Professional Documents
Culture Documents
DAUROH MUROBBI
Dari ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau mengaitkan
erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja dipangkuanya, apakah
jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika masing-masing orang mau tidak
mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam
dengan melewatinya adalah “Hatman Maqdhiyya”, ketentuan yang telah
ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga
buah pendekatan.
Pendekatan Idealis
Tarbiyah adalah jalan bagi para Da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau dengan
kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling sedikit tiga
karakter mendasar.
Ka’ab bin malik RA. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang
paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia
mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan kemudian iapun
dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah ditetapkan oleh Rosululloh
SAW. Bahkan ketika datang utusan dari kerajaan Ghassan yang secara diam-diam
menemuinya untuk menyampaikan sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya
antara lain suaka poltik dan jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau
eksodus, Ia malah berkata seraya merobek surat tersebut : “Ayyu Mushibatin
Hadzihi” (Musibah apa lagi ini..!)
Itulah sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu
proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep secara
paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan “Al-Qoulu Al-Tsabit” (QS. 14 : 27 ), yang
terumuskan di atas konsep yang baik atau “Kalimat Thayyibah” bukan “kalimat
khabitsah” (QS. 14 : 25 - 26 ).
Da’wah adalah perjalanan panjang, perjalanan yang dilalui tidak hanya oleh
satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya
membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rosululloh SAW mengayunkan
palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apai keluar dari sela-sela
hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa
umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru
dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad
sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan
da’wah yang telah dilalui?, akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian
banyak generasi, “Asholah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam
yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi
pertamanya yaitu Rosululloh SAW dan Para sahabat Rodhiallohu ‘anhum wa
rodhuu’anhu.
Adalah Abu Thalhah RA, salah seoarang sahabat yang Alloh SWT berikan
kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa
kekhalifahan Utsman RA, beliau yang saat itu usianya sudah sepuh, ketika ada
seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani untuk mrnghadapi
Adalah saad bin Abi Waqqash RA, yang telah menggoreskan kesaksian perjalan
da’wah dengan kepribadian yanga asholah yang tidak berubah karena perubahan
situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan
hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahan dan kesenangan, mengenang
semua itu beliau berkata : “Aku adalah salah satu dari 7 orang sahabat (dari 10
sahabat yang dijanjikan masuk surga), dahulu kami bersama Rosullloh SAW dalam
sebuah ekspedisi, kami tidak memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan
sampai perih tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini
seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung kepada
Alloh SWT agar tidak menjadi orang yang merasa besar di tengah-tengah manusia
tetapi menjadi kecil di sisi Alloh SWT”.
Da’wah adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk
mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet memang
tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara
kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah
jaminan kemenanagn di garis finis. Watak perjalanan da’wah yang lambat harus
dilihat dari proses dan tahapannya bukan dari perangai para pelakunya, karena
perangai yang lambat dalam berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab
(afiliasi) nya kepada jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat
langkah kerja da’wahnya, sebagaiman hadits rosululloh SAW : “Man bathi’a
‘amaluhu lam yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa
dipercepat dirinya dengan nasabnya).
Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian
yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang
muslim yang ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya,
keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara
ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.
Berkenaan dengan gunjingan yang menimpa aisyah RA, isteri abu Ayyub al-
anshary berkata kepada suaminya : “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta sofwaana hal
taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa ayyub lau
kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallohi abadan” (Wahai abu Ayyub, jika engkau yang
menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang tidak-tidak kepada isteri
Rosululloh SAW, dan Safwan lebih baik dari engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku
yang jadi Aisyah, tidak akan pernah akau menghianati Rasululloh SAW, dan Aisyah
lebih baik dariku).
Kata-kata isteri abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul
lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai bukti
terjaminnya hasil da’wah.
Pendekatan taktis
Setelah ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik, maka
langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, dengan melakukan
program peningkatan kualitas dan kuantitas pertumbuhan kader dan
menyelenggarakan “Bi’tsatudduat”. Seperti beberapa orang sahabat yang diutus
oleh Rosululloh SAW untuk menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan
pembinaan kepada orang-orang yang baru masuk islam, yang telah melampaui
wilayah Makkah dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan
Khalid bin Walid yang dikirim ke wilayah irak. Hal itu dimaksudkan untuk
menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan menyelaraskan
dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah.
Pendekatan Strategis
Langkah strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah
fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh terabaikan
betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap da’wah ini,
oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of generation”, atau generasi
kader yang lowong, maka segera mendesak untuk dirumuskan sebuah strategi
membina kader baru yang sekarang ini semakin kompetitif dengan gerakan-gerakan
da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah jumlah kader inti disamping kader baru baik
secara kwalitas maupun kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam
menghadapi berbagai permasalahan dan ancaman.
I. PENDAHULUAN
Islam sebagai Din merupakan sistem atau manhaj yang sempurna dari Allah
sebagai sandaran atau pedoman hidup bagi manusia.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui ( QS Al-Jaatsiyah l8)”.
Sistem ini integral dan komprehensif, karena diambil dari Kitabullah, Sunnah
Rasul,Siroh Nabi, Siroh Sahabat dan ijma Ulama. Sistem Ilahi ini mampu
memecahkan seluruh persoalan hidup manusia dengan komprehensivitasnya
sehingga tidak lagi membutuhkan sistem yang lain. Yang ingin dicapai dari sistem
ini adalah perubahan yang terdapat pada setiap orang, dari kondisi buruk kepada
yang baik atau kepada yang lebih baik, dari kufur kepada iman, dari ma’shiyat
kepada taat, dari kesesatan menuju hidayah, dari batil menuju benar dan dari
sistem manusia kepada sistem Ilahi disetiap kesempatan. Proses penyiapan manusia
menuju kebaikan ini disebut dengan tarbiyah Islamiyah.
V. TAHAPAN-TAHAPAN TARBIYAH
1. Ta’rif.
Dalam tahapan ini, da’wah dilakukan dengan menyebarkan fikrah prinsip-prinsip
dasar dan nilai-nilai serta ajaran-ajaran pokok Islam ditengah masyarakat melalui
da’wah fardiah (dengan menjalankan hubungan dengan orang-orang yang
berpotensi berubah) atau dengan halaqoh dan melakukan perubahan secara Islam.
2. Takwin
Dalam tahapan ini da’wah ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir
positif untuk memikul beban dan mengembangkan seluruh potensi yang ada.
Da’wah pada tahapan ini bersifat khusus, tidak dapat diikuti oleh seseorang kecuali
yang memiliki persiapan secara benar untuk memikul beban jihad yang panjang
masanya dan berat tantangannya. Sistem tarbiyah pada tahapan ini bersifat tasawuf
murni dalam tatanan ruhani dan bersifat militer dalam tataran operasional.
3. Tanfidz
Da’wah dalam tahapan ini adalah jihad, tanpa kenal sikap plinplan, kerja terus
menerus untuk menggapai tujuan akhir, kesiapan menanggung cobaan dan ujian
yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali orang-orang yang tulus dan memiliki
ketaatan total.
VI. MUWASHOFAT
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa ciri khas manhaj l421 H adalah mentarbiyah
seseorang dengan mengacu kepada tujuan akhir tarbiyah seseorang (goal based
learning), atau apa yang diharapkan dari peserta tarbiyah pada setiap marhalah.
Untuk itu perlu diketahui karakteristik peserta tarbiyah yang mencakup aspek
sikap (afektif ), pengetahuan ( cognitif), dan perilaku (psikomotorik) .
Karakteristik yang harus dimiliki setiap individu itu mencakup 10 point :
1. Salimul aqidah, setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah
yang hanya dapat mereka peroleh melalui pemahaman terhadap Qur’an dan
Sunnah.
2. Shahihul ibadah, setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan
petunjuk yang disyariatkan kepada Rasulullah SAW.
3. Matinul khuluq, setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlak
sehingga mampu mengalahkan hawa nafsu dan syahwat.
4. Qadirun ‘alal Kasbi, setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan
potensi dan kreativitasnya dalam dunia kerja.
