itu semakin kompleks. Sebab, kita
memperoleh pemahaman terhadap fakta baru tadi, pemahaman baru. Fakta baru tadi memecahkan belenggu penyederhanaan
konteks pemahaman kita. Pemahaman sederhana berubah menjadi kompleks setelah belenggu penyederhanaan konteks
tersebut berhasil dipecahkan. Pemahaman baru kita merupakan pemahaman yang lebih konpleks dari pemahaman sebelumnya.
Kasus di atas merupakan contoh pengalaman yang hasil capaiannya adalah pengembangan abstraksi. Adapula
pengalaman yang hasil capaiannya adalah dekonstruksi dan rekonstruksi abstraksi. Pengalaman ini mengubah abstraksi yang
pernah ada dengan menggantinya dengan abstraksi baru yang sifatnya bertentangan dengan abstraksi lama. Sebagai misal,
seorang suami mengambil keputusan untuk mendaftarkan diri untuk menggunakan kartu kredit pada sebuah bank.
Keputusannya itu diambil saat dia bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan pembuat pizza. Beberapa waktu
kemudian suami tadi dipecat dari posisinya. Dia menganggur. Pada satu waktu tunggakan kartu kreditnya mencapai -/+ $
3.000. Tunggakan sebulan belum dibayarkan. Ia mendapat peringatan langsung dari pihak bank. Saat ditelpon, suami
menghindar. Akhirnya, pihak bank menelpon istrinya dan mengetahui semua itu. Istri kaget. Sebab, saat keputusan itu diambil,
suami tidak memberitahukannya pada istri. Sementara itu, suami sudah tidak mempunyai persediaan dana lagi. Ia terus dikejar
pihak bank. Ia memohon bantuan pada istrinya yang masih bekerja dan mempunyai persediaan dana. Istrinya kecewa. Ia terus
memohon bantuan istrinya. Akhirnya, ia menyesali apa yang dilakukannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Akhirnya,
istrinya bersedia membantunya setelah memutuskan diri untuk memegang janjinya itu.
Terlepas dari halal dan haramnya penggunaan kartu kredit. Sebab memang kasus ini diambil dari penggalan drama
Korea yang bukan keluarga muslim. Ini bisa kita jadikan sebagai contoh. Bahwa abstraksi lama seorang suami adalah keputusan
untuk mendaftarkan diri sebagai pengguna kartu kredit tidak perlu diberitahukan pada istrinya. Namun, setelah dia mencapai
pengalaman ia menolak abstraksi lama. Ia menggantinya dengan abstraksi baru. Bahwa pada waktu yang lain ia tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi. Perbuatan tidak memberitahukan istrinya bahwa ia mengambil keputusan untuk menggunakan
kartu kredit.
Jadi, sekiranya inilah pentingnya kita berbagi pengalaman dengan lembaga dakwah kampus lain. Berbagi
pengalaman berarti memindahkan abstraksi baru yang lebih kompleks dibandingakan abstraksi yang sudah dihasilkan sebelum
mencapai pengalaman dan lebih bisa kita terima sebagai abstraksi yang kita adopsi.
Lantas, apa gunanya abstraksi baru yang lebih kompleks itu?. Sepintas, abstraski baru itu menambah kompleksitas
pengetahuan kita belaka. Akan tetapi, lebih dari itu, dengan abstraksi baru itu, kita bisa memahami fakta baru. Pemahaman
akan fakta baru berguna saat menemui pengalaman yang sama nantinya. Sehingga dapat diambil tindakan/perbuatan yang
sudah ada abstraksinya. Untuk diingat, pada setiap perbuatan tertentu terdapat pemahaman/abstraksi tertentu. Ini menjadikan
perbuatan semakin efisien. Sebab, proses untuk melakukan perbuatan menjadi semakin singkat. Artinya waktu yang digunakan
semakin sebentar atau tidak lama. Efisiensi bisa tercapai pada tahap Eksekusi/perbuatan. Sehingga hal ini bisa berkontribusi
pada efisiensi organisasi (Interaksi-Proses-Abstraksi-Eksekusi).
