You are on page 1of 10

AMNESIA SEJARAH

- Kritik Sastra Atas Cerpen Agus Noor


“Ada Yang Menangis Sepanjang Hari”-

I. PENDAHULUAN
Sebagaimana pada setiap bentuk karya seni yang ada, cerpen sebagai suatu karya
seni (sastra) juga menjadi suatu olahan fakta yang diubah secara kreatif (seringkali)
menjadi berbentuk fiktif, namun tanpa kehilangan esensinya ia tetap merupakan sebuah
ungkapan sebuah fakta masalah sosial suatu masyarakat yang menjadi fokus pengarang
tersebut. Goldmann di dalam esainya yang berjudul “The Epistemology of Sociology
(1981: 55-74) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
(Baca: situasi sosial) secara imajiner. Selalu ada gagasan dan visi di balik setiap kisah
sebuah cerpen, yang menunjukkan keprihatinan, kritik, deskripsi dari fakta sosial
masyarakat terkait. Serupa dengan novel, itu menceritakan sebuah pencarian yang
terdegredasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegredasi (Goldmann
dalam Faruk, 1994: 18).
Atas dasar pandangan di atas, maka penulis mencoba melakukan kritik sastra
lewat cerpen “Ada yang Menangis Sepanjang Hari” oleh Agus Noor (Kompas 28/3),
sebagai sampelnya. Karenanya, masalah yang dibahas ialah (1) Bagaimana situasi sosial
dalam cerpen tersebut? (2) Bagaimana situasi sosial masyarakat dewasa ini didasarkan
pada kategori-kategori yang ditemukan dalam cerpen? (3) Serta apa sasaran dan
gagasan sosial pengarang di balik cerpen itu? Sedangkan sasarannya dibatasi pada
situasi sosial masyarakat Indonesia, sebagaimana latar belakang sosial pengarang itu
sendiri.
Sehingga tercapailah tujuan untuk mengungkap fakta, nilai, sasaran dan gagasan
pengarang yang mengungkapkan situasi sosial masyarakat dewasa ini. Makalah ini
diharapkan dapat membantu dalam membuka diskusi secara lebih mendalam terhadap
masalah sosial dewasa ini. Adapun metode yang dipakai ialah kajian kepustakaan.
Penulis memanfaatkan buku-buku dan koran untuk pembahasan ini. Kritik sastra yang
dilakukan pun lebih bersifat interdisipliner, yakni antara sastra dengan ilmu sosiologi,
dengan konsekuensi tidak terlalu ketatnya penerapan metode kritik sastra secara umum.

1
II. PEMBAHASAN
A. Situasi Sosial dalam Cerpen
1. Pelaku-Pelaku dalam Cerpen
Pada cerpen ini, tokoh-tokoh ditampilkan dengan karakter yang kurang kuat,
maksudnya tidak ada peran yang menonjol dalam peran-perannya di sepanjang narasi
tersebut. Manakah tokoh protagonis, antagonis, tidak dibagi dan disebutkan secara jelas.
Seolah-olah mereka semua dibuat memiliki peran yang sama, yakni sebagai orang-
orang yang mengalami nasib dan respon yang sama terhadap masalah yang dihadapi.
Namun pada paragraf terakhir tersebut, kisah bermuara dan mengalami
antiklimaks pada tokoh presiden. Kiranya, sekalipun ia juga tidak berperan dari awal,
perilaku dari tokoh ini seperti membuat kisah ini tidak berlanjut sekalipun dengan kisah
yang menggantung. Ia menjadi konklusi dari narasi itu namun sekaligus representasi
dari sekalian tokoh yang ada sebab ia pun melakukan hal yang sama.
Kalaupun harus dicarikan perbedaannya, bukan secara protagonis dan antagonis
melainkan hanya bisa dikategorikan secara sosiologis mengenai dua tipe besar
masyarakat : Masyarakat perkampungan dengan masyarakat sentrum kota. Yang
pertama manghadapi masalah dengan pola masyarakat tradisional, secara musyawarah
RT dan RW dan disertai kesepakatan yang menyertakan kedekatan emosional dan
keaktifan para warga ( paguyuban). Yang kedua, ditampilkan warga kota yang sibuk
dan padat dengan rutinitas, “ menyusup diantara bising lalu lintas...radio dan koran-
koran mencoba memberitakannya”. Seolah-olah solusi final diletakkan pada elit
pemerintahan sementara warga hanya pasif dan sibuk dengan fungsi serta karirnya
masing-masing (patembayan).
Tapi tetap ada kesamaan yang janggal, mereka sama-sama tidak bisa
melepaskan dari spekulasi mitos tradisional. Ada yang menghubungkan dengan arwah
gentayangan dan hantu suster ngesot. Mereka tetap masyarakat yang terkungkung dalam
pola pikir “kegaib-gaiban” dan belum siap menerima logika masyarakat modern.

