You are on page 1of 18

Penyiapan Sumber Daya Manusia (DM) Industri

Manufaktur: Peluang & Tantangan di Era CAFTA


(China-Asean Free Trade Agreement)
*
Memasuki tahun 2010 kita disambut dengan satu issue besar yang sudah membuat gerah
sekian banyak industrialisasi kita, yaitu adanya CAFTA (China-ASEAN Free Trade
Agrrement). Serbuan produk China yang membanjiri pasar global sejak tahun 1990-an
mendorong turunnya harga barang konsumen di pasar global. Bukan hanya barang-barang
konsumen berteknologi rendah dan padat karya, namun juga barang-barang canggih dengan
teknologi tinggi, seperti komputer dan handphone. Akibatnya, industrialist di negara-negara
maju yang memiliki sektor industri yang kuat serta teknologi tinggi pun semakin gerah
melihat serbuan produk China. Demikian halnya yang dirasakan oleh industrialis kita ketika
melihat dengan kasat mata semakin membanjirnya produk-produk China hampir menguasai
seluruh pasar modern maupun tradisional, di perkotaan maupun di pedesaan.
Salah satu industri/manufakturing yang merasakan dampak/impact yang sedemikian hebat
dengan adanya CAFTA ini adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bea masuk 0%
dari China berdasarkan perjanjian FTA China-ASEAN yang telah ditandatangani tahun
2005,mau tidak mau akan memberikan dampak serius bagi pasar domestik. Hingga saat ini
pun China telah menguasai 15% pasar TPT domestik. Apabila dari China tetap
dipertahankan 5%, maka API memperkirakan lonjakan impor TPT dari China bisa
dipertahankan dengan pertumbuhan sekitar 20-30% per tahun Sampai dengan tahun 2012.
Namun dengan tarif 0% sesuai CAFTA jika diberlakukan maka sudah dapat dipastikan
lonjakan impor dari China akan lebih sulit untuk dikendalikan.
Meskipun demikian, terdapat pula peluang-peluang yang tidak boleh diabaikan. Recovery
ekonomi negara-negara maju diharapkan kembali meningkat, sehingga meningkatkan ekspor
TPT Indonesia ke negara-negara tersebut. Perjanjian-perjanjian dagang yang sudah
ditandatangani, diharapkan tidak hanya meningkatkan impor dari negara-negara partner saja
melainkan juga mampu meningkatkan penetrasi pasar di negara-negara partner.
Namun dengan semakin ketatnya persaingan di pasar global ini, maka faktor daya saing tetap
menjadi kunci utama keberhasilan tersebut. Perindustrian kita masih belum lepas dari
masalah-masalah yang menjadi titik lemah daya saing industri. Maka, untuk meningkatkan
daya saing industri di pasar internasional, masalah-masalah tersebut perlu segera
mendapatkan penanganan serius.
Khusus di sektor ketenagakerjaan atau Sumber Daya Manusia, pengelolaan ketenagakerjaan
masih terpaku pada penetapan upah minimum atau UMR. Aspek produktifitas belum
mendapat perhatian serius. Pekerja hanya melihat upah hanya dari sisi jam kerja. Sedangkan
pengusaha melihat upah dari produktifitas.
Sementara itu, ILO mencatat bahwa produktifitas tenaga kerja Indonesia masih berada di
peringkat 59 dunia jauh di bawah produktifitas tenaga kerja negara-negara pesaing. Sebagai
perbandingan, Thailand berada di peringkat 27, Korea peringkat 29, dan China peringkat 31.
Salah satu penyebab rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja di Indonesia adalah
tingginya angka pengangguran di Indonesia. Menurut Depdiknas, pengangguran Sarjana di
Indonesia lebih dari 300.000 orang. Di sisi lain para Head Hunter dan HRD Officer
mengeluhkan sulitnya mendapatkan tenaga kerja terdidik di Indonesia. Ternyata terdapat
Page 2
* Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era
CAFTA" yang diselenggarakan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI
UII), 17 Februari 2010 oleh Tanti Syachroni Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya (http://fit.uii.ac.id)
fenomena bahwa para lulusan perguruan tinggi hanya berminat pada perusahaan besar dan
menengah yang jumlahnya sangat terbatas. Sementara perusahaan berskala kecil dan
menengah jumlahnya lebih dari 40 juta, namun tidak sanggup memberi gaji besar sehingga
para lulusan perguruan tinggi memilih menganggur, sehingga jumlah pengangguran terdidik
pun setiap tahun bertambah. Namun, banyak juga perusahaan yang mengeluhkan rendahnya
kompetensi para lulusan/pelamar kerja dibandingkan standart atau spesifikasi kompetensi
yang dibutuhkan.
Tidak heran, bila pada akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa selain produktifitas, tingkat
kompetensi tenaga kerja/SDM di Indonesia pun pada umumnya masih rendah. Pembinaan
keahlian dan produktifitas masih lebih banyak dilakukan oleh perusahaan dimana tenaga
kerja tersebut bekerja. Bagi perusahaan-perusahaan besar yang memiliki pengembangan
tenaga kerja hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, bagi perusahaan kecil menengah
memperoleh tenaga kerja terampil dengan produktifitas tinggi masih sangat sulit. Kesulitan
ini pula yang dialami oleh PT. PISMATEX (Integrated Textile Industry).
Penyiapan SDM PT. Pismatex dalam Merespon Tantangan Globalisasi ACFTA
Sejarah singkat:
PT. PISMATEX, awalnya adalah sebuah pertenunan traditional (ATBM) milik perorangan
yang didirikan di Pekalongan sekitar tahun 70an (+/-1972). Seiring dengan perkembangannya
khususnya dalam mengembangkan brand unggulan yaitu Sarung GAJAH DUDUK
perusahaan ini berkembang lebih modern dan beralih ke ATM (Alat Tenun Machinal) dengan
kapasitas produksi yang terus meningkat. Tidak hanya dari sisi teknologinya saja di sisi
organisasi dan manajemen pun terus berkembang hingga di tahun 1994 beralih menjadi
Perseroan Terbatas dan dalam pengelolaannya pun berangsur-angsur berubah menuju lebih
profesional. Kapasitas produksinya sekarang sudah mencapai 650.00 kodi/tahun dengan
1.450 unit mesin dan didukung oleh + 3.500 karyawan.
Tahun 1995 mulai menjajaki pengembangan bisnisnya dengan pendirian PT. PISMA PUTRA
TEXTILE (Spinning & TFO) dan mulai operasional di awal tahun 2000. Saat inipun PT.
PISMA PUTRA TEXTILE sudah berkembang dari kapasitas 15.000 spdl menjadi 60.000
spdl.
Sekitar tahun 2003 PT. PISMATEX juga mulai merambah ke industri garmen, walaupun
untuk saat ini masih didominasi dengan produk-produk busana muslim.
Sebuah proses perjalanan panjang yang pada akhirnya mengantar PT. PISMATEX menjadi
sebuah indutri textile terpadu (integrated) yang tetap exist serta terus berkembang hingga
saat ini.
Dan dengan adanya CAFTA sekarang ini PT. PISMATEX pun mau tidak mau harus siap
menerima kondisi ini dengan tetap optimis sebagai suatu tantangan (challenge). Karena kami
yakin IN A CHALLENGE THERE WOULD BE A CHANCE.
RECRUITMENT sebagai Gerbang Mendapatkan SDM Handal
Keberhasilan PISMA bukan suatu proses serta merta tanpa perjuangan dan usaha. Pasang-
surut, keberhasilan-kegagalan, pembelajaran dan pembenahan, hingga kemauan untuk
senantiasa beradaptasi dengan situasi yang terus berubah. Only a company can addapt to
development of market will be able to make the challenge becames chance.

