You are on page 1of 7

EPISTEMOLOGI: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR

11
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN

Pernahkah anda mendengar seorang tukang obat menawarkan panacea (obat segala macam
penyakit) di kaki lima dan berkata “untuk urat kaku, pegal ling, darah tinggi, sakit bengek, eksim,
keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, dan kurang jantan, makanlah tablet ini tiga kali sehari,
diguyur dengan air minum, yang hamil dilarang makan?” raja obat yang mampu mengobati segala
macam penyakit ini adalah warisan dari zaman dulu, dimana pada waktu itu, pembedaan antara
wujud satu dengan yang lain, belum dilakukan. Pada masyarakat primitif, yang diakibatkan belum
adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap hakim, penghulu
yang menikahkan, panglima perang, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menem[pati status
tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab
organisaasi kemasyarakatan pada waktu itu hakikatnya hanya satu. Jadi sekali seorang ahli maka dia
akan menjadi seorang ahli.

Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu.
Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak
yang jelas antara wujud dan konsep satu dengan yang lain. Jadi wajar saja kalau dalam kurun waktu
itu tidak ada pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui
adalah pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah, cara mengobati sakit gigi, menentukan kapan
mulai bercocok tanam atau biografi para dewa di khayangan. Pokoknya semua itu adalah satu
apakah itu obyaknya, metodenya dan kegunaannya.

Denga berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan menjadi
pembedaan. Mulailah terdapat perbedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang
mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur
kemasyarakatan. Pengetahuan pun mulai dispesifikasikan setidaknya berdasarkan apa yang
diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.

Diferensiasi dalam bidang ilmu dengan cepat terjadi. Secara metafisik ilmu mulai dipisahkan
dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu alam dengan ilmu sosial. Dari
cabang ilmu yang satu dewasa ini diperkirakan berkembang lebih dari 650 ranting disiplin keilmuan.
Pembedaan yang makin terperinci ini menimbulkan keahlian yang makin spesifik pula.

Makin ciutnya kapling masing-masing disiplin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan maslah,
sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang
dihadapi demikian banyak dan bersifat jelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang yang
ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing
disiplin keilmuan. Dengan dalih pendekatan inter-disipliner maka berbagai disiplin keilmuan
dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu dalam kesuatuan yang berdifusi.

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan


mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan
jalannya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini bukan
merupakan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa.
Pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan
menimbulkan anarki keilmuan melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu,
dimana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan
analisisnya dalam mengkaji obyek yang menjadi telaahan bersama.
12
PENGETAHUAN

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek
tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
diketahui oleh manusia disamping berbagai pengertahuan lainnya seperi sei dan agama.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita.sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya
pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis
pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap
pengetahuan kita secara maksimal maka arus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa
diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada
pengetahuan mana suatu pertanyaan itu harus kita ajukan.

Pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan bukan hanya sekedar jawaban
yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan
yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar
sedangkan dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan
ini saling berkaitan, jadi kalau kita ingin membahas epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan
dengan ontologi dan aksiologi ilmu.

Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan tebatas pada lingkup pengalaman kita.
Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan
sehari-hari yang dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan
kepadanya. Pengetahuan ilmiah, alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah
dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa dengan
ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.

Seni, pada sisi lain dari pengetauan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan
sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmi mencoba mengembangkan sebeuah model yang sederhana
mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat
dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba
mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang
meresapinya, lewat berbagai kemampuan manusia untuk mengungkapkannya, seperti pikiran,
emosi, dan pancaindera. Sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat
penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tak bisa mempergunakan model
tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan
sebuah kegiatan seni. Karya seni ditujukan kepada manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan
obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia
menangkap pesan yang dibawa karya seni itu. Sebuah penciptaan yang maknanya tidak bersifat
komunikatif melainkan sekadar berarti bagi penciptanya sendiri bukanlah merupakan karya seni,
melainkan suatu bentuk neurosis. Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang
ingin disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah
sebabnya maka sei memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti suatu
bangsa.
Ilmu mencoba mencarikan pendapat mengenal alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum
dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan
perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan”. Pengalaman itu diungkapkan agar
dapat dialami orang lain dengan jalan “menjiwai” pengalaman tersebut. Penjiwaan atas pengalaman
orang lain itulah akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita, intinya manusia memuliakan dirinya
justru lewat pengalaman bahkan penderitaan orang lain.

Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk
menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat
sebab tak mempunya landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya
mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Berdasarkan akal sehat, mungkin
masuk akal setelah kita melihat beberapa kali matahari terbit dan tenggelam untuk menyimpulkan
matahari berputar mengelilingi bumi, itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula
seuakr diterima oleh masyarakat sebab bertantangan dengan akal sehat, seperti penemuan bahwa
bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya.

Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis


mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Pada dasarnya rasionalisme bersifat
majemuk dengan berbagi kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif disekitar obyek
tertentu. Dalam menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran,
teori, dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini sukar sekali bagi kita untuk memeilih mana dari
sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas
argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang
adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang meyakinkan. Namun hal ini pun tidak
bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa terlepas dari
unsur subyektif. Di samping itu rasionalisme dengan pemikiran deduktifnya sering menghasilkan
kesimpulan yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya namun ternyata sangat bertantangan
dengan kenyataan yang sebenarnya. Kelemahan dalam berpikir rasional seperi itulah yang
menimbulkan empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari
kenyataan pengalaman.

Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang
berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat
mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat
rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar kulit luarnya tanpa berani mengemukakan
postulat-postulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai
kepada teori fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan yang tidak berbeda jauh dari akal
sehat yang lebih maju. Ilmu mempunyai dua buah peranan, yaitu sebagai metafisika dan sebagai akal
sehat yang terdidik. Lalu bagaimana cara agar kita dapat mengembangkan ilmu yang mempunyai
kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan sebenarnya? Maka
berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan jembatan antara
penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
13
METODE ILMIAH

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi
ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan
dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Metode merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Metodologi merupakan merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan
yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodolodi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang
dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan : apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan
ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?

Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode
ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka
pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang
diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh
pengetahuan yang disusunya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka
metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam
membangun tubuh pengetahuannya.

Berpikir deduktif merupakan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat
konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematis dan
kumulatif pengetahuan ilmiah disusun bertahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu
yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh
pengetahuan yang tersusun dan terorganisasi dengan baik sebab penemuan yang tidak teratur
diibaratkan sebagai “rumah atau batu bata yang cerai-berai”. Secara konsisten dan koheren maka
ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyekn yang berada dalam fokus
penelaahan.

Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan
kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik,
maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu.
Meskipun argumentasi secara rasional didasrkan pada premis-premis ilmiah yang telah teruji
kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang
tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu meka dipergunakan
pula cara berpikir induktif yang berdasarkan kritreria kebenaran korespondensi.

Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar jika materi
yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar bila terdapat
fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu.

Proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengemati sesuatu. Tentu saja hal ini
membawa kita pada pertanyaan lain: mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah
lebih lanjut ternyata kita mulai mengamati obyek tertentu kalu kita mempunyai perhatian tertentu
terhadap obyek tersebut. Perhatian itu merupakan sebagai suatu masalah atau kesukaran yang
dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pernyataan. Dan
pernyataan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang
menimbulkan berbagai macam persoalan. Dapat disimpulkan bahwa karena ada masalahlah maka
proses kegaiatan berpikir dimulai,dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, makaproses
berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam
dunia empiris pula.

Bahwa manusia menghadapi masalah, atau bahwa manusia menyadari adanya masalah dan
bermaksud untu memecahkannya, hal ini bukanlah sesuatu yang baru sejak manusia berada dimuka
bumi sejak dahulu kala. Namun dalam melengkapi masalah ini maka manusia memberikan reaksi
yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan cara berpikir mereka. Seperti dibahas dalam
bagian terdahulu terdapat bermacam-macam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan sebagai
jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi. Dilihat dari perkembangan kebudayaan maka sikap
manusia dalam menghadapi masalah yang dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan
sikap manusia dalam menghadapi masalah ini maka perkembangan kebudayaan dibagi menjadi tiga
tahap, yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap opsional. Yang dimaksudkan dengan tahap
mistis adalah sikap manusia yang merasa dirinya dikepung oleh kekuatan-kekuatan ghaib
disekitarnya. Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasa dikepung oleh oleh
kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari obyek disekitarnya serta memulai
melakukan penelaahan terhadap obyek tersebut. Sedangkan tahap fungsional adalah sikap manusia
yang tidak saja telah terbebas dari kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan
penelaahan terhadap obyek-obyek disekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia
memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.

Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuatan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala
empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari obyek disekitarnya,
tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis,dimana semua obyek berada dalam kesemestaan
yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya. Manusia mulai memberi batas-batas yang jelas
kepada obyek kehidupan tertentuyang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang
mengamati dan menelaah obyek tersebut. Manusia mulai menentukan batas-batas ekstensial
masalah tersebut yang memungkinkan dapat mengenal ujud masalah itu, untuk kemudian ditelaah
dan dicarikan pemecahan masalahnya.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu tidak berpaling kepada
perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan
mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakikat permasalahan itu
dan dengan demikian maka ia dapat memecahkannya.
14
Struktur Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan yangdiproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi


syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti
yang telah dibahas sebelumnya pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serangkaian langkah-langkah
tertentu yang dilakukan penuh dengan kedisiplinan, dan dari karakteristik inilah maka ilmu sering
dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang relatif lebih
cepat jika dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu dapat diibaratkansebagai
piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif dimana
penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan
ilmiah yang lainnya. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan
untuk menguasai gejala-gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.

Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadidan berdasarkan
peramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi
kenyataan atau tidak.

Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik,
fungsional atau teologis, dan genetik. Penjelsan deduktif menggunakan cara berpikir deduktif dalam
menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis dari yang
telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasanyangditarik secara
induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan
deduktif melakukan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemugkinan”, “kemungkin besar” dan
“hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teologis merupakan penjelasan yang
meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai
karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik menggunakan faktor-faktor yang
timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian. Tidak satupun dari pola-pola
diatas yang mampu menjelaskan secara keseluruhan suatu kajian keilmuan dan oleh sebab itu
dipergunakan pola yang berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula.

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor
tertentu dari sebuahdisiplin keilmuan. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah
mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru
dcapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja dan biasanya sebuah teori terdiri dari hukum-hukum.
AKSIOLOGI : NILAI KEGUNAAN ILMU

19
ILMU DAN MORAL

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
pada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia
bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan
dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang
membawa malapetaka dan kesengsaraan?.

Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang. Ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan untuk memerangi sesama
manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil
dikembangkan namun juga sebagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa.di pihak lain,
perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Namun justru sebaliknya
manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai
sarana yang memberikan kemudahan bagi

You might also like