Professional Documents
Culture Documents
• Kisah Abu Nawas kali akan memberitakan cerita tentang bagaimana si Abu Nawas
memberi nasehat kepada tetangganya yang merupakan salah seorang hartawan yang
zalim.
Salah seorang pemuda di dekat rumah Abu Nawasmendadak menjadi kaya raya karena harta
wariasan yang diterimanya.
Namun sayang, karena tak mampu mengelola harta ia akhirnya menjadi hartawan yang zalim dan
jatuh miskin.
Kisahnya...
Salah seorang pemuda menjadi kaya karena warisan dari orang tuanya.
Kehidupannya drastis menjadi orang kaya dan hampir semua orang ingin berkawan dengannya.
Berita akan kekayaan si pemuda ini cepat ersebar hingga ke pelosok desa, dan masyarakat kagum
akan megahnya rumah yang dia bangun, ya karena memang tampak berbeda dengan rumah
lainnya.
Selalu Pesta.
Enatahlah apa yang ada di hati si pemuda ini, hampir setiap hari dia mengadakan pesta di
rumahnya.
Karena dibujuk oleh beberapa teman agar menyajikan pesta yang lebih meriah dari hari ke hari,
lama kelamaan kekayaannya pun mulai menipis karena untuk pesta meriah yang diadakannya
sendiri.
Benar saja, hanya dalam waktu yang singkat, uang yang dimiliki pemuda tersebut telah habis,
bahkan dirinya tak mampu lagi memberi gaji kepada pembantunya sendiri.
Efeknya lagi, kawan-kawannya mulai menjauhinya dengan perlahan-lahan pula.
"Bukan begitu maksudku, kau salah tafsir, maksudku dalam waktu yang tidak terlalau lama
kau akan terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman," jelas Abu
Nawaskepada pemuda tersebut.
Kemudian Abu Nawas menjelaskan bahwa apa yang diterima dan dialami oleh pemuda tersebut
adalah akibat dari apa yang dialkukannya sendiri.
Selain itu, dirinya pun tak pernah sekali pun untuk berusaha mengelola harta yang dimilikinya.
Suatu sore ketika Baginda berendam di dalam kolam, ia berkata kepada para menterinya.
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai paduka yang mulia?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya ingin kalian datang lebih dini besok sore ke kolam ini.
Jangan lupa datanglah sebelum Abunawas datang, karena aku akan mengundangnya untuk
mandi bersama-sama kita," jelas Baginda.
Akhirnya keesokan harinya Baginda dan para menteri telah dulu datang sebelum Abu
Nawas.
Baginda membagikan 20 butir telur ayam kepada para menterinya, sedangkan yang satu untuk
Baginda sendiri.Pengarahan telah diberikan dan dilaksanakan oleh para menteri untuk menjebak
Abu Nawas.
Ketika Abu Nawas datang, Bainda beserta para menteri sudah terlebih dahulu berendam di
dalam kolam.
Abu Nawas disuruh ikut berendam saat itu juga.
Abu Nawas harap-harap cemas, kira-kira permainan apa yang akan dia hadapi, mungkin permainan
kali ini akan lebih berat karena Baginda tidak memberinya tenggang waktu untuk berfikir.
Begitu guman Abu Nawas.
"Hai Abu Nawas, aku mengndangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut
dalam permainan kami."
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia?" tanya Abu Nawas.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang.
Sebagai manusia kita harus bisa dengan carakita masing-masing," kata Baginda senyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia," kata Abu Nawas takut.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam, dan barang siapa yang tidak bisa
bertelur maka ia harus dihukum," jelas Baginda.
Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya murungdan ia yakin dirinya tidak dapat bertelur.
"Nah sekarang apalagi yang kita tunggu, kita menyelam lalu naik ke atas sambil
menunjukkan telur kita masing-masing," perintah Baginda.
Baginda dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas sambil menunjukkan
telur.
Abu Nawas masih saja di dalam kolam untuk bertelur, hiks hiks...
Abu Nawas sadar kalau Baginda dan para menteri telah mempersiapkan telur untuk masing-masing.
Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur.
Tak kuat menyelam terlalu lama, Abu Nawas akhirnya naik ke permukaan dan menepi.
baginda langsung menghampirinya.
"Ampun Tuanku yang mulia, hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para
menteri,"kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum," kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia," kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas," tanya Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hambba membela diri, sebenarnya kalau hamba
tentu mampu, akan tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bisa
bertelur.
Hanya Ayam betina saja yang bisa bertelur," jelas Abu Nawas.