5. Mutsaqqaful fikri, setiap individu dituntut untuk memiliki keluasan wawasan.
6. Qawiyyul jism, setiap individu dituntut untuk memiliki kekuatan fisik melalui
sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.
7. Mujahid lin nafsi , setiap individu dituntut untuk memerangi hawa nafsunya
dan senantiasa mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah
dan amal shaleh.
8. Munadzam fi syu’unihi, setiap individu dituntut untuk mampu mengatur
segala urusannya sesuai dengan keteraturan Islam.
9. Haristun ‘ala waqtihi, setiap individu dituntut untuk memelihara waktunya
sehingga ia terhindar dari kelalaian dan kehilafan perbuatan manusia.
IX. PENUTUP
Manhaj tarbiyah /sistem kaderisasi merupakan sebuah rangkaian yang utuh dan
saling berkesinambungan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Tujuan
tarbiyah akan tercapai, Insya Allah jika setiap tahapan-tahapan tarbiyah dilakukan
dengan usaha yang sungguh-sungguh, manhaji , dan menyerahkan seluruh amal
serta urusan akhir kepada Allah SWT.
Waallohu A’lamu bisshawab.
Rukun Halaqah
Halaqah memiliki rukun: Ta’aruf, Tafahum dan Takaful.
Rukun pertama (1) Ta’aruf (saling mengenal) adalah sebuah permulaan yang
harus ada dalam sebuah halaqah. Dasar da'wah kita adalah saling mengenal,
seyogyanyalah setiap peserta halaqah saling mengenal dan berkasih sayang dalam
naungan ridha Allah SWT.
Ayat-ayat Al-Qur’an seperti Al-Hujurat ayat 10 dan 13 serta Ali Imran ayat 103
memberi arahan pokok bagaimana seseorang harus saling mengenal. Ditambah lagi
hadits-hadits Nabi SAW: “Mukmin dengan mukmin lainnya ibarat satu bangunan
yang saling mengokohkan”, “Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, tidak
akan menzhalimi dan menyerahkannya pada musuh” dan “Perumpamaan orang-
orang yang beriman dalam hal cinta, kasih sayang dan kelemah-lembutan seperti
jasad yang satu”.
Ta’aruf melingkupi saling mengenal mulai hal-hal yang berkaitan dengan fisik
seperti nama, pekerjaan, postur tubuh, kegemaran, keadaan keluarga. Kemudian
aspek kejiwaan seperti emosi, kecenderungan, kepekaan hingga aspek fikriyah
seperti orientasi pemikiran. Selain itu juga hingga mengetahui kondisi sosial
ekonomi, keseriusan dalam beribadah, dan puncaknya sampai mengetahui kondisi
“isi kantong” dan kegiatan harian secara detail sepekan penuh.
Selain adab-adab pokok tersebut, secara lebih spesifik ada adab yang harus
di penuhi oleh peserta/anggota halaqah terhadap diri mereka sendiri, terhadap
murabbi, dan sesama peserta halaqah. Mula-mula seorang peserta halaqah
hendaknya memiliki kesiapan jasmani, ruhani, dan akal saat menghadiri liqa
halaqah ia semestinya membersihkan hati dari aqidah dan akhlaq yang kotor,
kemudian memperbaiki dan membersihkan niat, barsahaja dalam hal cara
berpakaian, makanan dan tempat pertemuan. Selain itu juga besemangat menuntut
ilmu dan senantiasa menghiasai diri dengan akhlaq yang mulia.
Selanjutnya terhadap murabbi hendaknya ia tsiqah (percaya) dan taat selama
sang murabbi tidak melakukan maksiat. Lalu berusaha konsultatif atau selalu
mengkomunikasikan dan meminta saran-saran tentang urusan-urusan dirinya
kepada murabbi. Selain itu ia juga berupaya memenuhi hak-hak murabbi dan tidak
melupakan jasanya, sabar atas perlakuannya yang boleh jadi suatu saat tidak
berkenan, meminta izin dan berlaku serta bertutur kata yang sopan dan santun.
Dan akhirnya adab terhadap kolega, rekan atau sesama peserta halaqah:
mendorong peserta lain untuk giat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti
tarbiyah. Lalu tidak memotong pembicaraan teman tanpa izinnya, selalu hadir tidak
terlambat dan dengan wajah berseri, memberi salam, bertegur sapa dan tidak
menyakiti perasaan. Selain itu terhadap lingkungan di sekitar tempat halaqah
berlangsung, hendaknya semua peserta halaqah selalu menunjukkan adab-adab
kesantunan, mengucapkan salam, meminta izin ketika melewati mereka dan pamit
bila akan pulang serta melewati mereka lagi.
Selain agenda pokok rutin yang dilaksanakan per pekan, acara yang secara
rutin sebulan sekali dilakukan juga dapat direncanakan secara baik. Misalnya acara
jalasah ruhi atau buka shaum sunnah sebukan sekali. Atau ziarah sebukan sekali
bergiliran ke tempat setiap peserta halaqah dengan tujuan mempererat ukhuwwah.
Acara yang diselenggarakan bisa berupa saling tukar hadiah. Bisa juga acara ziarah
itu berupa ziarah yang insidental dan tidak direncakan seperti menjenguk peserta
halaqah yang sakit atau melahirkan.
Kemudian sebulan sekali bisa pula dilakukan acara diskusi, bedah buku,
penugasan kliping atau daurah “upgrading” dengan mengundang guru dari luar.
Setiap tiga bulan sekali atau 6 bulan sekali bisa diadakan acara rihlah atau piknik
bersama ke puncak atau pantai misalnya. Acara-acara sepertiini bisa menjadi
sarana taqwim/penilaian yang efektif karena seseorang akan terlihat sifat aslinya
bila sedang menjadi musafir juga akan terlihat apakah ia mau berinisiatif
berkerjasama dsb.
Untuk mengasah kepekaan dan tanggung jawab sosial, peserta halaqah
dilatih untuk rutin, memberikan bantuan dan mengunjungi panti asuhan atau yatim
piatu, bakti sosial atau penjualan sembako murah, khitanan massal dan pengobatan
gratis di daerah kumuh dan penggalangan dana bagi Mujahid-mujahid di dunia Islam
seperti Palestina, Ambon dll.
Sementara untuk melatih dan meningkatkan kemampuan da’wiyah bisa
berupa penugasan untuk mengajar TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), membina
remaja masjid dsb.
Acara tahunan berupa Tarhib Ramadhan dan ‘Idul Fitri bisa disemarakkan
dengan menjadikan ifthar shaim untuk dhu’afa, musafir atau piknik bersama dan
pemberian Kiswatul ‘Id dalam acara misalnya Gebyar ‘Idul Fitri (Gembira bersama
yatim di saat ‘Idul Fitri)
Selanjutnya karena tarbiyah melingkupi 3 aspek yang ada pada manusia
yakni jasmani, rohani dan intelektualitas (jism, ruhi dan fikri), maka agenda acara
yang dibuatpun harus memperhatikan dan mengasah ketiga aspek tersebut.
Di aspek jasmani bisa berupa penyuluhan pola hidup dan pola makan yang
sehat, pemeriksaan kesehatan dan olahraga yang rutin seperti senam bagi wanita
dan sepakbola, jalan kaki atau bulu tangkis bagi laki-laki.
Halaqah Pelajar
Dalam hadits disebutkan tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah
di mana tidak ada naungan selain naungan Allah, di antaranya adalah pemuda yang
tumbuh berkembang dalam ibadah dan pemuda yang lekat hatinya dengan masjid.
Pelajar sebagai awal dari rentang usia seorang pemuda atau lazim pula disebut ABG
(Anak Baru Gede) berada di masa-masa transisi/pubertas. Masa-masa ini sulit
karena kematangan biologis, seksual pada diri mereka tidak dibarengi kematangan
ruhani dan fikriyah (intelektualitas) sehingga dampak berupa kenakalan remaja,
tawuran, keterjeratan/keterperangkapan pada narkoba dan pergaulan bebas
semakin marak.
