You are on page 1of 16

Perkembangan Gamelan Sunda

Diiajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Seni Musik Dosen : Julia M.Pd

Oleh : Ajeng Siti Mariyam (35) Irma Youvita Saptani (39) Dedi Suhara (40) Bambang Prebiyanto (44)

PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA KAMPUS SUMEDANG 2011

Perkembangan Gamelan Sunda sampai sekarang 1. Sejarah


Sejak kapan keberadaan gamelan di Sunda muncul, belum dapat dipastikan, dan belum ada yang melacak. Naskah-naskah kuna yang dikaji para ahli sejarah tidak ada satu pun yang memberitakan tentang gamelan secara jelas. Meski demikian, dengan tercantumnya istilah-istilah kesenian dalam naskah Siksakandang Karesian dari masa Pajajaran abad ke-16, merupakan informasi sangat berharga untuk meyakinkan bahwa tradisi bermusik manusia Sunda telah ada cukup lama, misalnya adanya ahli gamelan yang disebut kumbang gending, ahli karawitan yang disebut paraguna, serta berbagai istilah lainnya. Dalam naskah Carita Parahiyangan(abad ke16) peristilahan yang langsung berkaitan dengan musik hanya ada istilah tatabeuhan (bunyibunyian), tanpa menyebutkan nama bunyi-bunyian dan alat musik yang digunakannya. Sedangkan naskah Sewaka Darma telah menyebutkan istilah gangsa, yang berarti gamelan. Akan tetapi para ahli sejarah belum meyakinkan secara tepat usia naskah Sewaka Darma (mungkin abad ke-18, dan mungkin abad ke-15), sehingga tidak pasti pula masa keberadaan gangsa tersebut. Naskah Bujangga Manik (dari sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, lebih tua dari Siksakandang Karesian), telah menyebutkan istilah goong, gangsa, gendang, dan sarunay pada masa itu, meskipun alat musik itu dilihat oleh penulisnya (Prebu Jaya Pakuan atau Rakean Ameng Layaran, seorang bangsawan Pakuan) ketika sedang berada di pelabuhan Pamalang (daerah alas Jawa; kini kota di daerah pesisir utara Jawa Tengah, tetapi sekarang agak jauh dari pantai). Meskipun demikian mungkin saja instrumen musik tersebut dikenalnya pula di Sunda. Berkaitan dengan hal ini harus pula diingat bahwa perkampungan masyarakat (wilayah) Sunda pada masa lampau wilayahnya lebih luas dari pada sekarang (ada yang menyebutkan sampai Tugu, Semarang). Akan tetapi yang masih diketahui paling tidak sampai daerah Pekalongan sekarang masih terdapat nama-nama tempat yang jelas bertoponim Sunda, di antaranya kecamatan Paninggaran (Pekalongan), kecamatan Cikadu (dekat Comal, Pemalang), sungai Tungtung Gunung (Purbalingga), Luwungggede (Leuweunggede, Brebes), Cimohong (Brebes), dan banyak lagi yang sekarang semuanya telah merupakan daerah berbahasa Jawa. Tidak disebutkan nama tempat-tempat lainnya di kabupaten Brebes dan Cilacap yang setengah wilayah dan penduduk kabupaten tersebut sampai sekarang pun merupakan daerah Sunda.

Dalam cerita pantunsuatu seni tradisi teater tutur kuna di Sundaalat musik di kerajaan Sunda/Pajajaran masa lalu yang sering disebutkan adalah goong kabuyutan atau goong renteng atau bende agung kabuyutan yang sering ditabuh oleh tokoh lengser ketika akan mengumumkan berita kerajaan. Akan tetapi peninggalan alat musik tersebut tidak terlacak keberadaannya sekarang. Sedangkan dari masa selanjutnya (Sumedanglarang; abad ke-1516), paling tidak terdapat satu gamelan yang masih ada, yaitu goong renteng Ciwaru yang menurut pewarisnya pernah digunakan Eyang Jayaperkosa (Embah Sayanghawu) untuk mapahayu[3] perang SumedangCirebon akibat peristiwa Harisbaya (akhir abad ke-16).[4] Mungkin saja gamelan ini berasal dari/masa Pajajaran, karena Jayaperkosa (dan tiga saudaranya[5]) adalah mantan pejabat penting di ibukota Pajajaran.