Tentu saja Raja tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya terlihat malu,jadi semua yang
membawa telur tadi ayam betina donk jadinya...
Abu Nawas memang licin.
Karena malu, Raja dan para menteri segera berpakaian, kemudian langsung menuju istana tanpa
sepatah kata.
Abu Nawas sendiri tak mengira kalau dirinya bakal lolos dari jebakan Baginda yang satu ini.
Kisah Abu Nawas ini hanya dongeng saja.
• Kisah Abu Nawas kali ini akan menceritakan tentang cara Abu Nawas memilih jalan.
Kisahnya...
Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan.
Akan tetapi dengan tanpa keikutsertaan Abunawas, perjalanan akan terasa memenatkan dan
membosankan.
Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah ABu Nawas untuk mengajaknya ikut serta.
Abu Nawaspun tidak keberatan, hingga mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-
masing sambil bercengkrama.
Tiada terasa mereka telah menempuh hampir separuh perjalanan dan kini mereka tiba di
pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk.
Mereka berhenti karena mereka ragu-ragu kemana jalan yang akan ditempuh.
Setahu mereka, kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah
hutan wisata yang berisi binatang-binatang buas.
Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena bila salah
pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali.
Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan?
Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata,
"Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana.Mereka
adalah saudara kemabr, dan tak seorang pun bisa membedakan keduanya karena rupa
mereka begitu mirip.
Yang satu selalu berkata jujur, sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong.Dan mereka
adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja."
"Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?" tanya Abu
Nawas.
"Tidak," jawab kawan Abu Nawas singkat.
"Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak," sambung Abu Nawas.
Abu Nawas makan daging dengan madu bersama sahabat-sahabatnya.
Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara.
Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu.
"Maaf, aku sangat sibuk hari ini.Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja, tidak
boleh lebih," katanya.
Kemudian Abunawas menghampiri orang itu dan berbisik.Orang itu pun juga menjawab
dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas.Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera
mohon diri.
"Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan," kata Abu Nawas kepada sahabatnya.
"Bagaimana engkau tahu bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan?
Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar
atau yang selalu berkata bohong?" tanya salah seorang dari mereka.
"Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri," kata Abu Nawas.
Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka
ia akan menjawab,
"Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri
sebab saudara kembarnya selalu berbohong."
Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab:
"Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri
sebab saudara kembarnya selalu berkata benar."
• Kisah Abu Nawas kali ini akan menyajikan tentang kecerdikan Si abu Nawas dalam
mengadili ibu muda yang saling memperebutkan ibu kandunganya.
Kisahnya.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-
sama ingin memiliki, rebutan.
Hakim rupanya mengalami kesulitan untuk memutuskan permpuan mana yang sebenarnya
ibu si bayi itu.
Mengingat tak ada cara lain lagi, seperti biasanya Raja memanggil Abunawas, dan Abu
Nawas harus menggantikan hakim untuk sementara waktu.
Abu Nawas tidak menjatuhkan putusan hari itu, namun ia menunda sampai hari berikutnya.
Mencari akal...
Keesokan harinya, sidang pengadilan mulai dilanjutkan lagi.
Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan, dan memerintahkan agar bayi itu
diletakkan di atas meja.
"Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua perempuan itu dengan
heran dan saling pandang.
"Sebelum aku mengambil tindakan, apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah
dan menyerahkan bayi itu kepada yang berhak memilikinya?" kata Abu Nawas.
"Tidaak...bayi itu adalah anakku.." kata kedua perempuan itu secara serentak.
"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan
tidak ada yang mau mengalah, maka aku dengan sangat terpaksa akan membelah
bayi itu menjadi dua sama rata." jawab Abu Nawas mengancam.
Perempuan pertama sangat girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-
jerit histeris.
"Jangan...tolong jangan kau belah bayi itu.
Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata
perempuan kedua.
Abu Nawas pun tersenyum lega mendengar penuturan perempuan kedua itu.
Sekarang topeng mereka sudah terbuka, dan Abu Nawas pun segera menganbil bayi itu
dan langsung menyerahkannya kepada perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Kisahnya..
Al Kisah pada waktu itu banyak sekali rakyat jelata yang ingin mendapatka hadiah besar
dariSang Raja.
Karena sudah menjadi aturan kerajaan, bagi siapa saja yang bisa membawakan berita
bagus untuk Raja, maka ia akan mendapat hadiah yang sangat besar.
Tentu saja harulah Baginda senang mendengaranya...
Kalau tidak....Pancung hukumannya.
