You are on page 1of 16

TUGAS HUKUM PERS

KEMERDEKAAN PERS

Disusun Oleh
Irfan Maulana Shidiq E1A009151
Ahmad Syaikhu E1A009089
Marno E1A009103
Riyan Basyir Pratama E1A009037
Haris Novianto Wibowo E1A009078

Kementerian Pendidikan Republik Indonesia


Universitas Jenderal Soedirman
Fakultas Hukum
2011
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. i


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah pers…………………………………………………………. 2
1) Pengertian ………………………………………………….. 2
2) Sejarah Pers Indonesia……………………………………… 2
a) Di zaman penjajahan Belanda………………………. 3
b) Di Zaman Pendudukan Jepang………………………4
c) Pers Indonesia menjelang kemerdekaan……………. 5
B. Perkembangan pers…………………………………………….…… 6
1) Sebelum orde reformasi……………………………….……..6
2) Sesudah orde reformasi……………………………….……..7
C. Makna kemerdekan pers ……………………………………………8
D. Polemik pers saat ini………………………………………………...10
BAB III KESIMPULAN…………………………………….……………13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini pers mengalami perjalanan yang cukup panjang dari masa ke
masa. Kemajuannya yang sangar signifikan terutama dalam hal media yang
dipakai oleh pers. Hal ini diimbangi dengan kemajuan teknologi, mulai media
audio, visual, cetak, sampai elektronik, sehingga makna dari pers menjadi lebih
luas. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda.
Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai
alat perjuangan.

Dengan adanya UU yang mengatur pers para wartawan mendapat


perlindungan dalam bertugas. Pada saat ini pers juga sudah mulai di akui
eksistensinya didalam independensi pers. Dengan ini seharusnya pers tidak dapat
di intervensi oleh kepentingan golongan ataupun politik. Namun senyatanya tidak
demikian sehingga membuat wajah retak media.

B. Perumusan Masalah
Setelah melihat latar belakang dapat kita rumuskan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini.
1. Bagaiamana sejarah pers di Indonesia?
2. Bagaimana Perkembangan pers sebelum orde reformasi dan sesudah orde
reformasi?
3. Bagaiamana memaknai kemerdekan pers di Indonesia?
4. Apakah polemik/permasalahan pers saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERS
1) Pengertian Pers
Pers sangat erat kaitannya dengan hal jurnalistik, tetapi pers berbeda
dengan jurnalistik. Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah
sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik
menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media.
Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses kegaitan mencari, menggali,
mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media
berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-
luasnya dengan secepat-cepatnya.
2) Sejarah Pers Indonesia
Sejarah pers di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu
sejarah pers nasional, sejarah pers kolonial, dan sejarah pers Cina.
Pers Nasional adalah diusahakan oleh orang-orang Indonesia, biasanya
oleh kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini kaum perintis
kemerdekaan dan bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa
penjajahan.
Pers Kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat-surat
kabar, majalah-majalah dalam bahasa Belanda, daerah atau Indonesia dan
bertujuan untuk membela kepentingan kaum kolonialis Belanda dan kadangkala
mengkritik pemerintah.
Pers Cina berbentuk koran-koran, majalah-majalah dalam bahasa Cina,
Indonesia dan juga bahasa Belanda, yang diterbitkan oleh kaum Cina.
Jadi, keadaan pers di Indonesia di masa penjajahan, memang sesuai
dengan keadaan masyarakat, di mana ketiga golongan penduduk tersebut
mencerminkan situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan.1 Tetapi dalam uraian-uraian dalam bab ini
hanya akan dibahas tentang sejarah pers Nasional.

