You are on page 1of 12

Chaos Budaya Jurnalisme, berita, dan kuasa di dunia global Brian McNair

Simpulan dan poskrip: Chaos budaya dan proyek kritis

Saya akan menyimpulkan dengan mengidentifikasi penyusun-penyusun utama perpindahan dari paradigma pengendalian ke paradigma chaos dalam lingkungan komunikasi kontemporer. Kendali Kelangkaan informasi Tertutup Opasitas Eksklusivitas Kehomogenan Hierarki Kepasifan Dominasi Chaos Kelebihan informasi Bocor (terbuka) Transparansi Aksesibilitas Keheterogenan (keberagaman) Jaringan Ke(inter)aktifan Kompetisi

Kelangkaan informasi kelebihan informasi


Dalam era chaos budaya ini, manusia memiliki akses informasi yang jauh lebih luas. Jika informasi adalah prasyarat pengetahuan, dan jika pengetahuan adalah kuasa dan segala sesuatu tetap setara, ini menunjukkan perpindahan kekuasaan dari pihak elit yang kaya informasi ke massa yang tidak lagi kekurangan informasi. Tentu saja tren ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi kualitas informasi yang tersebut, juga bukan untuk mengasumsikan bahwa semua memiliki akses terhadap informasi itu, dan bukan juga untuk mengasumsikan bahwa mereka yang memiliki akses tersebut menggunakannnya untuk mengembangkan sumber daya intelektual mereka dengan cara-cara yang berdampak politis positif pada kehidupan mereka atau pada manajemen masyarakat mereka. Sepanjang sejarah, seluruh teknologi komunikasi digunakan baik untuk tujuan yang destruktif maupun konstruktif. Yang telah

berubah adalah asupan dan ketersediaan informasi, serta pula kedalaman dan jangkauan potensial pengetahuan individu dan kolektif.

Tersegel (tertutup) Bocor (terbuka)


Informasi tidak lagi mengalir melalui jalur-jalur yang dibatasi, dijaga oleh rezim sensor negara agar tidak kabur dan terkontaminasi oleh massa. Informasi tidak pernah sepenuhnya bebas dari kebocoran, tentu saja, tetapi kemungkinan memelihara kerahasiaan informasi lebih besar pada zaman iliterasi media massa dan monopoli elit relatif pada produksi dan penyebaran informasi daripada di zaman berkembangnya media satelit, internet, dan digital. Kebocoran informasi tidak hanya terjadi karena media tersebut memiliki fitur jaringan yang terhubung tetapi juga karena pengaruh ekonomi dari pasar media, yang memberikan jangkauan dan eksklusivitas, tanpa peduli siapa atau apa yang terusik karena kebocoran tersebut. Pola skandal politik pada beberapa tahun terakhir tidak hanya menunjukkan kemerosotan penghormatan yang telah dibahas pada Bab 4, tetapi juga tekanan komersial terhadap media untuk membocorkan penyimpangan para elit walaupun pembocoran tersebut menentang aturan editorial dan kepatutan. Seorang pengamat pernah menyatakan: Kekuatan-kekuatan baru tengah menciptakan tekanan-tekanan yang kuat dan tak terelakkan terhadap para editor. Teknologi informasi mengubah cara berita dilaporkan dan disebarkan (Sabato et al. 2000: 38). Paradigma chaos melihat kekuasaan, seperti informasi yang menjadi asas banyak kekuasaan, sebagai sesuatu yang cair. Kekuasaan berdebur dan mengalir di antara tempat-tempat dan pusat-pusat, menyebar dalam masyarakat melalui saluran-saluran dan jalur-jalur yang disediakan oleh media komunikasi. Kekuasaan menyebar. Kekuasaan meresap, larut, dan mengalir ketika kondisi lingkungan berubah. Komunikasi adalah medium penyebaran sumber daya kekuasaan, dan saluran-saluran komunikasi yang bocor berarti pusat-pusat kekuasaan yang keamanannya tidak seketat dulu lagi.

Opasitas (Ketertutupan) - Transparansi


Saat informasi bocor, sumber-sumber dan mekanisme kekuasaan menjadi semakin transparan. Tentu saja masih banyak terdapat hal-hal yang tersembunyi dan rahasia, bahkan dalam lingkungan kebocoran informasi pada abad kedua puluh. Banyak informasi yang sangat penting tidak pernah dipublikasikan. Tetapi dalam keterbukaan budaya politik kontemporer, yang melihat segalanya seperti detil pornografis di Starr Report atau penyidikan forensik Hutton Inquiry yang dapat diakses dalam jaringan, banyak hal yang tidak terungkap di masa lalu dapat diungkapkan sekarang, dan ini terjadi bukan karena elit politik berkehendak demikian. Sejak sekitar 1985 dan peluncuran kampanye glasnost Mikhail Gorbachev, yang pada waktu itu dianggap sebagai semata fenomena Soviet, tetapi kemudian mencapai status sebagai prinsip universal pemerintahan yang baik, jangkuan maksimum dari keterbukaan informasi menjadi kebutuhan politis rezim-rezim yang ingin mempertahankan legitimasi di muka publik, karena dengan atau tanpa seizin rezim-rezim ini, berita buruk akan keluar dan mekanisme kekuasaan akan terlihat transparan.