Dari itu, tidak semua orang berani begitu saja menghadap dan menyampaikan berita hangat
kepada Baginda.
Ha ha... ini si Abu Nawas sukanya mencari uang untuk dibagikan kaum fakir miskin, mulai
tergerak hatinya karena tetangga sebelah rumah banyak yang fakir dengan gaji pas-pasan
lagi.
Memang Abu Nawas ini terkenal sebagau manusia dengan segudang ide.
Dia bermaksud ke istana untuk menyampaikan sebuah berita yang amat menarik.
Abu Nawas yakin kalau yang akan disampaikannya pasti akan membuat Baginda girang,
karena berita ini jarang diketahui orang.
Penjaga itu berlagak acuh tak acuh berkata kepada Abu Nawas.
"Wahai Abunawas, engkau akan aku ijinkan masuk asalkan engkau berjanji terlebih
dahulu kepadaku," kata penjaga pintu gerbang itu.
"Janji apa?" Abunawas pura-pura tak tahu.
"Engkau harus berjanji kepadaku bahwa apapun hadiah yang engkau terima harus
dibagi sama rata denganku," kata penjaga pintu gerbang istana.
"Baiklah...," kata Abu Nawas jengkel.
Setelah Abu Nawas menjanjikan separo hadiah yang akan diterimanya dari Baginda barulah
penjaga itu mengijinkan Abunawas masuk.
Kejengkelan Abu Nawas terhadap penjaga gerbang yang nakal ini berubah menjadi
dendam yang berkobar-kobar.
Akhirnya Abu Nawas mempunyai ide untuk memberikan pelajaran berharga buat pengawal,
penjaga pintu gerbang istana itu.
Setelah masuk istana, Baginda Raja Harun al-Rasyid merasa sangat senang.
Rasa senang ini sampai ke lubuk hatinya yang paling dalam.
Setelah Abu Nawas menyampaikan berita yang amat langka dan jarang diketahui oelh
manusia, Baginda pun mersa sangat senang dan puas.
Baginda merasa belum pernah mendengarnya, hingga seolah-olah ia telah menjadi orang
yang paling beruntung di dunia.
"Wahai Abu Nawas, kali ini tentukanlah sendiri hadiah yang engkau inginkan," kata
Baginda.
"Terima kasih, paduka junjungan hamba.
Bila diperkenankan memilih hadiah, maka hamba meminta seratus cambukan," jawab
Abu Nawas.
Tentu saja Baginda bertanya-tanya dalam hati, merasa kaget dan heran.
Tetapi Baginda yakin bahwa Abu Nawas pasti mempunyai maksud tertentu di balik itu.
Dari itu, Baginda memanggil algojo kerajaan dan berpesan jangan terlalu keras kalau
mencambuk Abu Nawas.
"Berhenti....!!!"
Baginda kaget.
Beliau bertanya kepada Abu Nawas.
"Mengapa engkau minta hukuman cambuk dihentikan. Bukankah engkau sendiri
yang memintanya?" kata Baginda belum mengerti.
"Paduka yang mulia, sebenarnya penjag pintu gerbang istana telah melarang hamba
untuk masuk kecuali hamba mau berjanji membagi sama rata hadiah apapun yang
akan hamba terima.
Kini hamba mohon sisa hukuman itu dibebankan kepada penjaga pintu gerbang itu,
wahai Paduka yang mulia," kata Abu nawas menjelaskan.
Haa...
Bukan kepalang murka Baginda.
Tanpa banyak bicara lagi, pengwal itu dipanggil untuk masuk.
Baginda berpesan kepada algojo untuk melanjutkan hukuman lecut kepada pengawal yang
zalim itu dengan sabetan yang sangat keras, sekeras-kerasnya.
Namun demikian, Abu Nawas belum juga puas,karena harusnya dia mendapat hadiah dari
Baginda.
Hari berikutnya, Abu Nawas menemui pengawal itu dan berkata,
"Tahukah engkau apa yang bisa akulakukan terhadap dirimu kapanpun aku
mau?" ancam Abu Nawas.
"Tidak," jawab pengawal itu ketakutan.
"Karena engkaulah aku tidak membawa hadiah apa-apa kecuali lecutan. Kalau
engkau tidak mau mengganti hadiah yang mestinya aku terima maka aku akan
mengadukan kepada Baginda," kata Abu Nawas yang mengetahui kalau pengawal ini
suka terima suap juga dari orang lain.
Karena takut, maka pengawal itu bersedia menjual ladang hasil kecurangannya di masa
lalu.