1
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, P.T Triyinco, Jakarta, 1977, hlm. 17-18
Agar diperoleh sejarah pers akan dimulai dengan keadaan pers Indonesia
semasa penjajahan Belanda.
a) Di zaman penjajahan Belanda
Tentang pers kolonial adalah sama tuanya dengan bercokolnya kaum
kolonialis Belanda di Indonesia.
Dalam tahun 1615, atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian
dalam tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal Belanda pertama di Indonesia,
diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa surat kabar pertama Indonesia adalah suatu
penerbitan pemerintah (V.O.C)
Pada tanggal 14 Maret 1688, setelah tibanya mesin cetak pertama di
Indonesia dari negeri Belanda, atas instruksi pemerintah diterbitkan surat kabar
tercetak yang pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan
perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.
Kemudian pada tahun 1744, Jordens, seorang pegawai bagian pembelian
V.O.C menerbitkan “Bataviasche Nouvelles”, Koran ini terdiri dari selembar
folio dan terbit setiap hari Senin. Lalu, tahun 1775, Dominicus, seorang Belanda
setelah ia mendapat izin menerbitkan suatu majalah, ia menerbitkan
“Vendunieuws”.
Vendunieuws bertahan dan berganti nam menjadi “Bataviasche Koloniale
Courant”. Tetapi pada Tahun 1811 Indonesia jatuh ke tangan Inggris, maka “De
Bataviasche Koloniale Courant” menjadi mati dan berganti nama menjadi “The
Java Goverment Gazette”.
Kemudian dengan kembalinya Belanda berkuasa di Indonesia dalam tahun
1816, maka lenyaplah “The Java Goverment Gazette”, kemudian diganti dengan
“De Bataviasche Courant”. Kemudian disusul koran “De Javaschge Courant”,
yang terbit tanggal 1 Januari 1845.
Dalam tahun 1851, di Jakarta diterbitkan oleh Bruining koran harian yang
pertama yaitu “Het Bataviaasch Advertentieblad” dan dalam tahun berikutnya
(1852), terbitlah harian “De Java Bode” yang terbit di Jakarta dan “De
Locomotief” yang terbit di Semarang. Dalam tahun 1853 di Surabaya terbit “Het
Soerabajasch Handelsblad”. Kemudian terbitlah harian-harian lain, seperti “Het
Algemeen Indisch Dagblad” di Bandung, “Het Bataviaasch Nieuwsblad” (terbit
dalam tahun 1855).

b) Di Zaman Pendudukan Jepang


Dengan pecahnya perang Pasifik yang dimulai pihak Armada Jepang pada
tanggal 8 Desenber 1941 dengan pemboman Pearl Harbour oleh pesawat-pesawat
udaranya, sampai pendaratan tentara Jepang di Indonesia, surat-surat kabar
Indonesia masih terbit.2
Pada awal kedatangan Jepang, bangsa Indonesia memberi simpati kepada
Jepang. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia berharap bahwa bangsa Jepang
akan memberikan kemakmuran dan perbaikan bagi bangsa Indonesia. Tetapi
setelah 1 bulan menduduki Indonesia, simpati itu berubah menjadi kekecewaan.
Pers pada zaman Jepang dipaksa untuk menjadi satu demi untuk
memuluskan rencana Jepang dalam “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur
Raya. Surat kabar yang lahir semata mata menjadi alat pemerintahan Jepang
adalah “Asia Raya” di Jakrta, “Sinar Baru” di Semarang, “Suara Asia” di
Surabaya, “Tjahaja” di Bandung serta di kota-kota besar lainya seperti Makassar,
Medan, Padang, dll.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai,
sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja
didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan
memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
Jadi, di zaman pendudukan Jepang, Pers adalah alat Jepang dan kabar-kabar
serta karangan yang dimuat hanyalah yang pro jepang semata-mata. Walaupun
demikian ada juga segi baiknya bagi karyawan pers kita zaman Jepang in. Di
samping karyawan pers kita dapat memperluas pengalaman mereka dengan
tersedianya fasilitas-fasilitas yang lebih banyak daripada di zaman Belanda. Pada
zaman Jepang semua yang akan dicetak haruslah dimintakan izin.