Page 3
* Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era
CAFTA" yang diselenggarakan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI
UII), 17 Februari 2010 oleh Tanti Syachroni Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya (http://fit.uii.ac.id)
Mengingat CAFTA dan era perdagangan global merupakan sebuah CHALLENGE
(tantangan) bagi PISMA GROUP, maka persiapan untuk menghadapinya sudah dilakukan
jauh sebelumnya. Kami terus berbenah diri dan pada awal tahun 2009 Manajemen PISMA
GROUP mencanangkan PROGRAM PERUBAHAN ke seluruh unit-unit bisnisnya. Hanya
dengan menerima perubahan dan mau berubah kita akan survive, tidak ada yang abadi di
dunia ini kecuali PERUBAHAN itu sendiri.
Salah satu yang kami siapkan adalah dari sisi human atau SDMnya. Untuk bisa exist di era
perdagangan bebas CAFTA, PISMA GROUP tentu harus disupport oleh tenaga-tenaga yang
tepat dan kuat. Maka target yang ditetapkan pun tidak main-main “The Right Man on The
Right Place, and based on The Right COMPETENCE”. Begitu consent-nya perusahaan
terhadap faktor SDM, karena kami yakin dalam sebuah organisasi MANUSIA bukan hanya
sekedar FAKTOR melainkan AKTOR.
Sebuah Organisasi tentu memiliki OBJECTIVE pertumbuhan yang ingin dicapai, STRATEGI
yang dipilih untuk mencapainya, dan SISTEM yang mengawal jalannya. Namun untuk
mencapai Objective tersebut, untuk memilih dan menetapkan Strategi yang tepat, serta
menjalankan Sistem dengan baik diperlukan individu-individu yang KOMPETEN di
dalamnya. Disitulah peran penting faktor MANUSIA sebagai AKTOR PELAKSANA.
Sebagai partner strategis perusahaaan Departemen HRD ditantang untuk bisa mendapatkan,
menempatkan, dan mengembangkan SDM yang berkompetensi tinggi.
KOMPETENSI itu sendiri terdiri dari PENGETAHUAN (knowledge), KETRAMPILAN
(Skill), dan SIKAP (Attitude). Ketiga faktor ini mempunyai peran yang sama pentingnya
untuk bisa menghasilkan output berupa KINERJA yang maksimal sehingga mendorong
tercapainya Objective perusahaan. Di dunia pendidikan pada umumnya membekali kita dari
sisi Pengetahuan (Knowledge) dan Ketrampilan (Skill), itupun umumnya lebih
menitikberatkan pada hard skill (ketrampilan teknikal). Sementara, untuk ketrampilan
personal, ketrampilan bisnis, dan SIKAP (ATTITUDE) justru harus kita gali sendiri, atau
pada akhirnya menjadi beban perusahaan untuk melengkapi dan mengembangkannya.
Mengelola SDM (yang notabene adalah MANUSIA, benda hidup, makhluk ciptaan Tuhan,
lengkap dengan kompleksitas unsur-unsur humanist yang melekat pada dirinya) juga
mempunyai keunikan dan tingkat kesulitan tersendiri. Mereka bukan mesin atau computer
yang bersifat pasti. Untuk itu, perlu diciptakan suatu sistem yang tepat untuk mengelola
keragaman yang dibawanya untuk menghasilkan output yang searah dan selaras bagi kedua
belah pihak, yaitu bagi mereka sendiri dan juga bagi organisasi/perusahaan.
HR Sistem yang kami tetapkan dimulai dari proses RECRUITMENT, PLACEMENT,
APPRAISSAL, COMPENSATION, REWARD & PUNISHMENT, DEVELOPMENT, dan
masih banyak lagi. Namun, pada kesempatan ini kami hanya akan menitikberatkan pada
proses RECRUITMENT, dimana ini adalah titik awal untuk bisa menemukan benih atau bibit
unggulan untuk selanjutnya dikembangkan.
Jika Anda menginginkan 1 TAHUN kemakmuran, tanamkan benih
Jika Anda menginginkan 10 TAHUN kemakmuran, tumbuhkan pohon
Jika anda menginginkan
100 TAHUN kemakmuran, KEMBANGKAN ORANG
(Sebuah peribahasa China)
Untuk mengisi sebuah posisi kosong, tentunya kami harus mengutamakan kemungkinan
recruitment dari internal SDM yang ada. Namun apabila tidak memungkinkan dari sisi
ketersediaan maupun standar kompetensi yang ditetapkan, maka kami membuka jalur