Dan selanjutnya ia memohon kepada Abu Nawas agar tidak mencelakakan dirinya lagi.
Abunawaspun setuju.
Akhirnya....
Dengan dari hasil penjualan ladang milik pengawal, uangnya dibagikan kepada yang
membutuhkan, terutama tetangganya yang miskin tadi.
Agaknya masih bisa dilanjutkan, lain kali ketemu dengan Cerita ABU NAWAS yang
lain.
(maaf jika ada kata yang kurang berkenan dan menyinggung hati para pembaca.
Ini hanya sebuah Kisah, cerita dan dongeng belaka).
• Pintu Akhir
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat
biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa
sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya
seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang
berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang
menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang
datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya,
tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat
penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana
cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"
Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi
dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit
dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada
keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur.
Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-
olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah
dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak
mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang
terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut
mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang
amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di
surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka
satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan.
Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas
dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu
Nawas.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka
maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit
pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas
’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu
ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan
pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak
akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak
berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan
istrinya uang yang cukup banyak.
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat
biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa
sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya
seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang
berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang
menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang
datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya,
tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat
penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana
cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"
Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi
dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit
dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada
keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur.
Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya
seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya
adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jikamasalah mimpi yang remeh saja sudah
tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa
yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut
mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang
amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di
surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka
satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan.
Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas
dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas
yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula
satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu
Nawas.
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang
mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di
dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik
untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya
dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan
di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu
Nawas yang amat cerdik di negerinya.
Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih
leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi
permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu
sebulan.
Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman
dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan
kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali
hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya
Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk
dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas
berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu
Nawas bertanya kepada Baginda Raja,
"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.
"Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap.
Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat
yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu
akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan
titah Paduka."
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas
masih bisa keluar dari lubang jarum.
Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi
beberapa pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja membongkar
rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda
bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata
yang tak ternilai harganya. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata
emas dan permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf
kepada Abu Nawas. Apabila mengganti kerugian. inilah yang membuat Abu
Nawas memendam dendam.
Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat
untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak
dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas
tetap tidak beranjak. Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai
menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. la tiba-tiba tertawa riang.
“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi.” Abu
Nawas berkata kepada istrinya.
“Membalas Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri
Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk
hormat dan berkata,
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap
Baginda kasar.
“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba me-
ngadukan perlakuan yang tidak adil ini.”
“Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa
dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.” Baginda Raja tidak bisa
mengelakkan diri menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para
menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat
surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di
manapun mereka hinggap.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang
telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa
puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang
hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia
sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas
yang nampak lucu dan sering m enyenangkan orang itu ternyata bisa berubah
menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang
yang mengusiknya.
Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di
rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
Mengecoh Raja
Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan
titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman.
Baginda tahu
Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan
prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan
Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan
gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah Baginda.
"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari
sini. Kau kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku
akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita
berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus
menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap
kering. Sekarang kita berpencar." Baginda menjelaskan.
Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu
Baginda akan menjebaknya. la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas
sedang berpikir, tiba-tiba hujan turun.
Begitu hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk
mencapai tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya
hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba
Baginda segera menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda
dan para pengawalnya kering, Abu Nawas datang dengan menunggang kuda
yang lamban. Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu
Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa
mencapai tempat berlindung yang paling dekat.
Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi
Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai
kudakuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan
berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras
daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena
kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.
Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan
lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda
Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan
pakaian yang basah kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap
kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan
keingintahuan yang selama ini disembunyikan.
"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat
berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini." kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun
hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya,
lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti." Diam-diam
Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.
Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal.
Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung.
Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta
pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" "Telur." jawab peserta
pertama.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur."
kata peserta pertama menjelaskan.
"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang
bersamaan."
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.
Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas
tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap.
"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda
memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta
ketiga meyakinkan.
"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa
sempat mengawininya?"
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru
ayam."
"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu "Ayam bisa mengenal
telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat.
Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan
Abu Nawas.
Kisah Abu Nawas kali ini akan menceritakan bahwa si Abu Nawas menjual Rajanya.
Woo berani sekali ya si Abu Nawas ini.
Berikut Kisahnya:
Belum pernah Abu Nawas merasa menyesal dan seputus asa akhir-akhir ini.
Sudah 2 hari dapurnya tidak mengepul asap lagi karena tidak ada lagi barang yang busa dijual.
Sebenarnya Abu Nawas bisa saja menjual salah seorang dari teman-temannya untuk dijadikan budak
oleh pembelinya.
