You are on page 1of 45

Abu Nawas dan Mimpi Indah

By admin on March 29, 2011 Seorang pendeta dan seorang rahib berencana memperdayai Abu Nawas. Rencanapun disusun rapid an mereka segera bertandang kerumah Abu Nawas yang disambut baik oleh yang empunya rumah. Kami ingin mengajakmu melakukan pengembaraan suci, wahai Abu Nawas. Kami berharap engkau tidak keberatan dan dapat bergabubg bersama kami, ujar si Rahib sambil melirik pada kawan di sebelahnya. Dengan senang hati aku akan ikut, kapan rencananya? Tanya Abu Nawas. Besok pagi ujar si Pendeta gembira.

Baiklah kitabertemu di warung teh besok, uhar Abu Nawas. Demikianlah keesokan harinya Abu Nawas beserta dua orang yang mengajaknya ini berangkat bersama. Mereka berpakaian dengan cara yang khas. Abu Nawas dengan pakaian sufi, si Pendeta dengan baju kebesarannya, dan si Rahib dengan pakaian keagamaannya. Di tengah perjalanan mereka bertiga mulai merasa lapar. Hai Abu Nawas, karena kita sudah sudah lapar dan kebetulan kita tidak membawa bekal, ada baiknya engkau mengumpulkan derma untuk membeli makanan bagi kita bertiga. Kami berdua akan melakukan kebaktian, ujar si Pendeta.

Tanpa berpikir panjang, Abu Nawas langsung beranjak pergi mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun ke dusun yang lain. Setelah dirasa derma yang diterima mencukupi, Abu Nawas langsung membali makanan yang cukup untuk mereka bertiga. Abu Nawaspun kembali kepada dua temannya yang tengah melakukan kebaktian. Mari kita bagi makanan ini sekarang juga, ujar Abu Nawas yang memang sudah sangat lapar. Jangan, jangan dibuka sekarang, karena kami sedang berpuasa, ujar sang Rahib. Tapi aku hanya akan mengambil bagianku saja, sedang bagian kalian terserah kalian, ujar Abu Nawas. Aku tidak setuju, kita harus seiring seirama dalam berbuat apapun, ujar si Pendeta. Betul aku juga tidak setuju, karena waktu makanku besok pagi, ujar si Rahib yang ahli Yoga menimpali. Tentu saja Abu Nawas sangat usar mendengar pernyataan kedua orang itu. Perutnya yang keroncongan memaksanya kembali memperotes. Bukankah aku yang kalian suruh mencari derma dan sudah kukumpulkan derma itu dan sekarang telah kubelikan makanan. Mengapa kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagianku sendiri? Sungguh tidak masuk akal, ujar Abu Nawas memperotes. Namun dua orang itu tetap teguh pada pendiriannya sekalipun Abu Nawas dengan segala macam cara menjelaskan tetap saja si Rahib dan Pendeta bergeming. Hal ini membuat Abu Nawas dongkol bukan main, tapi karena dirasa tidak ada gunanya menentang dua orang yang sudah bersekongkol itu, Abu Nawaspun memilih diam. Bagaimana kalau kita buat perjanjian? ujar sang pendeta tiba-tiba. Perjanjian apa? Tanya Abu Nawas. Kita adakan lomba, siapa yang nanti malam bermimpi paling indah, maka dia berhak atas bagian makanan yang lebih banyak. Sedang yang kedua mendapat bagian lebih sedikit. Sedang yang mimpinya tidak indah mendapat bagian makanan yang paling sedikit, ujar Pendeta dengan cerdiknya. Karena sudah dongkol dan kesal, Abu Nawas menyetujui saja perjanjian itu. Begitu pagi sudah tiba mereka bertiga sudah bangun. Dengan sangat antusias si Rahib lalu menceritakan mimpinya. Luar biasa! Semalam aku bermimpi indah sekali. Aku memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan suatu kenikmatan dan keindahan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku, ujar Rahib dengan gembiranya.

Mimpimu sangat menakjubkan saudara Rahib, sangat menakjubkan, ujar si Pendeta dengan agak berlebihan. Mimpiku pun tak kalah indahnya, ujar Pendeta, Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Aku menyusup ke masa silam di mana pendiri agamamu hidup. Dan sungguh sangat membahagiakan aku bertemu dengannya dan kemudian aku diberkati olehnya, ujar sang Pendeta dengan gembiranya. Seperti tadi, kini giliran Rahib memuji-muji mimpi si Pendeta. Sementara Abu Nawas diam saja melihat kelakuan dua orang yang memang bersekongkol memperdayai dirinya itu. Hai Abu Nawas, kenapa kau diam saja. Apa mimpimu semalam, apakah seindah mimpi kami? ujar si Rahib dan Pendeta hamper bersamaan. Abu Nawas yang sudah tahu dirinya tengah dikerjai, hanya berujar pelan. Kawan-kawanku sepengembaraan. Kalian tentu mengenal Nabi Daud as. Beliau adalah Nabi yang ahli berpuasa, tadi malam aku bermimpi bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Karena aku belum makan dari pagi, maka aku bilang saja bahwa aku berpuasa. Tidak tahunya beliau menyuruhku berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah seorang Nabi. Makanya aku bangun dan langsung menghabiskan semua makanan, ujar Abu Nawas dengan santainya.

Abu Nawas, Mengajar Lembu Mengaji Al-Quran


By admin on March 4, 2011

Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga, titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang hambanya. Tuan Abu Nawas kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, Tuan Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga. Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana. Hai Abu Nawas kata Sultan, Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Quran. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu. Baiklah Tuanku Syah Alam, jawab Abu Nawas, Titah tuanku patik junjung di atas kepala patik. Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu. Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma. Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan sampai setengah mati. Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan kata atau, atau, atau. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak terpikirkan untuk menghadap ke istana. Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak.

Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata atau, atau, atau sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada Baginda Sultan. Mohon ampun baginda, kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, Patik lihat Abu Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu atau, atau, atau. Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda bertitah, Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah bisa mengaji atau belum. Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah. Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu sudah bisa mengaji Al-Quran? tanya Baginda Sultan. Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam, jawab Abu Nawas. Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari lembu itu kalimat atau, atau, atau. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu? Ampun ke Duli Syah Alam, kata Abu Nawas. Arti atau, atau, atau itu adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak akan bisa mengaji Al-Quran. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu. Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah tercenung sejenak, baginda berkata. Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu jual, atau kamu buat sate. Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam, kata Abu Nawas sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah dengan langkah ringan dan hati senang. Referensi kisah, Alkisah no 16 / 2 15 Agustus 2004

Kisah Abu Nawas akan Disembelih


By admin on October 22, 2010

Hari itu Abu Nawas sengaja menghabiskan waktunya berkeliling kampung, pinggiran Kota Baghdad. Ia baru pulang saat menjelang maghrib. Ketika lewat Kampung Badui (orang gurun) ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang memasak bubur. Suasananya ramai, bahkan riuh rendah. Tanpa disadari ia di tangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih. Mengapa aku ditangkap? tanya Abu Nawas. Hai, orang muda, kata salah seorang diantaranya sambil menunjuk ke belanga yang airnya sedang mendidih, Setiap orang yang lewat di sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan dimasukkan ke belanga bersama adonan tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan kami sehari-hari. Meski ketakutan Abu Nawas masih berpikir jernih, katanya, Lihat saja, badanku kurus, jadi dagingku tidak seberapa, kalau kau mau besok aku bawakan temanku yang badannya gemuk, bisa kau makan untuk lima hari. Aku janji, maka tolong lepaskan aku. Baiklah, bawalah orang itu kemari, jawab si Badui. Besok waktu maghrib orang itu pasti kubawa kemari, kata Abu Nawas lagi. Setelah saling bersalaman sebagai tanda janji, Abu Nawas pun di lepas. Di sepanjang jalan menuju rumahnya, Abu Nawas berpikir keras, Sultan itu kerjanya seharian hanya duduk-duduk sehingga tidak tahu keadaan rakyat yang sebenarnya. Banyak orang jahat berbuat keji, menyembelih orang seperti kambing, tidak sampai ke telinga Sultan. Aneh, kalau begitu. Biar kubawa Sultan ke kampung Badui, dan kuserahkan kepada tukang bubur itu. Lantas Abu Nawas masuk ke istana dan menghadap Sultan. Setelah memberi hormat dengan membungkukkan badan, ia berkata, ya tuanku, Syah Alam, jika tuanku ingin melihat tempat yang sangat ramai, bolehlah hamba mengantar kesana. Di sana ada pertunjukan yang banyak dikunjungi orang. Kapan pertunjukan itu dimulai? tanya sang Sultan. Lepas waktu ashar, tuanku, jawab Abu Nawas. Baiklah. Abu Nawas pamit pulang, esok sore Abu Nawas siap menemani Sultan ke kampung Badui. Sesampainya di rumah penjual bubur, baginda mendengar suara ramai yang aneh baginya. Bunyi apakah itu, kok ramai sekali? tanya baginda sambil menunjuk sebuah rumah.

Ya tuanku, hamba juga tidak tahu, maka izinkanlah hamba menengok ke rumah itu, sebaiknya tuan menunggu di sini dulu. Kata Abu Nawas. Sesampainya di rumah itu Abu Nawas melapor kepada si pemilik rumah bahwa ia telah memenuhi janjinya membawa seseorang yang berbadan gemuk. Ia sekarang berada di luar dan akan aku serahkan kepadamu. Ia kemudian keluar bersama si pemilik rumah menemui Sultan. Bunyi apa yang riuh rendah itu? tanya Sultan. Rumah itu tempat orang berjualan bubur, mungkin rasanya sangat lezat sehingga larisnya bukan main dan pembelinya sangat banyak. Mereka saling tidak sabar sehingga riuh rendah bunyinya, kata Abu Nawas. Sementara itu si pemilik rumah tadi tanpa banyak cingcong segera menangkap Sultan dang membawanya ke dalam rumah. Abu Nawas juga segera angkat kaki seribu. Dalam hati ia berpikir, Jika Sultan itu pintar, niscaya ia bisa membebaskan diri. Tapi kalau bodoh, matilah ia disembelih orang jahat itu.

Akan halnya baginda Sultan, ia tidak menyangka akan dipotong lehernya. Dengan nada ketakutan Sultan berkata, Jika membuat bubur, dagingku tidak banyak, karena dagingku banyak lemaknya, lebih baik aku membuat peci. Sehari aku bisa membuat dua buah peci yang harganya pasti jauh lebih besar dari harga buburmu itu? Seringgit jawab orang itu. Seringgit? tanya Sultan. Hanya seringgit? Jadi kalau aku kamu sembelih, kamu hanya dapat uang seringgit? Padahal kalau aku membuat kopiah, engkau akan mendapat uang dua ringgit, lebih dari cukup untuk memberi makan anak-istrimu. Demi mendengar kata-kata Sultan seperti itu, dilepaskannya tangan Sultan, dan tidak jadi disembelih. *** Sementara itu Kota Bagdad menjadi gempar karena Sultan sudah beberapa hari tidak muncul di Balairung. Sultan hilang, seluruh warga digerakkan untuk mencari Sultan ke segenap penjuru negeri. Setelah hampir sebulan, orang mendapat kabar bahwa Sultan