Page 4
* Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era
CAFTA" yang diselenggarakan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI
UII), 17 Februari 2010 oleh Tanti Syachroni Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya (http://fit.uii.ac.id)
recruitment eksternal. Persoalan yang selanjutnya kami hadapi adalah bukan hal yang mudah
pula bagi kami untuk bisa menemukan calon yang betul-betul kompeten.
Dari sisi SKILL & KNOWLEDGE, sekarang ini terjadi loss generation di industri tekstil
Indonesia. Bisa kita lihat berapa banyak perguruan tinggi yang membuka jurusan tekstil di
Indonesia dan kenyataannya jumlah mahasiswa yang berminat ke jurusan itu makin lama
makin turun. Sementara jumlah industri textile di Indonesia sedemikian banyak. Bagaimana
mungkin mereka bisa mendapatkan tenaga kerja yang handal di bidang tekstil apalagi
mendapatkan tenaga ahli di bidang tekstil.
Menyikapi kondisi ini yang kami lakukan pada akhirnya adalah proses coaching dan
mentoring, mentransfer skill dan knowledge dari tenaga ahli yang ada di perusahaan kami
sekarang ini kepada para yunior atau tenaga kerja baru. Selain itu, kami juga harus
membekali dan men-support SDM kami dengan berbagai program training dan
pengembangan.
Oleh karena itu, dalam proses Recruitment kami harus betul-betul selektif dan jeli untuk bisa
mendapatkan calon tenaga kerja yang handal. Secara umum SKILL dan KNOWLEDGE lebih
mudah diamati dan dikembangkan. Tidak demikian halnya dengan ATTITUDE (Self
Concept, Motive, Trait), karakteristik dasar yang melekat pada individu ini cenderung sulit
diamati dan perlu extra effort untuk dikembangkan, namun justru inilah faktor yang sangat
penting bagi kesuksesan jangka panjang. Salah satu alat ukurnya yang bisa kita upayakan
adalah melalui psikotest dan diperdalam lagi dengan deep-interview.
“Change Your Attitude..... and you change your life”
(Jeff Keller)
Sikap adalah suatu hal kecil, tetapi dapat menciptakan perbedaan yang besar. Sikap berperan
sangat penting terhadap kesuksesan sesorang maupun organisasi (dalam skala yang lebih
besar). Dari hasil penelitian terhadap orang-orang sukses dan terpelajar diperoleh kesimpulan,
bahwa 85% kesuksesan dari tiap-tiap individu dipengaruhi oleh SIKAP. Bahkan ada sebuah
kata-kata bijak yang mengatakan, bahwa “YOUR ATTITUDE NOT APTITUDE DETERMINE
YOUR ALTITUDE” sikap anda bukanlah bakat atau kecerdasan, tetapi menentukan tingkat
kesuksesan anda. Ibarat membangun sebuah gedung atau bangunan diperlukan pondasi yang
kuat. Dalam meraih kesuksesan pondasi yang kuat itu diperankan oleh ATTITUDE kita.
Pada prinsipnya, ATTITUDE terbagi menjadi dua, yaitu POSITIVE dan NEGATIVE.
Keduanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan (environment), pengalaman (experience) dan
pendidikan (education). Lingkungan yang positive akan memberikan dampak positif bagi
perkembangan ATTITUDE seseorang, demikian sebaliknya. ATTITUDE positive akan
meberikan pengaruh a.l : meningkatnya produktifitas, problem solving, peningkatan profit,
dll. Dan, tentunya itulah yang didambakan oleh semua organisasi/perusahaan.
Berikut adalah tips kami untuk membangun dan me-maintain ATTITUDE yang positive,
antara lain :
1. Fokus pada hal-hal yang positif
2. Biasakan untuk tidak menunda pekerja (DOING IT NOW)
3. Selalu bersyukur
4. Mendengarkan selektif
5. Terus belajar dan mengembangkan diri
6. Positive self esteem (harga diri)
7. Menikmati segala sesuatu yang kita kerjakan
8. Awali hari anda dengan segala sesuatu yang positif

Page 5
* Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era
CAFTA" yang diselenggarakan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI
UII), 17 Februari 2010 oleh Tanti Syachroni Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya (http://fit.uii.ac.id)
9. Positive thingking & positive feeling
10. Lakukan terus secara kontinue
Dengan mendapatkan SDM yang kompeten, maka kami yakin itu adalah asset dasar menuju
kesuksesan. Namun, tentu saja itu adalah starting point karena step berikutnya adalah
bagaimana perusahaan mengelola asset tersebut, mengembangkannya, dengan disupport oleh
HR system yang baik dan integrated.
Conclusion:
Dalam mengahadapi era perdagangan bebas CAFTA, maka hal terpenting yang harus
dilakukan oleh setiap organisasi/perusahaan adalah mempersiapkan dan membentuk SDMnya
menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan kompeten. SDM adalah asset utama bagi
kelangsungan sebuah organisasi.
Mempersiapkan SDM diawali dengan proses pencarian (recruitment) individu-individu yang
kompeten.
Kompetensi itu sendiri didapatkan dari jalur pendidikan (untuk memperoleh Skill &
Knowledge) dan dari dalam diri kita sendiri (mengembangkan positive Attitude).
Your Attitude is your window to the world.
Keberhasilan bukan hadiah yang datang serta merta kepada individu yang takut dan
menghindar dari kesulitan dan tantangan. Confront your fears..and you are on the way to
developing your potential and leading the exciting, fulfilling life you deserve.
(Jeff Keller)
REFERENCES
▪ Jeff Keller, Attitude is Everything – Change Your Attitude...and You Change Your Life,
e-book
▪ Muhamad Nur Ifan Hartoyo, 2010, SDM Indonesia dalam Persaingan Global, UG
Student Journal Warta Warga.
▪ Sri Adiningsih. Dr, 2010, FTA ASEAN – China, Ancaman Besar Bagi Indonesia,
JAWA POS.
▪ Sekretariat API, 2009, Kinerja Industri TPT Indonesia 2009 dan Target 2010, Press
Release API.
▪ Redma Gita, AC-FTA Becomes New Chalenge amid Textile Performance Continues to
Decline, 2010, e-magz.
▪ William Wiguna, 2009, Attitude is Everything – Sikap adalah Segalanya, Care Plus
Indonesia.
▪ Yuan Acitra, 2009, Meniru SDM Jepang dan China, Padang Today.

Page 6
* Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era
CAFTA" yang diselenggarakan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI
UII), 17 Februari 2010 oleh Tanti Syachroni Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya (http://fit.uii.ac.id)
CURRICULUM VITAE
DATA PERSONAL
Nama: Srihartanti Syachroni (TANTI SYACHRONI)
TTL: Pekalongan, 14 Januari 1972
Alamat: Penjaringansari II/G-25 Surabaya
Agama: Islam
BACKGROUND PENDIDIKAN
Formal :
- S-1 Fak. Sastra/Inggris/Linguistic, Univ. Diponegoro Semarang
- Prog. Magister Manajemen/M. SDM, Univ. Narotama Surabaya (on progress)
Non-formal :
1999 : Seminar : "Archives Management"
2000 : Workshop : "Secretary - Basic Program"
2001 : Workshop : "Stress Management for Secretary"
2001 : Workshop : "Secretary - Advance Program"
2001 : Workshop : "3 Days Secretarial Short Course"
2002 : Seminar : "Smart Move from Administrative Professional to Business Partner"
2003 : Workshop : "HRD for Non-HRD"
2003 : Seminar : "Pribadi Spidder Plot - HRD Mapping"
2003 : Inhouse Training : “Pengantar ISO 9001 : 2000”
2005 : Seminar : "Profesional Leadership"
2006 : Seminar : "Leadership"
2007 : Training : ESQ
2009 : Training : “Mind Focus” (Kata Hati Institute) April 2009
2009 : Training : T.O.T (inhouse Training PISMA GROUP) 31 Mei
2009 : Training : Heart Focus (Kata Hati Institute) 26-28 Juni
2009 : Training : Coaching & Conseling (HDC Surabaya) 16 Juli
2010 : Workshop : Managerial Workshop – How to be a good Leader

MEMAHAMI SANG NAGA, MENJAWAB TANTANGAN


CAFTA
Oleh : Prayudi Budi Utomo
 
Zona Perdagangan Bebas China – ASEAN atau disingkat CAFTA (China - ASEAN Free Trade
Area) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 lalu cukup mencuri fokus masyarakat
internasional. CAFTA adalah satu diantara zona bebas perdagangan terbesar di dunia selain Zona
Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dan Uni Eropa (EU). Jumlah GDP negara-negara
di lingkup CAFTA ini sebesar 6.6 trilyun USD dengan total perdagangan sebesar 4.3 trilyun
USD dalam kawasan berpenduduk 1.9 milyar orang.