Tarik menarik antara opasitas dan transparansi bersifat konstan dan dapat berubah setiap saat. Para elit politik dapat memberikan kesan keterbukaan melalui cara legislatif atau presentational, dan aparat-aparat hubungan masyarakat dipekerjakan untuk mencapai kesan ini dan juga untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak terlampau licik. Tetapi predisposisi publik terhadap transparansi dalam proses pemerolehan dan manajemen kekuasaan telah menjadi kebiasaan bawaan pada aktor-aktor politik serius dalam suatu pemerintahan demokrasi. Ini adalah ciri dari lingkungan politik kontemporer dengan konsekuensi-konsekuensi nyata pada batas-batas kekuasaan.

Eksklusivitas Aksesibilitas
Keluasan informasi yang tersedia saat ini, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, baik dalam bentuk situs web Hutton Inquiry atau laporan Drudge, sebagian besar diakibatkan oleh terkikisnya eksklusivitas media global. Hingga beberapa saat yang lalu, kelompok-kelompok bersumber daya rendah memiliki akses terbatas kepada produksi media, dan sedikit banyak bergantung pada media-media yang arus besar (mainstream) yang ajeg. Pada akhir abad kedua puluh, Ithiel de Sola Pool mengamati media elektronik dan mengatakan bahwa media tersebut menyediakan lebih banyak pengetahuan, akses yang lebih mudah, dan kebebasan berbicara yang lebih luas (1983: 251). Seperempat abad kemudian, dengan munculnya internet sebagai media massa, akan muncul ratusan juta produsen-produsen online. Bab 8 mengamati faktor-faktor tersebut yang bisa jadi menentukan kualitas informasi yang disebabkan oleh ketersediaan akses, tetapi kenyataan bahwa ketersediaan ini dapat terjadi adalah sebuah fenomena budaya yang tak disangka-sangka, seperti yang dinyatakan oleh Hakim Amerika Serikat Stewart Dalzell ketika ia menentang kecenderungan sensor Undang-undang Kepatutan Komunikasi (Communications Decency Act) tahun 1996: Internet telah menjadi pasar partisipasi pendapat massa terbesar di dunia. Penduduk-penduduk dengan perangkat yang terbatas dapat berbicara kepada pemirsa di seluruh dunia tentang masalah yang menjadi perhatian mereka. (Dalzell dalam Katz 1997: 44)

Kehomogenan Keheterogenan (Keberagaman)


Aksesibilitas melahirkan keheterogenan atau keberagaman editorial. Sebagian besar tulisan yang dimuat pada jutaan blog dapat diabaikan; catatan harian pribadi dan hal-hal yang hanya menjadi perhatian sedikit orang kecuali penulisnya sendiri (tentu saja dengan tidak mengabaikan signifikansi tulisan-tulisan tersebut bagi penulisnya sendiri). Tetapi bahkan ratusan ribu tulisan yang berhasil melewati kendali mutu informal yang disebutkan pada Bab 8 menunjukkan keberagaman sudut pandang yang signifikan bagi para pengguna internet di seluruh dunia. Kejayaan Al Jazeera dan media berita satelit lainnya telah mengikis monopoli barat pada berita transnasional, dan bahkan memberikan seorang pembangkang seperti Osama bin Laden sesuatu yang disebut sebagai sistem pesan antar dalam lingkungan media yang kompetitif (Bessaiso 2005: 153). Yang ia katakan tidaklah seberapa penting dibandingkan dengan fakta bahwa ia dapat mengatakannya, dengan mengabaikan keinginan-keinginan negara adikuasa dunia.

Hierarki Jaringan
Dampak kebocoran informasi, transparansi elit politik, dan meningkatnya keberagaman pendapat diperkuat dengan struktur jaringan sebagian besar sistem media global. Walaupun media nasional dan transnasional tidak banyak berubah, hierarkis dan terpusat walaupun sekarang lebih berpihak kepada kebocoran dan kesubversifan editorial, struktur jaringan world wide web, digabungkan dengan berita satelit terkini 24 jam sehari, menghasilkan lingkungan dengan kekayaan informasi yang tidak terduga, lebih aktif, dan lebih sulit untuk dikuasai oleh elit politik. Terpaan berita berkembang tanpa ada hambatan, membuat para elit politik berada dalam posisi reaktif dan defensif.

Kepasifan Ke(inter)aktifan
Ketika lingkungan ini memperoleh informasi, muncullah kesempatan terjadinya interaktivitas massal dengan sistem media, dan melalui interaktivitas itu, muncul pula hubungan dengan elit-elit kekuasaan. Para pemirsa tidak lagi pasif seperti yang dikhawatirkan oleh para pemikir budaya yang pesimis, mereka memiliki kapasitas untuk menerjemahkan pesan-pesan yang mereka terima secara ternegosiasi, diferensial, atau dengan cara yang tidak umum (Hall 1980). Di masa lalu, sebagian besar orang tidak punya pilihan kecuali diam saja menghadapi pesan-pesan tersebut, hampir tanpa akses sedikit pun untuk memberikan balasan atau masukan kepada pesan-pesan tersebut. Seseorang dapat menulis surat kepada sebuah surat kabar, tanpa kepastian apakah surat itu akan dimuat, dan media-media besar pada abad kedua puluh seperti radio, film, dan TV, hanya memberikan sedikit kesempatan untuk partisipasi publik. Saat ini ada acara bincang-bincang pada siang hari, program-program debat politik, dan cara-cara digital untuk memberikan pendapat tentang isi suatu program. Terdapat jutaan situs pribadi dan blog, tempat semakin banyaknya orang berhadapan dan berpendapat tentang permasalahan-permasalahan di dunia saat ini.

