You are on page 1of 15

Tuberkulosis Paru 1.

Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga juga dikenal sebagai BTA (basil tahan asam). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan. (Brooks, 2005).

2.

Etiologi Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk

dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. (Brooks, 2005). Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 68 minggu. Suhu optimal untuk tumbuh pada 37 0C dan pada pH 6,4-7,0. Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh yodium tinctur selama 5 menit dan juga oleh etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Kuman akan mati pada suhu 600C selama 1520 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman (Irma, 2007).

3.

Penularan dan Penyebaran Cara penularan penyakit tuberkulosis paru biasanya melalui udara yang tercemar

dengan bakteri Mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita tuberkulosis dewasa. Partikel kecil di udara yang berisi kuman tuberkulosis ini disebut droplet. Droplet nukleus yang berisi ukuran 1-5 m dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar sebab partikel besar akan cenderung menumpuk di jalan nafas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan paru oleh sistem mukosilier (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Batuk merupakan mekanisme yang efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius yang sama banyaknya dengan berbicara keras selama 5 menit (Mual, 2009). Penyebaran melalui udara juga dapat

disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi. Satu kali bersin dapat menghasilkan 20.000-40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel besar sehingga tidak infeksius (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, sikap dan perilaku yang belum benar, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Menurut Aditama (2002), disamping hal-hal tersebut daya tahan tubuh yang lemah, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting.

4.

Patogenesis TB Paru Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune response.

Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli. Partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli (Mual, 2009). Mikobakterium tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorfonuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah strain virulen mikobakteri masuk ke dalam endosom makrofag, organisme mampu menghambat respon mikrobisida normal dengan memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan endosom. Hasil akhir dari manipulasi endosom ini adalah gangguan pembentukan fagolisosom efektif sehingga mikobakteri berproliferasi tanpa terhambat. Oleh karena itu, fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi bakteremia dan penyemaian di banyak tempat. Meskipun terjadi bakteremia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimptomatik atau mengalami gejala mirip flu. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari (Kumar, 2007). Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas, men imbulkan

respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiologi rutin (Fishman, 2002). Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat akan terulang kembali di bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkijuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif (Crofton, 2002). Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer. TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post primer dapat terjadi oleh karena perkembangan langsung dari TB primer, reaktivasi TB primer, maupun reinfeksi dari luar (exogenous infection). Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (Price, 2005).

5.

Diagnosis TB Paru Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis (gejala klinis dan

pemeriksaan fisik), pemeriksaan bakteriologik, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya (Budiart, 2001). 5.1. Pemeriksaan Klinis Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 bagian : a. Gejala respiratorik :

 Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.  Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak, atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.  Sesak napas : dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.  Nyeri dada : timbul apabila parenkim paru subpleura sudah terlibat. b. Gejala sistemik :  Demam : merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.  Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Pemeriksaan fisik atau jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

5.2. Pemeriksaan Bakteriologi Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat-sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar lavage, urine, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan sputum cara pengambilannya terdiri dari 3 kali yaitu sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat menghantarkan dahak pagi). Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan Kinyoun Gabbet (Aditama, 2002). WHO (2002) merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

a. b.

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

c. d. e.

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (1+). Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (2+). Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (3+).

5.3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada foto toraks TB memberikan gambaran yang multiform. Dapat dicurigai sebagai lesi TB aktif bila ditemukan bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru d an segmen superior lobus bawah. Kavitas terutama bila lebih dari satu, bayangan bercak milier ataupun efusi pleura unilateral. Sedangkan lesi yang inaktif bila adanya fibrosis, kalsifikasi, fibrotoraks atau penebalan pleura (Soeroso, 2007). American Thoracic Society membagi luasnya proses TB pada foto toraks terdiri dari 3 bagian : a. Lesi Minimal Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prossesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. b. Lesi Sedang Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses TB tadi memiliki densitas yang lebih padat, lebih tebal, tetapi tidak boleh melebihi sepertiga dari satu paru dan proses ini dapat disertai atau tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas, tidak boleh melebihi 4 cm. c. Lesi Luas Kelainan lebih luas dari lesi sedang. (Rasad, 2000).

5.4. Pemeriksaan Khusus Lain Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti :

a.

BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase Chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.

b.

c.

Pemeriksaan serologi seperti ELISA, ICT, Mycodot, Uji peroksidase anti peroksidase.

d.

Uji Tuberkulin, dengan prevalensi yang tinggi uji ini kurang bermakna apalagi pada orang dewasa. (Hopewell, 2005).

6.

Tatalaksana TB Paru Pengobatan tuberkulosis paru saat ini seharusnya tidak merupakan persoalan lagi.

