You are on page 1of 28

Laporan Kasus

ANEMIA APLASTIK

Oleh

Jupri Sartika, S. Ked


I1A099039

Pembimbing

Dr. H. Hasni Hasan Basri, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN BANJARMASIN
Agustus, 2005
PENDAHULUAN

Anemia aplastik bukan penyakit tunggal, tetapi suatu kelompok penyakit yang

berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan ketiga tipe sel

darah yaitu : sel darah merah, sel darah putih dan platelet 1. Pengurangan jumlah sel

darah merah menyebabkan rendahnya kadar Hb dalam darah tepi, sel darah putih

yang berkurang jumlahnya menyebabkan pasien mudah terkena infeksi, pengurangan

pembentukan platelet menyebabkan darah sukar membeku 2.

Anemia aplastik adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai

dengan pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang 3. Aplasia yang hanya mengenai

sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanya

mengenai sistem granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit Schultz)

sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariositik

trombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini 4.

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,

berkisar antara 2 sampai 6 juta kasus persejuta penduduk pertahun. Penelitian The

International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an

menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2 kasus persejuta penduduk. Perjalanan

penyakit pada pria juga lebih berat daripada wanita. Perbedaan umur dan jenis

kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis

mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan 5.


Pemeriksaan penunjang pada anemia aplastik berupa pemeriksaan darah rutin,

pemeriksaan darah tepi (blood smear) dan pemeriksaan BMA (Bone Marrow

Aspiration) 6.

Terapi anemia aplastik dapat dibagi menjadi terapi primer dan terapi suportif.

Terapi primer secara umum terdiri dari transplantasi sumsum tulang dan terapi

imunosupresif. Terapi suportif berupa transfusi sesuai dengan sel hemopoetik yang

dibutuhkan 7.

Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus anemia aplastik pada seorang anak

laki-laki berumur 11 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Ulin Banjarmasin.
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. D

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir : Marabahan, 22 Januari 1994

Umur : 11 tahun

B. Identitas Orangtua

Ayah Ibu

Nama : Tn. Nor Anwar Nama : Ny. Tina

Umur : 40 tahun Umur : 34 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Tata Usaha Puskesmas Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Anjir Km. 21

II. ANAMNESIS

Pasien rujukan dari dr. Gladys Gunawan, Sp.A dengan diagnosis anemia

aplastik. Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 26 Juli 2005

pukul 14.00 WITA.

a. Keluhan Utama
Pucat dan lemas

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 25 hari yang lalu anak tampak pucat dan lemas. Pucat terutama terlihat

didaerah bibir, telapak tangan dan kaki. Sebelum masuk rumah sakit, pada kulit

anak sering timbul bintik-bintik perdarahan dan dada berdebar. Oleh kedua orang

tuanya anak dibawa ke rumah sakit TPT dan dilakukan cek darah dan BMP. Anak

mendapat transfusi PRC 4 kantong dan trombosit 4 kantong waktu dirawat di

rumah sakit TPT. Setelah mendapat 4 kali transfusi dan dirawat kira-kira 21 hari

di RS TPT anak kemudian langsung dirujuk ke RSU Ulin. Pada saat dirujuk ke

Rumah Sakit Ulin anak masih dalam keadaan pucat dan lemah.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada tanggal 6 juli 2005, anak pernah mendapatkan transfusi darah karena

anemia aplastik.

d. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

1. Riwayat Antenatal

Ibu rajin periksa kehamilan ke Puskesmas dan sudah mendapat suntikan TT 2

kali, selama kehamilan ibu penderita tidak pernah sakit, tidak pernah minum

obat-obatan tertentu, makan dan minum seperti biasa dan tidak pernah terkena

radiasi atau bahan kimia.

2. Riwayat Natal

Lahir spontan ditolong oleh bidan di rumah sakit, berat badan lahir, nilai

APGAR, panjang badan lahir dan lingkar kepala lahir ibu lupa.
3. Riwayat Neonatal

Anak lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan

kemerahan. Selama periode ini penderita tidak pernah sakit.

e. Riwayat Perkembangan/Pertumbuhan

Keluarga lupa kapan penderita dapat tiarap, merangkak, duduk dan berdiri.

