You are on page 1of 17

REFERAT

FRAKTUR TORAKOLUMBAL

Disusun Oleh:

Anisa Sutera Insani Hartantyo Kusuma

0510710018 0510710068

Pembimbing:

dr. Syaifullah Asmiragani Sp.OT

LABORATORIUM ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG 2010

BAB I PENDAHULUAN

Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal (AANS, 2005). Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen di depan dan dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati (Harna, 2008). Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus (Harna, 2008). Cedera medulla spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan di bidang penatalaksanaannya. Kalau di masa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga. Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera medulla spinalis terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih, gagal ginjal, pneumoni / decubitus (Harna, 2008). Trauma tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, diskus dan faset tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang

belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), , terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja (AANS, 2005). Di U.S., insiden cedera medulla spinalis sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden cedera medulla spinalis tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden cedera medulla spinalis pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan cedera medulla spinalis terdapat pada usia 18-25 tahun. SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden cedera medulla spinalis komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9 tahun (Schreiber, 2004). Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 % (Schreiber, 2004). Oleh karena itu, penulis menyusun referat ini untuk mengetahui mekanisme trauma, diagnosis dan penatalaksanaan dari cedera tulang belakang terutama thoracolumbal, secara tepat sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas dan harapan hidup penderita.

BAB II ISI

2.1. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang

Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea). Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya

tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil (Jong, 2005). Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu : 1. Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya. 2. Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina , pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentumligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi. Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum

interspinosus, dan ligamentum supraspinosus (Jong, 2005). Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai

area tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi (Jong, 2005). 2.2. Mekanisme Cedera Pada cedera tulang belakang mekanisme cedera (Apley, 2000) 1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi) Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan tanpa menyangga oksiput sehingga kepala membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin mengalami fraktur. cedera ini stabil karena tidak merusak ligamen posterior. 2. Fleksi Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra. Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak ligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur ini tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak maka fraktur bersifat stabil. Pada daerah cervical, tipe subluksasi ini sering terlewatkan karena pada saat dilakukan pemeriksaan sinar-X vertebra telah kembali ke tempatnya. 3. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat mengganggu kompleks vertebra pertengahan di samping kompleks posterior. Fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan risiko progresi yang tinggi. yang mungkin adalah:

Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada setengah corpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi bersifat tidak stabil. 4. Pergeseran aksial (kompresi) Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya; kerusakan neurologik sering terjadi. 5. Rotasi-fleksi Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi dan rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya; kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan atau tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak stabil dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan neurologik. 6. Translasi Horizontal Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak stabil dan sering terjadi kerusakan syaraf. 2.3. Cedera Torakolumbal Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian serta kecelakaan lalulintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalulintas dengan kecepatan tinggi dan

tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu fleksi, rotasi, maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi (Jong, 2005). Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu: (Apley, 2000) a. Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi adalah contoh cedera stabil. b. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. Berdasarkan mekanisme cederanya dapat dibagi menjadi: (Apley, 2000) a. Fraktur kompresi (Wedge fractures) Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. b. Fraktur remuk (Burst fractures) Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture

sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan. c. Fraktur dislokasi Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf. d. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

2.4.

Cedera Medulla Spinalis

Antara Vertebra Th I dan Th X Segmen korda lumbal pertama pada orang dewasa berada pada tingkat vertebra T10. Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan menghindarkan korda toraks tetapi mengisolasikan seluruh korda, lumbal dan sakral, disertai paralisis tungkai bawah dan visera. Akar toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak pengaruhnya. Di Bawah Vertebra Th X Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di antara vertebra T I dan LI, dan meruncing pada antar ruang di antara vertebra LI dan L2. Akar saraf L2 sampai S4 muncul dari konus medularis dan beraturanan turun dalam suatu kelompok (cauda equina) untuk muncul pada tingkat yang berturutan pada spina lumbosakral. Karena itu, cedera spinal di atas vertebra T10 menyebabkan transeksi korda, cedera di antara vertebra T10 dan LI dapat menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dan cedera di bawah vertebra Ll hanya menyebabkan lesi akar. Akar sakral mempersarafi: (1) sensasi dalam daerah "pelana", suatu jalur di sepanjang bagian belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar tapak kaki; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan kaki: (3) refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki; dan (4) pengendalian kencing. Akar lumbal mempersarafi: (1) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang dipasok oleh segmen sakral; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut: dan (3) refleks kremaster dan refleks lutut.. Bila cedera tulang berada pada sambungan torakolumbal, penting untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar dan transeksi korda dengan transeksi akar. Pasien tanpa kerusakan akar jauh lebih baik daripada pasien dengan transeksi korda dan akar. Lesi Korda Lengkap Paralisis Iengkap dan anestesi di bawah tingkat cedera menunjukkan transeksi korda. Selama stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal (tidak lebih dari 24 jam pertama) diagnosis tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan defisit saraf terus berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi lengkap yang berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.

