You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat melayu dalam
mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka.
Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang
yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan
anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan
kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan.
Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak – anak meliputi berbagai aspek kehidupan,
yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.

Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and
freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
(Barda Nawawi Arief,1998:155).

Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai 
dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak
dapat meliputi berbagai aspek, yaitu: (a) perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan
anak; (b)perlindungan anak dalam proses peradilan; (c) perlindungan kesejahteraan anak (dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial); (d) perlindungan anak dalam masalah
penahanan dan perampasan kemerdekaan; (e) perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi
(perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-
obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya); (f) perlindungan terhadap
anak-anak jalanan; (g) perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata; (h)
perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. (Barda Nawawi Arief, 1998:156)

Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum,
kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7)

Berdasarkan  prinsip non- diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa
terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal maupun
anak  yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari pemerintah dan
masyarakat dalam  memperoleh kesejahteraan tersebut.

Kondisi anak dewasa ini yang sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama
pemerintah dan masyarakat. Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini,
nampaknya masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak sedikit
anak yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak sedikit pula
anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga mengarah pada
bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian, pengrusakan, pencurian
bahkan bisa sampai pada  melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun
eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang
belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta  karena disebabkan pengaruh
lingkungan sosial di mana anak itu berada.(Gatot Supramono, 2000:4).

Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency) tidak dapat
dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa. Meskipun
pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik dan emosi anak masih
rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan
perlakuan yang tepat terhadap mereka.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang, sikap yang ditunjukkan
masyarakat dan pemerintah seringkali kurang arif. Anggapan atau stigma sebagai anak nakal
atau penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan dalam proses peradilan, mereka
kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak pelaku kejahatan
tersebut menjadi korban struktural dari para penegak hukum.

Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin terlaksananya


perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak dan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak.

Mengingat anak dipandang sebagai subjek khusus dalam hukum, maka peraturan perundang-
undangan tersebut memuat berbagai kekhususan tentang anak, yaitu kekhususan perlakuan
hukum terhadap anak baik sebagai korban maupun anak sebagai pelaku, baik dalam proses
pengadilannya hingga pada penjatuhan sanksi yang dikenakan dan lembaga pemasyarakatannya.

Kekhususan-kekhususan tertentu mengenai cara memperlakukan anak-anak pelaku kejahatan


dalam berbagai undang-undang, pada kenyataannya tidak menjamin tindakan para penegak
hukum dalam memperlakukan anak pelaku kejahatan secara arif dan bijaksana dengan
memperhatikan kondisi internal anak-anak dan pengaruh jangka panjang bagi masa depannya.

Dikatakan demikian, karena masih banyak penegak hukum yang kurang memperhatikan hak-hak
anak pelaku tindak pidana. Mereka kerapkali memperlakukan mereka sama dengan pelaku yang
sudah dewasa, semisal mereka diletakkan di Lembaga Pemasyarakatan yang sama dengan pelaku
dewasa umumnya tanpa mempertimbangkan ekses-ekses negatif yang timbul dari tindakan
tersebut.

RUANG LINGKUP

Perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana sama  pentingnya dengan perlindungan anak
sebagai korban. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penulis dalam makalah ini menfokuskan
pada kajian terhadap perlindungan anak dilihat dari 2 (dua) sudut pandang yakni anak sebagai
pelaku dan anak sebagai korban ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia dan Beijing Rules. Bahasan pertama mengenai kedudukan anak di mata hukum,
kemudian bahasan yang kedua adalah mengenai perlindungan yang diberikan hukum kepada
anak sebagai pelaku tindak pidana yang dikaitkan hukum pidana positif yang berlaku dan
Beijing Rules.

BAHASAN UTAMA

Pengertian Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional dan Hukum Pidana Positif
Indonesia

Terdapat banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai siapakah
yang disebut dengan ”anak” ini. Masing-masing definisi ini memberikan batasan yang berbeda
disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal 1 Children Rights Convention
(CRC) atau Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990,
mendefinisikan bahwa anak adalah:

“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang


yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (C.De Rover,
2000:369)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merumuskan dalam pasal 1
nomor 1 bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam
kandungan”

Di antara undang-undang yang lain, Undang-undang perlindungan anak ini lebih rigid dan
limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam kandungan
sebagai kategori anak juga.

Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak
disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin”.

Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1
bahwa:

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi
belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.