Dominasi Kompetisi
Maka, lingkungan informasi yang semula dikuasai oleh dominasi dan hierarki telah berubah menjadi lingkungan dengan kompetisi dan ketidakpastian yang semakin besar; lebih seperti sebuah pasar dengan gagasan yang saling bersaing dan bukan seperti ekonomi terencana yang diterapkan oleh pihak yang mendominasi; lebih seperti anarki informasi dan bukan seperti kendali informasi, dan dengan kapasitas perlawanan terhadap otoritas politik yang terbesar dalam sejarah manusia. Bahkan sebelum internet menjadi media massa, Arquilla dan Ronfeldt mengamati bahwa revolusi informasi membuat negara apapun semakin tidak mampu mengendalikan penyebaran informasi , dan bahwa [revolusi informasi] melawan dan mengikis hierarki yang merancang terbentuknya institusi-institusi; revolusi ini menyerap dan menyebarkan kembali kekuasaan, terutama kepada mereka yang semula dianggap sebagai pihak yang lebih kecil dan lemah; revolusi ini melewati batas-batas dan bahkan menentukan batas-batas baru; revolusi ini membuat sistem-sistem yang tertutup membuka diri. (Arquilla dan Ronfeldt 1997: 26) Bagi Robins dan Aksoy, sebagai akibat dari tren ini, negara-bangsa saat ini adalah sebuah lembaga yang semakin terancam oleh turbulensi global (2005: 18). 4

Jurnalisme dan kekuasaan dalam dunia global


Pada setiap saat masyarakat-masyarakat tertentu dapat digambarkan berdasarkan derajat konstituenkonstituen chaos di atas yang ditunjukkan oleh lingkungan-lingkungan komunikasi, dan juga jangkauan konstituen-konstituen tersebut yang tercakup dalam lingkungan informasi yang tidak terduga dan mudah berubah-ubah, berbeda dengan lingkungan yang stabil dan terkendali. Bersama dengan kajian struktur lingkungan informasi dalam masyarakat tertentu, dan bagaimana kajian tersebut mengakomodasi lingkaran publik yang berfungsi, derajat ini memberikan cara untuk mengevaluasi kondisi budaya politik saat ini, dan juga arah tren politik (jika bukan hasil dari tren tersebut). Secara paradoks, jika sejalan dengan prinsip evolusioner bahwa sistem yang adaptif lebih baik dalam mengatasi perubahan lingkungan daripada sistem yang kaku dan tidak fleksibel, chaos budaya dalam tingkatan yang tinggi dalam suatu masyarakat tertentu akan setara dengan reformasi progresif dalam kapasitas tinggi, dan mengurangi kecenderungan keruntuhan sistemik. Sistem yang menerapkan hierarki dan kehomogenan sistem yang tertutup adalah sistem yang konservatif. Sistem-sistem ini bisa jadi tampak stabil pada jangka pendek atau panjang, tetapi sekaligus juga stagnan dan terhambat hingga sistem-sistem ini kemudian hancur di bawah tekanan yang dihasilkan oleh susupan-susupan sumbersumber informasi eksternal. Dalam masyarakat tertentu seperti di Amerika Serikat, di sisi lain, dengan sistem media yang ramai dan bernas (termasuk blogosfer yang hiperaktif), penekanan konstitusional pada kebebasan berbicara, budaya jurnalistik argumentatif, dan pasar budaya perlawanan yang berkembang pesat, kecil kemungkinan terdapat tekanan yang akan menyebabkan masyarakat ini jatuh atau runtuh. Ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan dapat diutarakan dan didengarkan, termasuk dalam media mainstream, halaman-halaman majalah Vanity Fair, atau rak-rak buku laris di toko buku Borders. Anda mungkin tidak suka dengan pemerintahan di negara Anda, tetapi bukan berarti bahwa Anda tidak dapat mengritik pemerintahan dengan sesuka hati dan tanpa ampun dan mengonsumsi kritik-kritik yang dilakukan oleh orang lain, para jurnalis, pembuat film dokumenter, akademisi, atau komedian panggung. Masyarakat kapitalis sebagai sistem yang terbuka, tempat komunikasi dan informasi mengalir keluar masuk dengan bebas, lebih memungkinkan untuk berevolusi dengan cara yang lebih progresif dan lebih bertahan lama, tanpa adanya kecenderungan untuk menjadi hiper-demokrasi atau dikuasai oleh sekelompok orang berkuasa (mob rule) seperti yang telah disebutkan pada Bab 11. Sebagai efek sosiologis demokratisasi, komodifikasi budaya dan evolusi teknologi telah dirasakan pada organisasi sosial kapitalis, hubungan-hubungan kekuasaan yang terjalin antara, misalnya, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan, homoseksual dan heteroseksual, atau hitam dan putih, telah menjelma menjadi kondisi yang cair, fleksibel, dan terus berevolusi, ketika kendali terhadap sumber daya ekonomi tidak lagi setara dengan kendali terhadap sumber daya budaya dan kekuatan politik. Kekuasaan mengalir ke atas, ke bawah, dan seiring dengan jaringan komunikasi yang meluas yang meliputi seluruh bumi dan membuat batas-batas politis semakin tidak berarti. Para penguasa media tidak dapat lagi bersikap adikuasa, walaupun mereka terkadang ingin dan mencoba bersikap seperti itu. Model chaos tidak hanya menunjukkan bahwa dominasi politik melalui kendali terhadap media sulit dilakukan dan kondisi saat ini dapat dipertahankan. Model ini juga menyiratkan bahwa kemajuan sosial dalam berbagai bentuk dapat muncul dari aliran informasi yang sporadis yang merupakan ciri 5