Menilik kembali ke akhir tahun 2006, saat ASEAN - Cina bertemu guna memantapkan visi
bersama CAFTA yang diselenggarakan di Nanning, Provinsi Guan Xi, Cina. Pemerintah
Indonesia diwakili langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Menteri
Perdagangan Mari Elka Pangestu menyetujui langkah kebijakan pembentukan CAFTA tersebut.
Optimisme akan berkurangnya hambatan non-tarif komoditas ekspor kedua pihak menjadi dasar
kuat persetujuan CAFTA. Tahun 2010 ini, implementasi menyeluruh bebas tarif sebagian besar
produk dilaksanakan antara China dan ASEAN-6 (Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand). Negara ASEAN lainnya: Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam akan
mengimplementasikan perjanjian pada tahun 2015.

Keuntungan utama ASEAN terhadap CAFTA terletak pada besarnya akses pasar China. Dengan
jumlah penduduk terbesar di dunia, China merupakan mitra dagang yang cukup penting dan
mengimpor sekitar 12% volume produk negara-negara ASEAN di tahun 2008. Ini membuat nilai
ekspor ASEAN dengan China mencapai 11% dari keseluruhan ekspor ASEAN. Di sisi lain,
ASEAN menjadi sasaran bagi 10% total volume ekspor China. 
Namun demikian, beberapa analis masih meragukan potensi keuntungan CAFTA bagi ASEAN.
Tidak dipungkiri, China belakangan ini mampu mengokohkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi
dengan jumlah penduduk 1.3 milyar orang baik sebagai konsumen maupun penyumbang tenaga
untuk industri berbasis biaya produksi rendah sehingga terus dibanjiri investor asing. Di sisi lain,
pesimisme menghadapi serbuan produk China membayangi negara-negara ASEAN yang
ditengarai masih berkutat pada praktik-praktik ekonomi biaya tinggi, keterbatasan infrastruktur,
hambatan regulasi serta lemahnya koordinasi pemangku kepentingan perdagangan.

Menyimak keunggulan komparatif China, ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung oleh
negara-negara ASEAN. Industri-industri kecil dan menengah berbasis produk massal seperti
sepatu, tekstil, garmen dan mainan anak di Indonesia, Filipina dan Vietnam akan mengalami
pukulan cukup berat. Di bidang lain seperti industri baja dan permesinan China dalam jangka
pendek akan mengganggu eksistensi usaha sejenis di Thailand, Malaysia dan Singapura.
Bagaimana dengan sektor perikanan? Tak jauh berbeda. Jauh sebelum pemberlakuan zona bebas
di berbagai kawasan serta sentimen negatif terhadap aspek kesehatan pangan terhadap produk
ekspornya, China telah membuktikan diri secara efektif mempertahankan posisi sebagai
pengekspor ikan budidaya terbesar di dunia.  Mencermati hal ini, tidak bisa tidak, negara-negara
ASEAN khususnya Indonesia harus lekas berbenah. Pemahaman yang baik dan menyeluruh
terhadap kondisi perikanan China tak pelak menjadi kunci penguat posisi tawar Indonesia di
ranah perdagangan dengan negara Panda tersebut.

Statistik Perikanan China


Data statistik resmi tahun 2009 memang belum dikeluarkan oleh pemerintah China, namun
beberapa sumber seperti FAO dan Dinas Informasi Pertanian Luar Negeri, Departemen Pertanian
Amerika Serikat (USDA) memperkirakan produksi perikanan China tahun 2009 mencapai 49,5
juta ton atau 2% di atas volume produksi tahun 2008 sebesar 48,6 juta juta ton. Nilai ekspor
perikanan China di tahun 2009 diperkirakan mencapai 10.7 milyar USD (sekitar Rp. 99,5
trilyun), meningkat sekitar 1% dari tahun 2008 (yang untuk pertama kali menembus angka 10
milyar USD). Sebagai gambaran, total nilai perdagangan perikanan China tahun 2008
diperkirakan sebesar 13.1 billion USD (Rp. 121.8 trilyun) dimana 10 billion USD (Rp. 93
trilyun) diantaranya merupakan ekspor dan  nilai impor sebesar 3.4 billion USD (Rp. 31,6
trilyun). Dari hitung-hitungan ini, China memperoleh surplus perdagangan kurang lebih dari 6.3
billion USD (Rp. 58.6 trilyun), naik 16% dari tahun 2007. FAO (2009) mencatat kenaikan
signifikan ekspor perikanan China sejak era 90an ditunjang pesatnya permintaan domestik,
produksi budidaya dan ekspansi usaha pengolahan berorientasi ekspor.

China juga menempatkan diri sebagai importir ke-enam terbesar perikanan dunia tahun 2006 di
bawah Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Prancis dan Italia dengan nilai impor mencapai 4.1
billion USD (Rp. 38.1 trilyun). Tahun 2007, angka ini melonjak menjadi 4.5 billion USD (Rp.
41.9 trilyun) dipicu perkembangan industri olahan untuk ekspor serta animo konsumen lokal
terhadap jenis ikan tertentu (tuna, salmon, dan cod) di kota-kota besar seperti: Fujian, Shanghai,
Zhejiang dan Guangdong.

Sementara itu, peningkatan volume ekspor dipicu oleh produksi budidaya lele dan tilapia yang
pada 2007 meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Dukungan jumlah pembudidaya sekitar 4.5
juta orang dan lahan seluas 5.7 juta hektar menjadikan China bertahan sebagai penghasil produk
budidaya terbesar dunia dekade terakhir ini. Angka-angka statistik ini merefleksikan stabilitas
pilihan konsumen China terhadap ikan berharga relatif murah seperti lele dan tilapia.

Meskipun terdapat gejala penurunan akibat krisis ekonomi tahun 2008 Jepang, Amerika Serikat,
Uni Eropa, dan Korea Selatan masih menjadi tujuan ekspor China. Ekspor ke ASEAN sendiri
juga dianggap potensial dan mengalami peningkatan. Duncan (2008) memaparkan bahwa
sebelum tahun 2002 ekspor China ke ASEAN berada di kisaran angka 4.7% dari sebelumnya
sebesar 3%, tahun 2001. Pada tahun 2003 angka ini melonjak menjadi 7,5%, dan meningkat
tajam sekitar 13,8% di tahun 2004.

