Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam rumah
sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga medis maupun
non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan
menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang
lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang
memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa,
sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, cermat untuk mencegah kematian
maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus
diklasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak
darurat dan meninggal.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien
berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma
abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen adalah organ-
organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada sistem
pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun
saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau
pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu memahami
penanganan kegawatdaruratan pada sistem pencernaan secara cepat,cermat dan tepat
sehingga hal-hal tersebut dapat kita hindari.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat agar mahasiswa dapat mengerti bagaimana mekanisme dan
penanganan trauma pada abdomen.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi lambung adalah mencampur makanan dengan cairan lambung seperti pepsin,
asam lambung mucus, dan intrinsic factor yang semuadnya disekresi oleh kelencaj di
sumbukosa. Asam lambung sendiri mempunyai pH 1. Sphincter pyloric mengkontrol
makanan bergerak masuk dari lambung ke duodenum.Usus halus dimulari dari sphincter
pyloric sampai dengan proximal usus besar. Sekresi dari pancreas dan hati membuat chime
2
menjadi tekstur yang semiliquid. Disini terjadi poses absorbsi nutrient dan produk-produk
lain. Segemen dari usus halus sendiri terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum
memiliki panjang 25 cm dan
diameter 5 cm. Usus besar memiliki panjang 1.5 m dengan bagian-bagian cecum, colon,
rectum
dan anal canal (anus). Sedangkan colon terdiri dari segmen colon ascenden, transversal,
descenden dan sigmoid. Fungsi primer dari usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit.
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen. Hati diperdarahi kurang lebih 1450 ml
permenit atau 29% dari cardiac output. Memiliki banyak fungsi yaitu pertama metabolisme,
karbohidrat (glycogensis => glucosa menjadi glycogen), (glycogenolysis => glycogen
menjadi glucosa), ( gluconeogenesis => pembentukan glukosa dari asam amino dan asam
lemak), metabloisme protein (sintesis asam-asam amino nonesential, sintesis protein plasma,
sintesis faktor pembekuan, pembentukan urea dari NH3 diman NH3 merupakan hasil akhir
dari asam amino dan aksi dari bakteria terhadap protein dikolon), detoxifikasi, metabolisme
steroid ( ekskresi dan conjugasi dari kelenjar gonad dan adrenal steroid). Fungsi ke dua
adalah sintesis bilirubin, fungsi ketiga adalah sistem pagosit mononuklear oleh sel kupffer
dimana terjadi pemecahan sel darah merah, sel darah putih, bakteri dan partikel lain,
memecah hemoglobin dari sel darah merah menjadi bilirubin dan biliverdin.
Pankreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin. Fungsi endokrin sel beta pankreas
mensekresi pankreas dan mempunyai fungsi regulasi level glukosa darah. Fungsi eksokrin
dimana kelenjar acini menghasilkan getah pancreas dimana enzyme pancreas itu lipase dan
amylase yang dikeluarkan ke usus halus. Empedu menghasilkan getah-getah empedu
sebanyak 30-60 ml dimana komposisi nya 80% air, 10% bilirubin, 4-5% phospholipid dan
1% kolesterol. Peritoneum merupakan pelindung dari hati, spleen, lambung, dan usus.
Memiliki membran semipermeabel, memiliki reseptor nyeri dan memiliki kemampuan
proliferative celuluar proteksi. Peritoneum permeabel terhadap cairan, elektrolit, urea dan
toksin.
Rongga peritoneum ini pada bagian atas dibatasi oleh diafragma, bagian bawah oleh
pelvis, bagian depan oleh dinding depan abdomen, bagian lateral oleh dinding lateral
abdomen dan bagian belakang oleh dinding belakang abdomen serta tulang belakang. Ketika
bernafas khususnya pada saat ekspirasi maksimal otot diafragma naik keatas setinggi kira-
kira interkostal ke 4 min klavikula (setinggi papila mamae pada pria) sehingga adanya trauma
thoraks perlu dicurigai adanya trauma abdomen pada sisi kiri hepar, dan sisi kanan pada lien.
Organ-organ di intra abdomen dibagi menjadi organ intra peritoneal dan organ ekstra
3
peritoneal. Organ intra peritoneal terdiri dari hepar, lien, gaster, usus halus, sebagian besar
kolon. Organ ekstra peritoneal terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, duodenum, rektum, vesika
urinaria, dan uterus (walaupun cenderung aman karena terlindung oleh pelvis). Sedangkan
dari jenisnya organ-organ di rongga abdomen ini dipilah menjadi organ solid (hepar dan lien)
dan organ berlumen (gaster, usus halus, dan kolon).
2.2 Defenisi
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu
trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya
gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya. Cedera pada organ padat terutama
limpa, hati dan mesenterium dapat menimbulkan perdarahan intraperitoneal manakala pada
organ berongga seperti usus halus dan colon dapat terjadi peritonitis progresif dalam
beberapa jam setelah trauma. Cedera organ retroperitoneal bisa bervariasi; kebanyakan
cedera pada ginjal dapat ditangani secara konservatif, sementara secara umum pada ruptur
pancreas memerlukan tindakan operasi. Cedera pada organ pelvis seperti rektum, vesika
urinaria dan urethra, juga memerlukan penanganan yang tersendiri.