Tetapi Abu Nawas tidak tega, apalagi kebanyakan teman-teman Abu Nawas adalah orang-orang
yang miskin.
Namun bagaimanapun juga ia harus menjual manusia karena Abu Nawas sudah merasa tidak
memiliki sesuatu barangpun yang patut untuk dijual.
Dengan tekat yang amat bulat, Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja.
Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang pantas untuk dijual.
Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya...
Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang ini giliran Abu Nawas menyusahkan Baginda Raja.
Akhirnya Abu Nawas menghadap Baginda Raja dan berkata,
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang
mulia," kata Abu Nawas memulai.
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung penasaran.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas dalam benak Paduka yang mulia," kata Abu
Nawas meyakinkan.
"Kalau begitu cepatlah ajak aku kesana untuk menyaksikannya," kata Baginda.
"Tetapi Baginda...," lanjut Abu Nawas.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan
banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu," jelas Abu Nawas.
Karena begitu besar keinginantahuan Baginda Raja, maka Raja bersedia menyamar sebagai rakyat
kecil seperti yang diusulkan oleh Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al-Rasyid berangkat menuju sebuah hutan.
Setibanya di hutan, Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan
memohon Baginda Raja menunggu di situ.
Sementara itu Abu Nawas menemui seorang kenalan yang pekerjaannya menjual budak.
Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya
dari jarak yang agak jauh.
Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya.
Maka dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata.
Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan, ia merasa cocok.
Abu Nawas pun membuat surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang
mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.
Setelah itu Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.
Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di bawah pohon ketika pedagang budak
menghampirinya.
Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya.
Baginda juga merasa heran kenapa ada orang lain di situ.
"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedang budak itu.
"Aku adalah tuanmu sekarang," kata pedagang budak agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja dalam pakaian yang amat sederhana
itu.
"Apa maksud perkataanmu?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,"kata
pedagang budak itu dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda dengan murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?"
"Tidak dan itu tidak perlu," kata pedagang budak itu dengan ketus.
"Aku adalah Rajamu, Sultan Harun Al-Rasyid," kata Baginda sambil menunjukkan tanda pengenal
kerajaan.
Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menagkap Abu
Nawas.
Tetapi Abu Nawas telah raib entah kemana karena ia tahu sedang diburu oleh prajurit kerajaa.
Dan setelah Abu Nawas tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, barulah ABu
Nawas berani pulang.
Abu Nawas mulai menceritakan kepada istrinya apa yang sebenarnya terjadi.
Abu Nawas akhirnya memutuskan untuk mengelabui Baginda dengan cara berpura-pura mati.
Abu Nawas hanya bisa berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.
Kini kabar kematian Abu Nawas mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Baginda sangat terkejut, marah dan geram sebenarnya.
namun juga merasa kasihan juga mendengar kabar kabar meninggalnya, mengingat Abu
Nawasadalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.
"Baiklah kalau itu permintaan terakhir Abu Nawas," kata Baginda menyanggupi.
Kemudian Baginda Raja mengumpilkan rakyatnya di tanah lapang dan berkata,
"Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini, aku Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan
semua kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku.
Dan kalianlah sebagai saksinya," Ujar Baginda.
Begitu mendengar pengampunan dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid sendiri, Abu Nawas lekas-
lekas beranjak dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bginda.
Haahaaa...
Ada saja ini si Abu Nawas triknya.
Kisah Abu Nawas kali ini akan mgisahkan tentang pertarungan antara Abu Nawas dan seorang Ahli
Yoga yang bersekongkol dengan seorang Pendeta.
Kisahnya..
Alkisah...
Karena seorang ahli yoga sangat membenci Abunawas, maka dengan segala cara dia memperdaya
Abu Nawas ini hingga akhirnya mempunyai ide untuk mengajak seorang pendeta untuk
bersekongkol.
Setelah mencapai kata sepakat antara Pendeta dan Ahli Yoga, mereka berangkat menemui Abu
Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang, Abu Nawas sedang melakukan shalat Dhuha (shalat sunnah di pagi hari
untuk umat Islam).
Setelah dipersilahkan masuk oleh istrinya, mereka pun masuk dan menunggu sambil berbincang-
bincang dengan santainya.
"Hai Abu Nawas, bagaimanakah kalau engkau saja yang mengumpulkan derma untuk membeli
makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian," kata Pendeta.
Tanpa banyak bicara lagi, Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun
ke dusun lainnya.
Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan secukupnya untuk mereka bertiga.
