You are on page 1of 14

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM:

Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indonesia

Dr. Agus Aris Munandar

Artefak dalam arti yang luas adalah benda tinggalan dari masa lalu, walaupun biasanya artefak
selalu dihubungkan dengan peninggalan yang berupa benda bergerak (mudah dipindahkan),
namun dalam pengertian umum artefak juga meliputi monumen  yang merupakan bangunan dari
masa silam. Artefak Islam adalah tinggalan  dari masa silam baik yang berupa benda bergerak
atau monumen yang berasal dari masa perkembangan dan meluasnya agama Islam di Nusantara.
Pada banyak artefak Islam Nusantara terdapat ciri-ciri atau atribut yang bentuknya sama dengan
ciri-ciri yang biasa terdapat pada benda-benda dari era Hindu-Buddha Nusantara, ciri atau atribut
itulah yang kemudian disebut dengan anasir kebudayaan Hindu-Buddha yang mengendap pada
artefak Islam.

Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa periode, yaitu:

1. Periode Prasejarah berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 40.000 tahun yang lalu
hingga abad ke-4 M ketika tulisan pertama ditemukan di wilayah Indonesia.
2. Periode Hindu-Buddha atau disebut juga zaman Klasik Indonesia, berkembang antara
abad ke-4 – 15 M. Dalam zaman ini tonggak-tonggak peradaban Indonesia mulai
ditancapkan, dan beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini.
3. Periode masuk dan berkembangnya agama Islam, masa ini berbeda-beda di berbagai
wilayah Indonesia, namun pada umumnya terjadi antara abad ke-15—17 M
4. Periode penjajahan Belanda atau zaman Kolonial terjadi antara abad ke-17—1945
5. Periode Republik Indonesia

Sebenarnya setiap daerah mempunyai pembabakan yang agak berbeda satu dengan lainnya, akan
tetapi umumnya mereka mengalami beberapa tahapan perkembangan sejarah kebudayaan seperti
yang telah disebutkan itu. Akan halnya pengaruh kebudayaan Cina tidak dapat dinyatakan
pernah berkembang antara abad-abad tertentu dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia,
karena tidak ada bukti nyata bahwa pengaruh anasir budaya Cina itu diterima secara meluas oleh
penduduk Nusantara dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh anasir budaya Cina baru dirasakan
oleh masyarakat Nusantara ketika zaman penjajahan Belanda, itu pun terbatas di beberapa kota
besar di pulau tertentu saja. Pemerintah penjajahan Belanda pada masanya memerlukan cukup
banyak tenaga kerja murah, maka dari itu didatangkanlah sejumlah buruh etnik Cina yang
bekerja di sector perkebunan dan jasa. Sejak itulah dikenal pengaruh budaya Cina dalam
dinamika kebudayaan Indonesia, walaupun memang hanya sedikit saja.

Demikianlah perkembangan kebudayaan Indonesia dewasa ini sebenarnya merupakan hasil


akumulasi perkembangan berbagai kebudayaan dalam sejarah. Pengaruh mempengaruhi adalah
hal yang wajar dalam kebudayaan. Ketika agama Hindu-Buddha dikenal meluas di Pulau
Sumatra dan Jawa, terdapat pula anasir prasejarah di dalamnya. Misalnya sudah dimaklumi oleh
para ahli kebudayaan kuno bahwa bentuk berundak pada Candi Borobudur sebenarnya
melanjutkan saja bentuk punden berundak megalitik, hanya saja pada Candi Borobudur
dilengkapi dengan nafas kebuddhaan yang sangat kentara. Maka tidak juga mengherankan ketika
dalam masa Islam Indonesia dihasilkan bermacam artefak sezaman, namun di dalamnya
mengendap anasir-anasir Hindu-Buddha yang pernah berkembang dalam zaman sebelumnya.

Pengamatan yang paling mudah dilakukan terhadap adanya anasir Hindu-Buddha dalam artefak
Islam adalah terhadap bentuk-bentuk ornamennya. Ornamen dari masa perkembangan Islam
(terutama di Jawa) nyata sekali meneruskan ornament yang dikenal dalam era sebelumnya.
Berbagai bentuk ornamen tersebut dapat dikaji lebih lanjut untuk membahas adanya akulturasi
damai yang telah terjadi adalam masa transisi masuknya agama Islam ke tengah-tengah
masyarakat yang saat itu masih memeluk agama Hindu-Buddha.

