Professional Documents
Culture Documents
Tengah
1. Latar Belakang Masalah
Secara geografis Kalimantan Tengah terdiri atas hutan, sungai dan danau. Sungai
merupakan urat nadi transportasi masyarakat yang berada di daerah pedalaman dan hulu-hulu
sungai. Sedangkan prasarana jalan darat yang sangat minim dan dewasa ini sedang diintensifkan
pembangunannya. Kondisi inilah yang memperlambat proses pembangunan di daerah-daerah
terpencil dan terisolasi karena alasan transportasi yang lambat dan mahal apabila harus melalui
sungai. Akibatnya masyarakat yang berada di daerah pedalaman, hulu dan pinggir-pinggir sungai
ikut terkena imbas dari keterbelakangan pembangunan tersebut, yaitu berupa serba terbatasnya
pelayanan sosial, ekonomi, budaya, dan politik bagi masyarakat setempat.
Kemiskinan adalah fenomena utama yang sangat menarik dan kasat mata pada
masyarakat yang kebetulan bermukim jauh dari pusat pemerintahan atau di pinggir kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan lain-lain. Kemiskinan
(ekonomi) lebih didominasi oleh masyarakat yang bermukim di sepanjang DAS, tepi
pantai(nelayan) dan daerah pedalaman. Alasan utama penyebab kemiskinan menurut masyarakat
setempat adalah tidak adanya lapangan usaha yang menetap atau menjanjikan, terutama setelah
kegiatan penebangan liar dilarang oleh pemerintah. Usaha pertanian tanaman pangan seperti
perladangan berpindah sulit diandalkan karena keterbatasan lahan yang subur, harga karet dan
rotan kuranmg stabil, sementara harga kebutuhan pokok merangkak naik setiap tahunnya. Dari
hasil observasi di lapangan, khususnya di sepanjang DAS dan daerah pedalaman Kalimantan
Tengah, jumlah penghasilan dan pengeluaran sangat tidak sebanding. Banyak keluarga miskin
yang makan dua kali sehari, makan hanya dengan daun singkong(ubi kayu) atau sarapan pagi
hanya dengan nasi dan teh panas. Kebiasaan hemat masih belum membudaya. Hal ini dapat
dilihat dari pola hidup masyarakat yang hura-hura, minum tuak/baram, main judi, dan
pemakaian listrik yang berlebihan. Di samping itu dalam satu rumah pada umumnya dihuni oleh
2-4 KK yang sama-sama miskin, dan kondisi sanitasi yang sangat memperihatinkan.
Ketergantungan masyarakat pada mata pencaharian yang bersifat instan seperti illegal
logging danillegal mining dan judi sangat tinggi, dan sebaliknya kegiatan ekonomi yang lamban
seperti peladang berpindah kurang dapat diandalkan lagi karena lahan semakin terbatas dan
kurang subur. Demikian juga rotan dan karet sudah mulai menurun hasilnya. Dana BLT dan
Kompensasi BBM juga kurang bermanfaat bagi masyarakat karena tidak sebanding dengan
besarnya kebutuhan masyarakat.
2. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Tengah
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 total luas wilayah Kalimantan
Tengah adalah 153,567 km²(15.356.700 Ha) atau 1,5 kali luas pulau Jawa dengan jumlah
penduduk 1.935.669(hampir 2 juta jiwa) atau 553.057 KK. Perbandingan luas wilayah dengan
jumlah penduduk adalah 12 jiwa /km². Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2002 Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 95 kecamatan, 123
kelurahan, 1.183 desa dan 66 buah kedamangan. Dari ke 13 kabupaten tersebut, 7 kabupaten
sebagian wilayahnya bersentuhan dengan pesisir laut Jawa, sedangkan 6 kabupaten lainnya dan 1
kota berada di daerah dataran rendah, namun sedikit berbukit serta dilalui oleh aliran sungai-
sungai besar Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Mentaya, Sungai Arut,
Sungai Lamandau, dan lain-lain.