Dalam pendataan Proyek Penunjang, ada beberapa jenis gamelan, yaitu: ajeng, cara balen, degung, gambang kromong, salendro/pelog, goong gede, goong renteng, koromong, monggang, prawa, ringgeng, sekaten, toplek. Akan tetapi dengan berdasarkan bentuk, kelengkapan, dan penempatan alat musiknya, kalau boleh saya mengelompokkan, jenis gamelan di Sunda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok: (1) renteng, (2) salendropelog, dan (3) ketuk tilu.[6] Termasuk kelompok renteng adalah: goong renteng, sakati,degung, koromong, goong gede, dan monggang Ciamis. Termasuk kelompok salendropelog adalah: gamelan salendro, gamelan pelog,gamelan ajeng, dan monggang Cigugur. Termasuk kelompok ketuk tilu adalah: tatabeuhan ronggeng (ketuk tilu, ronggeng gunung, ronggeng ketuk, doger, topeng banjet, dsb.). Dalam daftar berikut ini akan disebutkan beberapa jenis gamelan kuna atau khas dari kelompok renteng dan salendropelog saja.

Dari kelompok renteng, sampai sekarang setidaknya dapat diketahui beberapa jenis gamelan kuna di tanah Sunda, yaitu: goong renteng ada 9 perangkat, koromong ada 4 perangkat, monggang/gara balen ada 1 perangkat, goong gede ada 1 perangkat, sakati ada 2 perangkat, degung ada 2 perangkat. Sedangkan dari kelompok salendropelog ada 10 perangkat atau lebih, dan ajeng ada 8 perangkat. Yang saya catat berikut ini hanya sebagian saja, karena pasti masih ada gamelan-gamelan kuna atau khas yang belum diketahui dan disimpan masyarakat. Dengan sedikit data ini mungkin bisa memberikan gambaran tentang khasanah gamelan Sunda.

Kelompok Renteng:

1. Goong renteng Embah Bandong (Lebakwangi, Arjasari, Bandung) 2. Goong renteng Ciwaru (Ciuyah, Sumedang) 3. Goong renteng Babakan Ranjeng (Situraja, Sumedang) 4. Goong renteng Ngalambang Panggugah Manah (Sukamulya, Kuningan) 5. Goong renteng Talagamanggung (Talaga, Majalengka) 6. Goong renteng Cibeusi (Jalancagak, Subang) 7. Goong renteng Cireundeu (Bandung) 8. Goong renteng Cinangnang (Tambi, Indramayu) 9. Goong renteng Ki Sayu (Cirebon) 10. Koromong Cikondang (Lamajang, Bandung) 11. Koromong Cikubang (Rancakalong, Sumedang) 12. Koromong Cileuweung (Darmaraja, Sumedang) 13. Koromong Ujungjaya (Sumedang) 14. Goong gede Kampung Naga (Citorek, Lebak) 15. Monggang/Carabalen (Jambansari, Ciamis) 16. Sakati Kasepuhan (Cirebon) 17. Sakati Kanoman (Cirebon) 18. Degung Pangasih (Museum Geusan Ulun, Sumedang) 19. Denggung Kasepuhan (Cirebon).

Kelompok SalendroPelog:

1. Gamelan Sukarame (Gedong Gajah, Jakarta) 2. Sari Oneng Mataram (Museum Geusan Ulun, Sumedang) 3. Sari Oneng Parakansalak (Museum Geusan Ulun, Sumedang) 4. Panglipur (lr. Salendro) (Museum Geusan Ulun, Sumedang) 5. Sari Arum (lr. Salendro) (Museum Geusan Ulun, Sumedang)