Harun Al-Rasyid ada di kampung Badui penjual bubur. Setiap hari kerjanya membuat Peci dan si penjualnya mendapat banyak untung. Terkuaknya misteri hilangnya Sultan itu adalah berkat sebuah peci mewah yang dihiasi dengan bunga , di dalam bunga itu menyusun huruf sedemikian rupa sehingga menjadi surat singkat berisi pesan: Hai menteriku, belilah kopiah ini berapapun harganya, malam nanti datanglah ke kampung Badui penjual bubur, aku dipenjara di situ, bawalah pengawal secukupnya. Peci itu kemudian diberikan kepada tukang bubur dan agar dijual kepada menteri laksamana, karena kopiah ini pakaian manteri.Harganya sepuluh ringgit, niscaya dibeli oleh menteri itu, pesannya. Tukang bubur itu sangat senang hatinya, maka segeralah ia pergi kerumah menteri tersebut. Pak menteri juga langsung terpikat hatinya begitu melihat peci yang ditawarkan itu, memang bagus buatannya, apalagi dihiasi dengan bunga diatasnya. Namun ia kaget begitu mendengar harganya sepuluh ringgit, tidak boleh kurang. Dan ketika matanya menatap bunga itu tampaklah susunan huruf. Setelah dia baca, mengertilah dia maksud kopiah itu dan segera dibayarnya. Malamnya menteri dengan pengawal dan seluruh rakyat mendatangi kampung Badui dan segera membebaskan Sultan dan membawanya ke Istana. sedangkan penghuni kampung Badui itu, atas perintah Sultan, dibunuh semuanya karena perbuatannya terlalu jahat. Keesokan harinya Sultan memerintahkan menangkap Abu Nawas dan akan menghukumnya karena telah mempermalukan Baginda Sultan. Ketika itu Abu Nawas sedang shalat duhur. Setelah salam iapun ditangkap beramai-ramai oleh para menteri yang diutus kesana dan membawanya pergi ke hadapan sultan. Begitu melihat Abu Nawas, wajah Sultan berubah garang, matanya menyala seperti bara api, beliau marah besar. Dengan mulut mnyeringai beliau berkata, Hai, Abu Nawas, kamu benar-benar telah mempermalukan aku, perbuatanmu sungguh tidak pantas, dan kamu harus dibunuh. Maka, Abu Nawas pun menghormat. Ya tuanku, Syah Alam, sebelum tuanku menjatuhkan hukuman, perkenankan hamba menyampaikan beberapa hal. Baiklah kata Sultan, Tetapi kalau ucapanmu salah, niscaya aku bunuh hari ini juga kamu. Ya Tuanku Syah Alam, alasan hamba menyerahkan paduka kepada si penjual bubur itu adalah ingin menunjukkan kenyataan di dalam masyarakat negeri ini kepada paduka. Karena hamba tidak yakin paduka akan percaya dengan laporan hamba. Padahal semua kejadian yang berlaku di dalam negeri ini adalah tanggung jawab baginda kepada Allah kelak. Raja yang adil sebaiknya mengetahui semua perbuatan rakyatnya, untuk itu setiap Raja hendaknya berjalan-jalan menyaksikan hal ihwal mereka itu. Demikianlah tuanku, jika perkataan hamba ini salah, hukumlah hamba, tetapi bila hukuman itu dilaksanakan

juga hamba tidak ikhlas, sehingga dosanya menjadi tanggung jawab tuanku di dalam neraka. Setelah mendengar ucapan Abu Nawas, hilanglah amarah baginda. Dalam hati beliau membenarkan seluruh ucapan Abu Nawas itu. Baiklah, kuampuni kamu atas segala perbuatanmu, dan jangan melakukan perbuatan seperti itu lagi kepadaku. Maka, Abu Nawas pun menghaturkan hormat serta mohon diri pulang ke rumah. Referensi Kisah Al-kisah 10 / 10-23 Mei 2004

Abu Nawas dan Nazar Seorang Saudagar


By admin on October 20, 2010 Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah, kata seorang saudagar kepada istrinya, Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin. Rupanya sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi. Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah, tidurpun tidak nyenyak. Terpilir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu. Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. Apa maksud kedatangan adan kemari? tanya penghulu yang tertua. Ya tuan Kadi. Jawab si saudagar itu. Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan, lalu diutarakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.

Tanduk Kambing Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain. Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang Raja yang adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun pasang niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai disana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. Hai orang muda, engkau berasal dari mana? tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini. Ya Tuanku Syah Alam, jawab Saudagar muda. Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah. Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang, tanya baginda Sultan. Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan, jawab si saudagar. Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar, titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad. Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna, tutur saudagar itu dengan nada menghiba. Baikah, kata Baginda, Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.

Saudagar itu pun mohon pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya. Alkisah, Sultan pun bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain, haram hukumnya. Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari kopiah itu. Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi. Titah Baginda Sultan. Atau aku akan mendapat malu besar. Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya. Ya Tuanku Syah Alam, kata salah seorang yang tertua di antara mereka. Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain, setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar. Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi mata itu tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi. Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas. Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas, pikir Baginda dengan suka cita. Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi. Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar. Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. Apa pendapatmu tentang hal itu? tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas. Ya tuanku Syah Alam, jawab Abu Nawas ringan. Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini. Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri kopiah itu. Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya, kata Abu Nawas. Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. Apa maksud Abu Nawas kali ini? pikir mereka.

Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar. Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana. Datang juga engkau kemari, hai saudagar, kata Baginda Sultan. Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat, kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas. Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui di jemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda. Mengapa kamu terlambat datang kemari? tanya Baginda Sultan. Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki, jawab Abu Nawas. Hai Abu Nawas kata Sultan. Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik. Baiklah, kata Abu Nawas, Akan hamba selesaikan masalah ini. Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu. Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas. Ya tuanku, hamba mohon ampun, kata Abu Nawas. Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini. Pendapat Abu Nawas aku kira benar, kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan. Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya. Referensi cerita, Alkisah 13 / 21 Juni 4 Juli 2004

Abu Nawas dan Pesta Yahudi


By admin on October 5, 2010 Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga susananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama. Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari. Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Bagdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal. Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh. Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah. Di tepi Hutan sana. Mari kita alihat, ajak Baginda. baik, Kata Abu Nawas. Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri. Tapi ingat. Kata Baginda, Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi. Setelah shalat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama temantemannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan. Sampai disitu Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah di edarkan kopi kepada semua tamu, melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.

Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para mentri, Pikir Abu Nawas. Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa. Apa boleh buat, pikir baginda, Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu. Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainakan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan didepan orang banyak. Alangkah kasihan diriku, gumamnya. Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas. Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu, kata Baginda. Mohon ampun, ya Baginda, jawab Abu Nawas. Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda kesana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu. Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberpa pengawal memanggil si Yahudi. Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam, baginda bertanya dengan sengit. darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan? Ya tuanku Syah Alam jawab si Yahudi. sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam, jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya. Sekarang terimalah pembalasanku, kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan kedalam penjara. Dan sejak itu di haramkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu di hukum berat. Sumber Kisah Alkisah Nomor 19 / 13 26 September 2004

Abu Nawas dan Menteri Bertelur


By admin on October 1, 2010

Pada suat hari Sultan Harun al-Rasyid memanggil sepuluh orang Menterinya Kalian tahu didepan Istana ini ada sebuah kolam. Aku akan memberikan masing-masing sebutir telur kepada kalian, menyelamlah kalian ke dalam kolam itu dan kemudian serahkanlah telur-telur itu kepadaku apabila kamu muncul kepermukaan. Aku ingin tahu kepandaian Abu Nawas. Kemudian sultan menyuruh memanggil Abu Nawas ke Istananya. Kepada Abu Nawas dan kesepuluh orang menterinya itu Sultan bertitah, Kamu sekalian aku perintahkan turun ke dalam kolam itu, menyelam, dan apabila muncul kepermukaan serahkanlah kepadaku sebutir telur ayam. Barangsiapa tidak menyerahkan telur, niscaya mendapat hukuman dariku. Mencari telur didalam air? Pikir Abu Nawas, sambil memandang kepada Mentri-mentri itu. Mereka tampak takzim dan siap melaksanakan perintah. Adakah ayam betina di dalam kolam itu? Hari pun malamlah, keesokan harinya, pagipagi benar, mentrimentri itu menyelam kedalam kolam, dan ketika muncul dari dalam kolam, masingmasing membawa sebutir telur dan menyerahkan kepada Sultan. Abu Nawas tidak kunjung muncul di permukaan kolam, ia berenang kesana-kemari mencari telur. Di koreknya dinding kolam, namun tak juga ditemukannya. Setelah capek mengitari dasar kolam, terpikir dalam benaknya bahwa ia dianiaya oleh Sultan. Maka ia pun berdoa kepada Tuhan mohon keelamatan. Keluarlah ia dari kolam dan naik ke darat. Didepan Sultan ia berkokok-kokok dan berjalan laksana seekor ayam jantan. Hai, Abu Nawas mana janjimu? Kata Sultan, semua orang ini masing-masing telah menyerahkan sebutir telur kepadaku, hanya kamu yang tidak, oleh karena itu kamu akan aku beri hukuman. Sembah Abu Nawas, Ya tuanku Syah Alam, yang mempunyai telur adalah ayam betina, hamba ini ayam jantan, membawa anak ayam jantan, lagi pula berkokok, telur hanya dapat dihasilkan oleh ayam betina. Jika ayam betina tidak berjantan, bagaimana ia akan dapat telur.

Demi mendengar alasan Abu Nawas, Sultan pun tidak dapat berkata apa-apa karena memang sangat tepat. Sultan dan semua menterinya hanya bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sumber Kisah Alkisah nomor 07 / 29 Maret 11 April 2004

Abu Nawas dan Harimau Berjenggot


By admin on January 29, 2010

Hai Abu Nawas, seru Khalifah Harun Al-Rasyid. Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau. Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan penuh tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu Nawas. Ya tuanku Syah Alam, jawab Abu Nawas. semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari. Baik, kata Baginda. Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan diriku, agar terbalas dendamnya, pikir Abu Nawas. jadi aku juga harus berhati-hati. Sesampainya di rumah dipanggilnya emapt orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang kerumah. Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk kedalam kandang itu,

kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah. Baik, kata istrinya. Hai Abu Nawas, tumben Lu shalat di sini? bertanya Imam dan penghulu mushalla itu. Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu, jawab Abu Nawas. Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah. Pucuk dicinta, ulam tiba, pikir penghulu itu. Kubiarkan Abu Nawas tidur disini dan aku pergi kerumah Abu Nawas menemui istrinya, sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu. Hai Abu Nawas, kata si penghulu, Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu? Silakan, jawab Abu Nawas. Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan. Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbungan-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding. Hai Adinda,,, katanya. Apa gunanya punya suami jahat dan melarat, lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku, kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa. Baiklah kalau keinginan tuan demikian, jawab istri Abu awas. Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orng, ketukan itu membuat penghulu belingsatan, kemana aku harus bersembunyi ia bertanya kepada nyonya rumah. Tuan penghulu. Jawab istri Abu Nawas, Silahkan bersembunyi di dalam kandang itu, ia lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam kamar Abu Nawas. Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kirikanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah. Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.? Tanya Abu Nawas. Tidak ada apa-apa, jawab Istrinya. Apa putih-putih itu? tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.

Setelah delapan hari Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Di Bagdad orang gempar ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau berjenggot pun belum pernah. Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main, arang di muka kemana hendak disembunyikan. Tidak lama kemudia sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana. Hai Abu Nawas, apa kabar? tanya Baginda Sultan, Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot? Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil, jawab Abu Nawas. Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh, kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas buru-buru menimpali, Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot. Tapi baginda tidak cepat tanggap, beliau termenung sesaat, kenapa penghulu dikatakan harimau berjenggot, tiba-tiba baginda bergoyang kekiri dan ke kanan seperti orang berdoa. Hm, hm, hm oh penghulu Ya Tuanku Syah Alam, kata Abu Nawas, Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri ? Ya, ya, ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. ya aku maklum sudah. Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya di cukur segi empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat. Sumber kisah dari Alkisah Nomor 20 / 27 Sep 10 Okt 2004

Abu Nawas, Hamil dan Hendak Melahirkan


By admin on January 5, 2010

Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana. Mungkin Abu Nawas marah kepadaku, pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas. Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin, jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan bayiku ini, kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Ajaib benar, kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas. Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyamabut danm menyembah kakinya, seraya berkata, Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini. Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba, tanya Abu Nawas. Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu, jawab Sultan, Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari. Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya, tanya Sultan lagi. Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. Knon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri. Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh

akrena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu, adalah baginda kemari, baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang ditunggu kedatangan Baginda kemari, kata Abu Nawas. Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda. Bukan begitu, kata Sultan. Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak mentri, tetapi tidak seperti kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku. Segala titah baginda, patik junjung tinggi tuanku, sembah Abu Nawas dengan takdzim. Tetapi Sutan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli. Air Susu yang Pemalu Suatu hari Sultan Harun Al-Rasyid berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia memergoki Abu Nawas tengah memegang botol berisi anggur. Sultan pun menegur san Penyair, Wahai Abu Nawas, apa yang tengah kau pegang itu? Dengan gugup Abu Nawas menjawab, Ini susu Baginda. Bagaimana mungkin air susu ini berwarna merah, biasanya susu kan berwarna putih bersih, kata Sultan keheranan sambil mengambil botol yang di pegang Abu Nawas. Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan merona merah. Mendengar jawaban Abu Nawas, baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala. Referensi Kisah, alkisah nomor 04 / 16-29 Feb 2004

Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam


By admin on November 20, 2009 Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.

Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit, kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam. Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit, kata si saudagar. Baiklah akan kucoba, jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. Boleh juga, katanya kemudian. Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu, kata si saudagar. Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu. Istriku, kata si pengemis sesampainya di rumah. Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya. Setuju, jawab si istri, Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu. Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi, kata si saudagar, Jika tahan akan ku bayar upahmu. Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir janganjangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi. Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan. Namun si pengemis tidak mau kalah, Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air? Aku tetap tidak mau membayar upahmu, kata saudagar itu ngotot. Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.

Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi, pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga. Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini, kata si pengemis dengan nada putus asa. Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan. Doanya dalam hati. Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. Hai, hamba Allah, Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah. Memang benar hamba sedang dirundung malang, kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya. Jangan sedih lagi, kata Abu Nawas ringan. Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah. Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku, kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. Apa kabar, hai Abu Nawas? sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. Ada masalah apa gerangan hari ini? Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam, jawab Abu Nawas. jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat. Kapan aku mesti datang ke rumahmu? tanya baginda Sultan. Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku, jawa Abu Nawas. Baiklah, kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu. Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan. Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk

pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya menaruh di atas api. Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum? gerutu Sultan. Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam. Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubunubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda. Sebentar lagi, ya Syah Alam, sahut tuan rumah. Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya. Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan. Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak, jawabnya. Menanak nasi? tanya baginda, Mana periuknya? Ada, tuanku, jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas. Ada? tanya beginda keheranan. Mana? ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah. Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu? tanya Sultan. Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi. Begini, Baginda, Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam. Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan

lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini. Boro-boro nasi itu akan matang, kata Sultan, Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh. Demikian pula halnya si pengemis, kata Abu Nawas lagi. Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat. Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya. Sekarang aku ambil keputusan begini, kata Sultan. Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar. Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga. Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Kedua Habis)


By admin on July 1, 2009

Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu? tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya. Hamba diperdaya menteri itu, jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. Lembu hilang, uang melayang. Coba ceritakan kata Abu Nawas. Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepatcepat pergi karena ada urusan lain. Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. Sialan menteri itu, ujar si pemuda. Oh begitu, kata Abu Nawas. Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu. Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu. Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya. Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu? tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya. Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah, kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis. Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda, kata si menteri. Jangan takut. Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan, kata perempuan muda itu. Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu, kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopohgopoh masuk ke rumahnya. Hai Adinda, katanya, Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana. Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana, jawab istri si menteri. Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.

Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk. Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu, rayunya. Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali. Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan, katanya. Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar bayar Bak Bik Buk darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. Mampuslah kau, teriak si pemuda. Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. Ada apa gerangan di rumahku? pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah. Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya. Ya Kakanda ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. Kenapa Kanda bisa begini? Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit. Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. Mengapa tidak kamu matikan dia? tanya Abu Nawas. Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati. Bagaimana caranya? tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.

Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia. Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk. Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini? Aku ini dukun, jawabnya, Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua. Maaf, kata si pelayan, Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya. Ya tuan dukun, obatilah hamba ini, kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. Hamba sakit lama-kelamaan suaranya hilang. Moga-moga hamba bisa mengobati tuan, jawab si dukun. Tapi bisakah pelayanpelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan. Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari. Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah. Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu! katanya. Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. Puas hatiku karena menteri itu sudah mati, pikir si dukun palsu. Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara. Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga, kata si menteri setelah sadar. Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat

nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir. Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu? bertanya Abu Nawas. Orang itu sudah mati, kata si pemuda. Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya. Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati, kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak, Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya? kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, Akulah pemilik lembu, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. Setuju? Nah, ini uangnya, pergilah. Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan Akulah pemilik lembu. Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul. Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu. Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah. Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat. Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu? tanya mereka.

Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu, jawab si joki. Siapa yang mengupah kamu? Tanya anak-anak meteri. Abu Nawas, jawab si joki. Hai Abu Nawas, kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku? Menganiaya bapakmu? Abu Nawas balik bertanya. Bertanyalah yang benar. Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah. Oh begitu, kata Abu Nawas sambil senyum kecil. Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah. Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. Barangkali memang demikian takdir bapakku, pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah. Warga kota itu termasuk orang yang punya lembu merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim. Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. Niatku sudah terlaksana, pikirnya. Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan. Referensi: Alkisah Nomor 17 / 16 29 Agt 2004 Habis

Kisah Abu Nawas melarang ruku dan sujud


Published on January 16, 2010 in Artikel Islam, Manaqib, Makrifat and Renungan. Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: tidak mau ruku dan sujud dalam salat. Lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata

bahwa ia khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-pembantu-nya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar- syariat Islam dan menyebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) dulu pada Abu Nawas. Abu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan. Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku dan sujud dalam salat? tanya Khalifah dengan keras. Abu Nawas menjawab dengan tenang, Benar, Saudaraku. Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah? Abu Nawas menjawab, Benar, Saudara-ku. Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah! Abu Nawas tersenyum seraya berkata-, Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap, kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah. Khalifah berkata dengan ketus, Apa maksudmu? Ja-ngan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya. Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, Saudaraku, aku memang berkata ruku dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tidak perlu ruku dan sujud. Bagaimana soal aku yang suka fitnah? tanya Khalifah. Abu Nawas menjawab dengan senyuman, Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 Surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka fitnah (ujian) itu. Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun alRa-syid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan ya akhi

(saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantupembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut de-ngan memutarbalikkan berita. Sumber http://www.facebook.com/notes/mohamad-guntur-romli/gus-dur-al-quran-danpornografi/271094715389

Panah Pembawa Rezeki


Abu Nawas memang cerdik, msekipun tak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan titah sang raja, namun dia selalu berhasil melaksanakan tugasnya. Dan hadiah selalu menanti, sungguh rezeki yang tak disangka. Suatu ketika Abu Nawas diundang oleh Raja Harun Ar-Rasyid untuk makan bersama. Maka berangkatlah para pengawal kerajaan untuk menjemput Abu Nawas di rumahnya. Tak berapa lama kemudian Abu Nawas telah sampai di istana dengan pakaian sederhana saja. Abu Nawas langsung diajak berbincang di sebuah pendapa dengan berbagai jamuan makanan lengkap dengan minuman yang segar.