Seyogyanyalah sejak usia SLTP dan SMU, mereka mulai dilirik dan dibidik
sebagai sasaran da'wah dengan tetap memperhatikan kekhasan dunia mereka
sebagai ABG sehingga acara seperti wisata ruhani, olah raga dan kesenian dapat
digunakan sebagai daya tarik sebuah halaqah pelajar.
Halaqah Mahasiswa
Mahasiswa dikenal sejak dulu sebagai agen perubahan. Kekhasannya sebagai
segelintir elit pemuda yang terdidik, dinamis dan peka serta memiliki nurani yang
tajam membuat ia menjadi sasaran utama da'wah.
Umar ibnul Khathab r.a pernah berkata: “Kalau ingin menggenggam dunia,
genggamlah para pemudanya”. Dan memang sejarah mencatat setiap terjadi
Halaqah Buruh/Pekerja
Buruh yang kini lebih dan ingin dikenal sebagai kelompok pekerja tak pelak
lagi merupakan salah satu komponen masyarakat yang penting karena merekalah
yang turut menggerakkan roda-roda ekonomi dan industri.
Merekapun rentan terhadap hasutan dan penguasaan kaum sosialis atau
marxis yang juga berkepentingan mendekati, menggarap dan membina para
pekerja ini yang mereka anggap dan sebut sebagai kaum proletar.
Para pekerja ini umumnya memang memiliki taraf intelentualitas yang
terbatas karena umumnya lulusan SD, SLTP atau maksimum SMU, namun tak berarti
mereka sulit disentuh dan dibina. Asal kita bisa mengarahkan dengan pas, faham
jadual kerja mereka yang acapkali berganti-ganti shift, mereka bisa menjadi kader
da'wah yang handal dan motor penggerak paling tidak di kalangan pekerja pula.
Bahkan Majalah Ummi dulu sempat mencatat sekitar tahun 1993 – 1996
ketika membuka dompet Bosnia bagi pembaca yang ingin membantu saudara-
saudaranya di Bosnia, bahwa banyak sekali pekerja-pekerja wanita dari beberapa
pabrik tertentu yang rutin menyalurkan infaq mereka.
Halaqah Akhwat
Seyogyanyalah seorang murabbi bagi halaqah ini adalah juga akhwat, karena
hanya wanitalah yang mengetahui secara lebih mendalam kekhasan-kekhasan
kejiwaan seorang wanita. Kecuali dalam keadaan terpaksa misalnya ketiadaan
akhwat yang mampu.
Walaupun tidak ada perbedaan tugas, kewajiban dan hak-hak selaku hamba
Allah, wanita tetap memiliki hak dan kewajiban yang spesifik sebagai seorang anak
wanita, istri dan ibu. Sehingga selain diajarkan hal-hal yang pokok seperti aqidah,
ibadah dan syari’ah, akhlaq dan jihad, kepada halaqah akhwat ini juga harus
diberikan materi-materi yang dapat mengasah kewanitaannya seperti daurul mar’ah
(peranan wanita), tarbiyatul aulad (pendidikan anak), Fiqh Nisa’ (fiqh wanita) seperti
thaharah (bersuci), haid dsb dan Tarajimun Nisa’ (biografi wanita-wanita teladan
dalam sejarah Islam).
Bahkan perlu ditambah pula pekan-pekan khusus seperti pekan terakhir di
setiap bulan berupa pembekalan fanniyah yang berkaitan dengan ke”rabbatul
bait”an (kerumahtanggaan) seperti kursus memasak, menjahit, menata rumah,
merangkai bunga dan juga ketrampilan lain seperti memotong rambut dan
mengemudi. Dalam hal evaluasi tarbiyah juga perlu diperhatikan pula tingkat
kepekaan, kedewasaan kewanitaan dan tingkat kecondongan mereka pada fitrah
kewanitaan mereka di samping kekuatan iman dan kontinuitas ibadah serta
keutamaan akhlaq.
MUQODDIMAH
Sudah menjadi hal yang lazim bagi setiap tugas atau pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh
seseorang. Harus adanya kesiapan dan persiapan terlebih dahulu .Sebagai contoh; membangun sebuah
rumsh tidak mungkin bisa terlaksana kecuali ada ahli bangunan yang memiliki pengetahua yang lengkap
tentang semua permasahan yang terkait dengan bangunan.Demikian pula membngun manusia dengan
proses tarbiah membutuhkan murobbi murobbi profesional.
Proses tarbiah pekerjaan yang sangat berat lagi tidak mudah ,karena tarbiah
berati mempersiapkan manusia dengan membentuk dan mempormatnya menjadi
syakhsyiah muslimah da’iah setelah menghlangkan potensi negatif dan
mengembangkan potensi positif pada dirinya.
Tarbiah berarti berinteraksi dengan manusia makhluk yang memiliki banyak
dimensi dan permasalahan yang kompleks.Orang yang berinteraksi dengan
makhluk selain manusa dengan mudah dapat menundukkan dan
mengendalikannya namun berinteraksi dengan manusia tidak dapat disamakan
dengan berinteraksi dengan binatang atau makhluk lainnya.Oleh karena itu tidak
semua orang dapat mentarbiah,bahkan orang yang sudah memiliki pemahaman
yang bagus ,latarbelakang ilmiah yang yang memadai,kemampuan berbicara dan
kemampuan berdialog yang baik sekalipun belum cukup untuk menjadi murobbi
sukses.
Mengingat mentarbiah manusia bukan pekerjaan yang ringan maka para
murobbi dituntut untuk terus melakukan peningkatan kualitas diri agar menjadi
murobbi yang profesional.
DEFINISI MUROBBI
Murobbi adalah orang yang melaksanakan proses tarbiah morabbi,dengan fokus
kerjanya pada pembentukam pribadi muslim solih muslih ,yang memperhatikan
aspek pemeliharaan[ar-ria’yah],pengembangan[at-tanmiah]dan pengarahan[at-
taujih] serta pemberdayaan[at-tauzhif].
Artinya;
‘‘Sebagaimana Kami telah utus kepada kamu seorang rasul[Muhammad]
membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, membersihkan jiwa-jiwa kamu,
mengajarkan kepada kamu al-kitab dan al-hikmah dan mengajarkan kepada kamu
apa-apa yang kamu belum mengetahuinya”.
Jika kita perhatikan ayat di atas tazkiatun nafs [pembersihan jiwa] menjadi skala
prioritas dalam proses tarbiah sebelum memberikan wawasan intelektualitan dan
berbagai aktivitas,karena perubahan dan perbaikan manusia harus dimulai dari
perubahan dan perbaikan jiwa sebagaimana. firman Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat
11.
Artinya;
“sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu
merubah keadaan dirinya’’.
walapun murobbi tidak boleh menabaikan sisi-sisi yang lainnya yaitu sisi
intelektualitas dan aktivitas secara seimbang dan berkesinambungan.
SARANA TARBIAH
Pendahuluan
Tarbiyah sebagai proses pembangunan diri muslim yang kaaffah harus
mendapat porsi terbesar kehidupan seseorang. Sarana, proses, pengembangan dan
evaluasi tarbiyah yang dilakukan secara simultan adalah sebuah kesatuan yang tak
terpisahkan. Sisi lain tarbiyah yang dilakukan adalah tarbiyah bagi orang dewasa.
Kesadaran akan hal tersebut akan membawa kita pada pemahaman pendidikan
orang dewasa tidak sama dengan pendidikan anak-anak.
Pendidikan bagi orang dewasa memberi kesempatan yang luas bagi
komunikasi dua arah. Peran peserta menjadi sangat besar dalam pencapaian
tarbiyah itu sendiri. Kesadaran peserta akan apa yang dilakukannya dan apa yang
menjadi tujuannya akan mempercepat proses perjalanan tarbiyah. Tugas seorang
murobbilah untuk memotivasi dan mengembangkan setiap potensi yang dimiliki
peserta. Kesiapan para murobbi untuk berkomunikasi dua arah juga memainkan
peranan penting. Dengan komunikasi dua arah diharapkan peserta dapat
memahami setiap nilai secara baik, tidak taklid dan sadar sepenuhnya terhadap apa
yang dilakukan berikut keterkaitannya dengan tanggungjawab dihadapan Allah Swt.