6. Sanglir (lr. Salendro) (Museum Geusan Ulun, Sumedang) 7. Si Layem (lr. salendro) (Pendopo Tasikmalaya) 8. Si Monggang (lr. Pelog) (Paseban Cigugur, Kuningan) 9. Si Gehger (Paseban Cigugur, Kuningan) 10. Gamelan Cibatok, Bogor 11. Gamelan ajeng Sinar Pusaka (Buher, Karawang) 12. Gamelan ajeng Bapa Saba (Bangkuang, Bekasi) 13. Gamelan ajeng Bapa Madan (Cikamurang, Setu, Bekasi) 14. Gamelan ajeng Bapa Raban (Pekopen, Cikarang Barat, Bekasi) 15. Gamelan ajeng Citarik (Lemahabang, Bekasi) 16. Gamelan ajeng Bapa Anta (Babakan Simpur, Serang, Bekasi) 17. Gamelan ajeng Ciangsana (Karanggan, Bekasi) 18. Gamelan ajeng Bapa Sewi (Cileungsi, Bogor). [7]

Pada umumnya gamelan-gamelan kuna tidak terlacak secara pasti masa pembuatannya. Penentuan waktu pembuatannyanya hanya berdasarkan cerita (biasanya lisan) tentang peristiwa yang melatarbelakanginya.

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda.Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat). Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.

Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata degung berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan agung (megah) atau pangagung (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata degung dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah degung pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting.Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian penclon-penclon yang digantung.Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828). 2. perkembangan a. Perkembangan didalam Negeri Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental).Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (19121920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut.Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya.Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu

buah.Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931. Setelah Idris meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya.Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat.Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya.Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat. Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo). Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung.Tetapi hal ini tidak berkembang.Tahun 1961 RS.Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab.Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana.Gamelan degung

ini dinamakan degung Si Pawit.Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan.Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini.Lagulagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda.Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi.Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Tahun 19701980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya.Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987. Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya. Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb.

Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb. b. Perkembangan di luar Negeri Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival. 3. Kondisi a. Populasi

Belum ada yang mendata jumlah gamelan di tatar Sunda dalam beberapa puluh tahun ini, kecuali Jaap Kunst, etnomusikolog Belanda, yang pada tahun 1920-an mendata populasi gamelan di seluruh tanah Jawa. Apakah akurat atau tidak pendataannya, di sini tidak menjadi masalah, tetapi kita patut memberi penghargaan atas usahanya itu, sehingga kita mendapatkan gambaran populasi gamelan masa itu. Kita sendiri sekarang belum mampu berbuat seperti itu, padahal pasti berbagai situasi, trasportasi, dan keadaan dana pada waktu itu tentu tidak lebih baik dari pada zaman sekarang.

Meskipun tidak dilakukan suatu pendataan secara khusus, tetapi dari pengamatan selintas dapat dikemukakan bahwa secara kuantitas ada dua jenis gamelan yang berkembang pesat sekarang, yaitu gamelan degung dan gamelan salendro. Gamelan degung dicatat Jaap Kunst tahun 1920-an, bahwa di Bandung terdapat 5 perangkat, Sumedang 3 perangkat, serta Cianjur, Ciamis, keraton Kasepuhan, keraton Kanoman, Banjar, dan Singaparna masing-masing 1 perangkat. Popularitas dan kuantitas gamelan degung meningkat pesat sekitar tahun 1970-an, dan sekarang terdapat mungkin lebih dari seratus

gamelan degung, baik yang berada di tatar Sunda maupun di luar tatar Sunda, baik yang berkualitas bagus maupun jelek. Di masa populernya degung, seringkali terjadi gamelan salendro dijadikan gamelan degung.

Populasi gamelan salendro meningkat sejalan dengan daya beli masyarakat akan gamelan, dan berkaitan dengan kebutuhan hiburan yang terus meningkat, terutama pada tahun 19501960-an ketika populer wayang golek dan kiliningan. Sampai sekarang gamelan salendro masih banyak dimiliki masyarakat. Gamelan salendro banyak dibutuhkan masyarakat sesuai dengan berbagai keperluan acara hajatan, di mana masyarakat Sunda masih sangat banyak yang memerlukannya, meskipun pada masa sekarang banyak bersaing dengan jenis hiburan moderen yang banyak diminati masyarakat, seperti elektone dan dangdut. Meskipun wayang golek sekarang tidak begitu populer, kecuali dalang tertentu, gamelan salendro sangat banyak populasinya, karena pertunjukan jaipongan atau jaipongan-bajidoran (di mana musiknya menggunakan perangkat gamelan salendro) sangat sering diperlukan dalam hajatan masyarakat.