Tentu saja pengaruh Hindu-Buddha tersebut tidak hanya mengendap pada wujud artefak konkret,
terdapat juga dalam bentuk karya lainnya misalnya dalam susastra, sistem pemerintahan, falsafah
kehidupan, seni pertunjukan, dan lain-lain. Mengenai adanya anasir Hindu-Buddha pada
kebudayaan yang tanbenda (bukan tak benda!) itu (intangible culture) sepatutnya
diperbincangkan dalam tema yang khusus lagi.

II

Perkembangan kebudayaan Indonesia diawali dan didasari pada kebudayaan prasejarah. Tahapan
prasejarah yang paling penting di Indonesia adalah masa bercocok tanam tingkat lanjut yang
bersamaan dengan berkembangnya kepandaian perundaian. Masa tersebut sangat mungkin
dimulai sekitar tahun 500 SM hingga ditemukannya aksara pertama dalam prasasti di wilayah
Indonesia (sekitar abad ke-4 atau ke-5 M).

Dalam periode tersebut mulailah terbentuk komunitas-komunitas yang teratur dipimpin oleh
ketua kelompok. Sang pemimpin didampingi oleh seseorang yang dituakan, dianggap
mempunyai banyak pengalaman, dan luas wawasannya, kepada tokoh itulah masyarakat 
bertanya perihal berbagai hal, fenomena alam, langkah kehidupan dan lain-lain. Kemudian
terdapat masyarakat biasa yang menjadi rakyatnya. Penduduk  kepulauan Indonesia masa itu
telah menetap dan membentuk perkampungan, rumah-rumah mereka panggung. Kontak-kontak
dengan para musafir dari India dan Cina sangat mungkin mulai terjadi di awal tarikh Masehi.
Sudah barangtentu para niagawan dari India atau Cina tersebut berkunjung ke komunitas-
komunitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dianggap berinteraksi. Jadi mereka tidak
mungkin datang ke wilayah-wilayah yang sepi penduduknya.

Dalam kondisi peradaban masyarakat yang relatif maju seperti itulah pengaruh kebudayaan luar
mulai diperkenalkan oleh para musafir India. Nenek moyang bangsa Indonesia merasa tertarik
dan perlu untuk menerima kebudayaan dari India oleh karena itu mereka menerimanya. Hanya
tiga anasir budaya yang sebenarnya diterima dari kebudayaan India, yaitu (1) agama Hindu-
Buddha, (2) aksara Pallava, dan (3) sistem penghitungan tahun Saka. Ketiganya benar-benar
merupakan sesuatu yang baru, artinya tidak pernah dimiliki sebelumnya oleh nenek moyang kita.
Zaman berkembangnya pengaruh India dalam masyarakat Indonesia kuna itu lazim dinamakan
dengan zaman Hindu-Buddha atau zaman Klasik Indonesia.

Berdasar kepada ajaran agama Hindu-Buddha maka berkembanglah sistem pemerintahan


kerajaan, dalam hal ini raja dianggap sebagai dewa yang menjelma ke dunia. Kemajuan 
arsitektur bangunan suci juga didasarkan pada kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, dalam hal
ini bentuk-bentuk arsitektur candi yang tidak pernah sama antara satu bangunan dengan lainnya
(unikum), bangunan petirthaan (bangunan air suci), dan bangunan pahat batu (rock-cut)  yang
digarap secara baik.

Kemahiran menulis yang dimulai dari aksara Pallava kemudian dikembangkan menjadi huruf
lokal turunannya Akibat adanya kemampuan menulis itu maka keluarlah berbagai prasasti titah
raja dan karya sastra. Prasasti umumnya ditulis pada batu, logam perunggu atau emas, bagian-
bagian bangunan suci,  atau juga pada benda-benda keperluan upacara. Prasasti batu biasanya
ditegakkan di suatu tempat agar mudah untuk dibaca oleh masyarakat umum, isinya sangat
ringkas, dan umumnya berkenaan dengan pembebasan suatu wilayah (desa) dari kewajiban
membayar pajak kepada raja. Sedangkan prasasti logam dibentuk berupa lempeng-lempeng yang
ditulisi pada kedua sisinya depan-belakang (recto-verso). Prasasti logam disimpan  oleh
seseorang  yang kepadanyalah anugerah raja tersebut diberikan.