Pada sarana tarbiyah dalam setiap marhalah perlu digaris bawahi masalah
kekhasan pendidikan orang dewasa ini. Dengan pelibatan setiap peserta dalam
menanamkan dan memahami nilai yang ada diharapkan keikhlasan, keinginan untuk
beramal dan seterusnya tumbuh terintegrasi dalam diri peserta. Dengan kata lain
para murobbi harus siap dengan berbagai proses kreatif dalam mengembangkan
sarana tarbiyah pada berbagai marhalahnya. Partisipasi aktif dari peserta tarbiyah
dalam pengembangan dan pengokohan pemahamannya dapat dibangun melalui
sarana tarbiyah pada setiap levelnya yang berjalan secara efektif. Diharapkan pada
setiap sarana terdapat proses yang menyentuh kognisi (konsep pengetahuan),
afeksi (perasaan) dan konasi (kecenderungan untuk melakukan) sehingga nilai yang
disampaikan dapat terinternalisasi dalam diri peserta.
vi. Rihlah
Rihlah adalah suatu perjalanan rekreasi yang bersifat tarbawi, manhaji dan tanzimi
dengan kegiatan yang disiapkan untuk mencapai sasaran pemulihan dan
penyegaran potensi ruhi, fikri dan jasadi serta penguatan hubungan kekeluargaan
dan kemasyarakatan. Rihlah diikuti keluarga masing-masing peserta, dilaksanakan
minimal satu tahun sekali dan mengutamakan kesempatan rekreasi bagi ummahat.
vii. Mukhayyam
Mukhayyam adalah sarana penghimpunan, pelatihan dan pengarahan peserta
dalam rangka menerapkan nilai Islam pada aktifitas kehidupannya.
Anasir Acara yang diselenggarakan terdiri atas unsur riyadhi, askari, ruhi dan fikri.
viii. Ta'lim
Penutup
Sebagaimana kekhasan pendidikan orang dewasa, maka pengembangan
sarana tarbiyah sangat tergantung pada para murobbi serta peserta itu sendiri.
Mengingat murobbi lebih memahami kondisi dan tujuan pada setiap marhalahnya
Maraji :
1. Mahmud, Ali Abdul Halim. PERANGKAT-PRANGKAT TARBIYAH IKHWANUL
MUSLIMIN. Terjemahan dlm bahasa Indonesia. Era Intermedia, 1998.
2. Kelompok Kajian Manhaj Tarbiyah. PEDOMAN PEMBINAAN KADER-KADER ISLAM
DAN DA'WAH, 2000
setelah materi:
Kemudian.. saya berfikir bahwa
sesungguhnya semakin nyata perjuangan
Islam melawan kaum nashoro dan yahudi,
yang seharusnya kita dapat melakukan
sesuatu yang berguna
2. Kuis untuk mengukur salah 2. Pembahasan materi Ma'na
satu muwashaffat Syahadatain (1A036)
i. Korupsi, kolusi dan nepotisme sesudah materi:
terjadi karena kurang tegasnya
aparat penegak hukum. saya baru tau kalo' sebenernya ilah itu bukan
Bagaimana tanggapan anda hanya tuhan yang kudu disembah aja. Tapi
tentang pernyataan di atas? ternyata sangat luas. Saya berharap bisa
ii. Bagaimana pendapat anda berhati-hati dalam bertindak karena bisa fatal
tentang ziarah kubur ? kalo salah
catatan: pertanyaan dibuat terbuka
sehingga diharapkan dapat menggali
beberapa aspek dari muwashaffat
Contoh jurnal di atas diambil dari salah satu halaqah yang semuanya pelajar SMU
sehingga cara mengungkapkan pendapatnya tentu tidak akan sama dengan peserta
yang berusia dewasa.
1. Jurnal adalah buku yang disediakan oleh murobbi bagi setiap peserta dan
disimpan oleh murobbi. Mengandung dua fungsi : tarbiyah dan takwim. Fungsi
tarbiyah dilakukan dengan menjadikan jurnal sebagai media komunikasi dua
arah dan fungsi takwim berjalan sepanjang proses tarbiyah untuk mendapatkan
indikasi-indikasi otentik yang murni berasal dari peserta.
2. Jurnal dibuat untuk mengetahui apa yang diterima peserta pada saat tsb.
sehingga mungkin ketika itu ybs mengantuk sehingga jurnal hanya diisi : afwan
hari ini ana ngantuk berat… atau sedang punya masalah: hari ini saya nggak
bisa nangkep apa-apa soalnya lagi ada masalah.
3. Jurnal juga dapat diisi dengan curahan perasaan yang tidak terungkap secara
verbal (dapat berupa tulisan biasa atau kadang-kadang dalam bentuk puisi
tergantung kecenderungan peserta) sehingga bersifat rahasia antara murobbi
dan peserta kecuali dalam konteks taqwim dalam pencarian indikasi.
4. Jurnal diisi oleh peserta pada masing-masing buku yang selalu dikumpulkan oleh
murobbi
5. Jurnal perlu rutin diperiksa oleh murobbi dan dikomentari dengan kalimat-
kalimat penguat yang menandakan adanya perhatian dari murobbi
6. Berikut ini adalah contoh pengisian jurnal yang pernah dilakukan pada halaqoh
dari 3 orang peserta setelah mendapat materi Akhtarul Syirik (kode lama B5
kode baru 1A03):
•1 Peserta 1
Kita telah dewasa, semua yang kita lakukan benar-benar harus
dipertanggungjawabkan pada Alloh dan Rosul. Apakah kita masih meragukan Allah
dan Rosul ? Jangan tenang-tenang aja… lihatlah diri kita karena antara keimanan
dan syirik itu sangat tipis… so, bagaimana dong. Jadi kita harus super hati-hati dan
super menambah ilmu dan kekuatan iman kita pada Allah.
Yang menjadi masalah kita adalah "malas", apakah malas tsb indikasi keraguan
pada Allah ? Naudzubillah…..
•1 Peserta 2
Alhamdulillah…
Tangisku dalam jiwa… Rabbi…aku takut
ALLAH… kenapa tipis batas kemusyrikan itu
sedikit saja licin, ups, aku tergelincir
astaghfirullah…….
Rugilah hamba yaa ALLAH
Rugilah hamba yaa ALLAH
seandainya amal-amal itu hanya berupa
kapas putih ringan beterbangan
syetan….syetan
ALLAH, lindungi hamba, selimuti hamba darinya
setelah semua coba dibangun
dan runtuh, hilang tak bersisa
akankah ??? Tidak. ALLAH….lembaran-lembaran
itu sedang kutata lagi
masih lagi kususun…..jangan lagi
jangan lagi kembali sejak awal
•1 Peserta 3
Catetan!!! Terlambat banget…
insight yang didapat:
#0 Syirik, dengan bahaya-bahayanya begitu tipis sehingga membutuhkan
kehati-hatian ekstra untuk mendeteksi, hingga akhirnya terbebass!!!
#1 Jadi kembali teringat dengan "furqon" yang hanya Allah turunkan bagi
orang-orang beriman yang bertaqwa
jadi kunci untuk menghindari syirik.
#0 Action for the family :
-0 menyiasati segala bentuk syirik & bid'ah -
How ??? First of All, Perbaiki hubungan dg semua!
Respon ketiga peserta terhadap satu materi ternyata berbeda, namun demikian
ketiganya telah nampak memadukan pengetahuan, perasaan dan kecenderungan
antisipasi terhadap bahaya syirik. Ini dapat menjadi bahan takwim reguler yang
diselenggarakan oleh murobbi dan takwim ireguler oleh usroh.
Pengertian
Micro berarti kecil, terbatas, sempit. Teaching berarti mendidik atau menajar.
Micro Teaching berarti suatu kegiatan mengajar dimana segalanya diperkecil atau
disederhanakan. Apa yang dikecilkan atau disederhanakan, yaitu :
Jumlah siswa 5-6 orang
Waktu mengajar 5 – 10 menit
Bahan pelajaran hanya mencakup satu atau dua hal yang sederhana
Ketrampilan mengajar difokuskan beberapa ketrampilan khusus saja.