Industri Pengolahan dan Pemasaran


Menurut data Departemen Pertanian China (2008), jumlah usaha pengolahan ikan di tahun 2007
mencapai 9,796, bertambah 241 unit dibandingkan tahun 2006. Kapasitas pengolahan juga
meningkat menjadi 21 juta ton dari sebelumnya sebesar 18 juta ton di tahun 2006. Jumlah sarana
pendingin meningkat 6,857, bertambah 305 dari tahun 2006. Total produk yang diolah tahun
2007 mencapai 16.8 juta juta ton dibandingkan 16.3 juta ton tahun sebelumnya atau sekitar 35
persen dari total produksi hasil perikanan. Volume produk olahan berkisar di angka 13.4 juta ton,
dimana 8.1 juta ton merupakan produk beku. Peningkatan kapasitas industri olahan didorong
ekspansi industri berorientasi ekspor yang berimbas pada penambahan sarana pengolahan serta
peningkatan konsumsi domestik.

Sentra usaha pengolahan kebanyakan berlokasi di dekat lahan produksi. Dari total jumlah usaha
pengolahan sebesar 9.796 unit, sebanyak 6.668 unit (68 %) terkonsentrasi di Zhejiang,
Shandong, Fujian, dan Guangdong. Provinsi ini merupakan penghasil produk budidaya yang
dilengkapi sarana pelabuhan dan pendingin. Sumber dari Asosiasi Perikanan China mencatat
peningkatan animo investor asing untuk membuka usaha pengolahan di wilayah ini. Dinamika
tersebut menyebabkan kenaikan perdagangan produk olahan mencapai 40% dari total ekspor
tahun 2008 dan diprediksi akan terus meingkat.

Di sektor retail, China memiliki sekitar 340 pasar ikan dengan kios-kios dimiliki atau disewa
oleh pedagang perantara (broker) yang dalam dalam perdagangan berperan sebagai pedagang
besar (wholesaler) namun juga eceran. Supermarket atau pasar grosir meskipun belum terlalu
lama diperkenalkan di China telah dengan cepat menjadi ikon dalam perdagangan produk
perikanan. Hypermarket Carrefour misalnya telah membangun 5 outlet di Beijing. Selain itu,
usaha restoran dan katering turut pula berperan menyuplai kebutuhan konsumen di segmen
tertentu.

Karakter Konsumen Penentu Strategi Ekspor


Konsumsi ikan per kapita penduduk China yang berdomisili di perkotaan berada di kisaran 14 kg
(Biro Statistik China, 2008), naik 1 kg dari tahun sebelumnya.  Sementara itu, penduduk
pedesaan mengkonsumsi ikan 5.4 kg per kapita, naik 0.4 kg dari tahun 2007. Tahun 2009 angka
konsumsi ikan di perkirakan meningkat akibat meningkatnya pendapatan dan kenaikan harga
produk daging merah (red meat). Kenaikan komsusi ikan, menurut para analis, sangat mungkin
terjadi di wilayah pedesaan seiring meningkatnya kesadaran konsumsi makanan sehat dan
fasilitasi akses pasar oleh pemerintah.

Kondisi demikian mengakibatkan tingginya permintaan ikan di seantero China. Namun


demikian, terbatasnya sumberdaya dan pembatasan penangkapan menyebabkan ekspansi industri
lokal terhambat dan condong untuk menambah impor bermomentum pada pemberlakukan
kesepakatan bebas tarif dengan berbagai negara.

Menyikapi peluang ini, eksportir asing yang berminat masuk ke daratan China hendaknya cermat
mengikuti kecenderungan dan kebutuhan khusus konsumen China. Secara umum, gradasi pilihan
konsumsi masyarakat China diawali dengan ikan hidup, sebelum kemudian memilih ikan segar,
ikan beku dan terakhir produk olahan. Khusus ikan hidup, konsumen China relatif menyukai
ikan tangkapan langsung (wild caught) ketimbang hasil budidaya. Kesan bahwa ikan tangkapan
langsung lebih lezat dan bergizi masih melekat di benak konsumen ketimbang pilihan ikan
budidaya yang diberi pakan buatan. Ikan yang secara tradisional akrab di lidah konsumen China
antara lain ikan gelama (croaker), cumi dan layur. Ikan  jenis ini sebenarnya banyak terdapat di
China namun terbatasnya stok dan isu lingkungan di kegiatan penagkapan telah membuka jalan
bagi produk impor sejenis khususnya dari India dan ASEAN.

Peluang bagi eksportir Indonesia masih sangat terbuka di penjualan produk olahan. Meskipun
menghadapi kompetitor produk hidup/segar seperti lobster, kerang, belut, ikan cod, salmon, dan
kepiting yang diimpor dari berbagai negara (AS, Canada, Norwegia, dan Jepang) namun jumlah
penduduk yang besar tetap menjanjikan ceruk pasar untuk didalami. USDA (2008)
menginformasikan kecenderungan peningkatan konsumsi produk olahan (value added product)
pada kelas menengah China dan penduduk berusia di bawah 35 tahun dengan alasan kepraktisan
waktu dan cara memasak. Produk olahan fillet, bakso ikan dan crabsticks yang ready to eat serta
produk beku lobster, kekerangan, dan kepiting yang siap olah (ready to cook) sangat
direkomendasikan untuk eksportir manca negara. Dalam kaitan ini, produk olahan dengan
petunjuk penanganan yang jelas (tata cara memasak) sangat direkomendasikan mengingat
penduduk China kurang terbiasa dengan produk olahan.

Ketajaman analisis data hasil market intelligence eksportir sangat diperlukan menghadapi
kompleksitas perdagangan dan memetakan wilayah prospektif di China sebelum melakukan
penetrasi pasar. Dalam konteks ini, provinsi-provinsi di pantai timur China (coastal provinces)
dapat menjadi target utama eksportir dibandingkan di wilayah barat mainland (China daratan)
dimana penduduknya lebih memilih daging daripada ikan mengingat kondisi geografis wilayah.
Kota-kota besar seperti: Fujian, Shanghai, Zhejiang, Guangdong, Hainan dan Tianjin cukup
prospektif untuk dijajaki. Letaknya di pesisir dengan sarana infrastruktur yang memadai
membuat wilayah-wilayah ini tercatat dalam enam besar wilayah dengan tingkat pengeluaran
konsumsi ikan tertinggi di China tahun 2005 (China Statistical Yearbook, 2006).

Menimbang hal-hal diatas, bermomentum pada arah kebijakan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dengan blue revolution policy yang berorientasi ekspor, pengusaha Indonesia relatif
mempunyai landasan kuat berkiprah di wilayah CAFTA. Kini tinggal bergantung pada
determinasi upaya dan komunikasi antar stakeholders perikanan dalam visi bersama membangun
keyakinan menyambut tantangan CAF
CAFTA Paling Berat buat RI
Harian Kompas, 21 Januari 2010

Penerimaan Negara dari PPN Impor Akan Naik

Jakarta, Kompas - Kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China merupakan


kesepakatan paling berat bagi Indonesia. Meski akan tetap melaksanakan kesepakatan itu,
Indonesia akan menggunakan haknya apabila terjadi dampak mematikan pada industri nasional.