periode kontemporer. Politik etnik dan seksual progresif dalam dunia kapitalis yang maju, modernisasi ekonomi, dan demokratisasi di negara-negara berkembang semakin tersebar luas dalam kondisi-kondisi baru yang dapat disesuikan dengan kebutuhan negara-negara tersebut. Jika perubahan budaya adalah sebuah proses evolusi memetik dengan makna yang berubah dari waktu ke waktu (makna-maknan etnisitas, homoseksualitas, kesetaraan perempuan, dan lain-lain), proses tersebut semakin melaju kencang dalam kondisi-kondisi yang telah saya paparkan dalam buku ini.

Poskrip: chaos budaya dan proyek kritis


Dalam menyusun argumen-argumen ini, saya telah sering ditantang untuk menentukan implikasi argumen-argumen tersebut bagi para cendekiawan komunikasi. Saya ditanyai, Apa lagi yang harus kami lakukan jika optimisme budaya saya dibenarkan? Scott Lash berpendapat bahwa dalam rezim kekuasaan yang baru dan non-linear yang berhubungan era informasi, kritik tidak lagi memungkinkan (2002: xi). Apakah ia benar? Tentu saja tidak. Kritik mungkin dilakukan, tetapi bukan kritik terhadap sesuatu yang didefinisikan sebagai ideologi dominan atau bias, dan juga bukan pembodohan dan varian-varian konsep tersebut yang telah berlangsung sekian lama dalam ilmu media. Dalam jagat media multi-saluran yang membuktikan biasnya suatu saluran media, bahkan sumber yang terpercaya seperti BBC tidak berdaya dalam menghadapi keseluruhan sistem. Tidak ada lagi yang mengetahui ideologi dominan, termasuk para jurnalis. Lingkungan ideologis merupakan sebuah pusaran chaos yang terdiri atas gagasan-gagasan yang saling berlomba dan sistem kepercayaan, yang berada di puncak pasar komoditas budaya yang ramai dengan kedalaman, keberagaman, dan pertentangan terhadap para elit politik di seluruh lapisan kehidupan. Konsep pembodohan adalah gaya kritik yang kerap muncul dan berdasar pada estetika subjektif dan penilaian moral yang dapat disetujui atau dibantah, tetapi hanya mendapat tempat kecil dalam sosiologi jurnalisme kecuali sebagai pengingat wacana intelektual elitis pada waktu yang lampau. Tekanan-tekanan ekonomis terus mendesak organisasi-organisasi jurnalistik untuk mengurangi biaya dan mengambil jalan pintas editorial yang tidak pantas. Sangatlah penting untuk mempertahankan pandangan kritis terhadap cara tekanan-tekanan ini bertindak terhadap isi, dan untuk mengawasi tingkat kompromi status informasi terbatas jurnalisme yang ditentukan oleh keputusan-keputusan yang cenderung bersifat finansial dan bukan editorial. Tetapi pengawasan ini tidak memerlukan anggapan estetik wacana pembodohan maupun dogma konspiratorial model propaganda. Jika ideologi dominan, bias, dan pembodohan adalah, menurut Tom Wolfe, tiga serangkai dalam ilmu media kritis yang harus segera dihentikan, maka saya akan mengajukan agenda kritis untuk abad keduapuluh satu yang berfokus pada tiga rangkaian masalah yang dapat diteliti secara empiris: Isi informasi jurnalisme yang semakin berkembang; Dampak-dampak sosiologis, dan dinamika komunikatif, dalam lingkaran berita yang kaotik; Etika dan mekanisme kendali komunikasi. 6