2
I. Taufik, Op. Cit, hlm. 31
Ada sesuatu yang menarik tentang persuratkabaran di zaman Jepang, yakni
tentang bagaiman penghargaan bangsa Jepang pada surat kabar. Pegawai
pemerintah bangsa Jepang rata-rata menganggap bahwa orang yang tidak
membaca surat kabar adalah orang yang bodoh.3
Pada zaman Jepang pun ada penyegelan terhadap radio. Karena radio
dianggap sebagai alat propaganda. Tidak heran apabila media massa diawasi
secara ketat.
Secara garis besar, memang banyak kerugian yang didapat pers kita, tetapi
ada juga segi yang menguntungkan dari pers pada masa Jepang ini, antara lain :
a. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi lebih luas karena untuk
menggantikan Bahasa Belanda.
b. Mengajak rakyat untuk berfikir kritis terhadap berita yang
disiarkan oleh sumber-sumber resmi Jepang, juga tersiarnya kabar tentang
kekejaman bangsa Jepang sehingga dapat memompa semngat rakyat dalam
merebut kemerdekaan.
c. Bertambahnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh
karyawan pers kita karena bertambahnya fasilitas-fasilitas pers.

c) Pers Indonesia menjelang kemerdekaan


Pelopor suratkabar pada masa ini adalah Berita Indonesia (BI). Salah
seorang pemrakarsa dari penerbitan BI adalah Eddie Tahsin. Bersama dengan
temannya yang lain seperti Sidi Mohammed (kemudian SK Abadi), Roesli Amran
(Deplu), Suardi Tasrif (advokat), Anas Ma’roef (yang saat itu belajar di SMT) dan
bekerja di pusat Kebudayaan.
Mereka bersepakat untuk menerbitkan sebuah surat kabar dan dinamakan
Berita Indonesia (BI).
Penerbitan BI sendiri adalah secara sembunyi-sembunyi pada awalnya,
tetapi kemudian secara terang-terangan. BI ini terbit dengan jumlah 5000 lembar.
Setiap terbitrakyat selalu berebutan ingin membacanya.. Penerbitan BI sendiri

3
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 42
adalah untuk menandingi Berita Gunseikanbu karena berita Gunseikanbu
adalah surat kabar yang menentang adanya Republik.
Setelah BI, juga bermunculan berbagai surat kabar seperti “Merdeka”,
“Sumber”, “Pemandangan”, “Rakyat” dan “Pedoman”.

B. PERKEMBANGAN PERS
1) Perkembangan Pers pada Masa orde baru
Setelah terjadi peristiwa G30 S yang merupakan suatu tragedy nasional,
bangsa Indonesia mengalami keterpurukan akibat dari peristiwa G30 S tersebut.
Kondisi Indonesia pada saat itu sangat menyeramkan dan salah satunya dalam
bidang ekonomi. Indonesia mengalami inflasi mata uang rupiah pada puncak
tertinggi yang mengakibatkan kehidupan social ekonomi rakyat mengalami masa
sangat sulit. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah pada bulan Desember
1965 mengelurkan kebijakan saneering guna menyetabilkan inflasi yang terjadi.
Namun usaha yang dilakukan pemerintahan Soekarno tersebut tidak berpengaruh
sekali. Rakyat pada saat itu sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah karena
banyak kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan rakyat.
Dengan banyaknya kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka
timbullah gerakan-gerakan yang menentang kebijakan pemerintah. Salah satu
gerakan yang pada saat itu menentang kebijakan pemerintah adalah Kesatuan-
kesatuan Aksi dan dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Kesatuan
tersebut mendapat dukungan dari rakyat sipil maupun ABRI. Atas tekanan yang
dilakukan oleh rakyat tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 keluarlah Surat
Perintah Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto,yang dikenal dengan nama
“SUPERSEMAR”, yang pada intinya menterahkan kekuasaan kepada Jendral
Soeharto. Sejak waktu inilah, dapat dikatakan kita mulai memasuki alam Orde
Baru, dimana UUD 1945 dan Pancasila benar-benar ingin dilaksanakan secara
murni dab konsekwen.4
Setelah adanya Supersemar, dapat dikatakan jika pers dalam hal ini Koran
yang masih terbit merupakan corong masyarakat dan sebagai penyokong aksi