Uraian karya susastra zaman Hindu-Buddha bermacam-macam, umumnya memerikan perihal


kisah-kisah kepahlawanan (epos), ajaran keagamaan, uraian tentang raja-raja, kisah roman
percintaan, kisah-kisah sejarah secara tradisional dan lain-lain. Kisah-kisah dari masa Hindu-
Buddha yang digubah oleh masyarakat Jawa Kuna tersebut dapat bertahan hingga sekarang
berkat adanya penyalinan dan apresiasi dari masyarakat Hindu-Bali. Berkat adanya hal itu maka
dapat diketahui bahwa khasanah kesusastraan masa Hindu-Buddha sudah sangat maju.

Sekitar pertengahan abad ke-13 di wilayah Sumatra bagian utara telah berdiri kerajaan Islam
pertama di Nusantara, bernama Samudra Pasai. Seraya itu di Pulau Jawa masih berdiri kerajaan
Singhasari yang bercorak Hindu-Buddha, dan di bagian-bagian lain Indonesia mungkin masih
dalam zaman proto-sejarah (beberapa daerah telah dicantumkan dalam kakawin Nagarakrtagama
yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M). Islam tidak berkembang dalam kurun
waktu yang bersamaan di Nusantara, namun perkembangannya semakin merata mulai abad ke-
15 M. Berdasarkan sumber-sumber tradisi dapat diketahui bahwa wilayah Indonesia Timur
(Nusa Tenggara dan Maluku) menerima Islam karena upaya para mubaligh dari pesantren-
pesantren di Jawa Timur. Sumber tradisi juga menyebutkan adanya peranan para ulama dari
wilayah Sumatra Barat yang aktif menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, dan wilayah
Kalimantan Timur. Hubungan niaga yang ramai antara wilayah Indonesia barat dan timur turut
mempercepat proses penyebaran agama Islam.Dalam jalur niaga tersebut turut serta para ulama
penyebar Islam, bahkan niagawan itu sendiri adalah ulama penyebar Islam.

Sebelum kedatangan Islam di wilayah-wilayah tersebut telah ada komunitas-komunitas


membentuk sistem pemerintahan tradisional yang masih bercorak tradisi perundagian. Religi
yang berkembang pun secara hipotetis masih merupakan pemuliaan terhadap arwah nenek
moyang. Dengan demikian perkembangan kebudayaannya dapat dinyatakan dari masa prasejarah
(protosejarah) sejarah dengan masuknya Islam, tanpa melalui sistem kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha sebagaimana halnya di Jawa.

Cukup banyak peradaban Nusantara yang mendapat pembaharuan dalam zaman awal
perkembangan agama Islam, selain ajaran agama itu sendiri terdapat beberapa perolehan lainnya,
misalnya digunakannya huruf Arab, dikenalnya tahun Hijriah, cara berpakaian yang hampir
menutup seluruh tubuh, diperkenalkannya sistem persenjataan dengan mesiu, dan terbentuknya
kota-kota pelabuhan baru tempat bermukimnya masyarakat yang telah memeluk agama Islam. 
Di beberapa wilayah Nusantara terdapat masyarakat yang sampai sekarang memeluk agama
Islam secara taat, tanpa adanya bentuk akulturasi dengan kebudayaan yang berkembang
sebelumnya.

Lain halnya di Jawa, tempat merebaknya kebudayaan Hindu-Buddha yang relatif lama, maka
terdapat fenomena adanya bentuk-bentuk akulturasi antara Islam dengan tradisi yang telah
dikenal dalam agama Hindu-Buddha. Walaupun demikian di Jawa juga terdapat daerah-daerah
yang keislamannya relatif menonjol dengan sedikitnya pengaruh dari tradisi lama. Secara
kebudayaan bentuk-bentuk akulturasi tersebut sebenarnya turut memperkaya khasanah
peradaban yang ada.

III

Pada bangunan-bangunan masa awal perkembangan Islam di Indonesia (contoh yang baik
terdapat di Jawa) antara abad ke-15—16 terdapat bentuk-bentuk ragam hias tertentu, walaupun
ragam hias itu tidak mengisi bangunan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada bangunan
masa Islam terdapat bentuk ragam hias yang telah dikenal sebelumnya, ketika agama Hindu-
Buddha masih dipeluk oleh masyarakat secara meluas. Bentuk ragam hias itu misalnya motif
sulur daun, dapat dijumpai pada nisan kubur Islam, cungkup, pintu gerbang, bingkai mihrab,
mimbar kayu, batu-batu umpak di masjid dan lain sebagainya. Begitupun bentuk lainnya
misalnya motif tapak dara (dalam kepustakaan arkeologi Indonesia dinamakan juga Salib
Portugis) dijumpai pada kaki suatu bangunan serta pagar keliling masjid kuna, pagar keliling
kompleks makam serta di tempat lainnya.

Kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ragam hias sulur daun dengan berbagai
variasinya dari era Hindu-Buddha, dalam banguna-bangunan masa Islam terus digunakan.
Hampir seluruh bangunan masa awal Islam di Jawa mempunyai ragam hias sulur-suluran atau
ikal mursal atau juga motif floral dalam wujud yang raya. Sebenarnya penggunaan hiasan yang
berlebihan pada bangunan Islam (masjid atau makam) dalam hokum Islam dianggap makruh,
namun kaidah tersebut agaknya tidak mengurangi hasrat seniman masa itu untuk
mengekspresikan kerativitas seninya yang diungkapkan pada berbagai media (Ambary 1983:
130).

Umumnya hiasan sulur atau ikal mursal terdapat dalam berbagai bidang kosong melebar atau
sempit yang mungkin untuk diisi dengan jenis hiasan tersebut. Misalnya bidang nisan di Troloyo
(Bernet Kempers 1959: 343), bersama dengan sulur-suluran juga terdapat bentuk meander,
mengisi bidang medallion pada dinding masjid kuno Mantingan (Soekatno, Gambar 139), serta
menghias pula gunongan makam Kalajung Laut di Pamekasan serta kompleks pemakaman
keluarga Cakraningrat di Bangkalan, Madura (Bernet Kempers 1959, Plate 352; Soekatno 1980,
Gambar 140). Masih banyak contoh penggunaan ragam hias sulur daun dan berbagai  variasinya
dalam masa Islam, tetapi karena keterbatasan tempat tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Selain hiasan sulur daun pada kepurbakalaan Islam juga dikenal bentuk hiasan medallion.
Bentuk hiasan medallion yang sangat impresif terdapat pada dinding masjid kuno Mantingan,
Jepara. Bentuknya sangat mirip dengan medallion di Candi Induk Panataran, sedangkan yang
membedakannya adalah pada (1) bahan, (2) bentuk, (3) gaya pemahatan relief. Bahan medallion
Candi Panataran adalah batu kali (andesit), sementara itu medaion-medalion pada masjid
Mantingan adalah batu kapur (tufa) yang relative lebih lunak. Bentuk medallion Candi Panataran
semuanya merupakan  lingkaran, sedangkan bentuk di Masjid Mantingan ada yang lingkaran,
medallion busur (atau panil cermin) yang berupa panil relief lebar (Bernet kempers 1959, Plate
347—8, Soekatno 1980, Gambar 138). Di Masjid Mantingan terdapat juga bentuk panil-panil
kecil seperti kelelawar terbang, dipasang berderet di dinding candi dari atas ke bawah. Gaya
pemahatan medalion juga mempunyai perbedaan antara di Candi Induk Panataran dengan yang
dijumpai di Masjid Kuno Mantingan. Jika pada medalion Candi Panataran yang digambarkan
adalah bentuk-bentuk binatang secara naturalis, medalion Mantingan diisi dengan gambaran
binatang yang telah distilasi atau disamarkan (Kusen 1989: 123).

Pada bangunan menara Kudus dan dinding pagar keliling sitinggil Keraton Kasepuhan Cirebon
terdapat juga bentuk-bentuk medalion. Hanya saja pada bangunan-bangunan tersebut bagian
tengah medalion ditutup dengan bentuk piring keramik Cina. Bentuk medalion yang “tertutup”
piring keramik tersebut seakan menjadi cirri khas pada kepurbakalaan Islam di Cirebon