Dari beberapa perundang-undangan pidana Indonesia, penulis dapat menggarisbawahi tiga hal
yang signifikan, yaitu: (1) Batasan yang digunakan oleh masing-masing undang-undang yang
telah disebutkan di atas untuk memaknai siapakah yang disebut anak tersebut, umumnya
berdasarkan batasan umur; (2) KUHP sebagai peraturan induk dari keseluruhan peraturan hukum
pidana di Indonesia, sama sekali tidak memberikan batasan yuridis mengenai anak. Pasal 45
KUHP yang selama ini dianggap sebagai batasan anak yang dalam KUHP, sesungguhnya bukan
merupakan definisi anak, melainkan batasan kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap seseorang yang melakukan perbuatan sebelum berumur 16 (enam belas) tahun; (3) Dari
perundang-undangan pidana seperti yang telah disebut di atas, nampak adanya ketidakseragaman
definisi antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya dalam hal memaknai siapakah
yang disebut anak tersebut. Ketidak seragaman tersebut dilatarbelakangi dengan adanya
perbedaan tujuan dan sasaran dari masing-masing undang-undang tersebut. Meskipun tidak
dipungkiri, adanya perbedaan definisi ini akan menyulitkan para penegak hukum dalam
memberlakukan hukum yang sesuai terhadap anak.

Signifikansi Kedudukan Khusus Anak Di Mata Hukum

Sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya
mempunyai hak yang sama  dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum.

Prinsip kesamaan hak antara anak  dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan
ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu: Unsur internal pada diri anak, meliputi:
(a) bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa, artinya sebagai
seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dengan ketentuan
perundang-undangan; (b) Persamaan hak dan kewajiban anak. Maksudnya adalah seorang anak
juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh
ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum meletakkan
anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan
kewajiban-kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau
disebut sebagai subjek hukum yang normal. Sedangkan, Unsur eksternal pada diri anak,
meliputi: (a) Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the law), memberikan
legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untk berbuat peristiwa hukum;
yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat
perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak
yang bersangkutan; (b) Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul
dari UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. (Maulana Hassan Waddong, 2000:4&5).

Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di
mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus). Artinya,
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan hukum yang
diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak
dalam proses acara di pengadilan.

Menurut penulis, kedudukan istimewa (khusus) anak dalam hukum itu dilandasi dengan
pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya
belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga
disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai
generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum negara harus dilindungi,
dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri.

Dalam hal ini, Irwanto lebih menegaskan lagi bahwa kedudukan khusus anak di mata hukum
tidak terlepas dari prinsip-prinsip berikut ini:
Prinsip anak tidak dapat berjuang sendiri, Anak dengan segala keterbatasan yang melekat pada
dirinya belum mampu melindungi hak-haknya sendiri. Oleh karena itu, orang tua, masyarakat
dan negara harus berperan serta dalam melindungi hak-hak tersebut; Prinsip kepentingan
terbaik anak, bahwa kepentinganterbaik anak harus dipandang sebagai ‘paramount importance’
atau prioritas utama; Prinsip Ancangan Daur Kehidupan (life circle approach, harus terbentuk
pemahaman bahwa perlindungan terhadap anak harus dimulai sejak dini dan berkelanjutan;
Lintas Sektora, bahwa nasib anak sangat bergantung pada berbagai faktor makro dan mikro,
baik langsung maupun tidak langsung. (Muhammad Joni, 1999:106).

Perlindungan Anak Secara Umum

Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan
bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan
pendapat Age, yang  telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak  pada
hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. (Arief
Gosita, 1996:1). Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak
demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga,
maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan
bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga
sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat
dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai
kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan
kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).

Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat  hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pada umumnya, upaya  perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak
langsung, dan  perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung
di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari  sesuatu
yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau
mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar
dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan.(Arief Gosita, 1996:6)

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan
mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
(Arief Gosita, 1996:7)

Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri.
Objek dalam upaya perlindungan langsung  tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan
upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan
berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua
jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak,
kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua,
para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan
pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi:
perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan
dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang
sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40)

Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum. Menurut
Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak
asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak.(Barda Nawawi Arief, 1998:156)

Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum
perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2)
pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak;
(4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan. (Retnowulan, 1996:3)

Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP (telah
dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak).
Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal
297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang Nomor 4
tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk
mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya  peningkatan kesehatan dan
gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan
pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut
tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai
tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-
prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip non-
diskriminasi (non-discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak  (the best interest
of the child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan  (the right
to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati pandangan anak (respect to the views
of the child).(www.sekitarkita.com,2002)

Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif  KUHP,
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The Beijing Rules

Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan
hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari keseluruhan proses
peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi
prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for children).

Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing Rules)
dalam rule 5.1 bahwa:

“The juvenile  justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall ensure
that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumtances of both
the offender and the offence”.(Rule 5.1. SMR JJ dalam Muladi, 1992:112).

Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya peradilan
anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile),
Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem
peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi
yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum. (Muladi, 1992:113). Sedapat
mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam
peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For
The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda Nawawi Arief, 1996:13); (b)
Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua
ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti
memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak
janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi
semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.(Muladi, 19992:114)
Sebagai subjek hukum  yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan hukum
terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari
undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan
umum yang berlaku bagi setiap orang.

Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural yang
paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of
the charges); (b)Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk memperoleh
penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the
presence of a parent of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang
para saksi (the right to confront and cross-examine witness); (f) Hak untuk banding ke tingkat
yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher authority). (Muladi, 1992:117).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan terhadap anak,
dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai dari ketentuan-ketentuan
hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada prinsip-
prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b)
kepentingan terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
(d) penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam lingkup nasional, jaminan hukum  secara khusus yang diberikan kepada anak sebagai
pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The Beijing Rules.

Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-jaminan khusus bagi
anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi undang-undang peradilan
anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal ini,  terdapat beberapa
ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan anak, dan  mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the
best interest for children).

Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana (the
minimum age of criminal responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-undang
Peradilan Anak  menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke pengadilan
adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997). Meskipun sanksi yang
ditetapkan bagi anak usia 8 – 12 tahun hanya berupa tindakan, namun dengan batasan usia
minimal pertanggunjawaban pidana yang terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-
ekses negatif yang dirasakan anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan
akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak. Hal ini jelas merupakan
dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke persidangan, mengingat anak masih
terus tumbuh berkembang dalam masyarakat, sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan
terus dirasakan anak selama tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak
pengabaian prinsip terbaik bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya,
yakni KUHP. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal 45,
46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini jelas
akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait dengan anak
sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47 KUHP
saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III KUHP. Dengan tidak
adanya penegasan dalam Undang-undang Pengadilan anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan selain pasal 45, 46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak.
(Disarikan dalam Barda Nawawi Arief, 2005).

Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undang-undang Nomor 3 Tahun


1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan umum, Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum
yang diatur dalam peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undang-
undang yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II dan
Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus, recidive, dan
ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka aturan dalam
KUHP tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini
sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa ketentuan seperti yang disebutkan di atas,
terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya.

Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana pokok yang dikenakan
juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah jenis ataupun bobot pidana penjara
itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang menjadi pedoman bagi hakim untuk
melaksanakan sanksi pidana bagi anak.

Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai kewenangan hakim
untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan (seperti yang telah diatur dalam
The Beijing Rules, Rule 17.4)

Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya diatur
sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah sebagai
berikut:

Rule 17.1 :  (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan
keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b) pembatasan kebebasan/kemerdekaan
pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal
mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan
perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus
melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih
tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus
anak. Rule 17. 4 : Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan  untuk
menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain  hakim dapat
tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak. Rule 19.1: penempatan seorang anak dalam
lembaga Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last
resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan. (Barda Nawawi Arief, 1998:164-165).

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengatur prinsip-prinsip
yang diakui oleh The Beijing Rules di atas (terkhusus prinsip diversi), sehingga yang dapat
terjadi adalah hakim dapat sewenang-wenang dalam menerapkan pidana penjara terhadap anak,
tanpa memperdulikan kepentingan terbaik anak. Beberapa ketentuan yang cenderung tidak
memperdulikan bahkan merugikan anak, adalah ketentuan mengenai:

Ketentuan mengenai Pidana bersyarat.

Berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan khusus akan menyimpangi
aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
(sebagai lex specialis) akan menyimpangi (berlaku) ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a
hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis).

Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih melindungi
kepentingan anak sebagai pelaku  daripada Pasal 29 Undang-undang Peradilan Anak terkait
dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan (kelemahan) yang terdapat dalam formulasi
Pasal 29 tersebut adalah sebagai berikut: sebagai bentuk non-custodial measures dan strafmodus,
pidana bersyarat yang diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana penjara saja (tidak
diperkenankan untuk pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana tambahan lainnya).
Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang mensyaratkan pidana bersyarat
untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau pidana kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan
denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2 (dua) ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kesempatan untuk memperoleh pidana bersyarat bagi orang dewasa lebih besar daripada
kesempatan bagi anak. Ini jelas sangat diskriminatif, padahal prinsip yang seharusnya melandasi
setiap ketentuan untuk anak adalah “Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh tidak realistis
kiranya jika kesempatan untuk mendapatkan pidana bersyarat bagi anak yang seharusnya lebih
besar, menjadi  lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana
bersyarat untuk pidana kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis ketentuan
mengenai hal itu kembali lagi harus mengacu pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP
(kecuali pidana bersyarat dalam hal pidana penjara), padahal dalam hal ini KUHP tidak
mengenal pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan. Sehingga tetap saja tidak ada pidana
bersyarat untuk pidana tambahan “ Pembayaran Ganti Rugi”.