b. Bentuk

Mengenai bentuk fisik, gamelan di Sunda mengalami berbagai perubahan, tetapi perubahannya tidak signifikan. Sisi perubahannya terjadi sedikit saja dalam hal bentuk fisik penclon dan wilah. Perubahan ini mungkin berkaitan dengan masalah gaya dari pagongan (pagendingan; pagangsaan; besalen)[8] pembuatnya pada masa lalu yang berbeda dengan masa sekarang.

Ancak (tempat meletakkan penclon dan wilah) gamelan juga mempunyai perubahanperubahan tertentu pada setiap masa. Secara bentuk, ancak gamelan Sunda produk masa lalu kelihatannya sangat memperhatikan aspek-aspek artistik dan pilosofis, sehingga masing-masing gamelan mempunyai dan atau menghasilkan karakter tertentu (di samping karakter yang diakibatkan oleh laras, surupan, dan warna bunyi). Ancak gamelan Sunda sekarang umumnya mempunyai pola bentuk dan ukiran yang relatif sama, sehingga karakter masing-masing gamelan tidak begitu menonjol.

Perkembangan fisik lainnya adalah adanya penambahan wilahan akibat dibuatnya gamelan selap, yaitu laras salendro dan pelog yang disatukan dalam satu ancak. Ini terjadi pada beberapa gamelan, terutama pada grup wayang golek. Dengan penyatuan laras ini maka fisik bentuk gamelan pun menjadi berubah, tetapi tidak praktis secara teknik tabuh.

Pada gamelan degung

terdapat

pula perubahan-perubahan,

misalnya

masalah

penambahan instrumen musik. Pada umumnya gamelan degung mempunyai bentuk relatif sama, dengan variasi bentuk ancak bonang tipe V dan tipe U, serta variasi penempatan jenglong secara digantung dan duduk. Sedangkan dalam hal penggunaan bahan, berbagai macam gamelan masih menggunakan bahan logam perunggu, besi, atau kuningan, sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.

Mengenai tempat pembuatan gamelan pada masa kerajaan Sunda, sampai saat ini belum terlacak bekas keberadaannya, tetapi kemungkinan adanya tempat pembuatan gamelan di Sunda masa lampau sangat terbuka, sebab goong (goongkabuyutan; bende kabuyutan; gamelan) pada masa lampau merupakan salah satu regalia kerajaan yang sangat penting dan berfungsi untuk musik kenegaraan. Tempat pembuatan gamelan perunggu di Sunda sekarang sejauh diketahui hanya terdapat di Pancasan (Bogor) dan Cimahi (Bandung). Di Karawang dahulu terdapat tempat pembuatan gamelan perunggu, tetapi sekarang tidak ada, dan yang masih ada sekarang (dalang Sukur) bukan kelanjutan dari pagongan sebelumnya. Penjual-penjual gamelan biasanya membeli penclon dan wilahan selain dari Pancasan dan Cimahi, juga seringkali dari Solo dan Yogya. Dahulu banyak yang membeli dari pagongan Semarang, Kudus, dan Purbalingga. Biasanya mereka hanya membuat ancak dan sedikit melaras nadanya supaya sesuai dengan kebutuhan karawitan Sunda. Akan tetapi sekarang di instansi-instansi pemerintahan di tatar Sunda terdapat beberapa gamelan yang dipakai untuk keperluan karawitan Sunda menggunakan gamelan Jawa tanpa diperbaharui bentuk ancak (dan laras pelog?), sehingga rasa, karakter, dan tampilannya tidak menunjukkan bentuk gamelan Sunda, tetapi tetap gamelan Jawa. Pada gamelan-gamelan masa lalu, yang meskipun mungkin wilah dan penclonnya dibeli dari

Jawa, tetapi ancaknya biasanya dibuat menurut selera Sunda dengan berbagai bentuk yang kreatif.