Bentuk ragam hias tumpal/simbar yang pada dasarnya merupakan bentuk setiga sama kaki cukup
dikenal dalam masa islam, bahkah terus bertahan hingga kini antara lain  dalam motif hias batik.
Hal yang menarik adalan bentuk ragam hias tersebut menjadi sangat dikenal dalam periode
Klasik muda, karena hampir semua bangunan candi di Jawa Timur dihias dengan bentuk-bentuk
simbar. Kepupoleran tersebut terus bertahan hingga masa Islam, karena hampir sebagian besar
kompleks bangunan dalam masa awal Islam pasti memiliki bentuk ragam hias tumpal/simbar.
Suatu kesatuan antara bentuk dan ragam hias tumpal dengan karya arsitektur terhadap pada
bagian pipi tangga yang berujung volut (ikalan). Pada bagian depan ujung volut pipi tangga
candi-candi dan gerbang dari periode Klasik Muda hampir seluruhnya dihias dengan bentuk
tumpal. Keadaan ini terus dipertahankan pada bangunan-bangunan masa awal islam yang
dilengkapi dengan pipi tangga berujung volut. Pada bagian depan bulatan ujung pipi tangga
dihias pula dengan bentuk tumpal, seperti pada karya arsitektur yang didirikan dalam masa
Hindia-Buddha. Misalnya di Menara Kudus, Sendang Duwur (Wiryoprawiro 1986; Gambar
222b), makam Sunan Giri, gapura sibak Sunyaragi Cirebon, dan makam tembayat di Klaten.

Sementara itu dapat dikatakan bahwa ragam hias tapak dara tidak dijumpai pada candi-candi di
Jawa Tengah dalam periode Klasik Tua. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan hingga kini
dapat disimpulkan bahwa bentuk ragam hias tapak dara baru dikenal pada candi-candi Klasik
Muda, terutama dari era Singasari-Majapahit (abad ke13-15 M). bentuk ragam hias tapak dara
ada yang sederhana seperti terlihat pada dinding batur di atas Gua Selamangleng Tulungagung;
bentuknya hanya berupa tapak dara tunggal yang diletakkan berderet. Ada yang juga bentuk
tapak dara yang agak digayakan, dibuat bertumpuk semakin mengecil di bagian tengah, misalnya
terdapat pada dinding batur di depan Candi Bangkal (Soekatno 1980, Gambar 110), juga pada
dinding kaki Candi Sawentar (Bernet Kempers 1959, Plate 214; Soekatno 1980, Gambar 96).

Pada bangunan-bangunan masa awal Islam ragam hias tapak dara sangat umum dijumpai.
Bentuk tersebut menghias kaki bangunan, batur makam, kaki pintu gerbang, pagar keliling, dan
lain-lain. Tidak seperti bentuk tapak dara dalam masa Klasik Muda yang terbagi dua, umumnya
ragam hias tapak dara pada bangunan-bangunan masa awal Islam bentuknya digayakan.
Misalnya terdapat di komplek makam Ratu Kalinyamat, Mantingan dan gapura sibak makam
Tembayat (Soekatno 1980, Gambar 137, 142). Bahkan pada batur pemakaman Gending Suro,
Palembang (abad ke-15 M) juga dihias dengan bentuk tapak dara (Soekatno 1980, Gambar 145).
Pada berbagai kepurbakalan Islam di Cerebon, motif hias tapak dara sangat umum dijumpai,
misalnya terdapat di komplek Sitinggil Kesepuhan, Sitinggil Kanoman, Masjid Agung Ciptarasa,
dan makam Sunan Gunung Jati. Jadi ragam hias tapak dara pun merupakan salah satu ragam hias
yang umum terdapat pada bangunan-bangunan awal Islam di Jawa, walaupun titik pangkal
perkembangannya baru dimulai pada candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur.
Bentuk ragam hias pra-Islam lainnya yang kadang muncul pada bangunan-bangunan Islam
adalah ceplok bunga, sisi awan, batu karang, belah ketupat, dan beberapa ragam lainnya. Hanya
saja jenis-jenis ragam hias tersebut tidak banyak dijumpai pada setiap bangunan awal Islam yang
penting, dan kemunculannya pun mendalam pada kajian ini.

IV

Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan masa awal Islam di Jawa ternyata sebagian besar
merupakan kelanjutan saja dari berbagai bentuk hisan yang telah dikenal sebelumnya pada candi-
candi zaman Hindia-Buddha. Menurut R. Soekmono (1986) secara arsitektur candi-candi di Jawa
tidak terlalu rumit, namun kelemahan dalam bidang arsitektur tersebut diimbangi secara baik
dengan pemberian hiasan dan ukiran yang serasi. Hal itu membuktikan diterapkannya tradisi
lama dalam bidang seni hias. Kitab Silpasastra yang merupakan pedoman bagi pembangunan
bangunan suci tidak memberikan ketentuan serta peraturan yang ketat dalam penerapan hiasan.
Dengan demikian para seniman Jawa Kuna memanfaatkan kesempatan dalam menerapkan
hiasan tersebut tanpa menyimpang dari peraturan umum yang berkenan dengan pembangunan
candi (Soekmono 1986; 239-40).