Hutan tropis dengan luas 134,937,25 atau mencapai 87,87% dari luas wilayah
Kalimantan Tengah sangat dikenal dengan hasil hutannya terutama kayu. Hutan inilah yang
menjadi sumber kehidupan bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman. kelompok
masyarakat yang tinggal di daerah pesisir relatif lebih mudah dijangkau bila dibandingkan
dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai. Di daerah
pesisir umumnya didominasi oleh etnis Melayu(Banjar, Bugis, dan Madura) yang berprofesi
sebagai nelayan. Sedangkan di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai didominasi oleh etnis
Dayak yang berprofesi sebagai petani peladang berpindah dan perambah hutan. Secara umum
kondisi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pedalaman serta hulu-hulu
sungai dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin(Gakin). Berdasarkan data dari Badan
Statistik Kalimantan Tengah 2006, jumlah Keluarga Miskin di Kalimantan Tengah mencapai
43,68 %. Dari data yang ada setiap tahunnya, misalnya sejak tahun 2001, angka keluarga miskin
selalu meningkat. Peningkatan yang mencolok yaitu tahun 2005 dan 2006. Hal ini kemungkinan
karena adanya BLT(SLT) dan Kompensasi BBM(KKB). Misalnya persentase Keluarga Miskin
selama 5 tahun terakhir adalah: 2001(28,35%); 2002(28,48%), 2003(31,61%), 2004(27,70%),
dan tahun 2005(41,58%)
Berikut data selengkapnya tentang angka kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006
Pada peta di atas tampak bahwa peta kemiskinan di Kalimantan Tengah berada pada urutan
nomor 04, satu kelompok dengan Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan
Sulawesi Selatan. Persentase kemiskinan yaitu antara 15-19 %. Persentase tersebut cukup tinggi
dan memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius untuk menyikapinya.
Di Kalimantan Tengah sendiri berdasarkan data BPS Provinsi Kalimantan Tengah, pada tahun
2006 keluarga miskin berjumlah 43,68% yang tersebar di berbagai kabupaten/kota se
Kalimantan Tengah. Untuk. Jumlah ini masih belum akurat karena sistem pendataan keluarga
miskin yang kurang akurat dan tergesa-gesa dan dibuat untuk keperluan pendistribusian Kartu
Kompensasi BBM. Jumlah keluarga miskin di Kalimantan Tengah bisa melebihi persentase
tersebut. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan tim peneliti Komunitas Adat
Terpencil(KAT) di beberapa Kabupaten sejak tahun 2001-2006. Berdasarkan hasil wawancara
dan pengamatan langsung di lapangan dapat dikatakan 80% masyarakatnya dikategorikan
sebagai keluarga miskin. Bertambahnya keluarga miskin ini, menurut keterangan masyarakatnya,
adalah sejak kegiatan Penebangan Liar(illegal logging) dilarang oleh pemerintah, sehingga
masyarakat seolah kehilangan mata pencaharian mereka yang menjanjikan. Banyak data menarik
di lapangan seperti rendahnya tingkat pendidikan, ikatan adat-istiadat, jumlah keluarga yang
besar, usia perkawinan muda, kebiasaan minum tuak/baram, dan tidak adanya kreativitas untuk
mencari terobosan di bidang perbaikan kehidupan ekonomi keluarga.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata telah membawa kemerosotan tingkat hidup
golongan miskin. Tak hanya itu, laju pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan yang semakin besar antara berbagai golongan penerima pendapatan.
Misalnya antara daerah perkotaan dan perdesaan, antara satu wilayah dengan wilayah lainnya
dan antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Banyak ahli ekonomi
berpendapat bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan pola pembagian pendapatan.
Contohnya, distribusi pendapatan di daerah perdesaan yang mayoritas penduduknya adalah
petani lebih merata dibandingkan dengan perkotaan. Penduduk perdesaan sebagian besar
berprofesi sebagai petani menderita kemiskinan yang lebih parah dibandingkan dengan
penduduk perkotaan, karena kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sambilan sangat terbatas.
Tidak dapat dipungkiri, penguasaan tanah oleh sebagian kecil kelompok masyarakat perupakan
salah satu faktor yang terkait dengan terjadinya kemiskinan. Selain itu, ada bermacam-macam
sumber yang menyebabkan orang miskin, misalnya kurangnya tanah subur sebagai sumber
penghasilan, jumlah keluarga yang besar, rendahnya tingkat pendidikan sehingga sulit untuk
mendapatkan pekerjaan, mudahnya berkembang rentenir dan sistem ijon, sistem adat-istiadat
yang mengikat, proses pembangunan yang terpusat di perkotaan, dan lembaga-lembaga
pembangunan di perdesaan belum berfungsi dengan baik.