2.3 Klasifikasi
Trauma abdomen dapat berupa :
2.3.1 Trauma tumpul
2.3.2 Trauma tajam
4
Secara umum, luasnya kerusakan organ tergantung pada kecepatan, arah dan besarnya
energi yang diberikan. Dinding abdomen : kontusio sering ditemui manakala hematoma pada
sarung rektus dapat terjadi dengan ruptur pada pembuluh darah akibat dari trauma yang
langsung atau kontraksi yang tiba-tiba dari otot rektus abdominis.
Organ intra-abdominal : organ padat seperti hepar, limpa dan ginjal sering disebabkan
oleh trauma abdominal tertutup karena organ-organ ini relatif terfiksasi, besar dan terpapar.
Perdarahan sering terjadi dan pada keadaan berat bisa jatuh ke shock hipovolemik. Usus
relatif mobile, oleh karena itu tidak mudah terjadi kerusakkan seperti organ-organ padat
kecuali pada daerah yang relatif terfiksasi seperti duodenum, plexura duedonojejunal, secum,
kolon asecendens dan plexura kolon. Apabila tubuh mengalami deselerasi akut sebagai
contoh pada kecelakan lalu lintas, organ-organ abdominal akan terus bergerak ke depan,
proses ini dapat melukai mesenterium dari usus halus dan besar. Peritonitis adalah gejala khas
dari ruptur organ-organ yang berrongga dan disebabkan oleh isi usus yang keluar dari bekas
robekkan atau defek yang lain yang terdapat di usus.
Tingkat mortalitas cedera pada organ-organ rongga lebih tinggi dari pada cedera organ-organ
padat disebabkan oleh peningkatan pada resiko infeksi. Resiko ini lebih besar dari pada
trauma kolon
5
2.3.2 Trauma tajam
Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada luka tembus abdomen, sebab
usus mengisi sebagian besar rongga abdomen. Trauma tembus dapat mengakibatkan
peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritoneal.
6
Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangssangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.
Bila perforasi terjadi bagian atas, misalnya dibagian lambung, maka akan terjadi
perangsangan segera setelah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat. Sedangkan bila
bagian bawah, seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen
karena perangsangan peritoneum.
Setelah pasien stabil yaitu airway, breathing dan circulation stabil baru kita lakukan
pemeriksaan fisik. Perlu diingat syok dan penurunan kesadaran dapat menimbulkan kesulitan
dalam pemeriksaan abdomen karena akan menghilangkan gejala perut. Jejas di dinding perut
menunjang terjadinya trauma abdomen.
7
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur untuk
mengetahui adanya cedera anorektal atau uretra, pemasangan kateter untuk mengetahui
adanya darah pada saluran kemih dan monitoring produksi urin. Pamasangan kateter perlu
dilakukan setelah dipastikan tidak terdapat cedera uretra dengan colok dubur, dan
pemasangan NGT untuk mengetahui adanya perdarahan saluran cerna bagian atas dan
dekompresi lambung.
2.4 Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra
abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai
penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu
organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium
cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri
spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis
umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu
tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak.
Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat
kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
8
2.5 Tanda dan Gaejala
Tanda dan gejala/manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen,
distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh,
nyeri spontan. Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya
terdapat adanya Jejas atau ruptur dibagian dalam abdomen: Terjadi perdarahan intra
abdominal. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah,
dan feses hitam (melena). Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam
setelah trauma. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding
abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
•Terdapat luka robekan pada abdomen
9
•Luka tusuk sampai menembus abdomen
•Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa perdarahan/memperparah keadaan keluar
dari dalam abdomen. Trauma Operasi Terjadi perforasi Lapisan abdomen
(kontusio,laserasi Menekan Syaraf.
Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan dari DPL
adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen. Indikasi untuk melakukan
DPL, antara lain:
Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt darah segar dalm BAB atau
sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) mengenai kolon atau usus
besar, dan apabila darah hitam terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma
non-penetrasi (trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui hasil
Diagnostic Peritonea Lavage (DPL), seperti adanya darah pada rektum atau pada saat
BAB.
Perdarahan dinyatakan positif bila sel darah merah lebih dari 100.000 sel/mm³
dari 500 sel/mm³, empedu atau amilase dalam jumlah yang cukup juga merupakan
indikasi untuk cedera abdomen. Tindakan selanjutnya akan dilakukan prosedur
laparotomi.
10
Kontraindikasi dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), antara lain:
Hamil
Pernah
perasi abdominal
Operator tidak berpengalaman
a. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk mengetauhi
jenis cedera ginjal yang ada.
2.7 Penatalaksanaan
11
memastikan apakah ada napas atau tidak, Selanjutnya lakukan pemeriksaan status
respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation,dengan Kontrol Perdarahan Hebat Jika pernapasan korban tersengal-
sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada
tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas.
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Charles FB, Andersen DK, Billiar TR, et al. Schwartz’s Manual of Surgery. The
http://irwanashari.blogspot.com/2009/12/kdpsptb.html
14