Melihat begitu banyaknya makanan, Abu Nawas pun sangat lahap menyantap makanan yang dihidangkan kepadanya. Sementara itu, raja masih meneruskan perbincangannya dengan Abu Nawas tentang kekuasaannya. Raja Harun Dihargai 100 dinar. Raja Harun bercerita kepada Abu Nawas terkait dengan luasnya wilayah yang telah dipimpinnya. Namun Abu Nawas nampak tidak menggubris malah dia sibuk dengan makanan yang tersaji di hadapannya. Tak Lama kemudian, raja mulai melontarkan berbagai pertanyaan kepada Abu Nawas. "Hai Abu Nawas, kalau setiap benda ada harganya, berapakah harga diriku ini?"

tanya raja. Abu Nawas yang masih dalam kondisi kekenyangan setelah makan makan, menjawab sekenanya tanpa berpikir panjang. "Hamba kira, mungkin sekitar 100 dinar saja Paduka," jawab Abu Nawas. "Terlalu sekali engkau Abu Nawas, harga sabukku saja 100 dinar," bentak raja. "Tepat sekali Paduka, memang yang saya nilai dari diri Paduka hanya sebatas sabuk itu saja," ujar Abu Nawas. Karena merasa tak ingin dipermalukan oleh Abu Nawas karena kecerdikannya, kali ini raja tidak mau lagi mengambil resiko dengan beradu pendapat lagi. Oleh karena itu, Abu Nawas diajak menuju ke tengah-tengah prajuritnya yang merupakan ahli beladiri dan ketangkasan. "Ayo Abu Nawas, di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuan memanahmu. Panahlah sekali ini saja, kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah akan menantimu. Tapi kalau gagal, engkau akan aku penjara," kata raja. Abu Nawas Mendapat Hadiah. Abu Nawas pun bergegas mengambil busur dan anak panah. Dengan memantapkan hati, Abu Nawas membidik sasaran dan mulai memanah. Namun panahnya meleset dari sasaran. "Dari pengamatan saya, ini adalah gaya memanah para makelar tanah," ujar Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya. Sesaat kemudian, Abu Nawas mencabut sebuah anak panah lagi dan membidik sasaran. Lagi-lagi anak panah yang dibidikkan itu melesat terlalu jauh dari sasaran. "Kalau yang ini Paduka, ini gaya Juragan Buah kalau sedang memanah," sahut Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya yang kedua. Untuk yang ketiga kalinya, Abu Nawas kembali mencabut anak panah dan mulai membidiknya. Namu kali ini kebetulan anak panah yang dibidikkan tersebut mengenai sasaran. "Nah yang ini Paduka, ini baru gaya Abu Nawas kalau sedang memanah, saya pun menunggu hadiah yang Paduka janjikan," kata Abu Nawas dengan gembira. Dengan tak bisa menyembunyikan tawanya, Paduka Raja lantas memberikan hadiah kepada Abu Nawas. Dengan kecerdikannya bermain kata-kata yang masuk logika akhirnya Abu Nawas mendapat hadiah, dia pun langsung mohon diri karena tak sabar untuk memberikan hadiah itu kepada istrinya. Read more: Panah Pembawa Rezeki | KISAH ABU NAWAS http://kisahpetualanganabunawas.blogspot.com/2011/07/panah-pembawarezeki.html#ixzz1S2LBlD4k

Sabtu, 18 Juni 2011


Menepati Nazar
Lagi-lagi kisah mengenai Abu Nawas tidak ada habisnya untuk dibaca,hal itu dikarenakan karena Abu Nawas sangat cerdik. Seperti kisah yang berikut ini, dimana kecerdikan Abu Nawas diuji oleh sahabat lamanya Abdul Hamid. Ia telah meminta bantuan kepada Abu Nawas dlam hal mencari tanduk kambing yang besarnya sejengkal manusia untuk memenuhi nazar Abu dul Hamid.

Kisahnya...
Dahulu di Negeri Persia hiduplah seorang lelaki bernama Abdul Hamid AL Kharizmi. Lelaki ini adalah seorang saudagar kaya raya di daerahnya. Namun sayang, ia belum juga dikarunia seorang anak meskipun usia pernikannya sudah mencapai lima tahun.

Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di masjid, ia bernazar, "Ya Allah...jika Engkau mengaruniaku seorang anak, amak akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia." Tanpa diduga, setelah ia pulang dari masjid, istrinya yang bernama Zazariah berteriak sambil memeluknya ketika Abdul Hamid sampai di depan pintu rumah, "Wahai suamiku...Ternyata Allah sduah mengabulkan doa kita selama ini, aku hamil," ungkap istrinya. Saat itu Abdul Hamid tampak bingung.

Minta Bantuan Abu Nawas.