4. Indikator Kemiskinan
Ada beberapa indikator yang bersifat kuantitatif untuk menentukan kemiskinan dalam
masyarakat, yaitu:
Pertama. Sajogyo(1982) menetapkan tingkat kemiskinan sebagai berikut: Nyaris cukup
pangan: apabila pendapatan perkapita pertahun setara dengan <240 kg beras di desa dan
< 360 kg beras di kota; Miskin sekali apabila pendapatan perkapita pertahun 240-360
kg di desa dan 360-540 kg di kota; Miskin apabila pendapatan perkapita pertahun 360-
480 kg di desa dan 540-720 kg beras di kota; Tidak miskin apabila pendapatan perkapita
pertahun di atas 480 kg beras di desa atau di atas 720 kg beras di kota.
Kedua. Biro Pusat Statistik(BPS) menentukan 14 kriteria Rumah Tangga Miskin, seperti:
luas rumah, lantai rumah, dinding rumah, fasilitas WC, penerangan, air bersih, bahan
bakar untuk memasak, konsumsi daging, pakaian, makan, sumber penghasilan, tingkat
pendidikan, dan tabungan.
Ketiga. BKKBN menyatakan bahwa orang miskin atau keluarga miskin apabila ia tidak
dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, seluruh keluarga tidak mampu makan
dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan
bepergian, tidak mampu untuk berobat di kala sakit, lantai rumah dari tanah.
Keempat. Bank Dunia menyatakan bahwa orang miskin apabila penghasilannya kurang
dari US$ 1/hari (sekitar Rp. 8,000/hari)
Kelima, untuk menghitung kemiskinan secara SUSENAS yakni berdasarkan kemampuan
dalam mengkonsumsi makanana, misalnya: mengkonsumsi sebesar 1.900 kalori perbulan
dikategorikanSANGAT MISKIN; 2100 kalori per bulan dikategorikan MISKIN, dan
2100 – 2300 kalori perbulan termasuk kategori HAMPIR MISKIN
Sedangkan yang bersifat kualitatif diajukan oleh Soekartiwi(1993) bahwa ciri-ciri orang
miskin ialah:
1. Nilai tukar produksi orang miskin rendah
2. Kualitas sumber daya yang dimilikI rendah
3. Produktivitas kerja rendah(rendahnya pendidikan, penguasaan teknologi dan informasi)
4. Modal terbatas
5. Tingkat pendapatan rendah, dan
6. Tingkat partisipasi terhadap pembagunan rendah.
Namun dari beberapa kriteria kemiskinan di atas belum ada yang secara gamblang
menyatakan tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Tentang penyebab kemiskinan ini perlu
dilakukan pengkajian lebih mendalam melalui penelitian ilmiah. Hal ini penting karena tiap-tiap
daerah dan tiap suku bangsa memiliki latar belakang penyebab kemiskinan yang berbeda.
Perbedaan ini pula sangat penting digarisbawahi untuk menentukan strategi pengentasan
kemiskinan dimaksud.
5.1. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan Struktural kemiskinan yang berpangkal dari keterbatasan sumber (alam,
manusia dan sarana prasana) yang saling pengaruh mempengaruhi. Keterbatasan sumber
ekonomi baik kualitas maupun kuantitas, membuat kurangnya sumber-sumber usaha produktif,
menimbulkan pengangguran yang terbuka dan terselubung. Rendahnya produktivitas dan
rendahnya pendapatan membuat rendahnya investasi di samping rendahnya kemampuan
memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.
