You are on page 1of 10

Ta’zir -‫تعزر‬

I. Pendahuluan

Hukum pidana atau fiqih Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang
berlaku semenjak diutusnya Rosulullah. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan
Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum
yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil
amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan
hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam
merupakan bagian ibadah kepada Allah S.W.T. juga ditujukan untuk kemaslahatan
umat manusia di dunia.

Ada tiga bagian jarimah yang digologkan menurut berat ringannya


hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud. Dapat dikategorikan
sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah
hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan
Ta’zir, adalah sebuah hukuman yang ditentukan oleh ulil amri atau Hakim (qadi).
Ta’zir adalah jenis hukuman yang memiliki banyak pilihan, dikarenakan tidak adanya
ketetapan dari Al-Qur’an.. Dalam kesempatan ini kami ingin menjelaskan secara
secra lengkap tentang ta’zir, baik itu pengertian, unsur, dasar hukum serta jarimah-
jarimah yang meliputinya.

Walaupun dalam kenyataanya, masih banyak umat islam yang belum tahu
dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana
ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba
menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum pidana islam dan beberapa aspek
didalamnya. Khsusnya tentang masala-masalh ta’zir dan segala hal yang
bersangkutan dengannya.

1
Ta’zir -‫تعزر‬

II. Pengertian Ta’zir

Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang
berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan,
membantu. Dalam al qur’an disebutkan :

)٩( ً‫لِّ ُت ۡؤ ِم ُنو ْا ِبٱهَّلل ِ َو َرسُولِهِۦ َو ُت َع ِّزرُوهُ َو ُت َو ِّقرُوهُ َو ُت َس ِّبحُوهُ ُبڪ َۡر ۬ ًة َوأَصِ يال‬
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.(Q.S. Al Fath:9)

Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut,

‫والّتعزير تأ دب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود‬

“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa


yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.”1

Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut


dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.
Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan
oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak
Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum
dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.2

Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap
maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim 3. Hukuman dalam jarimah
ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas
terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan
demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-
bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

II. Dasar Hukum Disyari’atkan Ta’zir


1
Abu Hasan Ali Al Mawardi, KItab Al-Ahkam As-Sulthoniyyah, Dar El Fikr, Beirut,1966,hlm.236.
2
Al-Syirazi,Al Muhazab,II,hlm.289
3
Hakim adalah orang yang menerapkan hokum-hukum Islam, melaksanakan hukuman-hukuman
haddnya dan mengikatkan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam.

2
Ta’zir -‫تعزر‬

Dasar hukum disyari’atkannya ta’zir terdapat dalam beberapa Hadits Nabi saw. Dan
tindakan sahabat. Hadits-hadits tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim

‫ أنّ ال ّنبيّ صلى هللا عليه وسلّم حبس فى التهمة‬,‫عن بهز ابن حكيم عن ابي عن ج ّده‬
)‫ و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم‬:‫(رواه ابو دود ال ّترمذي‬

Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw.
Menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu dawud, Turmudzi, Nasa’I, dan Baihaqi,serta
dishahihkan oleh hakim).4

2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah

‫ هللا صلّى هللا عليه و سلّم‬:‫عن ابى بردة األ نصارى رضي هللا عنه أ ّنه سمع رسول‬
)‫ هللا تعالى (م ّتفق عليه‬:‫ عشرة اسوا ط أالّ فى حدود‬:‫ ال يجلد فوق‬: ‫يقول‬
Dari abu Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali didalam
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.(Muttafaq alaih)5

3. Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Aisah

ّ‫ ذوىالهيئا ت عثرا تهم أال‬:‫ أقيلوا‬:‫و عن عا ئشة رضي هللا عنها أنّ نبيّ صلّى هللا عليه وسلّم قال‬
)‫ والبيهقى‬:‫الحدود (رواه أحمد و أبو داود والنسائى‬

Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi
orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan
mereka,kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. ( Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
dawud, Nasa’I, Dan BAihaqi).