Pasangan suami istri itu sangat bahagia. Abdul Hamid sangat menyayangi dan meperhatikan istrinya saat ia hamil. Setelah sembilan bulan lamanya, akhirnya istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang lucu yang diberi nama Abdul Hafiz. Beberapa minggu setelah kelahiran anaknya, ia teringat akan nazar yang telah diucapkan di masjid dahulu, yaitu menyembelih kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal

manusia. Namun setelah dicari ke seluruh pelosok, kambing yang dia maksud belum ketemu juga. Dia merenung, dan tiba-tiba saja ia teringat akan teman lamanya yang bernama Abu Nawas, seorang sahabat yang sangat cerdik. Ia menyuruh anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan Abu Nawas. Setelah beberapa hari mencari, anak buah Abdul Hamid menemukan juga rumah Abu nawas karena Abu Nawas ini orang yang sangat terkenal di jamannya. Sesampainya di rumah Abu Nawas, anak buah Abdul Hamid menceritakan kejadian yang dialami oleh majikannya. "Baiklah, aku akan pergi ke sana, tapi tunggu, aku akan berpamitan dulu dengan istriku," kata Abu Nawas kepada anak buah Abdul Hamid. Abu Nawas pun berangkat bersama anak buanya Abdul Hamid,meskipun dia belum menemukan akal untuk memecahkan masalah yang dialami oleh sahabatnya. Sesampainya di Persia, Abu Nawas disambut oleh Abdul Hamid dan istrinya. Setelah menceritakan maslah yang menimpanya, Abu Nawas berkata, "Berilah aku waktu semalam saja untuk berfikir. Besok pagi akan aku beri jawabannya." Setelah itu Abu Nawas dipersilahkan untuk beristirahat di kamrnya. Semalam suntuk dia tak bisa tidur, untuk mencari akal mengenai jawaban yang akan diberikan kepada sahabatnya besok pagi. Setelah bebrapa jam memeras otak, akhirnya dia tidur juga malam itu, yang menandakan bahwa jawaban telah dia temukan.

Jengkalnya Bayi.
Keesokan paginya, Abu Nawas menyuruh anak buah Abdul Hamid untuk menyiapkan seekor kambing di kebun belakang rumah pada tengah hari. Abu Nawas bilang akan memberikan sebuah kejutan untuk sahabatnya, Abdul Hamid.

Saat matahari sudah berada tepat di atas kepala, Abu Nawas mengajak Abdul Hamid peri ke kebun rumahnya. "Aku sudah menemukan kambing yang kau cari," kata Abu Nawas. Wajah Abdul Hamid kaget dan bingung tak mengerti, karena kambing yang diperoleh Abu Nawas ternyata hanya kambing yang biasa saja, ia mulai mengira bahwa tanduk dari kambing itu belum sejengkal manusia. hatinya pun mulai ciut. "Baiklah sahabatku, sekarang engkau dapat menepati nazarmu untuk menyembelih kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia," kata Abu Nawas. "Tapi bukankah tanduk kambing itu sama saja dengan tanduk kambing yang lainnya, tidak sebesar jengkal manusia," ujar Abdul Hamid ragu. Lalu Abu Nawas menyuruh Abdul Hamid membawa anaknyake sana. Setelah Abdul Hamid menyerahkan anaknya, Abu Nawas lalu mngukur jengkal bayi itu dengan tanduk kambing, lalu memperlihatkannya kepada Abdul Hamid. "Nah...sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah bukan?" kata Abu Nawas. Abdul Hamid pun tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Nawas. Nazar pun akhirnya bisa dipenuhi, betapa senangnya Abdul Hamid dan istrinya bisa memenuhi nazar mereka. NB (kosakata postingan ini): Jengkal adalah ukuran panjang. Satu jengkal sama dengan sak kilan (dalam bahasa Jawa). Jengkal adalah panjang antara ujung jari ibu dengan ujung jari telunjuk. Sejengkal adalah satu kali panjang antara ujung jari ibu dengan ujung jari telunjuk.

Read more: Menepati Nazar | KISAH ABU NAWAS http://kisahpetualanganabunawas.blogspot.com/2011/06/menepatinazar.html#ixzz1S2LWci7n

Selasa, 07 Juni 2011


Malu Kepada Pencuri
Blog Kisah Abu Nawas hadir kembali, dan kali ini menyajikan kisah tentang sikap Abu Nawas dalam menghadapi pencuri. Abu Nawas yang kesehariannya hidup pas-pasan, masih ada didatangi oleh pencuri, mau mencuri apa ya si pencuri ini. Suatu malam seorang pencuri telah membobol rumah Abu Nawas, dan beruntung, Abu Nawas melihatnya. Tapi karena malu, Abu Nawas langsung bersembunyi di dalam sebuah kotak besar yang terletak di sudut ruangan.

Kisahnya..

Abu Nawas diketahui oleh semua orang memang memiliki kebun yang luas, akan tetapi dirinya selalu berusaha tampil sederhana, hal itu ditunjukkan dengan rumahnya yang hanya beralaskan ubin sederhana dan tak tampak barang-barang mewah semacam guci keramik ataupun benda berharga lainnya. Tapi entahlah, apa yang membuat seseorang berusaha masuk ke dalam dengan maksud mendapatkan benda-benda berharga. Dengan langkah perlahan, si pencuri masuk ke rumah Abu Nawas melalui pintu belakang secara diam-diam.

Abu Nawas Bersembunyi


Ya ampun....si pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Abunawas dan langsung menuju ruang tengahnya. Dengan sigap, pencuri yang beraksi sendirian tersebut lantas memandangi satu persatu barang berharga yang ada di ruangan. Pencuri tersebut langsung mengaduk-aduk isi rumah Abu Nawas.

Seperti kebanyakan para pencuri lainnya, si pencuri juga mencari uang atau pun barang berharga yang dimiliki oleh Abu Nawas. Dia membuka lemari, laci-laci, mencari di kolong-kolong, dan di tempat lainnya. Tapi ia tidak menemukan satu pun barang berharga yang dimiliki oleh Abu Nawas. Semua bagian ruangan di rumah Abu Nawas pun diperhatikannya dengan baik-baik. Setiap sudut ruangan pun tak luput dari pandangannya demi mendapatkan barang berharga milik Abu Nawas. Tapi tampaknya gerak-gerik si pencuri ini diketahui oleh Abu Nawas. Hanya saja, mengetahui rumahnya didatangi pencuri, Abu Nawas bukannya berteriak minta tolong, dirinya malah bersembunyi di sebuah kotak besar yang berada di sudut ruangan dengan harapan si pencuri tidak mengetahui keberadaannya.