Unsur micro merupakan ciri utamanya dan berusaha untuk meyederhanakan
secara sistimatis keseluruhan proses mengajar yang ada. Usaha simplikasi ini
didasari oleh asumsi bahwa : “sebelum kita dapat mengerti, dapat belajar dan dapat
melaksanakan kegiatan mengajar yang komplek, kita harus menguasai dulu
komponen-komponen dari keseluruhan kegiatan yang ada.” Maka dengan
memperkecil murid, menyingkat waktu, mempersempit saran-saran serta
membatasi ketrampilan, perhataian dapat sepenuhnya diarahkan pada pembinaan
penyempurnaan ketrampilan khusus yang sedang dipelajari
Persiapan Penyelenggaraan
Dalam mempersiapkan penyelenggaraan micro teaching kita harus menetapkan.
Waktu / bilamana diadakan micro teaching
Tempat, dimana kapan diguanakan, pelaksanaan micro teaching
Personalia dalam micro teaching (calon yang praktek, peserta didik/siswa
guru, orang yang akan mengadakan observasi dan penilaian, ahli teknik alat
rekaman)
Pola micro teaching yang akan digunakan dan dikembangkan.
Rencana kegiatan dan prosedur kegiatan micro teaching
Sarana dan prasarana.
Follow up.
Dalam follow up ditentukan kapan mengajar dikelas yang sebenarnya atau
melaksanakan tugas profesional guru.
Waallohu A’lamu bisshawab.
b. Persiapan presentasi
1. Hal yang paling awal untuk dipersiapkan untuk melakukan presentasi adalah
meyakinkan diri dengan pertanyaan berikut:
-0 Bahasan atau tema apa yang akan saya sampaikan ?
-1 Seberapa luas cakupan bahasan yang harus saya sampaikan dan
berapa waktu yang tersedia ?
-2 Dapatkan saya membuat daftar poin-poin utama dari seluruh bahasan
yang akan saya sampaikan ?
-3 Sudahkan saya mendapatkan cukup bahan (informasi) untuk
mensupport bahasan yang akan saya sampaikan, seperti: data, argumentasi,
contoh, dalil, kasus dsb ??
d. Penutup
Presentasi atau penyajian suatu topik bahasan pada intinya adalah seni
untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada pendengar dengan tujuan agar
mereka dapat dengan mudah memahaminya. Oleh karena itu keberhasilan
presentasi selain ditentukan oleh keterampilan berbicara di depan publik dengan
segala kreativitas dan gaya penyampaian, juga dipengaruhi oleh pengalaman atau
jam terbang yang telah dikantongi presenter. Selain itu, kemauan dan kemampuan
mempelajari metode-metode yang berkembang ataupun melihat, memperhatikan
dan mempelajari orang-orang yang piawai dalam penyajian juga menjadi faktor
penentu bagi kesuksesan presentasi.
Waallohu A’lamu bisshawab.
Mukaddimah
Tuntutan bahwa dakwah harus dilaksanakan oleh setiap mukmin untuk
mewujudkan rahmatan lil alamin tak dapat ditawar-tawar lagi. Proyek dakwah yang
besar ini tidak dapat dipikul oleh seorang saja, melainkan dipikirkan dan
dilaksanakan secara bersama dalam satu ikatan amal jama’i.
Melihat hal tersebut, makin dirasakan perlunya bekerja dalam tim untuk
mengatasi masalah-masalah dalam berbagai bidang. Agar kerja tim dapat berhasil
dengan baik, para anggotanya perlu memiliki kemampuan berinteraksi dan
mengadakan hubungan antarpribadi yang baik. Kemampuan ini sangat membantu
dalam menghidupkan amal jama’I dalam tataran halaqoh atau yang lebih besar dari
itu.
Pengertian
Adanya kerja tim dalam ikatan halaqoh tarbiyah memungkinkan terciptanya
dinamika kelompok. Di dalam dinamika kelompok inilah setiap anggota akan
mengenali perasaan-perasaan anggota timnya, mengenali permasalahan-
permasalahan yang sering timbul dalam halaqoh tarbiyah timnya, mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam aktivitas halaqohnya, dan pada gilirannya
mampu mendinamiskan halaqoh timnya sehingga benar-benar halqoh muntijah itu
bukan sekadar utopia belaka atau konsep saja.
Amal Jama’I
Di bagian atas telah dijelaskan dinamika kelompok mulai dari pengertian, arti
pentingnya, kendala, dan solusi. Kini akan dijelaskan pula mengenai amal jama’i.
Dakwah secara berjamaah adalah dakwah yang paling efektif dan sangat
bermanfaat bagi gerakan Islam. Sebaliknya, seperti yang sudah diungkapkan pada
awal modul ini – dakwah sendirian akan kurang pengaruhnya dalam usaha
menanamkan ajaran Islam pada umat manusia. Atas dasar ini Allah SWT
mengisyaratkan dalam AL Quran dengan firman-Nya : “Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru pada kebaikan, menyuruh pada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali
Imaran : 104)
Tampak dalam ayat tersebut Allah SWT mewajibkan pelaksanaan dakwa secara
bersama. Sebab ikhtiar perseorangan dengan cara sendiri-sendiri tidak akan mampu
memikul segala tugas dan tanggungjawab dakwah dan tidak akan berdaya
melaksanakan segala tuntutan perjuangan dakwah dalam rangka memberantas
segala kejahatan yang ada di muka bumi dan menghancurkan akar-akar jahiliyah.
Amal jama’I mulai diwujudkan dalam tataran halaqoh tarbiyah. Di sanalah sang
murabbi akan menjadi fasilitator bagi terwujudnya amal jama,I bersama para
anggotanya.
Mendinamiskan Halaqoh
Berikut ini disampaikan beberapa upaya untuk mendinamiskan halaqoh tarbiyah :
1. murobbi mengenali anggota-anggotanya secara baik meliputi pengenalan
zhohiri dan ma’nawi
2. menciptakan iklim halaqoh tarbiyah yang kondusif bagi pemunculan ukhuwah
bainal a’dho, ketsiqohan dengan murobbi, dan ketaatan anggota pada
murobbinya
3. menggunakan berbagai sarana tarbiyah secara optimal dan tepat untuk
berbagai keperluan dan mengembangkannya
4. menjaga keistimroriyahan perjalanan halaqoh tarbiyah untuk mencegah
dampak insyilah akibat ketidakhadiran anggota dalam halaqoh tarbiyah
Penutup
Demikianlah modul dinamika kelopok ini dibuat. Dengan harapan akan
terwujudlah upaya melatih berdinamika kelompok antaranggota untuk mewujudkan
amal jama’I dalam halaqoh tarbiyah. Modul ini akan dilengkapi dengan berbagai
metode penyampaian materi ke arah pelatihan hingga sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Waallohu A’lamu bisshawab.
Maroji’
1. Manhaj 1421 H
2. Drs. Slamet Santosa, M.Pd. Dinamika Kelompok
3. Pelatihan Dinamika Kelompok
4. Mustafa Masyhur, Amal Jama’I
5. Hildegard Wenzler-Cremer dan Maria Fischer, Proses Pengembangan Diri
SCHEDULE PELATIHAN DINAMIKA KELOMPOK
Lantas sejauh mana urgensi Tarbiyah Fardiyah dalam konteks amal islami?.
Ikhwah Fillah, sesungguhnya amal Islami tidak dapat berjalan kecuali dengan satu
proses dan cara sebagaiman yang telah dilalui dan dijalankan oleh para Rosul
‘alaihimussholaatu wassalaam melalui media tarbiyah yang digerakkan untuk
menyingkap dan mengenali hakekat agama ini (Al-Islam) secara menyeluruh.
Berkata Imam Hasan Al-banna : “Sesungguhnya Manhaj Ikhwanul Muslimin terwujud
dalam pembatasan marhalah dengan kejelasan langkah-langkah nya, maka dari itu
kita tahu sebenarnya apa yang kita inginkan, dan juga kita tahu sarana yang dapat
merealisasikan keinginan – keinginan itu”.