III. Unsur-unsur Ta’zir

Unsur jarimah ta’zir bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur
khusus. Unsur umum jarimah ada tiga macam, yaitu:

1) unsur formil, yaitu suatu perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang—undang yang
mengaturnya.

4
Sayid Sabiq, Fiqih As-Sunnah,Juz 2, Dar Al Fikr, Beirut,1980,hlm.497.
5
Muhammad ibn Isma’il Al-Kallani, Subul As-Salam, Juz IV, Maktabah Mushthafah Al-Baby Al-Halaby,
Mesir,1960,hlm. 37.

3
Ta’zir -‫تعزر‬

2). Unsur materiil, yaitu tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik
dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat.

3). Unsur moril, yaitu pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. 6

Yang dimaksud unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada
peristiwa pidana tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang
satu dengan jenis jarimah yang lainnya. 7 Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Islam
Menurut al-Syatibi tidak ada satu pun dari hukum Allah yang tidak mempunyai
tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yuthaq
(pembebanan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan). 8

IV. Ruang Lingkup Jarimah Ta’zir

Ruang lingkup jarimah ta’zir adalah sebuah cakupan juga sekaligus batasan
yang tersentuh oleh jarimah ta’zir. Terdapat berbagai macam pengelompokan
ruang lingkup jarimah ta’zir di kalangan ulama serta fuqaha. Dan pengelompokkan
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menurut Abd. Qodir Awdah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:

1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau
tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan
maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap
anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya
oleh syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi
palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati
amanah, dan menghina agama.
3. Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi
wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. 9

b. Para Ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian, yaitu:


6
Haliman, Hukuman Pidana Islam Menurut Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968),
hlm. 48
7
KUHP pasal 1 ayat (1)
8
Al-syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, (Kairo: Matba’at Muhammad Ali Subayh, 1970), hlm.3,
82, dan 91.
9
Pembagian ini juga dapat disebut sebagai pembagian dari segi dasar hokum (penetapannya). Lihat
Hukum Pidana Islam, Drs. H. Ahamad Wardi Muslich.

4
Ta’zir -‫تعزر‬

1. Jarimah yang berkenaan dengan hak Allah


2. Jarimah yang berkenaan dengan hak individu10

c. Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir menjadi beberapa bagian , yaitu:

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan


2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan
3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehirmatan dan
kerusakan akhlak
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum11

V. Uqubah-uqubah dalam Ta’zir

Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan


penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota
masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir
harus sesuai dengan prinsip syar'i.

Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman


paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk
memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan
keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain:

1. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk


memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu,
dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan
nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum
tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali
dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir
tidak ada hukuman mati.

2. Hukuman Jilid

10
Disebut juga sebagai jarimah yang dilihat dari hak yang dilanggar. Lihat, Fiqih Jinayah, Prof. Dr. H.A.
Djazuli.
11
Abd. Aziz Amir,At Ta’zir fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Dar Al Fikr Al Arabi. hlm.91-262

5
Ta’zir -‫تعزر‬

Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid


dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas
tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam
ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat


pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat
kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman
jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan
syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.

Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama


dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa
jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman
yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi
hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa
hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu
Burda sebagai berikut:

‫لّم‬:‫ه و س‬::‫لّى هللا علي‬:‫ هللا ص‬:‫ول‬::‫مع رس‬::‫ه س‬::‫ه أ ّن‬::‫عن ابى بردة األ نصارى رضي هللا عن‬
)‫ هللا تعالى (م ّتفق عليه‬:‫ عشرة اسوا ط أالّ فى حدود‬:‫ ال يجلد فوق‬: ‫يقول‬

Dari abu Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw


bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman
yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.(Muttafaq alaih)

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas
terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda
pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara
ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman


kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus
sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan
hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang
melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

6
Ta’zir -‫تعزر‬

4. Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan


(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had.
Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului
dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak
dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam
menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha'
tidak lebih dari tiga hari.

