Professional Documents
Culture Documents
Badai krisis mata uang belum reda agaknya akan disusul dengan gelombang
crash. Betapa tidak. Terhitung sejak awal tahun ini hingga Oktober, semua mata uang
di kawasan ASEAN mengalami krisis yang terbesar dalam sejarah. Kendati “sumber
gempa” berasal dari Thailand, ternyata rupiah merupakan mata uang yang paling
terdepresiasi (55 persen) di kawasan ini. Belum reda badai krisis mata uang, pada
dunia, mulai berjatuhan. Dimulai dengan goncangnya bursa saham Hongkong, Senin
(27/10) mencatat indikasi crash melanda bursa saham Wall Street-New York, Tokyo,
crash yang melanda pasar modal global pada bulan Oktober sepuluh tahun lalu.
merupakan rentetan drama krisis mata uang di Asia Tenggara. Ini disuarakan oleh
penganut currency school. Intinya, mereka percaya bahwa sumber volatilitas dan
ketidakpastian berasal dari pasar valas. Apalagi saat ini banyak investor tidak
memandang negara secara individual, namun lebih melihatnya sebagai satu kawasan.
Akibatnya, dampak contagion mudah sekali melanda kawasan ini. Anjloknya baht
Thailand dalam waktu relatif singkat diikuti oleh Ringgit Malaysia, rupiah Indonesia,
peso Filipina, dan dolar Singapura. Ketika Mahathir Mohamad, perdana menteri
Malaysia, menyalahkan spekulan sebagai biang keladi krisis, nilai ringgit langsung
bukti betapa terintegrasinya pasar keuangan internasional. Yang jelas, integrasi pasar
keuangan global amat rentan dan mengandung ketidakpastian yang tinggi. Yang
terakhir terjadi karena arus uang bergerak antar negara tidak dalam hitungan hari,
namun cukup dengan menekan tombol komputer. Para pelaku di pasar global memang
berpacu dalam hitungan detik dan menit, bukan jam apalagi hari. Sayangnya, derajat
integrasi antar pasar yang satu dengan yang lain ternyata tidak seragam. Di negara-
negara maju, pasar modal demikian terintegrasi sehingga para investor dapat
Pasar modal New York, Tokyo, Hongkong, London, Singapura termasuk mempunyai
derajat integrasi yang tinggi. Namun kebanyakan bursa saham di kawasan Asia-Pasifik
Bila pasar modal global benar-benar terintegrasi, maka aset finansial akan
mencerminkan harga yang sama di manapun. Sekedar ilustrasi, misalkan suku bunga
satu tahun di New York sebesar 8,75% dan di London sebesar 11,75%. Ini berarti
investor akan memperoleh hasil lebih sebesar 3% bila dananya diinvestasikan di pasar
modal London (atau peminjam akan memperoleh dana lebih murah di New York).
Kendati demikian, bila kurs spot yang berlaku adalah $1,6375/✖1 dan kurs forward satu
tahun adalah $1,5883/✖1, maka investor yang mengkonversikan kembali dalam dolar
Terlihat bahwa keuntungan akibat perbedaan suku bunga dihilangkan oleh diskon
informasi sempurna, investor tidak dapat memperoleh laba berlebih lewat arbitrase
pasar. Arbitrase, yaitu membeli dan menjual mata uang di pasar yang berbeda untuk
mengeruk keuntungan dari perbedaan harga beli dan harga jual, kecil kemungkinan
Dalam praktek, situasi semacam itu tidak sepenuhnya terjadi. Para investor tidak
pernah menganggap aset finansial dalam mata uang yang berlainan merupakan
substitusi sempurna. Demikian juga kurs mata uang selalu tidak mencerminkan
perbedaan inflasi, setidaknya dalam jangka pendek. Akibatnya, suku bunga riil berbeda
secara substansial antar negara maju, apalagi antara negara maju dengan negara
berkembang. Singkatnya, boleh dikata tidak ada suku bunga seragam di dunia, dan
Implikasinya, bagi negara, yang pasar keuangannya relatif kecil dan belum
begitu berkembang, jelas akan menghadapi resiko yang lebih tinggi bila membuka diri
terhadap arus modal asing. Krisis Meksiko 1994 dan Thailand 1997 memberikan
terhadap arus modal berjangka pendek untuk meminimalkan aktivitas spekulasi? Ini
merupakan pertanyaan sulit yang ada di benak para pengambil keputusan di Asia
Tenggara. Tidak mudah melakukan kontrol di tengah krisis. Pemerintah Thailand telah
mencoba strategi semacam ini tahun ini, namun agaknya kurang begitu berhasil. Tidak
hanya sulit melakukan kontrol terhadap arus modal, bahkan kebijakan ini juga
Bagaimana dengan rupiah? Mengapa rupiah terus menerus merosot sejak Juli
tahun ini hingga mencapai rekor terendah dalam sejarah? Beberapa pengamat
menuding adanya kelebihan permintaan akan dolar AS, yang sebagian besar untuk
membayar utang luar negeri yang jatuh tempo dan tidak dapat di-rollover, maupun
melakukan hedging -- menghindari resiko perubahan kurs -- karena kawatir rupiah terus
merosot. Ada pula yang melihat bahwa melemahnya rupiah sudah di “luar batas normal”
Bila penyebab terakhir yang benar maka terjadilah apa yang disebut irrationality
of the market. Istilah ini dicetuskan oleh Profesor Charles P. Kindleberger dalam buku
dan makin cepat semakin tidak rasional. Rasionalitas akan berlainan antar pelaku
ekonomi, seperti pedagang valas, investor, maupun spekulan, pada tahap awal maupun
namun selalu ada kesenjangan waktu. Sejarah mania dan panik penuh dengan contoh
situasi semacam ini. Bila panik melanda para fund manager, mereka biasanya menjual
semua saham yang dimiliki untuk memperoleh dana kontan, yang kemudian digunakan
untuk membeli dolar. Kondisi panik memang merupakan bibit gejala crash.
Wah… barangkali ini yang disebut “Habis krisis terbitlah crash”?. Sayup-sayup
terdengar wejangan pujangga Ronggowarsito: “Jaman ini jaman gila. Kalau tidak ikut
gila tidak kebagian. Namun, lebih untung orang yang eling lan waspada.”
· Mudrajad Kuncoro adalah dosen FE dan MM UGM; sedang menempuh Program S3 di Department
of Business Development, University of Melbourne, Australia.
BIODATA SINGKAT PENULIS