Lembaga dakwah kampus lain cenderung mempunyai abstraksi awal yang sama dengan abstraksi awal kita. Hanya
saja, saat pengalaman telah tercapai, abstraksi baru antara kita dengan mereka cenderung berbeda. Untuk itulah, kita
membutuhkan sharing pengalaman. Kita akan mendapatkan abstraksi baru dan mereka pun demikian. Abstraksi kita dan
mereka sama-sama berkembang.
Selain, berbagi pengalaman mengarah keluar pada lembaga dakwah kampus lain juga dalam rangka menjalin
hubungan baik. Kita menjalin silaturahim dan komunikasi dengan mereka. Dengan komunikasi kita akan saling berbagi, saling
memahami, saling menginspirasi dan saling memotivasi.
Upaya melangsungkan kehidupan Islam membutuhkan banyak energi. Kita tidak akan berjuang sendirian dengan
berkontribusi mengubah realitas kehidupan masyarakat lokal yang ada di sekitar kita. Akan tetapi, upaya yang kita lakukan juga
dilakukan oleh orang lain pada masyarakat di tempat lain. Seandainya yang kita lakukan bertentangan dengan yang mereka
lakukan untuk mengubah masyarakat, kita dan mereka akan saling melemahkan. Sebaliknya, seandainya yang kita upayakan
sama dengan apa yang mereka upayakan untuk mengubah masyarakat, kita dan mereka akan saling menguatkan. Inilah yang
kita butuhkan, hubungan kita dengan mereka (lembaga dakwah kampus.red) harus saling menguatkan. Untuk itu diperlukan
sinergi arah gerak perubahan masyarakat antara kita dan mereka (lembaga dakwah kampus.red). Sinergi ini akan tercapai
dengan kepastian adanya satu kepemimpinan. Sinergi ini memimpin arah gerak perubahan realitas kehidupan masayarakat.
Dalam rangka mewujudkan satu kepemimpinan tadi, kita harus menunjuk satu pemimpin. Pemimpin itulah yang
menunjukkan jalan, arah perubahan realitas kehidupan masayrakat. Jadi, pemimpin harus mempunyai konsep arah gerak
perubahan itu.
Adapun untuk mewujudkan sinergi arah gerak perubahan masyarakat kita harus berkomunikasi dengan lembaga
dakwah kampus lain. Komunikasi memungkinkan kita berbagi inspirasi dan motivasi dengan mereka. Termasuk insirasi yang
berupa konsep arah gerak perubahan masyarakat. Inilah misi yang telah dituangkan pada Abstraksi HATI 2010, menjadi rujukan
lembaga dakwah kampus se-Indonesia dalam pengembangan pemikiran Islam. Dengan misi ini kita harus mengembangkan
pemikiran mengenai konsep arah gerak perubahan masyarakat. Dengan misi ini berarti kita harus siap memimpin arah gerak
perubahan masyarakat yang diusung lembaga dakwah kampus se-Indonesia. Siapkah kita untuk memimpin lembaga dakwah
kampus se-Indonesia?. Ini bukanlah sesuatu yang mustahil.
Adapun kepentingan mengarah keluar pada kemahasiswaan kampus lain adalah untuk memahami pergerakan
kemahasiswaan pada saat tertentu. Selain sebagai bagian dari kemahasiswaaan ITB, HATI juga bagian dari kemawasiswaan
Indonesia. Memahami arah pergerakan kemahasiswaan Indonesia sama pentingnya dengan memahami lembaga-lembaga
kemahasiswaan ITB. Sebab, cita-cita yang hendak kita capai tidak bersifat lokal. Kita tidak hanya menginginkan perubahan arah
gerak kemahasiswaan lokal ITB. Lebih dari itu, diharapkan kita bisa memimpin arah pergerakan kemahasiswaan Indonesia
bersama lembaga dakwah kampus lain. Bukankah fikrah dan thariqah yang kita adopsi ini telah mengandung qiyadah fikriyah?.