2. Masalah yang Dihadapi


Mereka sama-sama mendengarkan (baca: menghadapi) tangisan dan hal seperti
itu merupakan suatu yang wajar. Tapi masalahnya, tangisan itu sungguh misterius. Ia
tidak diketahui dari mana asalnya, tidak kenal waktu, dan terdengar begitu memilukan

2
dan nelangsa. Tangisan itu seperti hidup, ia bisa mengingatkan masyarakat pada
kesedihan di masa lampau dan tidak mau kalah oleh suara bising teknologi modern. Ia
kelihatan dekat tapi menjadi jauh begitu dicari sumber bunyinya. Ia adalah tangisan
yang meneror.
Tangisan itu memiliki sifat yang sama dengan masyarakat di negara dunia
ketiga. Ia bergerak mengikuti arus urbanisasi, ia tidak puas hanya dengan
mempresentasikan dirinya di daerah perkampungan. Ia ingin mencari “peruntungan” di
sentrum kota agar suaranya bisa didengarkan di seluruh penjuru kota, negara, bahkan
galaksi. Tekanan ekonomi (infrastruktur) yang mempengaruhi suprastruktur masyarakat
( pranata sosial, karya seni, dll) digantikan perannya. Sungguh tangisan yang memiliki
idealisme tinggi, hingga kecanggihan idealisme masyarakat modern tidak bisa
menghadapinya. Malahan masyarakat itu ia bawa kembali ke pemikiran tradisional.
Sugiesti yang ia timbulkan begitu hebat.
Tangisan itu juga seperti punya kekuasaan atas alam. Ia bisa menghentikan
aktifitas alam sekitar dan membawanya pada keheningan. Seluruh alam mengalami
stagnan (mandeg). Alam yang tampak buas; gunung yang gagah menjulang tinggi,
deburan ombak yang ganas, cahaya bulan yang keperakan, dan gerak lincah binatang
dan tumbuhan, seluruh aktifitas mereka ia pengaruhi juga. Semuanya tampak tak
berdaya dan seolah-olah mati sementara ia tetap hidup.

3. Reaksi dan Ungkapan Emosional masyarakat


Masyarakat kembali ingat akan pengalaman masa lampau karena suara tangisan
tersebut, tapi sebenarnya mereka sudah berniat melupakan pengalaman itu sendiri
karena berisikan kesedihan. Mereka sungguh jengkel dan benci pada tangisan itu dan
berusaha untuk melenyapkannya dengan mencari biang keroknya, namun timbul juga
rasa empati dan ikut hanyut dalam tangisan itu. Seakan menolak dan sekaligus
menerimanya. Ternyata roh tangisan – berupa reaksi dan situasi emosional masyarakat –
juga bersifat misterius. Masing-masing tokoh menunjukkan kebingungan,
ketidakpahaman mengapa harus bereaksi secara demikian. Sikap mereka saling mendua
dan saling bertentangan (paradoks)
Maka mereka mulai berspekulasi tentang sebab tangisan itu dengan awalan
‘mungkin’ : “Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya...Mungkin itu

3
tangisan buruh yang baru terkena PHK... Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak”
Semuanya bersifat prasangka pada orang-orang yang malang dan miskin. Banyak orang
ingin mencari kambing hitam tapi tak bisa karena prasangka itu tidak kunjung
menunjukkan atau tidak bisa diadakan sebagai fakta kebenaran. Maka mulailah mereka
menuduh arwah gentayangan dan makhluk gaib. Mereka mulai berpikir irasional karena
emosi yang galau dan tidak terkendali lagi. Itu pun masih tidak pasti.
Semua anggota masyarakat itu mengalami situasi diri yang sama, tak terkecuali
presiden, sekalipun tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Istrinya pun masih
sempat bersikap sebagai penenang solah-olah itu semua hanya masalah kecil.
Masyarakat bermusyawarah bukan untuk mendapatkan solusi jitu, tapi suatu
kesepakatan bersama bahwa mereka tidak berdaya dan gelisah. Pada akhirnya mereka
saling lempar-melempar tanggung jawab, mulai dari RT ke RW, gubernur sampai
presiden.