Ketentuan mengenai Pelepasan bersyarat

Permasalahan yang timbul dari ketentuan Pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan diberlakukan kepada
anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62 Undang-undang  Nomor 3 Tahun 1997, hal ini
dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak dicabut oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997; (b) Pasal
62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang “Pidana dan Tindakan”), tetapi
ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga Pemasyarakatan Anak”. Penempatan pasal pada
bab yang tidak semestinya ini, selain menyebabkan penafsiran yang berbeda mengenai
peruntukkan pasal tersebut, juga menyebabkan keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh
para aparat penegak hukum, sehingga seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan mengenai
pelepasan bersyarat dalam undang-undang yang dimaksud; (c) Ketentuan jangka waktu
percobaan pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  sangat
pendek jika dibandingkan dengan jangka waktu yang ditetapkan KUHP. Masa percobaan
pelepasan bersyarat  dalam KUHP (Pasal 15) adalah sisa waktu pidana penjara yang belum
dijalani ditambah satu tahun. Sedangkan, masa percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam
Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  adalah sama dengan sisa pidana yang harus
dijalankannya (tanpa penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga tidak masuk akal,
berdasarkan prinsip kepentingan terbaik anak, seharusnya kesempatan yang diberikan anak untuk
menjalani pelepasan bersyarat/pembebasan bersyarat lebih lama, dibandingkan kesempatan yang
diberikan kepada orang dewasa, bukan malah lebih dipersingkat sehingga peluang anak untuk
kembali menjalani pidana penjara lebih besar.

Ketentuan mengenai pidana Pengawasan

Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  pada
prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini merupakan jenis sanksi
baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  untuk perkara-perkara pidana
anak. Permasalahan yang muncul adalah mengingat KUHP tidak mengenal  pidana pengawasan,
maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  seharusnya mengatur pula mengenai aturan
pelaksanaannya (strafmodus). Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997  sama sekali
tidak mengaturkan aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang muncul
adalah kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak karena tidak ada
aturan pelaksananya.

Dari beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997  tentang Peradilan Anak belum cukup memberikan jaminan perlindungan
hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa dalam
beberapa hal (pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat) KUHP lebih memberikan jaminan
perlindungan bagi anak.

Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum dalam menangani perkara anak
seringkali keliru dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang, sehingga pada tataran
praktek yang muncul adalah ketidakadilan bagi anak.

Demi menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, degradasi mental dan
penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi  yang dapat
menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar,
maka dalam menangani masalah hukum dari anak-anak yang telah melakukan perilaku yang
menyimpang, para penegak hukum perlu memahami bahwa: (a) anak yang melakukan tindak
pidana (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat
sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi, 1992:115),
pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif
dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal ini harus dijadikan guiding factor
dalam penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat penulis kemukakan berdasarkan uraian pembahasan di atas
adalah sebagai berikut: (1) Anak dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis
dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain
itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak
sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum negara harus
dilindungi,  dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri; (2) Pada dasarnya,
Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak sebagai guiding factor dan
disertai prinsip proporsionalitas merupakan bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagi pelaku
tindak pidana. Dalam hal ini, secara yuridis-formil Undang-undang Pengadilan anak tidak cukup
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan. Terdapat
beberapa peraturan dalam undang-undang tersebut yang inkonsistensi dengan KUHP dan The
Beijing Rules, sehingga yang terjadi adalah secara tidak langsung terjadi pengabaian prinsip
kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR RUJUKAN

Arief, Barda Nawawi,  (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:  Citra Aditya Bakti.

————————, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,

Seminar Nasional Perlindungan anak, diselenggarakan UNPAD,Bandung: Hotel Panghegar,

———————,  (14-15 Maret 2005) Makalah “Perkembangan Sistem Hukum Pidana

di Indonesia, diselenggarakan di UBAYA, Surabaya: Hotel Hyatt

Gosita, Arief,  (5 Okober 1996) Makalah Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang
Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak,
diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.

————————, (2003) Disertasi “Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan

Anak Pidana Saran Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta: Program Pasca sarjana
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,

Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,

————————–, (5 Oktober 1996) Instrumen Internasional Perlindungan Hak

Anak, Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran.
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif

Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muladi, (1992) Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit alumni

Rover, C. De, (2000) To Serve And To Protect, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,

Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel
Panghegar.

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

Undang-undang terdiri atas:

KUHP

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

WWW.Sekitar Kita.Com

You might also like