Adapun hadits Rosululloh SAW yang dapat dijadikan landasan syar’i Tarbiyah
Fardiyah adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudry ; “Barang siapa
yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya,
jika tidak bisa dengan lisannya, jika tidak bisa dengan hatinya dan yang
demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Juga dalam hadits riwaayat
Muslim lainnya : “Barang siapa yang menunjukan kepada kebaikan maka
baginya pahala sebesar pahala orang yang mengerjakannya”.
Pertama : Al-Manhaj As-salim, yaitu konsep yang benar, yang mampu mencetak
pribadi dan generasi islami, konsep yang terpadu dan menyeluruh meliputi aspek-
aspek tarbiyah fikriyah, ruhiyah dan akhlakiah.
Ketiga : Al-bi’ah As-sholehah, ya’ni dengan menyediakan nuansa dan iklim yang
cocok untuk setiap individu, khusunya padaa masa-masa memasuki tahapan
pembentukan pertama.
Keenam : Arrifq wallin, sikap lembut dan halus adalah sarana dalam
mentarbiyah, oleh karenanya hendaklah bersabar atas segala kegagalan dan
kesalahan sampai datangnya satu masa dimana buah dari kesabaran itu akan
tampak membuahkaan hasilnya.
Tarbiyah fardiyah adalah salah satu gaya pendekatan (Uslub) dalam berda’wah,
akan tetapi gaya pendekatan yang satu ini tidak mungkin efektif dan membuahkan
Nah, sekarang bagaimana kita mulai, dari mana dan kapan sasaran akhirnya,
adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang jawabanyya ada pada sejauh mana kita
dapat merealisasikan manhaj Tarbiah Fardiyah dengan segala uslub kerjanya.
Kedua : Periode aplikasi, setelah akidah tertanam kuat pada diri sang mad’u, dan
ia meraasakan hubungan dan ketergantungan yang kuat kepada Alloh SWT, maka
berikutnya adalah periode aplikasi , yaitu pantulan tabiat dari keyakinannya dalam
prilaku, gerak-gerik, akhlak dan ubudiahnya, maka bila periode ini dapat dilewati
dengan baik berart telah terjadi keselarasan “ bainal madzhhar wal jauhar”
antara esensi dan substansi, antar kulit dan isi , antara teori dan praktek, antara
konsep dan realita dan antara ilmu dan amal. Oleh karena tuntutan dan target
periode ini adalah menggiring seseorang untuk membentuk dirinya sehingga terjadi
kesesuian anatara apa yang diyakinaninya (akidahnya) dengan amalan syar’i yang
lekat secara menyeluruh pada dirinya dan muncul dari refleksi akidahnya.
Ketiga : Periode pemetaan amal islami, setelaah akidah sang mad’u kuat dan
amaliah syar’inya bagus, maka berarti ia telah menunjukan kesiapannya untuk
dipetakan atau ditempatkan dalam proyek amal islami (amal da’wah) dibawah
naungan jamaah dan da’wah, dan dijelaskan kepadanya dalil-dali syar’i yang
mengarahkan kewajiban bekerja di bawah naungan jamaah dan tidak menghindar
dari padanya walau hanya sejengkal. Kesimpulannya bahwa tarbiah fardiah dimulai
dengan tarbiyah islamiyah dan diikat kemudian dengan aml jama’i.
Pernahkah anda mengalami suatu saat ketika anda membuka mushaf dan anda
mulai membaca al-qur’an kemudian anak-anak anda datang mendekati anda sambil
membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang
tengah anda lakukan?, Pernahkah anda mendapatkan Mutarabbi anda mengerjakan
shaum sunnah padahal anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya ataau
menginstruksikannya ?, hal tersebut dilakukan oleh Mutarabbi anda hanya karena ia
mendapatkan anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya.
Pernahkah anda mengalami khadimat anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan
penampilannya di tengah-tengah keluarga anda, mulai terbiaasa mengenakan gaun
panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi
toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam
rumah apalagi di luar rumah?, padahal isteri anda belum pernah berkata kepadanya
bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-nur maupun Al-
ahzab.
Oleh karena itu penting bagi kita para Murabiyyin untuk berusaha semaksimal
mungkin menjadi figur murabbi teladan, agar keteladanaan kita memberikan
keberkahan bagi perkembangan da’wah dan peningkatan kwalitas maupun
kwantitas para Mutarabbi yang kita bina . Untuk memudahkan kita mencontoh hal-
hal yaang baik yang sepatutnya disikapi oleh seoarang figur Murabbi, maka melalui
makalah ini kita akan berinteraksi dengan beeberapa tokoh yang tercatat sebagai
figur murabbi teladan dalam sejarah, dengan menampilkan “Suratun
Hayawiyyah” atau gambaran kehidupan mereka khusunya dalam melakukan
aktifitas pentarbiyahan.
Secara runtut sesuai dengan urutan zamannya , kita akan mulai membahas
keteladanan figur murabbi dari “Murabbi hadzihil ummah”, yaitu Rosululloh SAW,
kemudian kita telusuri keteladanan figur murabbi para Sahaabatnya, para tabi’in
,ualam salaafusslaih hingga para Masayikh da’wah di zaman kita sekarang ini.
“Aina nahnu minhum”, kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka
bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka, itulah satu perasaan yang akan
terlintas pada benak kita ketika kita mengetahui keteladaanaan mereeka sebagai
murabbi, akan tetapi kita dinasehati oleh satu pepatah : “Tasyabbahu in lam
takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun”, Teladanilah
Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa oleh gerakan pemurtadan (Harakatul
Irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat,
maka lagi-lagi Abu bakar RA tampil sebagai pelopor Murabbi dalam hal ketegaasan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar untuk memerangi mereka, banyak para sahabat termasuk
umar bin Khattab RA masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk
menghentikan gelombang kemurtadan, maka Abu bakar langsung memberikan
pelajaran kepada para sahabat khusunya umar bil khattab RA seraya berkata : “
Hatta anta ya, Umar ajabbaarun fil Jahiliyah Khawwarun fil Islam ?,
Wallaahi laa Yanqushuddinu wa anaa Hayyun, Lau mana’uuni ‘Uqqoolu
ba’iirin yuadduunahi ila Rosuulillah lahaarobtuhu hatta tansalifa saalifaty”
( sampai engaku juga Ya Umar, apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa
jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa islam ?, Demi Alloh tidak akan berkurang
agama ini (Islam) sedikitpun selama akau masih hidup, Walaupun mereka tidak
memberikan hanya seutas tali unta yang harus diberikan kepada Rasululloh, maka
tetap akan ku pernagi mereka sampaai urat leherku terputus”).
Bahkan keteladan Abu bakar sebagai Murabbi bukan hanya dengan kata-kata
tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkrit, agar menjadi
contoh bagi para sahabat yang lain, sebagaiman terjadi pada saat sebagian besar
para sahabat (Kibaarusshahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid,
padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rosululloh SAW sebelum
wafatnya, dan abu bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah
ditetapkan Rosululloh SAW, seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan
meenuntun kudanya saampai perbatasan, sejak awal Usamah merasa tidak enak
karena Abu Bakar berjalan kaki sementara Ia berada diatas kudanya, lalu usamah
menawarkaan agar ia turun Abu Bakar saja yang naik kuda, lalu abu bakar berkata :
“Wallohi maa rokibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi
sabilillaah” ( Demi Alloh, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun,
biarkanlah kakiku bersimbah debu di jan Alloh )
Keteladanan Atho bin Abi Rabah sebagai Murabbi adalah kelembutannya dan
ketajaaman nasehatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih
sayang, sebagaimana yang dikisahkan oleh Muhammad bin suqoh Salah seorang
Ulama Kufah , bahwa suatu ketika Atho bin abi rabah menasehatinya : “Wahai anak
saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan
yang berlebihan”, “lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan”? tanyaku,
beliau melanjutkan nasehatnya seraya beerkata : “Mereka mengkategorikan
pembicaraan berlebih, bila dilaakukan selain dari Al-qur’an yang dibaca dan
difahami, atau hadits Rosululloh yang diriwayatkan, atau berkenaan dengan amar
ma’ruf nahi munkar, atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan
persoalan maisyah”, kemudian beliau mengarahkan paandangannya kepada ku
seraya berkata : “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kirooman
kaatibiin) (Al-infithar : 10 – 11), wa anna m’a kullin (‘minkum malakaini Anil
yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi
raqiibun ‘atiid) ( Qaf : 17 – 18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi
shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa
laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu”.