Ketika Islam mulai berkembang di Jawa, para seniman yang sudah beragama Islam tetap
mengekspresikan kreativitas seninya dalam pemberian pada berbagai bangunan. Tentu saja
ragam hias yang diterapkan pada bangunan-bangunan masa awal Islam itu adalah jenis ragam
hias yang telah mereka kenal dalam kurun waktu sebelumnya, yakni ragam hias tradisional Jawa
masa Hindu-Buddha. Seniman masa Islam dalam menghasilkan karya seni berusaha
menonjolkan mutu karyanya tanpa melanggar ketentuan keagamaan (Ambary 1983; 135).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa pada masa permulaan Islamisasi di Indonesia, khususnya
di Jawa, hal yang paling berkembang sebenarnya bukan bidang arsitektur, melainkan bidang
kesenirupaan seperti seni pahat, relief, keris, wayang dan sebagainya (Subarna 1987; 101).
Pendapat ini mungkin didasarkan pada kenyataan bahwa cukup banyak contoh dalam bidang seni
rupa yang turut dikembangkan atau berkembang bersamaan dengan proses Islamisasi. Sebagian
besar bidang seni rupa itu sebenarnya merupakan kelanjutan belaka dari masa pra-Islam, masa
Hindu-Buda.

Dalam bagan diberikan contoh gambaran kesinambungan seni rupa masa Hindu-Buda pada
bangunan-bangunan masa awal Islam di Jawa. Bagan tersebut hanya menyebutkan beberapa
jenis ragam hias terkenal yang kerap dijumpai pada berbagai bangunan masa Hindu-Buddha dan
masa Islam . berdasarkan bagan tersebut diketahui ragam hias sulur daun/ikal mursal dengan
bermacam variasinya sejak masa Klasik Tua telah dikenal dan terdapat pada banyak bangunan
candi. Ragam hias tersebut terus bertahan bahkan cenderung semakin menjadi raya dalam
periode Klasik Muda dan dalam masa awal Islam.
Bentuk hiasan medalion cenderung semakin muda kronologinya semakin menjadi raya dan
rumit. Pada masa Klasik Tua hanya dijumpai hiasan medalion polos, tetapi pada masa Klasik
Muda sudah ada yang berhias. Tiba pada periode awal Islam bentuk medalion makin bervariasi,
bahkan dihias dengan bermacam ukiran atau piring keramik Cina.

Ragam hias tapak dara baru dikenal pada periode Klasik Muda, yang kemudian terus bertahan
dalam masa awal Islam. Sementara bentuk tumpal hampir merata dikenal dalam berbagai
bangunan candi dalam masa Klasik Muda, walaupun bentuk tumpal/simbar sebagai jenis ragam
hias ornamental langka didapatkan pada candi-candi Klasik Tua. Pada bangunan masa Islam
bentuk tumpal/simbar juga masih tetap dijumpai menghias berbagai bagian bangunan. Masih ada
satu jenis ragam hias lagi yang dalam masa Klasik Tua belum muncul, yaitu bentuk belah
ketupat berderet. Bentuk demikian baru muncul pada periode candi-candi zaman Majapahit,
kemudian masih dapat dijumpai misalnya pada kompleks makam Ratu Kalinyamat, Mantingan.

Dari bagan tersebut terlihat adanya kesinambungan beberapa bentuk ragam hias. Ragam hias
tertentu telah dipergunakan untuk memperindah candi-candi Klasik Tua di Wilayah Jawa
Tengah, kemudian pada waktu candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur dibangun muncul pula
ragam hias yang sama dan ada juga bentuk-bentuk ragam hias yang baru. Ketika agama Islam
mulai dikembangkan di Tanah Jawa, dan para pemeluknya mendirikan berbagai bangunan,
ragam hias yang sama yang telah dikenal dalam masa Hindu-Buddha tetap terus dipergubakan
untuk menghias bangunan-bangunan tersebut.

Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan-bangunan Islam awal di Jawa berdasarkan kajian ini
dapat diketahui berasal dari zaman Hindu-Buddha. Ragam hias tersebut semula menghiasi
bangunan candi atau bangunan yang bersifat monumental lainnya. Ketika Islam mulai
berkembang, ragam hias yang sama tetap dipakai mengisi berbagai bidang kosong dalam
bangunan masa Islam. Kesinambungan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain
(1) seniman masa awal Islam masih akrab dengan bentuk-bentuk ragam hias dari masa Hindu-
Buddha, (2) penggunaan ragam hias itu tetap diperbolehkan sejauh tidak bertentangandengan
kaidah agama Islam; caranya antara lain dengan teknik stilasi.