5. Hukuman Ancaman , Teguran dan Peringatan

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan
dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku
mengulangi tindakannya lagi.

Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap


sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka
Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek
jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa
jahiliyah."

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan


memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini
dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat
dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang


disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan
selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:

َ ‫ا َر ُح َب ۡت َو‬::‫ا َق ۡت َع َل ۡي ِہ ُم ٱأۡل َ ۡرضُ ِب َم‬:‫ض‬


ۡ‫هُم‬:‫ا َق ۡت َعلَ ۡي ِهمۡ أَن ُف ُس‬:‫ض‬ َ ‫و ْا َح َّت ٰ ٓى إِ َذا‬::ُ‫ِين ُخلِّف‬ َّ ‫َو َعلَى‬
َ ‫ٱلثلَ ٰـ َث ِة ٱلَّذ‬
ۚ َ ‫َو َظ ُّن ٓو ْا أَن اَّل َم ۡل َجأ َ م َِن ٱهَّلل ِ إِٓاَّل إِلَ ۡي ِه ُث َّم َت‬
(١١٨( ‫ْ‌ا إِنَّ ٱهَّلل َ ه َُو ٱل َّتوَّ ابُ ٱلرَّ حِي ُم‬:‫اب َعلَ ۡي ِهمۡ لِ َي ُتوب ُٓو‬

"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa
sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta
mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya,

7
Ta’zir -‫تعزر‬

kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."(Q.S At-


Taubah:118)

7. Hukuman Denda

Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman.


Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,
hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping
hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw,
"Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak
dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang
yang menyembunyikan barang hilang.12

VI. Perbedaan Jarimah Hudud Qishash-Diyat dengan Jarimah Ta’zir

Perbedaan yang menonjol antara hudud, qishas, dan ta’zir :

 Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan maupun


oleh ulul amri. Sedangkan ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik
oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
 Dalam ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si
pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.
Sedangkan dalam hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah
kejahatan material.
 Pembuktian hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan,
sedangkan pembuktian ta’zir sangat luas kemungkinannya.
 Hukuman Had maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak
kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh
sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil
boleh.13

VII. Penutup

Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, teedapat hal-hal yang
menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang
pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqoha tentang hal-hal yang
berkaitan.

Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan


kebijakan hukuman paling ringan disbanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun

12
Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Hlm. 258-270
13
Prof. Drs. H. A. Djazuli. Fiqih Jinayah; Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam.Raja Grafindo
Persada;Jakarta. Hlm. 166-167.

8
Ta’zir -‫تعزر‬

memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat


bergantung pada hakim.

Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada


terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang
telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Kerena sesungguhnya hukuman jarimah
ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak pelanggaran itu kembali.

Menuruthemat penulis, ta’zir dansemua hukum islamyang diperintahkan


olehAllah adalahhukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari
sebuah hukuman yaitu preventive,adukatif dan repressive. Sehingga dapat
mewujudkan kehidupn yang aman, damai dan tentram.

Daftar Pustaka

Djazuli, H. A.. Fiqih Jinayah; Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam.Raja


Grafindo Persada;Jakarta.

Al Mawardi,Abu Hasan Ali, KItab Al-Ahkam As-Sulthoniyyah, Dar El Fikr, Beirut,1966

9
Ta’zir -‫تعزر‬

Amir,Abd. Aziz,At Ta’zir fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Dar Al Fikr Al Arabi

Muslich,Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2004

Al-syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, (Kairo: Matba’at Muhammad Ali


Subayh, 1970)

Haliman, Hukuman Pidana Islam Menurut Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968),

Al-Kallani,Muhammad ibn Isma’il, Subul As-Salam, Juz IV, Maktabah Mushthafah Al-
Baby Al-Halaby, Mesir,1960

10

You might also like