Kapabilitas takwiniyah Atha bin Abi rabah dalam mentarbiyah bukan hanya
kepada kalangan pembesar dan terpelajar tapi sampai seorang tukang cukur,
sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah : “Aku melakukan kesalahan dalam
lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu
ketika aku ingin selesai dari ihram, aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu
aku berkata kepadaanya :”berapa harganya”?, “semoga Alloh menunjukimu, ibadah
tidak mensaratkan soal harga, duduk sajalah dulu, soal harga gampang” jawab
tukang cukur, waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan
duduku hingga menghadap kiblat, kemudian menunjukan bagian kiri kepalaku, lalu
ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan, ketika aku
dicukur ia melihaatku diam saja, lalu ia menegurku : “Kenapa koq diam saja, ayo
perbanyaklah takbir”, maka akupun bertakbir, setelah selesai aku hendak langsung
pergi, lalu ia berkata : “mau kemana kamu”?, “aku mau ke kendaraanku” jawabku,
tukang cukur itu mencegahku seraya berkata : “Shalat dulu dua rakaat, baru kau
boleh pergi kemana kau suka” , Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang
cukur bisa seperti ini kalu bukan dia orang alim, lalu aku berkata kepadanya :
“Darimana engkau dapati mengenai bebrapa manasik yang kau perintahkan
kepadaku’?, Demi alloh aku melihat Atha bin abi rabah mempratekan hal itu, lalu
aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya”, jawab
tukang cukur alim tersebut.
Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan
membisikinya seraya berkata : “Apakah engkau belum terpikir untu mencari isteri
yang baru ya Aba Wada’ah”, “Yarhamukalloh, siapa orangnya yaang mau
mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim,
fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham” tandas
Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap waqi’ terhadap keadaan dirinya, “aku
yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku” tegas said, seraya terbata-
bata Abu Wada’ah berucap : “ Eng,…engkau akan mengawiniku dengan anak
perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku”, “Ya,…kenapa
tidak, karena kami jika seudah kedataangan seseorang yang kami ridho terhadap
agamanya dan akhlaknya maka kami kawinkan orang iyu, dan engkau termasuk
orang yang kami ridhoi” jawab Said meyakinkan mutarabbinya. Lalu dipanggilnyalah
ikhwah yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikahnya dengan
mahar sebanyak dua dirham, Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus
berkata apa, antara kaget daan girang, ia pulang menuju rumahnya sampai-sampai
ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum, karena di tengah perjalaanan ia terus berfikir
darimana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa?, tak terasa
ia sudah sampai di rumah dan adzan maghribpun tiba, lalu ia berbuka dengan
sepotong roti, baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk
pintu, “siapa yang mengetuk pintu”, tanyanya dari dalam rumah, “Said” jawab suara
di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya, setelah dibukanya tiba-tiba sang
murabbi sudah ada di hadapannya, Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu”
dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang Murabbi seraya berkata :
“Ya, aba Muhammad mengapa tidak kau untus sesorang memanggilku sehingga aku
yang datang menemuimu”, “Tidak, engkau lebih berhak aku datangi hari ini”,
setelah dipersilahkan masuk Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya
seraya berkata : “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu
sesuai dengan sari’at alloh SWT sejak tadi pagi, dan aku tahu tidak ada seorangpun
yang menemanimu, menghiburmu dan melipu kesedihanmu, maka aku tidak ingin
engaku bermalam pada hari ini disuatu tempat sedang isterimu masih berada di
tempat lain, maka sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu” ,
lalu said menoleh kee arah puterinya seraya berkata : “masuklah engkau ke rumah
suamimu wahai puteriku, dengan menyebut asma Alloh dan memohon
Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul malik bin
Marwan Khalifah bani uamayyah yang ingin meminang putrinya, malah beliau
segara meengawinkan putrinya dengan Abu Wada’ah mutarabbinya yang sederhana
dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Subhanalloh,… ada ‘ngga ya, Murabbi seperti Said bin Musayyib rahimahulloh di
zaman sekarang ini?, kalau ada alhamdulillah, kalau belum ada mudah-mudahaan
selepas dauroh murabbi ini ada yaang berusaha meneladaninya. Amin Ya robbal
alamin.
Lain lagi kisahnya dengan Imam abu hanifah, atau dikenal dengan nama
Nu’man bin Tsabit rahimahulloh, beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak
dipandang, berseri-seri, dalam penegtahuannya, manis tuturkatanya, rapih
penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian, jika beliau datang ke
majlisnya, maka semua orang yang ada disitu sudah mengetahuinya sebelum
mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya.
Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai Murabbi yang
dermawan, karena beliau juga dikenal sebagaai seoarang saudagar, tepatnya
sebagai pedagang pakaian, kain dan sutera, beliau berkeliling dari kota satu ke kota
lainnya di wilayah irak.
Al-Ustadz umar Tilmitsani Allohu yarham, menceritakan tentang sosok Hasan al-
banna sebagai Murabbi, bahwa halaqoh beliau yang kemudian dikenal dengan
“kuliah selasa” sangatlah sederhana, seluruh mutarabbinya duduk di atas tikar
putih, dan mereka disuguhi teh dalam dua teko kecil, ini bukan karena beliau kikir,
karena memang hanyalah itulah yang dapat beliau sediakan.
Imam Syahid sangat lembut , suka bergaul dan mudah dekat dengan orang
lain. Beliau tidak pernah cemberut atau berpaling saat berbicara atau diajak bicara,
sikap santun selalu menyertai pergaulannya baik dengan orang dewasa maupun
anak kecil, bahkan beliau pernah memberikan ceramah di depan anak-anak sekolah
dasar Mahmudiyah yang terletak di daerah Abbasiah, beliau berdiri di tengah-
tengah mereka dan berbicara dengan mereka, seolah-olah belaiu bagian dari
mereka. Beliau berbicara dan menggunakan bahasa yang dimengerti anak kecil.
Ketika selesai beliau “dikeroyok” oleh anak-anak kecil tersebut seraya
bergelantungan di tubuh beliau, seolah – olah tidak ingin berpisah dengannya. Ini
adalah buah dari bahas lembut dan akhlak luhur yang tidak merasa risih dengan
gurauan dan celotehan anak-anak kecil.
Sebagai seorang Murabbi Imam As-Syahid tidak hanya bersikap baik kepada
kalangan ikhwah saja. Dalam suatu perjalanan beliau dengan sopirnya seorang al-
akh, menjumpai sebuah kendaraan yang mogok, beliau menyruh sopirnya berhenti,
lalu ia langsung turun dari mobilnya dan menanyakan apa yang dibutuhkan oleh
laki-laki pemilik mobil tersebut, ternyata orang itu kehabisan bensin. Saat itu mobil
belum ada klaksonnya yang ada hanya terompet terbuat dari logam yang
diujungnya ada gelembungan karet, nah dengan gelembungan kare itulah beliau
menuangkan bensin dari mobilnya dan beliau sendiri yang mengisinya ke dalam
tangki mobil tersebut, dan haal itu dilekuakn berkali-kali, beliaun lakuak senua itu
tanpa harus bertanya siapa, apa dar mmana dan agamanya apa kepada orang yang
ditolongnya tersebut. Orang yang ditolongnya itu kemusdian berkata ; “Saya
Muhammad Abdurrasul seorang hakim di kota Kairo, Anda ini siapa”? Imam as-
Syahid menjawab dengan sikap rendah hati : “Saya hasan al banna, saya seorang
guru sekalh dasar di As-sibtiyyah”. Orang itu kemudian berkata lagi : “Apakah anda
hasan al-Banna Mursyid Ikhwanul Muslimin?”, “Ya”, jawab Imam as-syahid jujur.