Seniman masa awal Islam di Jawa semula beragama Hindu-Buddha telah akrab dengan bentuk-
bentuk karya seni rupa yang tumbuh dan berkembang dalam religi Hindu-Buddha. Ketika Islam
dikembangkan di Jawa terdapat aturan untuk menghindari penggambaran makhluk hidup secara
naturalis. Dengan demikian bentuk-bentuk ragam hias yang berupa sulur daun/ikal mursal dan
berbagai motif geometris tetap dapat dipertahankan, tetapi penggambaran relief cerita dilarang
sama sekali. Kebiasaan pemahatan relief cerita yang semula dikenal umum dalam masa pra-
Islam terhenti begitu saja. Bahkan di masjid kuna Mantingan terdapat bukti-bukti penggunaan
ulang batu dari panil relief cerita Ramayana untuk dipahati sisi utuhnya dengan ragam hias yang
sesuai denhan agama Islam (Kusen 1986).

Bentuk ragam hias yang benar-benar baru sama sekali, dan mulai dikembangkan seiring dengan
meluasnya agama Islam di Nusantara adalah kaligrafi dengan huruf arab. Semula huruf yang
diterakan di nisan-nisan kubur ketika Islam baru saja berkembang adalah huruf dan angka Jawa
Kuna, di samping huruf-huruf arab. Dalam masa yang lebih kemudian di Cirebon, kaligrafi Arab
itu dipergunakan untuk stilasi tokoh-tokoh dewata Hindu dan tokoh-tokoh wayang dari epos
Mahabharata yang bernafaskan agama Hindu (Pringgodigdo 1982)

Kembali membuktikan suatu pendapat yang telah umum dikenal bahwa agama Islam berusaha
melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat di mana agama itu datang dan berkembang. Di
Jawa adaptasi tersebut tampak berhasil dengan baik.Dengan memperhatikan kesinambungan
bentuk ragam hias yang dikenal  dalam masa Hindu-Buddha hingga masa Islam, dapat diketahui
bahwa agama Islam tidak menolak bentuk sulur daun yang umumnya berupa tanaman teratai
(padma) untuk menghiasi masjid-masjid. Dalam zaman Hindu-Buddha bunga padma selalu
dikaitkan dengan kehidupan para dewa yang kerap diarcakan dan dipuja oleh umatnya.Dengan
mengabaykan simboliknya ragam hias sulur daun yang bentuk dasarnya dari tanaman teratai
tetapi digunakan dalam masa Islam, bahkan untuk membentuk figur mahluk yang disamarkan
seperti yang terdapat pada dinding Masjid Mantingan (Bernet Kempers 1959: plate 347) selain
ragam hias sulur daun, ragam hias lainnya pun yang semula memperindah bangunan candi masih
tetap dipertahankan untuk menghias bangunan-bangunan pada masa awal Islam. Hal itu kembali
membuktikan bahwa memang benar ragam hias pra-Islam (Hindu-Buddha) terus dapat
digunakan pada bangunan-bangunan Islam pada awal perkembangannya di Jawa sejauh tidak
bertentangan dengan hukum Islam.

DAFTAR ACUAN

Ambary, Hasan Muarif (1983), “Beberapa Ciri Krativitas yang Dimanifestasikan Melalui Seni
Hias dan Seni Bangunan Masa Indonesia (abad ke-14-19 M),”dalam S. Takdir Alisjahbana
(penyunting), Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat; h. 127-137

Bernet Kempers, A. J.(1959), Ancient Indonesian Art. Amsterdam; C.P.J. van der Peet.

Holt, Claire (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca dan London: Cornell
University Press.

Kusen (1989), “Relief Dua-Sisi Mantingan Sebagai Data Kesenian Masa Transisi hindu-Islam di
Jawa Tengah abad XVI”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V; buku IIA: Kajian Arkeologi
Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia; h.116-142.
Soekatno, T. W. (Redaksi) (1986), Album Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jilid II. Jakarta;
Proyek Media Pendidikan, Direktorat jenderal kebudayaan depdikbud.