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat menyampaikan hal itu dalam Rapat Kerja
Gabungan Komisi VI DPR dengan Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Negara BUMN Mustafa
Abubakar, dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan, Rabu
(20/1) di Jakarta.

Sesuai dengan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (CAFTA), yang berlaku mulai 1
Januari 2010, sebanyak 1.516 pos tarif sektor industri manufaktur menjadi 0 persen, sebelumnya
5 persen. ”Beberapa sektor industri keberatan dengan alasan belum siap dan meminta pemerintah
meninjau kembali komitmen Indonesia dalam perjanjian itu,” kata dia.

Dari 1.516 pos tarif, sebanyak 228 pos tarif diusulkan dimodifikasi karena industri bersangkutan
belum siap bersaing.

Mari menjelaskan, surat resmi pembicaraan ulang 228 pos tarif disampaikan kepada Sekretaris
Jenderal ASEAN pada 31 Desember 2009. Intinya, Indonesia tetap melaksanakan komitmen
sesuai jadwal. Namun, beberapa sektor menyampaikan kekhawatiran terhadap pelaksanaan
CAFTA dan akan membahas pada kesempatan pertama.

Mari menegaskan, pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk membahas
langkah yang dapat mengatasi kekhawatiran beberapa sektor dan mencari solusi yang saling
menguntungkan.

Menurut Syarifuddin, menunda pelaksanaan CAFTA akan memberikan citra kurang baik bagi
Indonesia. ”Pemberlakuan CAFTA adalah keputusan yang sudah ditandatangani pimpinan
negara,” kata dia.

Menteri Keuangan memaparkan, penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor
akan menahan laju penurunan penerimaan negara dari sektor perpajakan menyusul pemberlakuan
CAFTA.

Penerimaan PPN impor diperkirakan naik dari Rp 66,3 triliun (2009) menjadi Rp 102,2 triliun
(2010). ”Penurunan penerimaan bea masuk akan diimbangi peningkatan penerimaan PPN impor
karena volume dan nilai impor akan meningkat,” ujar Sri Mulyani.

Kementerian Keuangan memperkirakan, penerimaan bea masuk akan turun 8,5 persen, yakni
dari Rp 18,1 triliun (2009) menjadi Rp 16,5 triliun (2010).
”CAFTA juga berdampak positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Dengan
CAFTA, BUMN dapat memperoleh barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk
ke China dengan tarif lebih rendah,” kata Menkeu.

Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menyatakan, beberapa pertanyaan perlu dijawab
pemerintah, antara lain soal subsidi ekspor. ”Apakah memungkinkan ada subsidi ekspor untuk
memperkuat industri?” ujar dia.

Kelembagaan

Pada kesempatan terpisah, guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul
Arifin, mengungkapkan, CAFTA akan berdampak pada perdagangan produk pertanian nasional
di pasar domestik karena kelembagaan perdagangan produk pertanian dalam negeri belum tertata
baik.

”Masih banyak hambatan bagi komoditas pertanian lokal yang mau masuk ke pasar modern
maupun tradisional,” ujar dia.

Sementara itu, pemasaran produk pertanian impor, khususnya buah-buahan dari China, lebih
baik dengan rantai distribusi yang lebih pendek. Hampir semua pemain dalam perdagangan
produk impor adalah pedagang besar dengan modal besar.

Ari, pedagang jeruk mandarin di Dra’an Kertosono, Jawa Timur, menyatakan, ia menjual buah-
buahan impor sejak tiga tahun lalu dan tidak pernah kesulitan memasarkannya.

Kekhawatiran atas pelaksanaan CAFTA juga disampaikan anggota Asosiasi Mebel dan
Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Badrudin, karena China pesaing yang kuat di pasar mebel
rotan.

Ia meminta pelaksanaan CAFTA ditunda dan pemerintah melarang ekspor rotan mentah ke
China.

 Add Comment » No Comments


 

Beijing Consensus
Posted in Sosial Politik on 11/10/2009 06:01 pm by aji.pribadi

Cina sekarang dikenal sebagai salah satu negara besar, bahkan seringkali disejajarkan dengan
raksasa Amerika Serikat. Salah satu pilar utama pendukung perkembangan Cina adalah ekonomi.
Selama satu dekade terakhir perekonomian Cina telah bertumbuh rata-rata sepuluh persen tiap
tahunnya. Selain ekonomi, perkembangan teknologi Cina yang sangat pesat juga menjadikan
Cina sebagai negara yang amat dikagumi dunia pada saat ini.  Banyak dari negara-negara di
dunia meniru Cina, bahkan menjadikannya sebagai model. Dalam makalah singkat ini ingin
menjelaskan mengenai apa yang dinamakan model pembangunan Cina, apa saja yang tercakup di
dalamnya dan bagaimana Cina mengatasi masalah regional yang dihadapinya manakala Cina
mulai menjelma menjadi sebuah negara raksasa.

Apa yang sekarang dikenal sebagai Beijing Consensus sebenarnya merupakan istilah yang
pertama kali dimunculkan oleh Joshua Cooper Ramo. Beijing Consensus merupakan tiga buah
dalil mengenai bagaimana cara untuk mengorganisir negara berkembang di dunia. Dalil yang
pertama  yaitu mengenai penempatan kembali nilai-nilai inovasi. Yang kedua, kekacauan tidak
mungkin diatur dari atas tetapi harus menggunakan perangkat baru dan yang ketiga adalah
sebuah teori tekad diri sendiri.

Penempatan Kembali Nilai-nilai Inovasi

Sebuah teori fisika lama mengatakan bahwa sebuah negara haruslah disambung dengan kabel
tembaga dulu baru kemudian disambung dengan kabel optik. Dalam hal ini Cina tidak setuju
dengan teori ini. Jika sebuah negara langsung disambungkan dengan kabel optik maka ia akan
bergerak lebih cepat, jauh lebih cepat daripada masalah yang ditimbulkan dari pergerakan itu
sendiri. Hal yang mempercepat Cina adalah inovasi. Jiang Zemin dalam laporannya pada
kongres partai ke-16 mengatakan bahwa inovasi menopang kemajuan suatu bangsa.

Ketika perubahan berbasis IPTEK dijalankan pasca reformasi, hasil yang paling terlihat adalah
pada sektor pertanian. Pada liberalisasi pertanian, pertanian bertumbuh 20-30 % dan petani
menjadi haus akan inovasi. Para petani terus menerus meningkatkan kualitas bibit dan pengairan
di sawah mereka.