4
I. Taufik, Op. Cit, hlm. 78
yang dilakukan oleh mahasiswa. Namun setalah kondisi mulai tenang, pers kita
mulai terlihat kembali ke masa pers liberal. Pada saat menjelang Pemilu tahun
1977, banyak pemberitaan Koran yang sifatnya tidak membangun dan terjadi
persaingan antar Koran-koran nasional dengan Koran-koran daerah. Dengan
berbagai kelebihan serta fasilitas yang memadai, sudah barang tentu jika Koran
nasional yang lebih menarok hati para pembaca. Sehingga pernah “Diumumkan
Perang” oleh Koran-koran daerah terhadap Koran-koran ibu kota. Timbulnya hal
demikan, antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas.5

Pada masa ini, pers merupakan salah satu unsur penggerak dalam rangka
pembangunan. Pemerintah mengharapkan agar pers kita merupakan kawan
pemerintah dalam menggalakan program pembangunan. Komunikasi melalui
mass media setidak-tidaknya dapat menciptakan suasana yang menguntungkan
proses pembangunan itu, karena dapat menanamkan pengertian-pengertian pada
rakyat tentang kemungkinan serta harapan-harapan yang dapat dibawa oleh
pembangunan.6 Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredelan
media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua
contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui
Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah
yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri
di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke
penjara.
2) Perkembangan Sesudah Orde Reformasi
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada
konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan
benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan
5
I. Taufik, Op. Cit, hlm. 78
6
I. Taufik, Op. Cit, hlm. 79
se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers
Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu
sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat
media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi
lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri
media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan
fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah
antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena
berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media
yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut
cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak
mengumbar kecabulan.

C. MAKNA KEBEBASAN PERS


Dalam kebebasan pers atau kemerdekaan informasi menurut jalan fikiran
Karl Kraus itu tidak boleh dibatasi oleh wilayah kekuasaan Negara. Ia bebas
melintasi batas-batas kedaulatan semua Negara (frontier) tanpa hambatan politik,
ekonomi, social, budaya dan sistem hukum di masing-masing Negara, khususnya
yang mengakui kebijakan imprimatur. Dewasa ini warisan pemikiran Kraus
tersebut, seakan-akan terus hidup dan berkembang, kian menjadi wacana
demokrasi dan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi. Semua itu
sudah menjadi sebuah HAM di seluruh Negara, sehingga dapat menjadi bagian
penting dari system hukum, konstitusi dan kehidupan politik dalam masyarakat. 
Di Indonesia, misalnya ada pasal 28 UUD 1945 yang telah
diamandemenkan sedemikian rupa, sehingga kebebasan informasi dan atau
kemerdekaan pers serta kemerdekaan politik untuk mendapatkan kepada sumber-
sumber informasi yang diperlukan secara konstitusional sudah terjamin.
Implementasi pasal 28 UUD 1945, mengandung penafsiran bahwa yang
diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945 adalah undang-undang yang menetapkan
kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya. Dilain pihak muncul penafsiran yang menyatakan bahwa
pasal 28 UUD 1945 itu bukan untuk menetapkan kebebasan pers tetapi justru
mengatur peraturan perundang-undangan apa saja yang harus diciptakan dalam
rangka mengatur selebar apa ruang lingkup kebebasan pers yang terutama
dikehendaki oleh pemerintah. Disamping peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan iplementasi kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan tulisan
seperti ditetapkan oleh pasal 28 UUD 1945 yang tertuang juga dalam Kode Etik
Jurnalistik (KEJ), Kode Etik Perusahaan Pers serta Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia. 
Kendati UUD 1945 menjamin adanya kebebasan di Indonesia tidaklah
berarti bahwa kebebasan yang dianut itu tanpa batas. Batasan tersebut sekaligus
mengatur sejauhmana tanggung jawab pers Indonesia. Kalimat ditetapkan dengan
Undang Undang yang tertera dalam pasal 28 UUD 1945 memberi peluang kepada
pembuat undang-undang untuk menjadikannya sebagai pembatas kebebasan pers
sampai tingkat nadir, seperti yang terjadi pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde
Baru (Orba). Sehingga untuk dapat dikategorikan sebagai pers yang sehat, pers di
samping bebas harus bertanggung jawab, yakni dapat melaksanakan fungsi :

 Melakukan kontrol sosial yang konstruktif.