Soekmono, R. (1986), “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia,” dalam
Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa Local Genius. Jakarta: Pustaka Jaya; h.
228-246.

Krom, N. J. (1923), Inleiding tot de Hindie-Javaansche kunst (III). ‘s-Gravenhage: Martinus


Nijhoff.

Pringgodigdo, Suleiman (1982), Hiasan Dinding,” dalam Paramita R. Abdurachman


(Penyunting), Cerbon. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan; h. 105-112.

Subarna, Abay D. (1987), “Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam,” dalam Diskusi
Ilmiah Arkeologi II: Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: IAAI; h. 48-116.

Wiryoprawiro, Zein M. (1986), Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina
ilmu
AKULTURASI BUDAYA HINDU-BUDHA-ISLAM di INDONESIA

PERKEMBANGAN TRADISI HINDU-BUDHA DI


INDONESIA

Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat


Indonesia sebagai daerah yang dilalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para
pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia guna
menunggu musim yang baik. Mereka pun melakukan interaksi dengan penduduk
setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya dan agama Hindu-
Budha di Indonesia dapat dibedakan atas 3 periode sebagai berikut.
1.     Periode Awal (Abad V-XI M)
Pada periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol sedang
unsur/ ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak ditemukannya
patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di kerajaan-kerajaan seperti
Kutai, Tarumanegara dan Mataram Kuno.
2.     Periode Tengah (Abad XI-XVI M)
Pada periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut
disebabkan karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali
menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan
dua atau lebih aliran). Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur
seperti Singasari, Kediri, dan Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliran Tantrayana yaitu
suatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli
dengan agama Hindu-Budha.
Raja bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi bukan
hanya rumah dewa tetapi juga makam leluhur.
3.     Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)
Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya,
sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena perkembangan politik ekonomi di
India. Di Bali kita dapat melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk
memuja dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa dalam
agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai
objek pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India.

AKULTURASI
Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi.
Akulturasi merupakan perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu
dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur
asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di
Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan
penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan
unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:
1.      Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi
sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan
kebudayaan Indonesia.
2.      Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan
kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di
Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih
terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses
pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Hasil akulturasi
tersebut tampak pada.
1.     Bidang Sosial
Setelah masuknya agama Hindu terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat
Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas kasta.
2.     Ekonomi
Dalam ekonomi tidak begitu besar pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan karena masyarakat telah mengenal pelayaran dan perdagangan jauh
sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia.
3.     Sistem Pemerintahan
Sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh
kepala suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota
kelompok lainnya. Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang
dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai
keturuanan dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga
memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun.
Serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.
4.     Bidang Pendidikan
Masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam
bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan.
Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai
mengenal budaya baca dan tulis.
Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu :
      Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan
sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan
pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa
Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.
      Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-
sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut
kemudian diadaptasi dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak
diterapkan di berbagai kerajaan di Indonesia.
      Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan
interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha. Contoh :
  Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha
  Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha
  Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana
  Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama
  Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.
      Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti
berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih
sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan
diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini.
Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan
pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena
berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-
tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat
pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu
yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra.
Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan
pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut.
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana
mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan
mudah diterima oleh masyarakat asal.
Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha,
seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra
dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut
ilmu di Benggala (India)
5.     Kepercayaan
Sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia, bangsa Indonesia mengenal dan
memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan
dinamisme). Masuknya agama Hindu-Budha mendorong masyarakat Indonesia mulai
menganut agama Hindu-Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti
pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Telah terjadi semacam
sinkritisme yaitu penyatuaan paham-paham lama seperti animisme, dinamisme,
totemisme dalam keagamaan Hindu-Budha.
Contoh :
Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari
Singasari yang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih
terwujud dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari,
100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa.
6.     Seni dan Budaya
Pengaruh kesenian India terhadap kesenian Indonesia terlihat jelas pada bidang-bidang
dibawah ini:
Seni Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni
asli bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan
akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan
zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh
Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam
benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi
sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha,
hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di
sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni Rupa
Seni rupa tampak berupa patung dan relief.
Patung dapat kita lihat pada penemuan patung Budha berlanggam Gandara di Bangun
Kutai. Serta patung Budha berlanggam Amarawati di Sikending (Sulawesi Selatan).
Selain patung terdapat pula relief-relief pada dinding candi seperti pada Candi
Borobudur ditemukan relief cerita sang Budha serta suasana alam Indonesia.

You might also like