4. Interpretasi atas Imajinasi Cerpen


Selintas memang tampak bahwa masalah itu ditimbulkan oleh tangisan,
singkatnya ialah pelaku dan masyarakat merupakan obyek penderita. Bisa dikata
tangisan itulah protagonis dan masyarakat menunjukkan peran antagonis dengan sikap
melawannya. Tapi benarkah demikian ? Tetap selalu ditanyakan, siapakah ‘ada’ yang
menangis sepanjang hari itu? Agus Noor benar-benar menunjukkan kekacauan dan
absurditas peran dan situasi. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bisa dilihat,
tangisan itu sebenarnya bersumber dari mereka, ia produk dari ingatan mereka yang
berusaha mereka tolak. Mereka menyangkal asal-usul tangisan itu karena itu berarti
membuka kembali borok yang mereka tutupi yakni masa lalu yang suram.
Masa lalu itu bisa pula masalah mereka, luka batin mereka karena tekanan
ekonomi-materi, kultural, dan kejadian traumatis lainnya. Tragedi orang miskin dalam
cerpen itu pun selalu berhubungan dengan tekanan ekonomi yang dipacu oleh
ketidakadilan struktural. Mereka adalah korban dari sistem produksi, konsumsi dan
distribusi yang sama sekali tidak berpihak pada mereka. Tangisan itu sejatinya
merupakan buah dari gerundelan mereka, harapan mereka, aspirasi mereka yang
dibungkam atau tidak pernah digubris.
Ternyata tangisan itu mewakili kesengsaraan mereka dan mengganggu batin

4
mereka yang tidak pernah mengalami dan bisa terjadi karena mereka tahu dan ingat
bahwa mereka ikut andil dalam menciptakan struktur yang tidak adil di masa lampau.
Rasa kemanusiaan mereka berteriak, tapi ditutupi bahkan berusaha untuk dilupakan.
Pada awalnya itu kesengajaan tapi makin lama menjadi penyakit ‘amnesia’. Sementara
yang menderita pun sudah terlanjur apatis dan bersikap pasrah, ia membiarkan dirinya
menjadi obyek kekalahan saja, tapi kesedihan mereka tidak bisa ditutupi dan akhirnya
bersuara. Ada lagi para pemimpin dan penyalur aspirasi juga ikut-ikutan amnesia,
bahkan presiden pun berlaku munafik dengan senyum santunnya seakan tidak ada yang
patut dikhawatirkan. Mereka juga tidak kalah besar perannya sebagai penyebab tangisan
itu. Kini tangisan itu menjadi tangisan semua pihak, tapi ditolak dan dianggap asing
karena mereka mengalami amnesia sejarah sosial.
Cerpen itu mencoba menggambarkan masyarakat yang kacau, karena pemimpin
dan warganya tidak bisa berdamai dengan masa lampau. Orang-orang disitu
digambarkan suka melempar tanggung jawab dan hanya mengeluhkan diri sendiri.
Tangisan itu juga menggugat kualitas solidaritas mereka, apakah musyawarah yang
sering dilakukan itu bersifat substansial atau hanya materi saja. Jangan-jangan hanya
topeng agar diakui sebagai masyarakat yang beradab, tahu cara berdemokrasi. Tapi
mereka tidak bergeming alias kehilangan inisiatif karena mereka terasing, mereka
amnesia

B. Situasi Sosial Masyarakat Dewasa Ini


Amnesia sejarah juga menggelayuti dalam dinamika sosial masyarakat dewasa
ini tanpa menyempitkannya sebatas fenomena baru. Justru itu merupakan proses mata
rantai dari masa lampau. Amnesia terjadi karena sejarah kehilangan sifat
‘anamnesisnya’, yakni sejauh mana ia berani menghadirkan kembali pengalaman masa
lampau pada masa kini secara obyektif dan nyata dalam perspektif masa depan
(anonim). Celakanya ia tidak bisa obyektif terhadap masa lampau dan secara subyektif
menghadirkan masa lampau sebagai suatu hal yang mengerikan. Alhasil, masa kini
hanya dimaknai sebagai rutinitas saja, sementara masa depan hanya berisi perencanaan
yang pragmatis dan anti resiko. Padahal kehilangan salah satu pilarnya (masa lampau)
berarti pilar lainnya (masa kini dan ke depan) juga akan runtuh.
Menarik sekali bahwa Agus Noor, menaruh presiden sebagai tokoh akhir dalam