Anak sudah dapat berjalan sejak umur 12 bulan. Menurut ibu, pertumbuhan anak

tidak jauh berbeda dengan teman sebayanya. Perkembangan penderita seperti

membaca, menulis dan prestasi sekolahnya sesuai dengan umur anak seusianya.

f. Riwayat Imunisasi

Nama Dasar (Umur dalam hari/bulan) Ulangan


(Umur dalam bulan)
BCG 2 -
Polio 2 3 4 5 -
Hepatitis B 3 4 5 -
DPT 2 3 4 -
Campak 9 -

g. Riwayat Makanan

Penderita mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai 6 bulan, PASI sejak

usia 6 bulan berupa susu kadang diselingi dengan buah-buahan dan bubur nasi.

Penderita tidak pernah mengalami gangguan dalam pola makan, saat ini penderita

tidak mengalami perubahan nafsu makan. Frekuensi makan 3 kali sehari dengan

menu nasi, sayur dan ikan.


h. Riwayat Keluarga

Tidak ada dikeluarga yang menderita penyakit seperti penderita. Tidak ada

riwayat penyakit asma, darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan

dikeluarga.

Ikhtisar Keluarga :

Keterangan :

= perempuan

= laki-laki

= penderita

Susunan Keluarga

No. Nama Umur L/P Keterangan


1. Tn. S 42 L sehat
2. Ny. E 43 P sehat
3. An. D.N 15 P sehat
4. An. D 11 L sehat

i. Riwayat Psikososial

Anak tinggal serumah dengan ayah ibu dan kakaknya dalam rumah permanen,

ventilasinya baik, air minum, mandi, cuci dan minum sehari-hari berasal dari

PDAM. Rumah penderita ada dalam kompleks perumahan

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : tampak pucat

b. Kesadaran : komposmentis, GCS 4-5-6

c. Tanda vital

Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 96 kali/menit, kualitas kuat

Suhu : 35,6 °C

Respirasi : 24 kali/menit, teratur

Berat Badan : 28 Kg (79% standar BB/U)

Tinggi Badan : 128 cm (89 % standar TB/U)

d. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada sianosis, tidak

ditemukan hemangioma, tidak ditemukan hematom/purpura/

ekimosis di bawah kulit, turgor cepat kembali, kelembaban

cukup, kulit tampak pucat.

e. Kepala/leher

Kepala : Bentuk kepala simetris, ukuran mesosefali, ubun-ubun besar

datar, ubun-ubun kecil sudah menutup.

Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak

terdapat alopesia.

Mata : Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah

dicabut dan tidak mudah rontok, konjungtiva anemis, sklera

tidak ikterik, produksi air mata cukup, pupil berdiameter 3

mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih.


Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada secret, serumen minimal,

nyeri tidak ada.

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat

pernapasan cuping hidung, tidak terdapat epistaksis, kotoran

hidung minimal.

Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, bercak darah

(-). Gusi tidak berdarah dan tidak bengkak. Bibir tampak

anemis.

Lidah : Bentuk simetris, anemis, tidak tremor, tidak kotor, warna

merah keputihan.

Pharing : Tidak tampak hiperemis, tidak edema, tidak ada abses, tidak

ada pseudomembran.

Tonsil : Warna merah muda, tidak membesar, tidak ada

abses/pseudomembran.

f. Leher : Pada vena jugularis tidak teraba pulsasi, tekanan vena

jugularis tidak meningkat, pembesaran kelenjar leher tidak

teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada,

tortikolistidak ditemukan.

g. Toraks

1. Pulmo

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada


Pernapasan: Inspirasi dan ekspirasi normal, frekuensi 24 kali/menit,

teratur

Palpasi : Pergerakan napas dada simetris, fremitus fokal simetris

kanan dan kiri

Perkusi : Suara ketok sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing

2. Cor

Inspeksi : Tidak terlihat adanya vousseure cardiaque, pulsasi dan ictus

Palpasi : Tidak teraba adanya thrill, apeks tidak teraba

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS kanan

Batas kiri : ICS V LMK kiri

Batas atas : ICS II LPS kanan

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak terdapat bising, tidak ada takikardia,

frekuensi 96 kali/menit, reguler

h. Abdomen

Inspeksi : Bentuk cembung, simetris

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba (tidak ada organomegali), tidak

ditemukan massa

Perkusi : Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites

Auskultasi : Bising usus (+) normal

i. Ekstremitas
Umum : Akral hangat, tidak edema, tidak ada parese, kedua telapak

tangan dan kaki tampak pucat

Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi,

tidak didapatkan klonus, reflek fisiologis tidak meningkat,

reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal. Tanda

rangsangan meningeal tidak ada

j. Susunan saraf : Dalam batas normal

k. Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Pemeriksaan genitalia tidak

didapatkan adanya kelainan

l. Anus : Positif, tidak ada kelainan

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

06 Juli 2005

Hematologi

Hb : 2,8 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%)