Fikrah yang mendorong kita untuk memimpin orang lain dengan fikrah tersebut. Mengajak orang lain untuk mengemban fikrah
ini hingga orang lain mempunyai arah pergerakan yang sama dengan kita. Mewujudkan cita-cita yang dilandaskan pada fikrah
tersebut.
Itulah mengapa kita harus mengarah keluar kepada kemahasiswaan Indonesia. Kita akan memahami sebelum
memimpin arah pergerakan kemahasiswaan Indonesia. Sebab, kemahasiswaan Indonesia ini mempunyai potensi mendukung
perubahan di negeri ini. Itu akan mendukung cita-cita melangsungkan kembali kehidupan Islam. Selanjutnya, mengenai
pergerakan kemahasiswaan Indonesia akan diarahkan seperti apa, akan dibahas pada konsep mengarah keluar dimensi
waktu insya Allah.
Adapun yang akan kita capai dari pemahaman akan pergerakan kemahasiswaan Indonesia adalah bentuk
keseluruhan organisasi kemahasiswaan. Sebagai pengingat untuk kemudian diingat lagi, bentuk organisasi ini berlangsung
selama waktu itu ada. Selama organisasi itu berlangsung. Arah pergerakan berarti perubahan bentuk organisasi pada waktu
yang telah berlalu hingga pada waktu sekarang. Pun demikian juga perubahan bentuk keseluruhan organisasi dari waktu
sekarang hingga waktu yang belum ada. Keduanya kontinyu tak bersekat kecuali ada stagnasi. Itulah arah pergerakan
kemahasiswaan.
Pemahaman terhadap arah pergerakan kemahasiswaan dilanjutkan dengan pengkajian terhadap perubahan realitas
kehidupan masyarakat pada waktu tertentu. Kegagalan akan perubahan realitas kehidupan masyarakat pada waktu tertentu
tidak mutlak dipengaruhi oleh arah pergerakan kemahasiswaan pada waktu tertentu itu. Banyak pihak yang mempengaruhi
variabel perubahan kehidupan realitas kehiduopan masyarakat. Namun, dengan basis keilmuan dan keintelektualan yang
melekat pada mahasiswa, pergerakan kemahasiswaan dapat mengambil peran strategis untuk mempengaruhi variabel itu.
Ini bisa kita pahami dengan mendefinisikan masyarakat. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah menemukan definisi
masyarakat. Bahwa perubahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari jalur perubahan pemikiran, perasaaan, dan peraturan yang
ada pada masyarakat. Pergerakan kemahasiswaan dapat mengambil peran sebagai kontributor perubahan pemikiran dan
perasaan yang ada di masyarakat. Perubahan pemikiran dan perasaan masyarakat mendorong perubahan peraturan. Apalagi,
seandainya pemikiran dan perasaan tersebut dilandaskan pada akidah akliyah, Islam. Perkara ini bukan lagi ‘urusan perut’
semata melainkan telah terkait dengan pahala dan dosa.
Selanjutnya, mengarah keluar ditujukan pada instansi terkait. Instansi ini bukan sembarang instansi melainkan
instansi yang ikut campur dalam pembentukan kemahasiswaan. Instansi ini mempunyai pengaruh mengatur arah pergerakan
kemahasiswaan Indonesia. Pengamatan terhadap perkara ini difokuskan pada kebijakan-kebijakan yang diberikan instansi
terkait pada kemahasiswaan Indonesia.