Lesi Korda Tidak Lengkap Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan peniti di daerah perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis baik. Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6 bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma korda central di mana kelemahan adalah hasil awal diikuti dengan paralisis neuron motorik bawah pada tungkai atas dengan paralisis neuron motorik atas (spastik) pada tungkai bawah, dan tetap ada kemampuan pengendalian kandung kemih dan sensasi perianal (sakral terhindar). Pada sindroma korda anterior yang lebih jarang terjadi, terdapat paralisis lengkap dan anestesi tetapi tekanan dalam dan indera posisi tetap ad pada tungkai bawah (kolom dorsal terhindar). Pada sindroma korda posterior yang agak jarang terjadi (hanya tekanan dalam dan propriosepsi yang hilang), dan sindroma Brown Sequard (hemiseksi korda, dengan paralisis ipsilateral dan hilangnya perasaan nyeri kontralateral) biasanya disebabkan oleh cedera toraks. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat neurologik dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun dari segmen yang lebih tinggi dari lesi korda.
Tabel 1: Incomplete cord syndromes

Sindrom Anterior cord

Deskripsi Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensitivitas terhadap nyeri, temperature namun fungsi propioseptif masih normal

Brown-Sequard

Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan kehilangan sensitivitas nyeri dan temperatur pada sisi kontralateral

Central cord Dorsal cord (posterior cord) Conus medullaris Cauda equina

Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih lemah dibanding anggota gerak bawah Lesi terjadi pada bagian sensori terutama mempengaruhi propioseptif

Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanlis neuralis ; arefllex pada vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis yang mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Grading system pada cedera medulla spinalis : 1. Klasifikasi Frankel : Grade A : motoris (-), sensoris (-) Grade B : motoris (-), sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+) Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) 2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association) Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral Grade B : hanya sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3 Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 Grade E : motoris dan sensoris normal 2.5. Diagnosis dan Pemeriksaan Fraktur Vertebra Diagnosis klinik adanya fraktur thorakolumbal didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan yang tinggi akan adanya cedera pada vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau menurunnya kesadaran harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera tulang belakang jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis pada tungkai. Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI.

Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan rektum juga harus dilakukan. Pemeriksaan tentang tanda-tanda shock juga sangat penting. Macam-macam shock yang dapat terjadi pada cadera tulang belakang : a. Hypovolemic shock yang ditandai dengan takikardia, akral dingin dan hipotensi jika sudah lanjut. b. Neurogenic shock adalah hilangnya aktivitas simpatis yang ditandai dengan hipotensi, bradikardi. c. Spinal shock : disfungsi dari medulla spinalis yang ditandai dengan hilangnya fungsi sensoris dan motoris. Keadaan ini akan kembali normal tidak lebih dari 48 jam. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan: 1. Roentgenography: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeeseran pada vertebra. 2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra 2 dimensi . pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang dihasilkan CT scan 3. Magnetic Resonance Imaging: pemeriksaan ini menggunakan gelombang frekuensi radio untuk memberikan informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.

2.6. 1.

Penanganan dan Terapi Survey Primer A. B. C. Patenkan Airway dan immobilisasi C-spine. Pola dan adekuasi Breathing. Sirkulasi dan perdarahan.

Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas:

D. E. 2.

Disabilitas : AVPU/GCS, pupil. Exposure. Cegah hipotermia.

Resusitasi A : Pastikan paten / intubasi. B : Ventilasi Adekuat/Mesin/Oksigen. C : Perfusi / Hentikan Perdarahan. Nilai reaksi terhadap resusitasi dengan Nadi,Tensi, CRT dan output urin.

Survei primer dan resusitasi dilakukan bersamaan. Hipotensi jarang karena cedera kepala, kecuali pada anak-anak dengan perdarahan scalp atau cedera kepala. Pikirkan penyebab lain atau cedera kord spinal. Kadang-kadang bisa oleh cedera medulla. 3. Survey Sekunder GCS dan cedera eksternal kepala. Nadi/Akral/Tensi/Suhu. Head to toe. Nilai ulang GCS. Pemeriksaan Radiologis dan segera mengirim penderita ke unit trauma spinal ( jika ada). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti meliputi pemeriksaan neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui kemungkinan adanya fraktur pada vertebra. Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya tergantung dengan tipe fraktur 1. Braces & Orthotics Ada tiga hal yang dilakukan yakni, a. mempertahankan kesegarisan vertebra (aligment), b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan, c. mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.

Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh; brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-thoracic brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas, thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokas memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan kesegarisan 2. Pemasangan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graft adalah penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian yang disambung. Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk menghasilkan penyatuan yang solid. 3. Vertebroplasty & Kyphoplasty Tindakan ini adalah prosedur invasi yang minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju corpus vertebra sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan dikembungkan untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi dengan bone cement. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi a. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup, kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu b. c. d. f. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari Monitoring cairan masuk dan cairan yang keluar dari tubuh Nutrsi dengan diet tinggi protein secara intravena Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.

e. Cegah dekubitus

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Kecurigaan yang tinggi akan adanya cedera pada vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau menurunnya kesadaran harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera tulang belakang jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis pada tungkai.

DAFTAR PUSTAKA AANS. 2005. Spinal Cord Injury. http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp. Diakses pada 18 Mei 2010, jam 16.00. Apley,A.Graham. Apleys System O Orthopaedic And Fracture, Seventh Edition. Butterworth scientific. London, 2000. p. 658-665. Harna. 2008. Trauma Medulla Spinalis. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis/. Diakses pada tanggal 18 Mei 2010, jam 16.15. Jong, W.D, Samsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal: 870-874. Schreiber, D. 2004. Spinal Cord Injury. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview. Diakses pada tanggal 18 Mei 2010, jam 16.00.

You might also like