Leukosit : 2100/µL (normal : 4700 – 10.500 µL)

Hematokrit : 7,8% (normal L : 40-50%; P : 35-45%)

Retikulosit : 0,04%  corrected (normal : 0,5-1,5%)

Nilai absolut : 312/µL (normal : 25.000-75.000)

Trombosit : 5.000/µL (normal : 150.000-350.000)

WBC : 2,1 x 103/µL RBC : 0,78 x 106/µL

Lymph : 1,4 x103/µL HGB : 2,8 g/dL


Mid : 0,2 x103/µL HCT : 7,8%

Gran : 0,5 x 103/µL MCV : 100,8 fL

MCH : 35,8 pq RDW-SD : 65,8 fL

MCHC : 35,8 g/dL PLT : 5 x 103/µL

RDW-CV : 18,,4 %

Apusan Darah Tepi

Eritrosit : normokromik normositik, anisositosis

Leukosit : kesan Σ menurun, sel muda (-), limfositosis relatif

Trombosit : kesan jumlah sangat menurun

Kesan : pansitopenia

Saraf : BMA

13 Juli 2005

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Sediaan dipulas : Wright

Partikel : ada

Kepadatan sel : kurang

Sel lemak : banyak

Trombopoesis : menurun, megakaryosit tidak ditemukan

Hitung Jenis ∑ (%) Total (%) Nilai normal (%)


Blastosit - 0,3-5,0
Premielosit - 1,0-8,0
Mielosit 3,5 5,0-19,0
Metamielosit 4,0 21,0 13,0-32,0
Batang 6,0 10,0-30,0
Segmen 7,0 10,0-30,0
Basofil - 0,0-0,7
Eosinofil 0,5 0,5-4,0

Rubriblas - 0,2-0,6
Prorubrisit - 1,4-2,0
Rubrisit - 8,0-21,0
Metarubrisit - 1,0-3,0
Limfosit 75,5 3,0-17,0
Monosit 1,0 0,5-5,0
Plasmosit 2,5 0,1-2,0
Histiosit -
Sel eritrosit -
Berinti > 1
Sel tidak dikenal

Kesan : Sumsum tulang hiposeluler dengan aktivitas semua sistem

tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel-sel lemak.

Kesimpulan : Anemia aplastik

22 Juli 2005

Hb : 9,2 gr% HCT : 25,2%

Leukosit : 1800/µL MCV : 85,6 fL

Trombosit : 23.000/µL MCH : 36,5 g/dL

WBC : 1,8 x 103/µL RDW-CV : 13,6%

Lymphosit : 1,4 x 103/µL 75,4% RDW-SD : 43,2 fL

Mid : 0,1 x 103/µL 7,6% PLT : 23 x 103/µL

Gran : 0,3 x 103/µL 17,0% MPV : 12,7 fL

RBC : 2,95 x 106/µL PDW : 17,1

HGB : 9,2 g/dL PCT : 0,02 gr%


26 Juli 2005

WBC : 3,56 x 103/µL RDW-SD : 33,8 fL

RBC : 3,16 x 106/µL RDW-CV : 12,4 %

Hb : 9,0 g/dL Neutrofil : 0,17 x 103/µL 4,8%

HCT : 26,0 % Lymphosit : 3,03 x 103/µL 85,1%

MCV : 82,3 fL Monosit : 0,35 x 103/µL 9,8%

MCH : 28,5 pq Eosinofil : 0,00

MCHC : 34,6 g/dL Basofil : 0,01 x 103/µL 0,3%

PLT : 4 x 103/µL

2 Agustus 2005

WBC : 3,94 x 103/µL RDW-SD : 34,8 fL

RBC : 3,61 x 106/µL RDW-CV : 12,5 %

Hb : 10,1 g/dL Neutrofil : 0,33 x 103/µL 4,8%

HCT : 29,0 % Lymphosit : 3,36 x 103/µL 85,1%

MCV : 80,3 fL Monosit : 0,24 x 103/µL 9,8%

MCH : 28,0 pq Eosinofil : 0,00

MCHC : 34,8 g/dL Basofil : 0,01 x 103/µL 0,3%

PLT : 4 x 103/µL

Tanggal 8 Agustus 2005

WBC : 1100/µL tes widal:

Salmonella Typhi O 1/40

RBC : 2,98 x 106/µL Salmonella Typhi H 1/40


Hb : 8,3 g/dL Salmonella Paratyphi AO 1/160

HCT : 23,2 % Salmonella Paratyphi BO 1/40

MCV : 80,3 fL Salmonella Paratyphi AH 1/40

PLT : 31 x 103/µL

Pemeriksaan urine:

Leukosit 0-2/Lpb

Eritrosit banyak /Lpb

Tanggal 9 Agustus 2005

Foto thorax : tidak terdapat kelainan di paru-paru

Tanggal 12 Agustus 2005

WBC : 0,52 x 103/µL RDW-SD : 34,8 fL

RBC : 3,77 x 106/µL RDW-CV : 13,1 %

Hb : 10,7 g/dL Neutrofil : -

HCT : 30,1 % Lymphosit : 0,36 x 103/µL 73,1%

MCV : 79,8 fL Monosit : 0,09 x 103/µL 9,8%

MCH : 28,4 pq Eosinofil : 0,00

MCHC : 35,5 g/dL Basofil : 0,00

PLT : 4 x 103/µL

WBC : 3,94 x 103/µL

RBC : 3,61 x 106/µL

Tes Widal (-)

CRP (-)
Tanggal 13 Agustus 2005

Malaria (-)

5. RESUME

Nama : An. D

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 11 tahun

Berat Badan : 28 kg

Keluhan Utama : Pucat dan lemas

Uraian : Sejak 25 hari yang lalu penderita pucat dan lemas, terdapat

tanda anemia, terdapat tanda perdarahan di kulit, tidak terdapat

tanda infeksi, tidak terdapat kelainan jantung.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : tampak pucat

Kesadaran : komposmentis (GCS 4-5-6)

Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 96 kali/menit, kualitas kuat

Suhu : 35,6 ºC

Pernafasan : 24 kali/menit, teratur

Gizi : sedang (79%)

Kulit : anemis, purpura (-)

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva anemis


Hidung : tidak ada epistaksis

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : bibir anemis

Lidah : merah mudah

Leher : tidak ada kelainan

Toraks : tidak ada kelainan

Abdomen : tidak ada kelainan

Ekstremitas : telapak tangan dan kaki anemis

Susunan saraf : tidak ada kelainan

Genitalia : tidak ada kelainan

Anus : tidak ada kelainan

6. DIAGNOSA

a. Diagnosa Banding

Anemia aplastik

ITP

Leukemia

b. Diagnosa Kerja

Anemia aplastik

c. Status Gizi

Sedang (79%)
7. PENATALAKSANAAN

IVFD KAEN I B 6-8 tetes/menit

IV : Ampicillin 3 x 500 mg

Oral : Medol 3 x II tab

Imbrost 2 x cth II

Transfusi WB 250 cc

Predexa ½ ampul + lasix 20 gr

8. USUL DAN SARAN

Foto torak

9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

10. PENCEGAHAN

Pencegahan infeksi sekunder dan trauma serta menghentikan paparan terhadap

insektisida

PEMBAHASAN
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah

dalam darah tepi, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam

sumsum tulang. Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik,

granulopoetik dan trombopoetik. Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga

mengalami aplasia, tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem

hemopoetik lainnya4,8.

Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika

Serikat memiliki angka kejadian 2 : 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik lebih

sering terjadi di Asia, angka kejadian di Bangkok adalah 4 : 1.000.000 penduduk,

angka kejadian di Thailand adalah 6 : 1.000.000 penduduk dan angka kejadian di

Jepang 14 : 1.000.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Asia berkaitan dengan

lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi1,7,9.

Anemia aplastik dapat terjadi pada segala umur1,7. Kecuali jenis kongenital,

anemia aplastik biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun.

Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah

tetapi berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan terlihat

pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol

yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan

gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Di samping itu pada

beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan

agen penyebabnya4.
Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar 5%

etiologi berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-15%

berhubungan dengan obat-obatan 6,9.

Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi menjadi:4

a. Faktor kongenital

Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,

strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.

b. Faktor didapat

1. Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb

2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),

santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate, TEM, vincristine,

rubidomycine dan sebagainya)

3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif

4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain

5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya

6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering

Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi

setelah anak berumur 11 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan

riwayat penyakit keluarga. Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak

tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke atas. Lingkungan

jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau bahan
sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang serupa,

karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan idiopatik.

Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum

tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta

aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit

kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi

dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung.

Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau timbulnya

petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya

infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik

atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak

terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.

Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial

akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan

fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat

kondisi pasien saat ini.

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan tanpa

organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis

relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang yaitu gambaran

sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem

eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang


sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel

endotel)4.

Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu

penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia

berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya

organomegali.

Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan

granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan

penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami penurunan jumlah.

Dari pemeriksaan BMA didapatkan sumsum tulang hiposeluler, aktivitas semua

sistem tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel lemak.

Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah

rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis

leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood

smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas dapat

disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.

Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi

suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada

pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka

kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik

yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi penolakan

maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin dan


siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah

pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.

Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:

1. Prednison dan testosteron

Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan

testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral.

Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon

yang mempunyai daya anabolic dan merangsang sistem hemopoetik lebih kuat

dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan biasanya

berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun. Bila telah

terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah diawasi

setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh

kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan

oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik,

kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang

remisi terlihat pada sistem granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem

eritropoetik dan trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan

indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah

tercapai bahaya perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknya

dipulangkan dari rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-

100.000/mm3.
2. Transfusi darah

Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar

hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering,

akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya

reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi darah gagal

karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat

timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan demikian transfusi darah

hanya diberikan bila diperlukan.

3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder

Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalm ruangan

yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak

menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.

4. Makanan

Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak.

5. Istirahat

Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.

Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi

sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang

baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana dan

prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapi

imunosupresif yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan pemberian

kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan prednison
ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari BMA.

Sekitar 12 hari setelah diagnosis ditegakkan dengan BMA anak kemudian diberi

pengobatan imunosupresif berupa metilprednisolon, kemudian tanggal 4 Agustus 205

setelah dikonsulkan dengan dr. Pudji Andayani, Sp.A, anak mendapatkan terapi

Donazol. Pemberian metil prednisolon direncanakan sampai 7 hari. Pemberian

Donazol direncanakan sampai 180 hari. Terapi imunosupresif dilakukan pada anak ini

dengan alasan agar terjadi perbaikan pada sumsum tulangnya. Pemeriksaan ulang

sumsum tulang dilakukan ± 1 bulan setelah terapi dilakukan utuk mengetahui respon

sumsum tulang terhadap obat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan

prognosis dari penyakit anak.Terapi suportif yang diberikan adalah transfusi sesuai

kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan terapi

primer. Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa transfusi darah karena

keadaan umum penderita baik dan dilanjutkan dengan program pemberian

imunosupresif.

Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap

respon imun humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas

yang jelas terlihat ialah pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun

selular, glukortikoid menghambat efek MIF sehingga makrofag dibebaskan dari

jeratan disekitar tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari

kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid

sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi10.


Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednisone

dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi,

gangguan cor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih

kortikosteroid yang efek mineralokortikoidnya sedikit atau tidak ada, terlebih-lebih

bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi 11.

Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau

seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah

hasil pemeriksaan BMA. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg%, jumlah

granulosit lebih dari 2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat dikendalikan maka

prognosis akan lebih baik4.

Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik adalah infeksi sekunder

seperti bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi perdarahan otak dan abdomen 4.

Penyebab kematian pada anak ini diduga adalah terjadinya perdarahan spontan pada

otak dan abdomen. Penyebab terjadinya perdarahan spontan pada anak adalah adanya

trombositopenia. Selain itu produksi semua komponen darah yang tertekan

mempercepat terjadinya proses kegagalan kompensasi tubuh dalam perfusi organ-

organ vital sehingga kematian terjadi.


PENUTUP

Demikian telah dilaporkan suatu laporan kaus anemia aplastik pada seorang

anak laki-laki berumur 11 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD Ulin

Banjarmasin. Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala anemia,

granulositopenia dan trombositopenia ringan tanpa adanya organomegali serta

pansitopenia pada pemeriksaan darah rutin dan blood smear. Diagnosa pasti

ditegakkan dengan BMA. Etiologi diduga adalah idiopatik. Selama dirawat diberikan

terapi suportif berupa transfusi dan direncanakan terapi imunosupresif dengan

kortikosteroid. Selama dirawat keadaan anak sempat membaik, kemudian perlahan-

lahan kembali memburuk dan akhirnya meninggal akibat perdarahan setelah dirawat

selama 26 hari di RSU Ulin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004. Dari URL:
http://www.medical center.com/

2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland,


2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/
3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2004. Dari URL:
http://www.emedicine.com/

4. Hasan R, Alatas H ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Buku I, 1985;
Jakarta.

5. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001;
Jakarta.

6. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2004.
Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/

7. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and


Guide, 2005. Dari URL: http://www.cancer.org/

8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine,


2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/

9. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/

10. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi
4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.

11. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang


Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Editor :
Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta hal 316

You might also like