 Menyalurkan aspirasi masyarakat.
 Meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.

Sementara itu, Dewan Pers mengklasifikasikan pers macam apa saja yang dapat
dikatakan sehat, adalah:

 Pers yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan nasional, tidak


berhadap-hadapan dengan pemerintah dan masyarakat.
 Pers yang jika memuat hal-hal yang negatif tentang masyarakat atau
pemerintah, tetap memperhatikan nilai-nilai kepribadian dan kebudayaan
seperti menjunjung kesopanan, proporsional dan menggunakan bahasa
yang tidak menusuk perasaan.
 Tidak boleh menghasut, menghina atau menggunakan kata-kata yang
mengandung insinuasi, memfitnah, mencemarkan nama pribadi seseorang,
mengorbankan sensasi serta mengundang spekulasi.

Jadi yang dimaksud dengan pers yang sehat itu tidak hanya menyangkut
masalah manajemen usahanya saja, akan tetapi termasuk aspek keredaksiannya.
Sehingga kita harus bisa menilai dan menggunakan paradigma baru, dalam
kemasan fikiran baru, supaya kebebasan pers tidak membungkam daya kreatifitas
dan suara nuarani rakyat. Sebaliknya, jika kebebasan pers dibungkam serta
pemerintah setara masuk dalam lingkungannya, yang secara tegas mengintervensi
terhadap pers, niscaya iklim reformasi dalam pers Indonesia harapannya masih
jauh untuk membangun citra pers Indonesia baru yang dilandasi kehidupan
masyarakat madaniah yang penuh toleran dan selalu seiring sejalan