Sebaliknya, rendahnya pendidikan dan kesehatan menyebabkan rendahnya pendapatan dan
seterusnya, maka semakin rumitlah lingkaran kemiskinan. Disamping itu kemiskinan struktural
juga disebabkan oleh struktur masyarakatnya yang berpengaruh pada pemerataan dan keadilan
dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Selanjutnya, berbagai kebijakan pembangunan dari pemerintah yang justru memiskinkan dan
memarjinalkan masyarakat, seperti pertambangan, kehutanan, perikanan, perkebunan,
transmigrasi dan lain-lain. Misalnya Revisond Baswir(1999) mengatakan bahwa kemiskinan
struktural adalah bentuk kemiskinan buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak
merata, kebijakan ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatatanan perekonomian
dunia yang cendrung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Faktor utama penyebab
kemiskinan struktural ini di Kalimantan Tengah adalah keterisolasian masyarakatnya dari
berbagai akses sosial, budaya, ekonomi dan politik. Keterisolasian tersebut disebabkan belum
tersedianya infrastruktur jalan darat. Masyarakat selama ini hanya mengandalkan transportasi
sungai dan laut yang memakan waktu cukup lama dan berbahaya. Faktor lainnya adalah akibat
kegiatan Illegal logging, Illegal Mining, Illegal Fishing, kegiatan pertambangan, dan perkebunan
kelapa sawit.Kemudian dominasi para tengkulak dalam pembelian hasil karet, rotan, hasil
penambangan tradisional, dan hasil nelayan. Faktor lainnya yang juga berpengaruh adalah
kurangnya tenaga penyuluh pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Akibatnya
masyarakat masih mengelolanya secara tradisional dan hasilnyapun kurang memuaskan bahkan
sering rugi dan tidak kembali modal.
5.2. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan yang bersifat kultural disebabkan karena masih terdapat sikap kurang
mandiri, kurang percaya terhadap birokrat, sikap apatis dan ciri-ciri negatif lainnya. Sikap
kurang mandiri, sikap kurang berani mengambil resiko, kurang kreatif dan inovatif, kurang
tahan/berani untuk bekerja keras membuat beban ketergantungan tinggi, membuat rendahnya
pendapatan di pedesaan dan akhirnya mengakibatkan kemiskinan. Kurangnya kepercayaan dan
kecurigaan terhadap birokrasi, sikap apatis dan ciri-ciri negatif lainnya, tercermin dalam
aksesibilitas pada program-program pembangunan, menyebabkan program pembangunan dan
upaya peningkatan taraf hidup di pedesaan kurang berhasil. Di samping itu kemiskinan secara
kultural juga disebabkan oleh mentalitas dan budaya masyarakatnya yang sulit berubah dan
diubah. Seperti Orientasi nilai budaya, bahwa kebanyakan masyarakat tradisional/pedesaan
masih berorientasi ke masa lalu dan masa kini. Orientasi nilai budaya demikian dipengaruhi oleh
budaya ekonomi subsisten. Seharusnya mereka memiliki oreintasi nilai budaya ke masa yang
akan datang sehingga ada upaya untuk rajin dan tekun untuk bekerja keras, rajin menabung, dan
memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup.
Kemudian sifat boros, malas, tidak disipilin, terlalu banyak santai, manja pada alam dan lain-lain
merupakan contoh lain penyebab kemiskinan kultural. Faktor penyebab kemiskinan kultural di
Kalimantan Tengah sudah tentu dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang mereka wariskan dari
nenek moyang mereka. Ketergantungan pada alam sangat tinggi dengan mengandalkan pertanian
dengan sistem perladangan berpindah di mana hasilnya dari tahun ketahun semakin menurun.
Kemudian terlalu banyak santai atau kurang kreatif memanfaatkan waktu luang, suka main judi
dan minum baram/tuak, tidak bisa menabung, berorientasi sistem nilai budaya ke masa lalu dan
masa kini, keluarga besar(banyak anak), rendah pendidikan, taraf kesehatan juga rendah, masih
terikat pada tradisi lama, ikatan keluarga besar, tersisih oleh kegiatan pembangunan, tidak
memiliki bakat berbisnis dan spekulasi, tidak bisa bersaing, budaya mengalah masih kuat, apatis
dan pasrah dan lain-lain.