5
cerpen tersebut, itu sekaligus mau menampakkan peran pemerintah. Sementara dalam
konteks masyarakat Indonesia sendiri, sikap dan perilaku mereka tidak sedikit memiliki
pengaruh di dalamnya. Misalkan pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perilaku
yang sama dalam mendapatkan loyalitas dari masyarakat. Mereka berusaha
menghilangkan sosok, tokoh selain mereka yang ikut berjasa dan berpengaruh terhadap
kehidupan sosio-politik masyarakat. Bagaimana Sukarno menghilangkan pengaruh
teman-teman seperjuangannya dulu seperti Hatta dan Syahrir berulang lagi pada
pemerintahan soeharto yang mengurangi sebanyak mungkin peran dan jasa Sukarno
bagi sejarah republik.
Hasilnya masyarakat dibodohi dan kehilangan daya kritisnya. Ia sulit
menemukan akar permasalahan dan hanya bisa melihat ngerinya masalah itu. Ia hanya
bisa nggerundel dan menangis. Padahal lewat masa lampau ia bisa melihat saudara-
saudarinya yang menjadi korban amnesia sejarah dan menyelesaikan traumatis yang ia
alami. Sejarah dimanipulasi agar ingatan warga bisa dikontrol. Agar pengkhultusan
masyarakat terhadap tokoh publik tertentu bisa beraluh kepadanya. Dengan demikian
status quo bisa dipertahankan.
Amnesia sejarah terjadi juga dengan cara mengalihkan fokus masyarakat
terhadap masalah yang sedang terjadi. Hari ini kasus Cicak vs Buaya, besok Bail Out
Century, lalu terorisme, kemudian ada lagi yang baru. Pastinya dengan cara demikian,
masalah bisa dibuat (seolah-olah) selesai dan keteraturan sosial bisa dipertahankan,
padahal hanya dialihkan saja. Tapi seperti sampah yang menumpuk akan segera
mengeluarkan bau busuknya. Masyarakat saat itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia
lelah karena fokusnya cepat silih berganti, untuk kembali pada masalah yang sudah
lama pun enggan karena hampir lupa.
Kalaupun masyarakat tergerak untuk menyelesaikannya, maka amnesia sejarah
bisa tetap aktif dengan sikap saling lempar-melempar tanggung jawab. Lihat saja Pansus
Century yang saling tuding menuding mencari kambing hitam, sarat umpatan dan caci
maki kekanak-kanakan. Kini muncul lagi tentang Susno Duadji yang dulunya berperan
sebagai buaya, kini bertingkah seperti cecak. Mereka sibuk dengan nama baik, mereka
lupa bahwa tangisan dan rintihan rakyat kecil semakin keras dan tak terbendung lagi.
Penghilangan sosok bukan lagi orang yang berkharisma tetapi orang yang melakukan
tindakan kejahatan. Sekali lagi demi status quo pihak-pihak tertentu.