Isi informasi berita


Buku ini telah mengidentifikasi sejumlah tantangan terhadap kualitas informasi yang tersedia dalam lingkungan publik global. Para jurnalis memiliki teknologi pengumpulan berita yang lebih berlimpah dan lebih baik, tetapi mereka hanya punya sedikit waktu untuk mengembangkan berita yang mereka tulis untuk mengisi kolom yang semakin luas. Dalam kondisi seperti ini, penting untuk mengamati inti dari apa yang disampaikan oleh para jurnalis di abad kedua puluh ini. Apakah yang diberitakan oleh berita 24 jam sehari, dan bagaimana berita tersebut berbeda dalam isi, struktur, dan makna dengan media-media cetak atau siaran yang telah lebih dahulu ada? Narasi apa yang didukung oleh aliran media berita 24-jam (jika dibandingkan dengan media cetak atau siaran) dan apakah narasi tersebut menambah pengetahuan manusia secara signifikan? Jika siklus berita menjadi semakin cepat, dan semakin banyak ruang dan waktu yang dapat diisi dengan berita, apakah isi beritanya menjadi kurang keras dan lebih lembut ? Apakah kuantitas spekulasi, ekstrapolasi, dan ketidakakuratan semakin bertambah dalam berita-berita terkini, dan apakah hal ini membuat nilai dari isi informasi ini berkurang? Jurnalisme internet memiliki masalah dengan kendali mutu, masalah yang berasal dari sifatnya yang tidak terpusat, demokratis, dan mudah diakses. Dari jutaan blogger yang aktif saat ini, hanya ratusan saja yang kredibel, menjadi sumber berita dan pendapat yang terpercaya. Sisanya menjadi bagian-bagian dari Menara Babel, sekilas dan tidak penting, terkadang keliru, dan terkadang juga berbahaya. Walaupun hal ini telah terjadi, diperlukan upaya untuk memahami proses-proses bagaimana sumber-sumber berita online menginfeksi dan terserap ke dalam arus utama budaya berita global. Bab 8 membahas persilangan norm.blog pada Februari 2005, dan menyarankan beberapa penjelasan mengapa persilangan ini terjadi. Mengatur dan mengawasi penularan memetis ini, yang menyebar seperti virus ke seluruh dunia, adalah agenda penelitian bagi sosiologi chaos budaya. Proses-proses dan faktor-faktor apa yang ikut berperan dalam menentukan kesuksesan sebuah blog: isi, gaya, kebetulan dan keberuntungan, ataukah kombinasi dari keseluruhan faktor-faktor ini ditambah dengan faktorfaktor lain? Kajian-kajian media juga memiliki agenda pendidikan baru. Dengan menghilangkan batas antara jurnalisme dan bukan jurnalisme, amatir dan profesional, objektif dan subjektif, blogosfer telah menunjukkan pula kelemahan dan inkompetensi media-media terkemuka , menghasilkan sesuatu yang disebut sebagai krisis kredibilitas dan otoritas jurnalisme sebagai bentuk budaya. Para ilmuwan media dapat bersumbangsih pada pemecahan masalah ini tidak hanya dengan mengritik kualitas jurnalisme, tetapi dengan mendidik para jurnalis tentang kondisi-kondisi eksistensi jurnalisme: dari mana datangnya, apa gunanya, dan bagaimana cara kerjanya seperti yang telah dijelaskan oleh John Hartley (1996: 35). Hartley juga berpendapat (2005) bahwa pendidikan jurnalisme di universitas-universitas harus memimpin dalam mengajarkan jurnalisme yang baik, dan bahwa ilmu ini sangat berharga baik bagi para jurnalis profesional di New York Times maupun bagi para amatir yang tersebar di blogosfer. Bagi Hartley, kita telah memasuki masyarakat redaksional yang menulis. Dalam masyarakat ini semua orang bisa menjadi jurnalis. Dan jika semua orang memiliki potensi untuk menjadi jurnalis, melalui blog atau media internet lain, dan jika tulisan mereka berkesempatan untuk dibaca, maka kajian jurnalisme memiliki peran edukatif yang penting dalam memastikan bahwa kesempatan dan potensi ini dapat sepenuhnya diwujudkan. 7

Dampak-dampak sosio-psikologis siklus berita yang bersifat kaotik


Bab 11 membahas pertumbuhan kepanikan, amarah, dan ketakutan media yang berkaitan dengan chaos budaya, dan kemungkinan bahwa animo publik dapat terus meningkat, kehidupan dan reputasi hancur, dan pemerintahan yang baik dilemahkan oleh tren-tren informasi yang dibahas dalam buku ini. Efekefek ini bukanlah efek yang disengaja, tetapi dapat berbahaya bagi individu, organisasi, dan masyarakat. Efek-efek ini dapat menjadi bahan kajian empiris. Bagaimana pengalaman masyarakat dalam menghadapi peristiwa media seperti peristiwa 9/11 atau penyerangan Beslan, dan bagaimana pengalaman tersebut bercerita tentang dunia tempat mereka hidup? Apakah yang menyebabkan munculnya kepanikan dan ketakutan? Apakah penyebab tersebut dapat diperkirakan? Apakah akibatakibatnya dapat dihindari? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab menggunakan kajian pemirsa, kajian isi dan konteks, wawancara dengan para jurnalis, editor, dan aktor politik yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang terlibat dalam naik dan turunnya berita-berita dalam agenda, dan dampak-dampaknya terhadap pengambilan keputusan politik. Penelitian seperti ini telah ada sebelumnya, misalnya penelitian universitas Cardiff tentang laporan MMR yang dikutip pada Bab 11, tetapi dalam era chaos budaya, dan dengan sumber-sumber berita baru tentang fenomena global seperti flu burung dan pemanasan global, prioritas penelitian ini perlu ditingkatkan. Cara lain untuk merumuskan serangkaian permasalahan ini adalah dengan bertanya di manakah batas antara keteraturan dan ketidakteraturan dalam komunikasi jurnalistik? Di manakah laporan penting yang konstruktif dan penelusuran politik dan permasalahan umum berubah menjadi penyebaran kepanikan, amarah, dan ketakutan yang destruktif? Bagaimana laporan jurnalistik tentang ancaman terorisme berubah menjadi kepanikan tentang jaringan terorisme global Al-Qaida yang kemudian melahirkan Undang-undang Patriotisme di Amerika Serikat atau memunculkan pentingnya kepemilikan kartu identitas di Inggris? Bagaimana laporan tentang makanan dan gaya hidup berubah jadi masalah kesehatan yang menakutkan? Bagaimana laporan yang bermanfaat tentang realitas yang problematik seperti kejahatan berubah menjadi kepanikan moral tentang masalah gelandangan, seperti yang terjadi di Inggris pada tahun 2004? Apakah kerusakan yang ditimbulkan pada pemerintahan yang baik kemudian menenggelamkan kebaikan yang pernah dilakukan oleh pemerintahan tersebut? Dalam versi Masalah Batas (istilah yang digunakan oleh para ilmuwan chaos), tugas sosiologis kita adalah untuk mengenali momen perpindahan fase, untuk mengidentifikasi atau mengantisipasi batas antara keteraturan dan ketidakteraturan, dan membantu pengelolaan atau pencegahan kepanikan yang disebabkan oleh media.