Inovasi yang berujung pada IPTEK inilah membuat pemerintah berpikir untuk memajukan
pendidikan rakyatnya. Pendidikan adalah satu-satunya solusi untuk menyeimbangkan perubahan
yang terjadi di Cina dan bukan mengacaukannya. Satu hal yang terlihat yaitu pada tahun 1989.
Karena dukungan yang besar terhadap inovasi maka pemerintah dapat meredam isu 1989 agar
tidak menjadi sesuatu hal yang merusak stabilitas.
Dengan kata lain, obat terbaik untuk masalah dari perubahan adalah dengan menciptakan lebih
banyak perubahan dan inovasi.

Menciptakan Lingkungan

Dalil yang kedua mengatakan bahwa kekacauan tidak mungkin diatur dari atas tetapi harus
menggunakan perangkat baru. Dalil yang kedua ingin membuat sebuah lingkungan untuk
pembangunan. Lingkungan yang dapat menopang dan pantas. Hu Angang dari universitas
Tsinghua mengatakan bahwa pertumbuhan GDP yang disebutkan oleh Washington Consensus
disebut sebagai pertumbuhan GDP hitam.

GDP Hitam ini kemudian jika dikurangi dengan biaya kehancuran lingkungan didapatkan apa
yang dinamakan GDP Hijau. Hu Jintao, presiden Cina, melanjutkan, jika GDP Hijau ini
dikurangi dengan korupsi maka akan didapatkan sebuah GDP yang transparan. GDP yang
transparan inilah yang dikatakan Hu bagaimana Cina mengukur perkembangannya. Jika pada
awal-awal reformasi, Deng Xiaoping pernah mengatakan tidak peduli kucing hitam atau kucing
putih yang penting dapat menangkap tikus. Sekarang apa yang dipercaya oleh pemerintah yaitu
warna kucingnya berpengaruh dan Cina sekarang mencari kucing yang hijau dan kucing yang
transparan. Dalam hal ini ditekankan bahwa polusi lingkungan dan korupsi merupakan racun
sosial.

Transfer Energi

Penyebaran Beijing Consensus ini dapat dilihat dari tiga cara. Yang pertama adalah sebagai
reaksi terhadap ide Washington Consensus yang mempunyai energi kinetik. Yang kedua karena
kebutuhan lokalisasi maka menghasilkan ide-ide asli di manapun ia ditempatkan dan yang
ketiga, bangkitnya ekonomi Cina menjadi magnet yang mempengaruhi butiran besi sehingga
sejajar dengan keinginan ekonomi Cina.

Energi Kinetik : Tes kecocokan

Tes kecocokan ini melihat dari Washington Consensus. Washington Consensus dibuat pada
tahun 1990 dengan sepuluh kriteria, termasuk di dalamnya regulasi fiskal, keterbukaan terhadap
modal asing serta nilai tukar yang kompetitif. Ia dibuat dalam rangka utang Amerika Latin.
Karena kerangka kerjanya dipusatkan pada Amerika Latin maka hal ini tidak berlaku pada Cina.

Bertolak belakang dari Washington Consensus yang tidak menjelaskan mengenai peningkatan
kesejahteraan, Beijing Consensus mengedepankan individual. Hal inilah yang menjadikan
kebijakan Hu Jintao yaitu tiga dekat (san ge tiejin). Tiga dekat ini meliputi  dekat dengan
kenyataan, dekat dengan rakyat dan dekat dengan kehidupan. Karena itu pemerintah
membebaskan individu untuk bekerja, berencana dan mengorganisir dirinya sendiri. Pemerintah
juga mengedepankan pembuatan lingkungan dari bawah ke atas. Menggabungkan kabaikan pasar
yang mengatur diri sendiri dengan batasan-batasan yang rasional.

Lokalisasi : Reaksi Berantai Budaya


Salah satu faktor yang tidak berubah dari masyarakat Cina adalah kekuatan budaya Cina.
Beberapa bagian dari budaya ini memang telah hancur seperti arogansi superioritas Cina tetapi
hubungan keluarga tetap bertahan. Ketika melihat orang Cina di suatu negara kita pasti juga
melihat gaya hidupnya yang masih makan dengan sumpit. Budaya-budaya yang telah mengakar
inilah yang terdapat di Cina sendiri. Ketika kita pergi ke sebuah ATM maka kita akan disambut
dengan lagu Cina. Stasiun TV yang banyak ditonton juga yang lebih mengedepankan budaya
Cina. Channel [V] di Cina yang memutar lagu-lagu Cina lebih digemari ketimbang siaran
internasional MTV. Deng Xiaoping mengatakan Cina menggabungkan ide dari Cina dengan
pengajaran dari Barat. Untuk Cina poin utama referensi haruslah Cina itu sendiri. Secara tidak
langsung Cina tengah mempraktekkan Globalisasi dengan ciri khas Cina

Yuan sebagai Magnet

Ketika perekonomian Cina bertumbuh, ternyata bukan orang-orang Cina saja yang menopang
pertumbuhan tersebut tetapi juga orang-orang selain Cina. Para petani di Amerika Latin bekerja
lembur di ladang mereka untuk memnuhi kebutuhan Cina akan kedelai. Bahkan Cina meminta
mereka untuk membuka lahan sebesar negara Israel untuk ditanami kedelai. Orang singapura
juga mengirimkan para pemrogram perangkat lunak komputer ke Cina. Kesemuanya itu dibayar
Cina menggunakan Yuan sebagai alat bayarnya.

Kebijakan Dengan Negara Lain

Cina mengedepankan pembangunan dan perdamaian (He Ping Yu Fa Zhan). Tujuan dari Cina
bukan konflik tetapi untuk menghindari konflik. Sangat penting bagi cina untuk membangun
kekuatan militer tapi tidak seperti Amerika yang menggunakan kekerasan untuk mengatasi
masalah. Tujuan Cina adalah untuk menangani masalah sebelum masalah itu muncul. Bagaimana
membentuk kekuatan militer dapat mencapai ini ? Hal ini dapat terjadi karena tanpa kepastian
keamanan, pembangunan yang damai tidak dapat tercapai.

Keinginan maju secara damai oleh Cina dapat tercapai bergantung dari keinginan AS untuk
bekerjasama. Hu Jintao menerapkan empat tidak dalam hubungannya dengan negara lain yaitu
tidak hegemoni, tidak menjalankan kekuatan politiknya, tidak mengadakan persekutuan dan
tidak mengadakan perlombaan senjata.

Perubahan Tahapan Pengamanan

Langkah-langkah pengamanan yang dilakukan oleh Cina :

1. Penguatan Militer
2. Memilih Tujuan Spesifik dalam memodernisasi militer

Kebijakan asimetris lainnya yang dijalankan Cina yaitu ketika Amerika menerapkan Penguasaan
Umum yaitu penguasaan terhadap laut, udara dan angkasa, Cina menjalankan Good
Neighbourliness. Yaitu pembuatan grup yang mengarah pada dialog keamanan.
Dari penjelasan ini kita dapat melihat bagaimana cara Cina berpikir dan bertindak. Melalui
kerangka yang besar kemudian menjalankan kebijakan praktis.