6
Selanjutnya apatisme terhadap kebiasaan buruk pemerintah, membuat
masyarakat mencari perilaku alternatif agar ia tidak terganggu dengan tangisan masa
lampaunya sendiri. Ia mencari kompensasi dengan berlaku konsumtif, mencari
kebahagiaan di hingar bingarnya mal-mal dan tempat hiburan yang dibangun megah
disamping gubug liar yang tidak terurus. Ini bukan lagi soal laju pembangunan demi
pertumbuhan ekonomi tapi soal solidaritas yang tereliminir. Mereka ikut-ikutan
mempertahankan status quo seperti pemerintah, lantas melihat bahwa konsumsi barang
dapat mengkomunikasikan makna simbolik tentang identitas, kelas, dan status (Grubb &
Grathwhohl dalam Christina, 2010: 15). Ada juga yang mencari kesibukan sebanyak-
banyaknya, bekerja tanpa kenal waktu, asalkan ia bisa melupakan berbagai masalah
sosial sekalipun hidup hanya diisi dengan rutinitas tanpa refleksi. Makin lama manusia
meyakini bahwa menghayati nilai materi adalah solusi akhir dan satu-satunya.
Bahkan pendewaan materi juga mulai masuk ke dalam hidup berdemokrasi dan
praktik hukum. Pemilu baru-baru ini saja masih sarat dengan suap, tapi para pemilih
sendiri juga menerimanya. Mereka tidak ingin menyusahkan diri dengan kategori-
kategori pemimpin yang pantas tetapi siapa yang memberi uang itulah yang dipilih.
Pandangan masyarakat sudah sedemikian kabur, mereka amnesia untuk belajar pada
masa lampau, sehingga suap pun dianggap sebagai suatu yang wajar. Hal yang keliru
dianggap benar karena nilai dan prinsip hidup sedah dibangun oleh kultur amnesia.
Mana nilai yang benar telah kabur dalam ingatan mereka. Ada lagi si Minah yang
mencuri tiga biji kakao dijatuhi vonis hukuman penjara 1 bulan 15 hari, sementara
Anggodo masih bisa berkelit karena para penegak hukum akrab dengannya (Rohman,
Saifur dalam Kompas, 25/9: 6). Kejadian-kejadian memilukan dalam cerpen tersebut
sepertinya juga mengingatkan pada tragedi serupa yang penah terjadi di negeri ini;
tragedi pembuatan kelas dan pengalienasian kelas.
Ternyata tangisan sepanjang hari itu bisa di faktualkan dalam kondisi konkrit
bangsa ini. Ini pun bukan soal tangisan penderitaan dan kesedihan. Tetapi tangisan batin
manusia, yang ia sendiri tidak menyadari, karena ia menolak ketakutan dan
kekhawatiran sebagai bagian eksistensial manusia (Martin Heidegger dalam Sindhunata,
2010: 7) untuk mengantikan solusi yang lama dan korup (busuk) dengan inovasi yang
masih segar dan miskin egoisme. Situasi di atas sejatinya berlingkup global, yang
berbicara soal manusia abad XX yang menggebu-gebu dengan ide tentang kemajuan

7
tetapi getol memperjuangan diferensiasi (Sindhunata, 2010: 7). Konsekuensinya,
masalah tangisan itu dibuat bukan sebagai masalah bersama., masalah semua orang,
melainkan masalah sebagian kelompok, sebagian kelas, begitu pula dengan solusinya
hanya sepihak.

C. Sasaran dan Gagasan Pengarang


Secara lebih spesifik, Agus Noor memiliki sasaran khusus kemana cerpen ini
akan mengungkap dan mengkritisi suatu realitas seturut waktu cerpen ini dibuat.
Dengan sengaja, sebenarnya ada kekhasan pada cerpen ini yang menunjukkan fokusnya.
Dalam setiap alur kronologis, cerpen ini selalu menggunakan perhitungan hari, pertama
kali disebut dari hari ke-3, ke-17, sampai hari ke-100. Lewat hal itu, dengan gamblang
cerpen ini ingin mengingatkan pembaca pada program 100 hari pemerintahan SBY-
Budiono yang baru saja berlalu. Besarnya arus massa untuk berdemonstrasi mengkritisi
janji-janji politik pemerintahan tersebut yang tidak menyentuh hasil konkritnya, ia
munculkan dengan simbolisasi tangisan yang misterius. Agus Noor menggunakan
tangisan itu sebagai mediasi antara kesusastraan dengan masyarakat, di mana lewat pola
semiotik, ia mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda (Eco dalam Faruk, 1994: 44).
Gagasan tentang tangisan itu merupakan tanda kemuakan masyarakat yang tak
bisa dibungkam terhadap kepalsuan politik pemerintah bersangkutan. Tangisan yang
mau menunjukkan ada bahaya potensial jika presiden selalu memasang muka yang
sama; senyum tenang dan anggun, yang malahan menunjukkan ia membuat progam
sekedar untuk tebar pesona ( Sindhunata, 2010: 3). Bahaya itu ialah mulai menyusutnya
perhatian masyarakat terhadap kewajibannya sebagai warga negara. Dengan
memberikan contoh kecil, semisal orang mulai membuat plesetan mengenai pajak,
“Hari ini bayar pajak, apa kata dunia ?” Kita bisa tahu bahwa sebagian besar masyarakat
tidak merasakan adanya jaminan hak atas kewajiban yang mereka lakukan. Kontrak
sosial itu bisa putus sewaktu-waktu karena aspirasi mereka hilang lenyap entah kemana
begitu menghadapi birokrasi yang berbelit-belit. Kalaupun sampai di jajaran atas, maka
juga tidak bisa diharapkan karena telah terkooptasi oleh sistem dan orang-orang
disekelilingnya (yang oportunis).
Tangisan yang menghentikan aktifitas alam itu seperti menjadi alarm, jika