Latar belakang kemunculan kebijakan menjadi pijakan seperti apa arah pergerakan kemahasiswaan ditentukan
nantinya. Untuk itu, perlu dikaji seperti apakah kebijakan itu hakekatnya. Pertama-tama kita harus bertabayun pada instansi
terkait itu. Memahami konstruksi pemikiran yang ada pada kebijakan tersebut. Selanjutnya dengan fikrah yang diadopsi, kita
kaji hakekat kebijakan itu. Hasil kajian itu dirumuskan dalam bentuk abstraksi yang tersimpan dalam benak kita.
Hakekat kebijakan itu akan mempengaruhi arah pergerakan kemahasiswaan. Itu berlanjut dengan perubahan bentuk
keseluruhan organisasi kemahasiswaan di Indonesia. Sebab, cakupan kebijakan itu meliputi organisasi kemahasiswaan se-
Indonesia. Adapun abstraksi yang telah tersimpan dalam benak kita menjadi bekal untuk memahami konstruksi pemikiran arah
pergerakan kemahasiswaan. Walaupun tidak dalam keseluruhan bentuk, hakekat kebijakan tetap saja akan mempengaruhi
bentuk organisasi kemahasiswaan. Sebab, kemahasiswaan Indonesia sedari dulu memang cenderung independen. Ataupun
seandainya dependen, maka itu independen dari kepentingan penguasa. Beberapa organisasi kemahasiswaan saat ini menjadi
kepanjangan tangan dari partai politik yang ada di Indonesia. Ini bukanlah sesuatu yang tabuh untuk dibicarakan. Akan tetapi,
tidak elegan seandainya kita hanya memperkarakan hal ini. Sebab, yang menjadi besaran untuk kemudian diukur/dinilai adalah
ide/fikrah yang diadopsi organisasi itu. fikrah itulah yang menjadi sumbangan terdasyat kemahasiswaan Indonesia untuk
mengubah realitas kehidupan masyarakatnya.
Pada bagian akhir, upaya mengarah keluar ditujukan pada masyarakat luas. Masyarakat luas menjadi objek
pengamatan atas upaya-upaya yang telah dijalankan oleh lembaga-lembaga kemahasiswaan. Sejauh mana pengaruh
pergerakan kemahasiswaan terhadap realitas kehidupan masyarakat. Variabel yang ada pada masyarakat berupa pemikiran,
perasaan, dan peraturan. Bagaimana arah perubahan ketiga variabel ini. Untuk mengamatinya, dapatlah kita menghayati
bagaimana pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada pada masyrakat pada waktu yang lalu dibandingkan dengan sekarang.
Itulah arah perubahan ketiga variabel yang pernah ada. Sedangkan arah perubahan variabel yang belum ada diamati dengan
membandingkan pemikiran, perasaan, dan peraturan pada waktu sekarang dengan pada waktu yang akan ada. Keduanya
kontinyu kecuali ada stagnasi. Itulah arah perubahan ketiga variabel.
Arah perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa pihak yang menentukan perubahan ketiga variabel. Ini adalah
sesuatu yang kompleks. Lebih kompleks daripada bentuk satu organisasi yang mempengaruhi persepsi orang-orang yang
menjadi bagian dari organisasi tersebut.

Bersambung........

4. Opini
 Opini untuk membangun konstruksi pemikiran (tidak terpaku pada rekrutmran anggota baru)
 Uslub dan pengemasan opini (mencermati bagaimana objek dakwah itu berpikir saat menerima opini kita)
5. Kajian
 Kajian masyarakat
 Kajian sistem pendidikan
 Kajian sistem sosial-budaya
 Kajian ekonomi
 Kajian energi
 Kajian industri
6. Hublu
 Kontak lembaga mengikuti fase kajian (unit, himpunan, KM-ITB, Rektorat, LDK lain, Departemen Pendidikan,
masyarakat)
7. Kaderisasi
8. Rekrutmen (MSDA)
9. Pusdatinkom
 pengarsipan
10. MSDA
 Kepemimpinan
 Shared vision
 Efisiensi organisasi
 Sms tausiyah
 Metode penjagaan Abstraksi
11. Sekretaris
12. Bendahara

You might also like