Tangan Hampa
Si pencuri ini sangat leluasa mencari barang berharga di rumah Abu Nawas, namun hampir selama 1 jam si pencuri tidak menemukan satu barang pun yang berharga. Pencuri hampir saja menyerah dan memutuskan untuk keluar dari rumah Abu Nawas tersebut, tapi tiba-tiba matanya tertuju pada kotak besar yang teletak di sudut ruangan kamar Abu Nawas. Si pencuri sangat senang karena dia yakin kalau dalam kotak itulah disimpan harta benada yang dia cari. Dalam angan-angannya, di dalam kotak besar tersebut tersimpan beberapa batang emas ataupun beberapa butir mutiara yang jika dijual akan menghasilkan banyak uang yang dapat digunakannya untuk berfoya-foya. Walaupun kotak besar itu terkunci kuat dari dalam, tapi dengan kekuatan penuh, pencuri itu berhasil membuka kotak tersebut. Hiyaa...pencuri dan Abu Nawas saling bertatapan muka dan kaget satu sama lain, dan pencuri sekaligus kecewa karena di dalam kotak besar itu juga tidak terdapat apa-apa kecuali Abu Nawas yang meringkuk di dalmnya. "Hei...apa yang kau lakukan di dalam situ?" tanya si pencuri. "Aku bersembunyi darimu," jawab Abu Nawas dengan malu. "Memangnya kenapa?" tanya pencuri lagi.

"Aku malu kepadamu, karena aku tak punya apapun yang dapat kuberikan kepadamu. Itulah alasan kenapa aku bersembunyi di dalam kotak ini," jawab Abu Nawas lagi. Setelah mendapat jawaban tersebut, si pencuri pun pergi meninggalkan rumah Abu Nawas begitu saja dengan tangan hampa, dengan perasaan kecewa dan heran, kenapa si Abu Nawas yang memiliki kebun luas kok bisanya tidak memiliki satupun barang berharga yang dimiliki. Itulah Abu Nawas, dia tampil dengan sangat sederhana dalam kehidupannya namun dia selalu bersyukur kepada Allah SWT karena dia yakin kalau yang orang yang lebih fakir dari dia masih banyak. Read more: Malu Kepada Pencuri | KISAH ABU NAWAS http://kisahpetualanganabunawas.blogspot.com/2011/06/malu-kepadapencuri.html#ixzz1S2LiLwTu

Abu Nawas Diusir dari Kota


Category: Humor Sufi
Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri kelahirannya sendiri. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negerinya tercinta hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas. "Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bemama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. Ia harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. Ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain." Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata. Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang tertalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik dari pada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu? Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. "Apakah aku akan meminta bantuan orang lain

dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain." Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat, menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ia melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman. Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desas-desus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung. Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman. Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pemah membayangkan kalau Abu Nawas temyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan telah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.

Yang Lebih Kaya dan Mencintai Fitnah


Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat mempublikasikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung. Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato."Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid." Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggununggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri. "Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah" Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar katakata yang keluar mulut si Abu Nawas. "Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada lagi." Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam. "Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah." Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid. Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehatpenasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?" "Benar baginda." Makin geramlah Harun Al Rasyid. "Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?" "Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu Nawas tenang. "Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi." "Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan ekspresi yang memelas. "Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu." "Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?" Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas." "Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?" "Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?" Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lantas, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang nggak ngerti omonganmu kan bisa marah." "Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda." "Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?" "Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih. Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.

Pesan Bagi Para Hakim


Siapakah Abu Nawas ? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar inisufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan

pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab, la juga pandai bersyair, berpanlun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad. Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan men-doakannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya. Namun..,demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya. Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya. Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas. Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana. kata wazir utusan Sultan. Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya. jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban. Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu. Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar. kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan? kata wazir. Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau. kata Abu Nawas. Apa maksudnya Abu Nawas? tanya wazir dengan rasa penasaran. Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu. sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya. Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram Sultan berkata,Kalian bodoh semua, hanya menghadap-kan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa. Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugalugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja. Abu Nawas bersikaplah sopan! tegur Baginda. Ya Baginda, tahukah Anda? Apa Abu Nawas? Bagindaterasi itu asalnya dari udang ! Kurang ajar kau menghinaku Nawas ! Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi? Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera member! perintah kepada para pengawalnya. Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali. Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu?Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nan, sekarang mana bagianku itu? Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadtah Baginda yang diberikan kepadaku tadi? lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita? Balk, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian! Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda. Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila. Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkan-nya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid. Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda. Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan? Berkata Abu Nawas, Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu Apa maksudmu? Coba kau jelaskan seb orang itu? tanya Baginda. Tuanku,kata Abu Nawas.Hamba dan p. mengadakan perjanjian bahwajikahamba dit hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagia saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadial maka saya berikan pula hadiah dua puluh lii Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kc seperti itu dengan Abu Nawas? tanya Bagit Benar Tuanku,jawab penunggu pintu g mengira jika Baginda memberikan hadiah pi Hahahahaha.!Dasar tukang peras,

sahut Baginda.Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad a suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah aku akan memecat dan menghukum kamu! Ampun Tuanku,sahut penjaga pintu g< Abu Nawas berkata,Tuanku, hamba sue tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, pai Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu karena panggilan Tuanku. Padahal besok r untuk keluarga hamba. Sejenak Baginda melengak, terkejut ate tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, Hahahah Baginda kemudian memerintahkan bem sekantong uang perak kepada Abu Nawas. A hati gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Naw bahkan semakin nyentrik seperti orang gila J Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid rm menterinya. Apa pendapat kalian mengenai Abu N. sebagai kadi?3 Wazir atau perdana meneteri berkata,Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi. Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi. Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja. Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya. Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah.. aku telah terlepas dari balakyang mengerikan.Tapi.sayang sekali kenapa hams Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja. Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya, Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku. Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk. Bagamaina anakku? Sudah kau cium? Benar Bapak! Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini. Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi yang sebelah kiri kok baunya amat busuk? Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini? Watiai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.; Berkata Syeikh Maulana.Tada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang scorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagf karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun AI.Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi. Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Waiaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

You might also like