5.3. Kemiskinan Natural
Dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek alam dan aspek alamiah fisik manusia. Aspek
alam yaitu bencana alam, lahan kritis, tanah longsor, banjir, tanah tandus, berbatu-batu, berpasir
sehingga lahan kurang mendukung untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Sedangkan dari
aspek alamiah fisik manusia, yaitu manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar manusiawinya
akibat cacat tubuh, sakit kronis dan menahun, serta dan lanjut usia. Di Kalimantan Tengah,
kemiskinan Natural(alamiah) lebih banyak disebabkan oleh semakin terbatasnya lahan
pertanian(ladang berpindah) oleh kegiatan HPH, Illegal Logging, pertambangan, perkebunan,
dan transmigrasi. Di samping itu kebun karet dan kebun rotan banyak dikorbankan untuk
perkebunan kelapa sawit. Di samping itu hutan tropis dan lahan gambut sebagai sumber mata
pencaharian hidup masyarakat setiap tahun, khususnya pada musim kemarau banyak yang
terbakar sehingga ikut memusnahkan kebun rotan, kebun karet, dan kekayaan fauna dan flora.
6. Kebijakan Pemerintah
Yang dimaksud dengan kebijakan pemerintah adalah berbagai bentuk kebijakan politis
dan pemerintahan, serta pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat sehingga
berakibat pemiskinan pada masyarakat. Sejak masa kolonial Belanda, Jepang, Pemerintahan
Orde Lama, dan Pemerintahan Orde Baru pada umumnya masyarakat lokal yang tinggal di
daerah, terisolasi dan jauh dari pusat pemerintahan masih belum menikmati hasil pembangunan
secara merata dan adil. Apa yang mereka rasakan adalah kepahitan dan kesengsaraan akibat
“pencurian” kekayaan SDA yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat selalu hidup
dalam kemiskinan. Beberapa contoh kebijakan pemerintahan Orde Baru adalah berupa sejumlah
undang-undang seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; Undang-
Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan; undang-undang No. 5
tahun 1960 tentang Agraria, Undang-undang No. 11 Tahun 1968 tentang pertambangan dan lain-
lain. Semua undang-undang ini tidak memihak pada masyarakat, namun sebaliknya
memiskinkan dan menyengsarakan masyarakat secara keseluruhan di seluruh pelosok tanah air.
Kekayaan SDA berkurang secara drastis, kawasan hutan untuk kegiatan pertanian dan perburuan
semakin menyempit dan kesuburan lahan menurun drastis, sungai dan danau sebagai sumber
ikan tercemar, hewan buruan di hutan berkurang, hutan dan tanah gundul, adat-istiadat dan
tradisi kearifan lokal masyarakatpun tergusur, dan lain-lain. Kasus illegal logging, dan illegal
mining, juga kebiasaan masyarakat seperti minum tuak/baram dan main judi, fluktuasi harga
rotan dan harga karet adalah beberapa contoh nyata yang memiskinkan dan menyengsarakan
masyarakat. Semua ini menghasilkan penderitaan dan kemiskinan bagi masyarakat. Kapankah
pemerintah mengentaskan mereka dari kemiskinan yang sungguh sangat kronis ini?
8. Penutup
Faktor penyebab kemiskinan beranekaragam. Oleh karenanya agak sulit bila
menggeneralisasikan faktor penyebab kemiskinan pada semua suku bangsa yang tersebar di
seluruh Indonesia. Demikian bila ingin merumuskan strategi pengentasan kemiskinan. Faktor
penyebab kemiskinan di Kalimantan Tengah, mungkin ada kesamaan dan mungkin pula banyak
perbedaannya bila dibandingkan dengan faktor penyebab kemiskinan di Kalimantan Timur,
misalnya. Namun demikian berbagai konsep dan teori tentang kemiskinan akan sangat
bermanfaat untuk memahami kemiskinan itu sendiri sebagai acuan untuk penyusunan kebijakan
dan program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan
secara adil dan meningkatkan kesejahtaraan hidup masyarakat. Pembangunan secara umum
dalam era Otonomi Daerah ini seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal(kearifan
lokal) agar program pembangunan yang dilaksanakan betul-betul sesuai dengan aspirasi dan
budaya masyarakat setempat dan pada akhirnya pembangunan itu akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pembangunan dalam era Otonomi Daerah adalah
meningkatkan partisipasi aktif seluruh masyarakat mulai dari perencaan, pelaksanaan, evaluasi
program, dan tindak lanjut program. Kemudian program pembangunan harus sinergi dengan
potensi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.
Program pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan di Kalteng
Tugas untuk memenuhi Mata Kuliah Sosiologi Pertanian
Oleh :
Kelompok III
AGROTEKNOLOGI-C
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2011