D. POLEMIK YANG TERJADI PADA PERS


Terdapat banyak polemik yang terjadi dalam lingkungan pers, seperti
halnya dalam kemerdekaan pers yang tidak konsisten sebagai contoh dalam artikel
wajah retak media yang berjudul” Akrobat ‘Pers Reformasi’ Papua” oleh
Cunding Levi. dalam artikel menceritakan tentang media lokal Papua berebut
iklan dari pemerintah daerah. Bisakah media menjalankan fungsi kontrolnya?
Sejarah pers di Papua tak pernah lepas dari sejarah kekuatan politik.
Antara 1966 - 1990, fungsi pers di Papua berkembang dari sekadar corong
propaganda menjadi ‘alat pemersatu’. Terbit, misalnya, mingguan Nayak dan
Teropong yang dikelola pegawai negeri sipil dari Kanwil Departemen Penerangan
di Provinsi Irian Jaya. Masa ini dikenal sebagai masa Pers Pancasila: semua
pemberitaan harus mengutamakan persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Isi
terbitannya tak sebebas sekarang. Selain diawasi pemerintah, media di Papua saat
itu juga diteropong TNI.
Masa reformasi, yang ditandai pencabutan aturan SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers), sampai juga ke Papua. Sejumlah penggiat lembaga swadaya
masyarakat yang tergabung dalam Forum Kerja sama LSM Papua menerbitkan
Jujur Bicara (Jubi). Sejak reformasi, Papua tercatat memiliki 57 media cetak,
terdiri dari 21 harian dan 36 mingguan. Khusus di Kota Jayapura, ada 12 media
cetak yang masih bertahan sampai sekarang, yakni Cenderawasih Pos, Papua
Pos, Pasific Pos, Bisnis Papua, Papua Times, Bintang Papua (harian), serta Jubi,
Suara Perempuan Papua, Deteksi Pos, Tifa Papua, Boda Post, dan Papua Expres
(mingguan). Sebagian media rontok di tengah jalan karena pelbagai sebab.
Permodalan cekak, sumberdaya manusia terbatas, dan daya baca masyarakat yang
masih rendah merupakan beberapa penyebab. Selain itu, patut juga disebut soal
penjualan iklan yang terbatas.
Agar dapat bertahan, pengelola media cetak di Papua, termasuk Jayapura,
mesti pintar pintar ‘main akrobat’. Salah satu siasat yang sedang model
belakangan ini adalah menjalin ikatan kontrak kerja sama halaman dengan
pemerintah daerah. Melalui kontrak ini, media memperoleh pemasukan iklan,
sedangkan ‘pelanggan’ (pemerintah daerah) mendapatkan ‘halaman pemberitaan’.
kerja sama ini mirip advertorial. Dalam halaman tersebut koran menulis berita-
berita yang ‘mendukung’ pemerintah daerah, dapat berupa liputan kisah sukses
pembangunan, laporan kegiatan gubernur atau perjalanan kepala dinas. Bisa pula
diisi komentar tokoh masyarakat, asal isinya positif. “Halaman ini penting untuk
menyebarkan informasi pembangunan,” kata John Upessy, Kepala Bidang
Pelayanan Pers Badan Informasi dan Komunikasi Daerah (Bikda) Provinsi Papua.
Dengan kontrak semacam itu, pemerintah daerah dapat memastikan tak ada berita
positif yang terlewat.
Untuk keperluan kontrak kerja sama halaman, Bikda Papua
membelanjakan lebih dari Rp 500 juta per tahun, selama dua tahun terakhir.
Rinciannya Rp 445 juta untuk empat harian dan Rp 48 juta untuk dua mingguan.
Tahun 2009, John belum bisa memastikan apakah kontrak semacam ini akan
dilanjutkan. Victor Mambor mengaku banyaknya narasumber dari kalangan
pemerintah ini menunjukkan keberpihakan. “Kalau mau jujur, independesi media
di Papua belum ada, karena rata-rata isinya lebih berpihak pada yang berkuasa,”
katanya. Pendapat senada disampaikan Pemimpin Harian Papua Pos, Leo
Siahaan. “Banyak media muncul di Papua hanya untuk kepentingan yang
memimpin,” katanya. Akibatnya, sikap kritis jarang muncul. ‘Berita kasus’ atau
‘berita miring’ hanya ditulis jika kasusnya sudah muncul lebih dulu, telah
diketahui publik atau telah ditangani para penyidik.Akibat sistem kejar setoran ini,
sikap kritis jadi tumpul. Wartawan cenderung memungut berita pada lembaga
pemerintahan, yang pejabatnya lebih mudah bicara dan tempatnya lebih gampang
dijangkau, ketimbang memburu berita langsung kepada masyarakat di pedesaan.
“Berita apa pun yang kami tulis, asal narasumbernya jelas dan tidak mengarah ke
kasus, pasti dimuat. Soalnya, pasti aman, tak akan ada tuntutan hukum,” kata
salah wartawan harian Papua Times7

BAB III
Kesimpulan
Pers yang semula bertujuan mulia yaitu alat kontrol sosial terhadap
pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, lambat laun bergeser hanya
semata bekerja demi uang. Dengan alasan ekonomi, fungsi pers yang berupa
kontrol sosial menjadi tumpul. Tidak lagi ada pemberitaan yang mengkritik habis

7
Nurhasim Ahmad dkk, Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran, Mei, 2009: Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), Jakarta Pusat
pemerintah, yang ada hanyalah memuji kinerja pemerintah seperti contoh artikel
diatas.
Memang segala sesuatu apabila dibenturkan dengan permasalahan
ekonomi pasti menjadi kalah. Terjebak dalam dilema, dalam satu sisi ingin
kembali menjadi alat kontrol sosial tetapi disisi lain mereka (para pencari berita)
pasti bekerja untuk mencari uang.

DAFTAR PUSTAKA

Taufik Iqbal, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, P.T Triyinco,


Jakarta, 1977
Nurhasim Ahmad dkk, Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran,
Mei, 2009: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta Pusat
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
UU Pers No.40 tahun 1999
http://victorsilaen.com/index.php/2008/07/06/reformasi-pers-dan-kebangkitan-
kesadaran.

http://andreasharsono.blogspot.com, Polemik Sejarah Pers Indonesia. Diposting


tanggal 4 Maret 2011

You might also like