Etika dan mekanisme kendali komunikasi


Saat kendali keluaran media menjadi semakin sulit dilakukan dan siklus berita semakin menjadi kacau, secara teknis, apakah batas-batas kendali itu? Tingkat kendali informasi seperti apa yang boleh diterapkan oleh otoritas politik? Taktik dan strategi apakah yang bekerja? Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, paradigma chaos menekankan kembali pentingnya sosiologi sumber. Paul Manning telah mengidentifikasi tugas sosiologi berita dan sumber berita sebagai pekerjaan melacak sumber-sumber tatanan dan kendali (2001: 48) dalam konstruksi jurnalisme. Sosiologi sumber adalah juga analisis bagaimana dan juga, jika keteraturan dapat dipertahankan dalam chaos yang semakin 8

nyata dalam komunikasi global, tetapi sekaligus juga mempertahankan efek-efek desentralisasi dan demokratisasinya baik pada tingkat nasional maupun global.

Pemikiran akhir
Selain fokus-fokus ini, tugas kritis tradisional untuk mengawasi kinerja media dalam peran demokratiknya adalah tugas yang sah. Hanya karena hubungan antara kepemilikan media (sebuah ungkapan kekuatan ekonomi) dan kekuasaan budaya dan politik semakin renggang, tidak berarti bahwa hasrat untuk menerapkan kembali kekuasaan yang tidak demokratis, seperti para pemilik media besar yang memiliki ideologi tertentu atau pemerintah yang dengan egois berusaha bertahan, semakin menipis. Jika penelaahan kritis kekuatan politik oleh jurnalisme adalah kunci menuju demokrasi, dan jika penelaahan ini semakin intensif dan mengikuti tren-tren yang dibahas dalam buku ini, penelaahan kritis baik media maupun kekuasaan politik, dan hubungan antar keduanya yang selalu berkembang, adalah mekanisme lanjut untuk mempertahankan akuntabilitas demokrasi, sebuah mekanisme yang tidak dapat mengandalkan baik politisi maupun jurnalis untuk melaksanakan kepentingan umum secara menyeluruh. Segala sesuatu, secara seimbang, dapat menjadi semakin baik dalam dunia abad kedua puluh satu, tetapi kemajuan berikutnya tidak terhindarkan. Pada saatnya nanti, perkembangan lingkungan ekonomi, geopolitik, dan ideologis global (dan juga kemerosotan drastis lingkungan alam) bisa jadi akan merevisi simpulan yang secara pragmatis sangat optimistis, dan menghambat atau memutarbalikkan tren-tren positif yang telah disebutkan dalam buku ini.

Munculnya krisis kapitalisme?


Pertama, mereka dapat digulingkan oleh krisis ekonomi kapitalis global, lebih besar daripada seluruh krisis pasar saham, mata uang, dan minyak yang pernah terjadi dalam tiga dekade terakhir; ini akan menghambat kemampuan sistem untuk meningkatkan taraf hidup rata-rata. Paradigma chaos berlaku bukan hanya pada ilmu ekonomi tetapi juga pada evolusi budaya, dan tidak ada jaminan bahwa polapola yang terjadi beberapa waktu yang lalu akan terjadi pula di masa mendatang. Krisis kapitalisme global telah muncul gejalanya tetapi belum pernah benar-benar terjadi. Akan tetapi mungkin krisis itu saat ini akan segera terjadi, dipicu oleh peristiwa seperti badai Katrina yang menerpa wilayah Tanjung Amerika Serikat pada akhir Agustus 2005, menghancurkan wilayah itu dan melumpuhkan industri minyak Amerika Serikat. Dari peristiwa tersebut, yang terlihat semakin sering dan intens, konsekuensikonsekuensi yang tidak terduga terjadi bagi tren-tren ekonomi, politik, dan budaya global.

Bangkitnya Cina
Dalam evolusi ekonomi modal global, perkembangan masa depan Cina sangatlah penting. Seperti yang telah kita lihat, modernisasi ekonomi Cina telah berlangsung tanpa adanya modernisasi politik. Suatu hari, tak lama dari sekarang, Cina akan menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Tanpa kepemimpinan politik yang bijak baik di timur maupun barat, Cina sangat memungkinkan untuk muncul tidak hanya sebagai pesaing ekonomi, tetapi juga pesaing kekuatan militer bagi Amerika Serikat, Rusia, India, Uni Eropa atau Jepang, mengarah pada konflik yang tidak hanya berdasar pada pemisahan kapitalis-komunis pada masa Perang Dingin, tetapi juga pada kompetisi perebutan sumber daya yang langka, yang juga menyebabkan terjadinya Perang Dunia I. Tidak seperti ancaman keras tetapi kosong yang diteriakkan 9