Setelah itu Abu Nawas kembali lagi ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar, Abu Nawas berkata,
"Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga."
"Jangan sekarang, kami sedang berpuasa," kata ahli yoga.
"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja, sedangkan kalian ya terserah pada
kalian," kata Abu Nawas.
"Aku tidak setuju, kita harus seirama dalam berbuat apapun," kata pendeta.
"Betul...aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan
berbuka," kata ahli yoga.
"Hai...bukankah aku yang kalian jadikan alat pencari derma, dan derma itu sekarang telah aku
tukarkan dengan makanan. Sekarang kalian malah tidak mengijinkan aku untuk mengambil
bagianku sendiri, itu tidak masuk akal," kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu pendeta dan ahli yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas untuk mengambil
bagian yang sudah menjadi haknya.
Abu Nawas penasaran, ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia
memakan bagiannya.
Tetapi mereka tetap saja menolak.
Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah tertidur lelap, Abu Nawas menghampiri makanan itu.
Tanpa pikir dua kali, Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun.
Setelah kenyang, barulah Abu Nawas bisa tidur.
Pendeta mengatakan bahwa mimpi ahli yoga benar-benar menakjubkan, benar-benar luar biasa.
Kini giliran pendeta yang bercerita.
"Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku tidak
sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup.
Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."
"Kalian tentu tahu Nabi Daud a.s kan...Beliau adalah seorang Nabi yang ahli berpuasa.
tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau dan beliau menaykana apakah
aku berpuasa atau tidak.
Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari, kemudian beliau
menyuruhku agar segera berbuka karena hari sudah malam.
Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau.
Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu," kata Abu Nawas
tanpa punya perasaan salah sedikitpun.
Sambil menahan rasa lapar yang sangat, pendeta dan ahli yoga saling berpandangan satu sama lain.
kejengkelan Abu Nawas terobati sudah.
kini mereka berdua sadar bahwa mempermainkan Abu Nawas sama halnya dengan
menyusahkan diri sendiri.
Abu Nawas hidup dalam rumah yang sangat sederhana dan tidak memiliki harta benda yang
melimpah ruah.
Walau pun begitu Abu Nawas selalu ikhlas dan mampu melewati setiap rintangan yang dijumpai
dalam kehidupannya.
Abu Nawas tinggal serumah bersama dengan seorang istri.
Abu Nawas dapat pula meyakinkan istrinya bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ikhlas
menjalani rintangan yang diberikan Allah SWT.
BERDOA.
Suatu hari istri Abu Nawas mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Dirinya mengaku tak kuasa lagi dengan beban hidup yang ditanggungnya.
Istri Abu Nawas mengeluh karena suaminya tak memiliki penghasilan sehingga tak mampu
memberinya nafkah.
"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" ujar Abu Nawas dengan suara lantang dan
dilakukannya berulang-ulang.
Rupanya suara Abu Nawas terdengar oleh salah seorang tetangganya yang sedang beristirahat di
depan rumah.
Tak lama kemudian, tetangga Abu Nawas memiliki keinginan untuk berbuat usil dengan
melemparkan seratus keping perak ke kepala Abu Nawas.
"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriak Abu Nawas untuk kesekian kalinya dan
diikuti sebuah koin seratus perak jatuh tepat di atas kepalanya.
Abu Nawas yang terkejut, langsung lari ke dalam rumah sambil membawa uang yang baru saja di
dapatkan kepada istrinya.
"Istriku, aku memang wali Allah dan aku baru saja mendapatkan upah dari Allah SWT," tutur Abu
Nawas.
Tapi tetangga Abu Nawas tadi tidak terima kalau uang yang dilemparkannya tadi menjadi milik Abu
Nawas.
Oleh karena itu, pintu rumah Abu Nawas langsung digedor oleh tetangganya tadi.
"Hai Abu Nawas, kembalikan uang yang baru saja aku lemparkan tadi.
Itu milikku!" ucap tetangga itu.
Tetangga yang usil tadi tidak terima dan mengajak Abu Nawas agar diselesaikan dipengadilan.
Tak lama kemudian mereka sudah di pengadilan dan menjalani sidang.
"Tapi itu semua memang milikku!" teriak tetangganya yang kaget akan pernyataan Abu Nawas
tersebut.
Bagi sang hakim, bukti-bukti yang diterimanya sudah cukup untuk memutuskan siapa yang benar dan
siapa yang salah.
Hakim memutuskan bahwa Abu Nawas menang dan uang yang jatuh di kepalanya menjadi miliknya.
Ha ha ha...