Pada dasarnya buku yang ditulis Joshua Cooper Ramo merupakan analisis yang mendalam dan
amat baik tetapi di banyak tempat cukup menyulitkan karena membandingkannya dengan ilmu
fisika.

 Tags: beijing consensus, china, Cina, Cooper Ramo, Diplomasi, Joshua Cooper Ramo, Kebijakan
Luar Negri, Politik, Politik Cina, Politik Luar Negri Cina 
 Add Comment » No Comments

CAFTA
Posted in Sosial Politik on 11/07/2009 01:44 pm by Mana.Mantab

ASEAN Summit ke-15 yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Oktober lalu di Hua Hin,
Thailand, menjadikan agenda pertama bagi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dalam pertemuan
tersebut mencakup Pertemuan Cina-ASEAN ke-12, Pertemuan Jepang-ASEAN ke-12,
Pertemuan Korea Selatan-ASEAN ke-12, Pertemuan ketujuh India-ASEAN, Pertemuan
ASEAN+3 ke-12 dan Pertemuan keempat East Asia Summit (EAS).

Pertemuan ini membahas banyak masalah seperti : Deklarasi Cha-am Hua Hin untuk Inagurasi
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Memperkuat kerjasama di
bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan ASEAN Caring and Sharing Community,
Rancangan Pernyataan mengenai perubahan iklim, dan pernyataan para pemimpin negara
mengenai konektivitas ASEAN.

Tetapi pertemuan ini bagi Cina dan ASEAN menjadi penting, karena menyambut China-ASEAN
Free Trade Area (CAFTA) yang dijadwalkan pada tahun 2010. Dalam jangka waktu kurang
lebih dua bulan kesepakatan ini akan mulai dijalankan. Hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai kesiapan ASEAN dalam menghadapi kesepakatan CAFTA tersebut.

Semakin Mesra

Pada tahun 1990an, Cina yang bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru mulai
melebarkan sayapnya ke dunia internasional, khususnya ASEAN. Hal ini bertujuan untuk
menyampaikan kepada dunia bahwa Cina bukan ancaman melainkan mitra yang bersahabat. Hal
ini disebabkan oleh Teori ancaman Cina (China Threat) yang diyakini para pemikir dari Barat.
Tetapi teori ini tidak berlaku bagi ASEAN yang merupakan negara tetangga dan berbatasan
langsung dengan Cina.
Pada 19 Juli 1991, Menteri Luar Negeri Cina, Qian Qichen menghadiri ASEAN Ministerial
Meeting di Kuala Lumpur. Cina mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengan
ASEAN.

Kemudian pada bulan September 1993, dilaksanakan kunjungan balasan oleh Sekretaris Jenderal
ASEAN pada saat itu Dato’ Ajit Singh. Kemudian pada tanggal 23 Juli 1994, terjadi exchange of
letters antara Sekjen ASEAN dan Menlu Cina yang menyetujui pembentukan komite kerjasama
di bidang ekonomi, perdagangan dan IPTEK.

Cina dipercaya menjadi “consultative partner”, yang kemudian pada tahun 1996, dipercaya
menjadi mitra wicara (Dialogue Partner).

Pada tahun 1997, terdapat setidaknya lima kerangka pembicaraan antara Cina dan ASEAN.
Dimulai dari Konsultasi Politik antara Cina dan ASEAN pada tingkat senior, Komite Gabungan
Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC),
Komite Gabungan Kerjasama IPTEK, dan Komite ASEAN-Beijing.

Pada bulan Desember 1997, merupakan pertemuan informal pertama ASEAN+1. Pertemuan ini
dihadiri oleh Jiang Zemin dan para pemimpin negara ASEAN.

Kemudian hubungan antara ASEAN dan Cina semakin mendalam ketika terjadi Krisis Finansial
Asia yang menyebabkan banyak negara di Asia bertumbangan. Tetapi tidak untuk Cina. Cina
justru berdiri kokoh.  Kebijakan untuk tidak mendevaluasi Yuan, merupakan kebijakan yang
menyelamatkan negara ASEAN khususnya dari keterpurukan.

Setelah terjadinya Krisis Asia, hubungan Cina dan ASEAN semakin mesra. Hal ini terlihat dari
deklarasi yang dihasilkan selama pertemuan berlangsung. Pada tahun 2002, Cina-ASEAN
menyetujui memperkuat kerja sama ekonomi dan Deklarasi Gabungan kerjasama dalam masalah
keamanan non-tradisional antara Cina dan ASEAN. Pada 29 April 2005, hubungan kedua belah
pihak semakin dalam dengan mewujudkan  Action Plan to Implement the Joint Declaration of
China-ASEAN Strategic Partnership. Selama empat tahun, Cina juga menyelenggarakan
ASEAN-China Expo di Nanning.

CAFTA

Pada bulan November 2002, KTT ASEAN ke-8 di Kamboja, ASEAN dan Cina menandatangani
Kerangka Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh. Hal ini merupakan tanda bagi kedua
belah pihak untuk memperkuat kerja sama ekonomi.

Dalam kesepakatan ini, mencakup proses penurunan tarif dalam tiga kategori : Early Harvest
Program (EHP), Jalur Normal, dan Jalur Sensitif. Jalur Sensitif kemudian dibagi lagi menjadi
dua yaitu Sensitif dan Sangat Sensitif.

Kerja sama ekonomi ini semakin diperkuat dengan Treaty Amity and Cooperation (TAC) pada
tahun 2003. Dengan demikian, hubungan kedua belah pihak semakin lancar dan aman.
Namun masih terdapat masalah-masalah yang belum diselesaikan. Menurut Alexander C.
Chandra, potensi masalah yang harus diperhatikan adalah pertama, ASEAN dan Cina cenderung
terlalu menekankan keuntungan jangka panjang tanpa memperhatikan dampak ekonomi jangka
pendek. Kedua, kebaikan Cina untuk memberikan liberalisasi unilateral di bawah skema EHP
terdengar terlalu muluk. Ketiga, indonesia dan ASEAN perlu memberikan perhatian lebih
terhadap tantangan yang muncul dari Cina di bidang penanaman modal. Saat ini, negara-negara
ASEAN semakin tertinggal dalam urusan penanaman modal dari negara Asia lainnya. Keempat,
Indonesia juga perlu memperhatikan sejauh mana kemampuan kita untuk memasuki pasar Cina.
Kelima, data yang tidak akurat dari pihak Cina mempersulit pembuat kebijakan ASEAN pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya untuk membuat kebijakan yang tepat. Keenam,
CAFTA tentunya memiliki potensi untuk memperlemah proses integrasi ASEAN. (Merangkul
Cina, 2009)

Pada akhirnya, Indonesia dan ASEAN harus memikirkan dan menemukan solusi untuk masalah-
masalah tersebut. Bila mau untung, bukan buntung.

You might also like