Sejak saat itu kemudian Ustadz muhammad abdurrasul tampil sebagai salah
seorang juru bicara Ikhwanul Muslimin, di tengah rimba pengadilan. Inialah buah
keteladan seoarang Murabbi yang tawaddu dan ikhlas.
c. Tingkat penerapan(aplication)
Evaluasi tingkat penerapan bila yang ingin diketahui kemampuan
mutarabbi dalam menggunakan pengetahuan untuk memecahkan
berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi pada
tingkat ini dapat digunakan untuk mengathui pakah tujuan berikut
tercapai atau tidak, yaitu “mutarabbi menerapkan kewajiban-kewajiban
rumah tangga dan menjadi teladan anggota keluarga yang lainnya”.
d. Tingkat analisis (analysis)
Evaluasi untuk tingkat analisis bila yang ingin diketahui kemampuan
mutarabbi dalam merinci dan membandingkan pengetahuan atau data
yang begitu rumit serta mengklasifikasikannya menjadi beberapa kategori,
dengan tujuan agar dapat mengenal hubungan dan kedudukan masing-
masing data terhadap data lainnya. Evaluasi pada tingkat ini dapat
digunakan untuk mengetahui apakah tujuan berikut tercapai atau tidak,
yaitu “mutarabbi mampu menginvetarisir ide-ide pemikirannya”
e. Tingkat sintesa (synthesis)
Evaluasi pada tingkat ini bila yang ingin diketahui memampuan mutarabbi
dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur
pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih
menyeluruh. Evaluasi pada tingkat dapat digunakan untuk menetahui
apakah tujuan berikut tercapai atau tidak, yaitu “mutarabbi mampu
memformulasikan ide-ide dan pemikirannya”.
f. Tingkat evalusi (evaluation)
Evaluasi untuk tingkat ini bila yang ingin diketahui kemampuan muitarabbi
dalam membuat perkiraan atau keputusan yang tepat berdasarkan kriteria
dan pengetahuan yang dimilikinya. Evaluasi ini dapat digunakan apakah
tujuan berikut tercapai atau tidak, yaitu “mutarabbi mampu membedakan
sistem politik yang fungsional dan disfungsional”.
Wujud tes yang dapat dipakai untuk mengukur penguasaan kognitif antara
lain diskusi, karya ilmiah, mengarang, tes tertulis, mengisi daftar cek (check
list), jurnal dan lainnya.
2. Evaluasi afektif
Selain itu tujuan tarbiyah ada yang berbunyi “merasakan kekhusyu’an dan
kenikmatan dalam beribadah”. Tujuan ini bukan sekedar mutarabbi mengetahui
hasil-hasil ibadah melainkan mutarabbi memiliki sikap terhadap aktifitas ibadah
tersebut. Sikap yang diinginkan adalah merasakan kekhusyu’an dan kenikmatan.
Sehingga pada aspek ini yang dievaluasi adalah aspek afektifnya.
Afektif juga memiliki tingakatan yaitu :
a. Tingkat menerima (receiving)
3. Evaluasi psikomotorik
Kemudian ada juga tujuan tarbiyah yang berbunyi “mempraktekan kiat-kiat
mencapai kekhusyu’an dalam shalat”. Tujuan ini dirancang bahwa tarbiyah harus
sampai pada tingkat amal. Artinya tarbiyah harus sampai pada aspek
psikomotorik. Sehingga aspek psikomotorik menjadi sebuah aspek yang tidak
boleh dilewatkan. Dalam aspek psikomotorik tidak ada tingkatan sepeerti pada
aspek kognitif maupun afektif, namun dapat dibagi dalam beberapa kelompok.
Yakni ;
a. Gerakan seluruh badan
Evaluasi yang dilakukan pada kelompok ini bila murabbi ingin mengetahui
sudah sampai dimana kemampuan gerak fisik mutarabbi secara
keseluruha. Evaluasi pada kelompok ini dapat digunakan untuk
I. METODE TARBIYAH
Untuk mencapai sasaran tarbiah secara baik dan optimal diperlukan metode
pembelajaran yang sesuai dengan objek tarbiah, jenis materi, kondisi
lingkungan dan faktor lainnya. keberhasilan tercapainya tujuan tarbiah juga
ditentukan oleh penguasaan cara-cara atau teknik menyampaikan materi.
Secara umum fungsi metode adalah untuk mengikat tersirat, mengurai yang
tersekat, membuka yang tersumbat. Ada beberapa metode pembelajaran yang
diperlukan dalam proses tarbiah, semuanya dapat dipergunakan sesuai obyek
tarbiah, jenis materi, lingkungan dan faktor lainnya. Metode itu antara lain:
1. METODE CERAMAH
Metode ceramah disebut juga metode kuliah merupakan bentuk
penyampaian yang paling umum dipakai dalam menyampaikan suatu materi.
Seorang murabbi dapat memberikan materi melalui taujih dan ditunjang
dengan mengetahui tingkat kognitif sangat mengajar sangat baik. Sehingga
murabbi dalam mentarbiah tidak hanya mentransfer informasi untuk sekedar
tahu saja.
3. METODE DISKUSI
Adalah suatu cara penyajian bahan materi dalam bentuk percakapan atau
pembahasan terhadap suatu permasalahan atau pengalaman yang baru
dperoleh. Dalam diskusi diharapkan dilakukan pengendapan dan kratifitas
data dan informasi yang diperolehnya. dengan diskusi seorang peserta akan
secara otomatis terdorong melakukan penguasaan yang lebih baik terhadap
suatu materi. Kelemehan diskusi akan menyita waktu lebih banyak. Apalagi
bila murabbi tidak dapat menarik kesimpulan , bahkan akan diikuti terjadinya
bias terhadap nilai yang harus disampaikan.
4. METODE DEMONSTRASI
Adalah suatu cara pembelajaran dalam bentuk menunjukkan,
memperlihatkan atau mendemonstrasikan suatu pembahasan materi.
Seorang murabbi mempraktekkan suatu pembahasan secara tepat. Mislanya
mendemonstrasikan cara membaca al Qur’an sesuai dengan kaidah tajwid.
6. METODE SIMULASI
Yakni metode pengajaran untuk membangkitkan atau mendorong peserta
dalam suatu permainan. Mislanya dalam masalah pentingnya menjaga
kesehatan dan mendeteksi diri akan kekuatan tubuh serta manfaat olah raga
bagi stamina tubuh.
7. METODE PARTISIPASI
Merupakan metode pengajaran dengan cara mendorong langsu ng
padapeserta untuk terlibat aktif dengan sebuah proses kegiatan. Musalanya
murabbi ingin mengajarkan tentang urgensi quwwatul maal dan beratnya
beramal, maka murabbi dapat mewajibkan infaq majelis dan semua peserta
wajib mengisi kotak infaq setiap datang. Kemudian setelah beberapa saat
baru dibahas tentang bagaimana kesan sulitnya berinfaq serta kendalanya
dalam mobilisasi dana.
9. METODE LATIHAN
Metode pengajaran dalam bentuk peserta melakukan suatu kegiatan untuk
memperoleh keterampilan sesuatu. Dengan berlatih secara praktis
keterampilan yang dimiliki oleh peserta dapat ditingkatkan dan
disempurnakan
2. Mendiagnosa kebutuhan
Pendiagnosaan kebutuhan bagi peserta memiliki tujuan , yaitu peserta
memahami dan menyadari perlunya hal-hal tersebut mereka pelajari
Dalam praktek mendiagnosa kebutuhan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan diantaranya :
Melibatkan peserta dalam proses menentukan apa-apa saja yang perlu
mereka pelajari
Memberikan gambaran tentang ciri-ciri yang dikehendaki
Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengenali diri
sendiri
3. Proses perencanaan
Dalam proses perencanaan peserta didik ikut serta menentukan apa yang
ingin mereka pelajari, sedang guru membantu memberikan arah dan
sebagai sumber dari isi pelajaran (content resource). Bentuk partisipasi
peserta bisa berupa perwakilan, panitia, dan atau satuan tugas.
Perencanaan yang dimaksud meliputi:
Diagnosis kebutuhan belajar.
Menentukan tujuan pendidikan khusus.
Arah pengembangan dan pentahapan.
Perencanaan pengalaman-pengalaman belajar yang akan disajikan.
Menentukan kriteria keberhasilan sesuai dengan tujuan.