Jika ingin detil, sangat luas sebenarnya untuk memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi pada fisik gamelan Sunda. Akan tetapi di sini dapat diinformasikan, bahwa secara umum telah sangat lama belum ada perubahan yang drastis dari masalah bentuk gamelan ini.

2. Non-Fisik

Perubahan non-fisik yang dimaksud di sini ditujukan terhadap hal musikal. Secara musikal pun hanya ada dua jenis gamelan yang bisa dikatakan berkembang, yaitu gamelan degung dan gamelan salendro. Perkembangan kedua gamelan ini terdapat pada beberapa aspek tertentu.

a. Goong Renteng dan Gamelan lainnya

Semua goong renteng, koromong, ajeng, dan gamelan tua lainnya tidak mengalami perkembangan secara musikal. Hanya ada beberapa buah gamelan saja yang relatif terpelihara repertoar lagunya, misalnya pada goong renteng Ki Sayu, goong renteng Embah Bandong, dan koromongCikubang. Sebaliknya, pada gamelan lain secara musikal mengalami kemunduran, karena pewarisnya tidak hafal semua repertoar lagu-lagu yang pernah ada, misalnya pada gamelan ajeng Sinar Pusaka, ajeng Cikamurang, goong renteng Ciwaru, goong renteng Cinangnang, dan gamelan pelog Si Monggang. Bahkan pada beberapa gamelan, repertoar lagunya ada yang sudah hilang sama sekali, karena sudah tidak pernah ditabuh (umumnya dikarenakan tidak adanya pewarisan

nayaga/pemusik), seperti pada koromong Cileuweung, koromong Cikondang, goong renteng Talaga, gamelan Sukarame, gamelan Si Gehger, ajeng Bangkuang, ajeng Babakan Simpur, ajeng Ciangsana, dan tentu saja pada gamelan-gamelan yang sudah tidak terlacak keberadaannya, seperti gamelan sakati, gamelan Mesa Patra, dan gamelan-gamelan lainnya yang pernah menghiasi keraton Surasowan dengan gending-

gendingnya seperti diberitakan naskah Sajarah Banten. Demikian pula dengan gamelan Si Layem Bandung dan gamelan Mataram kabupaten Karawang yang belum terlacak keberadaannya. Selain itu gamelan Sunda yang sangat spektakuler karya etnomusikolog Sunda R. Machjar Angga Kusumadinatayaitu gamelan Ki Pembayun, yang sangat pendek umurnyagamelannya sendiri telah hilang sebelum terwujud repertoar lagulagunya, disebabkan cerobohnya sistem perawatan kita terhadap hasil cipta, rasa, karsa, dan karya unggulan dari manusia Sunda sendiri.

Dilihat dari dunia budaya musik, hilangnya lagu gamelan-gamelan kuna sangat merugikan dunia musik kita. Padahal di sinilah kita bakal menemukan sistem musikal karuhun Sunda yang saya kira sangat luar biasa mutunya. Kalau kita dapat memahami, betapa sangat majunya sistem musikal produk karuhun itu. Tetapi sayang sekali, dengan warisan yang luar biasa itu, manusia Sunda sekarang pada umumnya telah tidak bisa merasakan indahnya sistem musikal di dalamnya. Rasa musikalnya telah banyak yang jati kasilih ku junti. Dan sekarang kita semakin kehilangan jejak.

b. Gamelan Salendro

Repertoar lagu gamelan salendro Sunda sekarang bisa dikatakan berkembang pesat jika dilihat dari kuantitas lagu-lagu vokal. Akan tetapi jika dilihat dari bentuk lagu yang ada, gamelan salendro sebenarnya tidak berkembang, karena penciptaan lagu-lagu baru (baik lagu vokal maupun lagu instrumental/gendingan) hanya menggunakan beberapa buah pola lagu dari bentuk lagu leutik (rerenggongan) saja. Bentuk lainnya hampir tidak ada, dan kebanyakan tidak berkembang sama sekali.