8
“kesantunan yang tak efektif” itu terus dipertahankan, maka akan terjadi kemandegan di
dalam negeri ini. Tidak ada lagi kesepakatan antara warga dan negara dalam bekerja
bersama dan itu berarti proses perbaikan negeri ini benar-benar diam di tempat. Tapi
kesunyian oleh tangisan itu juga mengajak masyarakat untuk berani berefleksi atas hari-
hari yang baru dilewati, ia harus berdamai dengan masa lampau. Diam itu berarti mulai
merevaluasi tindakan dan paradigma kita, sejarah dan ingatan kita apakah masih utuh
dan kontekstual atau tidak.
Kalaupun bangsa ini semakin dekat dengan kehancuran dan tangisan itu sebagai
sinyalnya, maka justru yang perlu ialah menerimanya, menjadikannya sebagai proses
anamnesis. Alois Schumpter menyebutnya sebagai “penghancuran kreatif”, bahwa
penghancuran itu perlu untuk menghasilkan sesuatu yang baru, tetapi mengandung juga
penghancur bagi dirinya sendiri. Penghancuran itulah obat untuk menyembuhkan luka
akibat amnesia sejarah, tapi bagaimana bentuknya atau praktisnya ? Itulah yang kiranya
perlu dipikirkan dan masih menggantung seperti kisah dalam cerpen tersebut.
Pertanyaan akhir dalam cerpen itu sebenarnya berupa sindiran apakah seluruh elemen
bangsa ini sudah bersatu dan bersolidaritas untuk mengatasi amnesia sosial tersebut.
“Apakah engkau dengar tangisan tersebut?”

III. PENUTUP
Melalui kritik sastra interdisipliner (dengan ilmu soiologi) maka akan diketahui
secara lebih kompleks fakta dibalik kisah imajiner suatu novel atau cerpen. Terbukti
dengan melihat Cerpen Agus Noor “Ada yang Menangis Sepanjang Hari”, kita bisa
melihat apa yang dinginkan pengarang. Seperti sasarannya yang mengkritisi
Pemerintahan 100 hari SBY-Budiono, sekaligus gagasan dasar mengenai tangisan yang
menjadi tanda bagi masalah sosial masyarakat saat ini dan selalu dalam kerangka
tentang amnesia sejarah yang mewabah kepada semua orang. Ia berusaha menyentuh
aspek sosial, politik dan sejarah masyarakat yang disusun secara kreatif dalam suatu
narasi yang satiris.
Apa yang coba ditunjukkan pengarang cerpen juga bukanlah solusi terhadap
masalah sosial yang ada. Ia hanya sekedar membangkitkan ingatan dan kesadaran
tentang masalah itu., dengan harapan opini publik bisa diarahkan di sana dan membuka
ruang untuk diskusi lebih lanjut. Dalam hal ini Agus Noor bisa menyajikannya dengan

9
artistik tanpa memberikan kesulitan tafsir yang berarti -dengan kata kunci perhitungan
hari sampai ke- 100-.
Namun patut diakui pula bahwa kritik sastra ini tidak membongkar semua fakta,
nilai, sasaran dan gagasan pengarang. Begitu pula menyandingkannya dengan ilmu
sosiologi bukanlah metode final, melainkan masih terbuka kemungkinan – untuk hasil
yang mungkin jauh lebih baik- menyandingkannya dengan disiplin ilmu lain.

DAFTAR PUSTAKA
Artikel:
Sindhunata, Gabriel Possenti. 2010. “Demokrasi Tebar Pesona” .Dalam Basis. Edisi No.
01-02 Tahun ke-59 / 2010. Yogyakarta: Kanisius.
Artikel:
Sindhunata, Gabriel Possenti. 2010. “Vertigo Modernitas” .Dalam Basis. Edisi No. 01-
02 Tahun ke-59 / 2010. Yogyakarta: Kanisius.
Artikel:
Siwi Handayani, Handayani. 2010. “Bisnis Kecemasan” .Dalam Basis. Edisi No. 01-02
Tahun ke-59 / 2010. Yogyakarta: Kanisius.
Cerpen:
Noor, Agus. 2010. “Ada yang Menangis Sepanjang Hari”. Dalam Kompas. Edisi 25
Maret/2010. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra -Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-
Modernisme-. Yogyakarta: Kanisius.
Opini:
Rohman, Saifur. 2009. “Minah dan Anggodo”. Dalam Kompas. Edisi 25 November /
2009. Jakarta: Kompas Media Nusantara

10

You might also like