oleh fundamentalisme Islam kepada modernitas kapitalis, tantangan Cina akan berdasar pada kekuasaan kuat ekonomi, melahirkan persaingan antara dua varian kapitalisme model otoriter yang dimiliki oleh Cina dan negara-negara lain di Asia melawan model demokratik liberal yang diusung oleh Amerika Serikat. Kompetisi ini mungkin tidak akan pernah pecah menjadi perang, mengingat kapasitas nuklir Barat dan pernyataan rakyat Cina bahwa tujuan utama negaranya adalah persaingan ekonomi yang sehat dan bukan konflik miltier (Friedman 2005). Di sisi lain, pertikaian dengan Taiwan yang disokong oleh Amerika Serikat sepertinya tidak akan pernah selesai, dan terdapat sebagian besar unsur dalam militer Cina yang melihat bahwa masalah ini lebih berhubungan dengan prestise nasional dan tidak berhubungan dengan keberhasilan ekonomi. Pada Juli 2005, Mayor Jenderal Zhu Chenghu dari Universitas Pertahanan Nasional Cina kabarnya pernah menyatakan dalam suatu pidato umum bahwa Beijing akan mengenyahkan intervensi militer Amerika Serikat di Taiwan dengan meluncurkan senjatasenjata ke kota-kota besar Amerika Serikat... Ratusan kota Amerika Serikat akan dihancurkan oleh Cina . Walaupun pemerintah Cina menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah sebuah pendapat minoritas , tetapi kemungkinan bahwa pendapat tersebut dapat mewakili mayoritas tidak dapat diabaikan. Dan konflik militer dalam skala ini, jika terjadi, akan menegasi tren-tren demokratisasi dan liberalisasi yang disebutkan dalam buku ini, seperti juga perang terhadap terorisme yang dijadikan justifikasi untuk tindakan-tindakan iliberal yang dilakukan Amerika Serikat dan Inggris.

Bangkitnya agama
Sosiologi media akan memiliki dampak yang kecil pada dua skenario tersebut, tetapi terdapat sumber ketiga kendali ideologis yang diperbarui, dengan penelahaan ilmiah memainkan peranan untuk dalam pencegahan. Bab 5 membahas hubungan antara pupusnya ideologi dan lingkaran media debat dan ketidaksetujuan yang semakin meluas. Perluasan ini dapat dicegah oleh pemerintahan-pemerintahan Barat yang berkomitmen pada gagasan bahwa perang melawan teror adalah perjuangan strategis yang menyerupai Perang Dingin. Di Amerika Serikat, misalnya, rezim tersebut akan didirikan berdasarkan gabungan reaksioner antara neo-konservatisme dan fundamentalisme Kristen, sebagai respon terhadap fundamentalisme Islam yang diusung Al-Qaida dan benturan peradaban (Huntington 1996) yang akan mereka lancarkan. Terjadi beberapa gerakan untuk menghambat liberalisme seksual di Amerika Serikat pada kedua masa jabatan Bush. Penerapan pendekatan Tuhan bersama kita pada politik global dapat mengarah pada kendali yang lebih ketat terhadap media berita dunia (dan pada seluruh media secara umum). Kita telah menyaksikan maraknya protes-protes agama terhadap ekspresi budaya di Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara lain. Walaupun terlalu dini untuk melihat tren ini sebagai kelahiran masyarakat Barat yang digambarkan dalam The Handmaid s Tale, novel distopia Margaret Atwood, tetapi kemunculannya adalah produk sampingan yang tidak terduga dari lingkungan politik saat ini, yang ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan dan keyakinan diri kecenderungan fundamentalis dalam semua agama saat buku ini tengah dicetak. Kemampuan media modern untuk menyebarkan pesan-pesan modernitas dan liberalisme kepada budaya-budaya yang asing atau resisten terhadap pesan-pesan tersebut, menjadi penyebab utama bangkitnya Al Qaida dan kelompok-kelompok sejenisnya. Bahaya yang mengancam kaum 10