Mengapa? Karena penyebab penyakit ini sudah diketahui dengan pasti, sarana penunjang diagnostiknya ada, obat yang ampuh ada, dokternya sudah berlebihan sampai banyak yang tidak mendapat penempatan. Tetapi, kenyataan membuktikan bahwa pengobatan

tuberkulosis tidak semudah yang diperkirakan. Banyak faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita berobat, daya tahan tubuh penderita dan yang tak kalah pentingnya adalah faktor sosial ekonomi penderita. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

Tabel 2.1 Jenis Obat Anti Tuberkulosis 2.1.6.1. Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a. Tahap awal (intensif) - Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. - Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. - Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. b. Tahap Lanjutan - Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama - Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. (Depkes RI, 2007).

6.1 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: - Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. - Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). - Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT kombinasi dosis tetap ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Depkes, 2007 dan WHO, 2002).

Paket Kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 6.2 Paduan OAT dan Peruntukannya 1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:    Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif. Pasien TB ekstra paru.

Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Depkes, 2008)

2. Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:    Pasien kambuh. Pasien gagal. Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2 (Depkes, 2008; WHO, 2002)

Catatan: Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg). 3. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Tabel 2.4 Paket Sisipan KDT (Depkes, 2008)

6.3 Pengawasan Menelan Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO (Depkes, 2007 dan WHO, 2002). a. Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. b. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. c. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
o TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan. o TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. o Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya. o Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan). o Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur. o Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke UPK.

6.4 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. (Depkes, 2007).

Tabel 2.5 Tindak Lanjut Hasil Ulang Pemeriksaan dahak (Depkes,2007)


TIPE PASIEN TB HASIL URAIAN BTA Negatif Akhir tahap Pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1 Sebulan sebelum Akhir Pengobatan atau Akhir Positif Pengobatan (AP) Pasien baru BTA (-) & R (+) dengan pengobatan kategori 1 Teruskan pengobatan dengan tahap Negatif lanjutan. Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah Akhir Intensif Positif Penderita fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan baru BTA obat positif Sebulan dengan sebelum Akhir pengobatan Pengobatan ulang atau kategori 2 Akhir Pengobatan (AP) Positif kasus kronik, jika mungkin, rujuk kepada unit pelayanan spesialistik. Belum ada pengobatan, disebut keduanya Negatif Sembuh. sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada Akhir intensif Positif Ganti dengan Kategori 2 mulai dari awal. Negatif Berikan pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap. Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Negatif Sembuh. keduanya Intensif Positif Tahap lanjutan dimulai. Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan. TINDAK LANJUT

Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Pasien ini sebelumnya telah berobat minimal selama 1 bulan, dan kemudian tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 6.4.1 Tatalaksana penderita yang berobat tidak teratur Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai, hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahkan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali ke UPK. Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.6 Pengobatan penderita TB paru baru BTA positif yang berobat tidak teratur (Depkes, 2007).
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: y Lacak pasien y Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur y Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan-1 y Lacak pasien y Diskusikan dan cari masalah y Periksa 3 kali dahak (SPS) dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru Bila satu atau lebih hasil BTA positif Tindakan-2 Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesa Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan *) Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai y Kategori-1: mulai kategori-2 y Kategori-2: rujuk, mungkin kasus kronis

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default) y Periksa 3 kali dahak SPS y Diskusikan dan cari masalah y Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak. Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Bila satu atau lebih hasil BTA positif Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan) Kategori-1 Mulai kategori-2 Kategori-2 Rujuk, mungkin kasus kronik.

Keterangan : *) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.

DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y., 2002. Pengobatan Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Jakarta: FKUI. Brooks, F.G.,et al., 2005. Mikobakteria. In: Mudihardi, E.H., ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 453-465. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). , 2008. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). Fishman, J.A., 2002. Mycobacterial Infections. In: Elias, J.A., ed. Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia : McGraw Hill, 763-799. Hopewell, P.C., 2005. Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseaases. In : Mason, R.J., Broaddus, C., Murray, Nadel, J.A., eds. Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia : Elsivier, 979-1002. Irma, T., 2007. Konversi Sputum BTA pada Fase Intensif TB Paru Kategori Antara Kombinasi Dosis Tetap. Medan: FK USU. Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC, 544-551. Mual, B.E., 2009. Peranan Foto Dada dalam Mendiagnosis Tuberkulosis Paru Tersangka dengan BTA Negatif di Puskesmas Kodya Medan. Medan: FK USU. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). , 2006. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). Rasad, S., 2000. Tuberkulosis Paru. In: Ekayuda, I., ed. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK UI, 126-139. Soeroso, L., 2007. Mutiara Paru Buku Atlas Radiologi dan Ilustrasi Kasus. Jakarta: EGC.

World Health Organization, 2002. Operational Guide for National Tuberculosis Control Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose Combination Drugs. Geneva : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. , 2003. Global Tuberculosis Control: Country Profile Indonesia. Available from : http://www.who.int/gpt/publication/index.htm. (Accessed 12 March 2011). , 2006. Indonesian Strategic Plan To Stop TB 2006-2010. Jakarta : Depkes RI..

You might also like