progresif bukan terletak pada kemenangan jihad kelompok-kelompok ini, tetapi justru pada reaksi religius terhadap kebebasan-kebebasan seksual, intelektual, dan politik yang diberikan oleh kapitalisme pada akhir abad kedua puluh, dan juga pada kenyataan bahwa reaksi ini akan memunculkan kembali kekuatan konservatisme Kristen di Barat. Sejak 2001, serangan para fundamentalis Islam terhadap nilainilai Barat telah menghasilkan reaksi domestik yang tidak menyenangkan bagi liberalisasi seksual dan budaya politik masa kini, dan tidak jelas sejauh apakah reaksi ini akan dapat menghambat kebebasan yang diperoleh oleh perempuan, kaum homoseksual, dan komunitas-komunitas lain. Media yang terbuka, mudah beradaptasi, dan tidak disensor dalam lingkungan informasi yang kaotik akan terus berupaya melawan upaya untuk kekuasaan untuk memegang kendali. Dengan demikian, kemungkinan bahwa masa kita hidup saat ini adalah awal dari akhir era singkat aksesibilitas komunikasi dan keberagaman yang berkaitan dengan transisi fase dari Perang Dingin menuju benturan antar peradaban, dan bukan era permanen kapitalisme global demokratis pada abad keduapuluh satu, adalah sebuah kenyataan. Paradigma chaos melihat media jurnalistik kontemporer sebagai agen demokratisasi dan perubahan sosial, bukan agen stasis atau reaksi konservatif. Paradigma ini sebenarnya dapat menjadi keduanya, dan dapat menjadi konservatif kembali apabila digunakan oleh kekuatan religius fundamental. Bagi mereka yang memilih untuk tidak terlibat dalam benturan itu para ateis, humanis, liberalis, multikulturalis, pemikir sipil di dunia Islam, para religius moderat di mana saja yang mengutamakan toleransi, keberagaman, kebebasan intelektual, dan sekularisme, paradigme kritis baru berfokus pada menolak serangan terhadap media bebas dan independen, dari manapun datangnya, seperti penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center, pengeboman Al Jazeera di Bagdad oleh pihak lain, pelarangan pernikahan homoseksual di Massachusetts, atau pembunuhan atas dasar agama terhadap korban-korban perkosaan di Pakistan, pada awal abad kedua puluh peperangan telah berpindah dari tempatnya semula. Pemisahan-pemisahan lama kini telah diabaikan, dan penggolongan baru dibentuk berdasarkan pertanyaan-pertanyaan etnisitas, nasionalisme, agama, dan moralitas personal. Pertahanan gaya hidup dan kebebasan seksual saat ini menjadi garis depan politik abad keduapuluh satu. Dalam konteks ini, peran ilmuwan media adalah untuk memperjuangkan kebebasan media maksimum dalam lingkungan negara-bangsa, dan melawan sensor dan pelarangan isi informasi, siapapun yang melakukannya dan apapun alasannya, kecuali apabila pelarangan tersebut didasari oleh upaya pencegahan bahaya dan perlindungan hak individu (seperti dalam kasus pornografi anak, rasisme, pembajakan digital, dan peretasan (hacking) komputer). Prioritas kritis abad keduapuluh satu sangat jelas: bukan pertempuran yang sia-sia dan salah sasaran melawan kapitalisme secara umum, dan kapitalisme Amerika secara khusus, tetapi kritik yang secara moral berkesinambungan dan koheren terhadap kekuatan-kekuatan otoriter di mana saja (terutama kekuatan otoriter religius), dan juga mendukung demokrasi, modernitas, dan kebebasan (intelektual, politik, gaya hidup, dan budaya). Ini bukan perang kelas seperti pada abad kedua puluh, tetapi perang massal untuk mempertahankan hakhak asasi manusia, di manapun mereka berada.

Catatan
11

Pengantar
1. Perubahan paradigma terjadi dalam ilmu pengetahuan ketika fenomena-fenomena wajar atau intuitif mulai dipenuhi dengan bukti-bukti empiris yang tersedia bagi para pengamat objektif, bahkan terkadang seseorang memiliki teknologi observasi, pengukuran, dan analisis baru yang diberikan generasi sebelumnya yang tertantang secara paradigmatik. Pengamatan teleskopik Galileo mengenai pergerakan benda-benda langit menggugurkan anggapan bahwa bumi ini adalah pusat jagat raya. Penemuan fosil berusia jutaan tahun membuat versi penciptaan dalam Alkitab menjadi mitos semata, dan bukan lagi dianggap sebagai fakta ilmiah. 2. Penelitian Oliver Bennett berjudul Cultural Pessimism (2001) mengkaji sumber-sumber unsur intelektual utama pembentuk kritik budaya. Ia mengamati bahwa gagasan kemerosotan budaya telah menjadi ciri yang berulang dalam sejarah dunia Barat (ibid.: 12). 3. Penerapan media yang berkuasa dan dominan tidak dimonopoli oleh para ilmuwan media kritis. Banyak komentator non-akademis menggunakan teori kritik dengan menyalahkan media karena media menyebabkan seluruh bentuk fenomena sosio-kultural yang secara apriori didefinisikan sebagai sesuatu yang negatif (seperti misalnya homoseksualitas, toleransi seksual, kekerasan, dan perilaku anti-sosial). Pendapat paradigma kendali bahwa media dianggap melakukan hal-hal buruk bagi masyarakat, bukan hal-hal baik , dan pesimisme budaya yang melihat segala sesuatu menjadi tidak berguna, bukanlah fungsi pihak politik atau ideologis tertentu, tetapi cara untuk melihat dunia dan penduduknya sebagai objek pasif yang lemah dalam menghadapi serbuan pengaruh dari luar yang menindas mereka dan melemahkan kapasitas mereka untuk berpikir dan bertindak bagi diri mereka sendiri. Paradigma chaos pun tidak seharusnya dipandang sebagai cabang sosiologi kiri atau kanan, tetapi sebagai materialisme baru yang berhasil melampaui bipolaritas ideologis abad kedua puluh untuk kemudian berfokus pada lingkungan politik dan budaya yang berbeda pada abad keduapuluh satu. 4. Berbeda dengan agama, yang oleh Marx disebut sebagai candu lama masyarakat. 5. Baca buku-buku saya, Mediated Sex (1996) dan Striptease Culture (2002).

Prakata: sebuah catatan tentang chaos


Tercantum dalam Dialectic of Enlightenment, London, Allen Lane, 1973. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan mereka terhadap chaos budaya sebagai anarki sosial dan moral, atau ketidakteraturan, muncul dari runtuhnya standar dan kepastian moral yang baku. Dari pembahasan mereka tentang kejahatan keseragaman budaya, pembaca dapat menyimpulkan bahwa mereka lebih menghendaki ketidakteraturan ini, daripada budaya massa yang mereka anggap sebagai kapitalisme akhir. Dilaporkan oleh Tim Ellsworth. 2000/CUL19990831c.html. CNS News, http://www.cnsnews.com/Culture/Archive/1998-

12

You might also like