Dalam gamelan salendro paling tidak ada enam kelompok bentuk lagu, yaitu: (1) lagu leutik atau rerenggongan, (2) lagu gede embat opat wilet, (3) lagu gede embat lalamba, (4) tataluan lalamba, (5) mandiri, dan (6) bawa sekar.[9] Yang mengalami perkembangan pesat adalah hanya beberapa buah pola lagu dalam bentuk lagu rerenggongan. Sedangkan penciptaan lagu-lagu baru dalam bentuk lainnya tidak mengalami perkembangan yang pesat. Dalam dekade tahun 19601970-an hanya

tercipta beberapa lagu saja dari bentuk lagugede embat opat wilet, di antaranya karya Eutik Muhtar (lagu Kagembang, Panghudang Rasa, Sri Wedari), karya Mang Entis (lagu Panglayungan), dan karya Mang Endan Rosadi (lagu Banjir). Dalam segi pembuatan teknik dan komposisi gending (tabuhan gamelan; instrumental), gamelan salendro mengalami perkembangan pesat. Hal ini merupakan dampak pengaruh besar dari teknik tabuhan gamelan model Mang Koko dalam gamelan wanda anyar. Gamelan wanda anyar Mang Koko-pun hanya membuat komposisi gending dalam bentuk lagu rerenggongan saja, dan tidak dalam bentuk lainnya. Lagu-lagu bentuk rerenggongan jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari seratus lagu (minimal sejak tahun 1960-an), dan umumnya dibuat oleh seniman-seniman di Bandung, Subang, dan Karawang.

Tidak begitu pesatnya perkembangan lagu gamelan salendro dalam bentuk lagu lainnya di antaranya disebabkan para seniman umumnya menganggap bahwa menggarap lagu dalam bentuk lagu lainnya sangat sulit. Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi akan tidak pesatnya perkembangan ini dari hal paling dasar. Mengenai hal ini memerlukan penelitian dan pengkajian secara khusus. Jika melihat lagu-lagu vokal dan gendingnya saja tidak berkembang dalam setiap pola lagu dan bentuk lagu, apalagi dalam hal bentuk lagunya sendiri, masih tetap mengikuti tradisi pola lagu dan bentuk lagu tradisi yang ada.

Dalam hal laras (tangga nada), akibat adanya gamelan selap maka lagu-lagu yang biasa dilakukan hanya dalam laras salendro bisa dilakukan dalam laras pelog.

c. Degung

Perkembangan degung yang sangat kentara adalah populernya gamelan ini setelah tahun 1950-an berkat sering disiarkannya gamelan ini oleh RRI Bandung. Mula-mula menyajikan lagu-lagu degung yang biasa dimainkan di pendopo kabupaten yang sekarang disebut lagu degung ageung atau degung klasik. Lama-lama mengalami perubahan dengan menambah vokal dan beberapa alat musiknya. Degung mengalami perkembangan

pesat setelah lagu-lagu degung menggunakan vokal dalam pola-pola lagu dari gamelan salendro-pelog. Bentuk lagu yang digunakannya hanya bentuk rerenggongan. Perkembangan ini berlangsung sampai sekarang dengan kreator-kreator ternama, di antaranya Nano S dan Iik Setiawan.

Penggunaan alat musik (waditra) mengalami perubahan pula, sesuai dengan kebutuhan saat itu. Adapun alat musik yang digunakan dalam degung sekarang adalah bonang, cempres, panerus, goong, kempul, suling, kendang, serta terdapat nyanyian (vokal), dan seringkali memakai kacapi.

3. Fungsi

Semua perangkat gamelan pada dasarnya dibuat untuk keperluan hiburan. Selaras dengan perjalanan waktu, situasi, dan kondisi setiap zaman, maka berbagai gamelan pun mengalami perubahan fungsi. Meskipun kelihatannya ada yang tetap, untuk keperluan ritual misalnya, kadar ritual setiap masa akan berbeda.

Bagi gamelan dan atau lagu kuna, volume penampilannya setiap masa berbeda-beda, dan sekarang mengalami penurunan yang sangat drastis. Hal ini diakibatkan pengaruh kebutuhan dan selera masyarakat akan jenis hiburan sudah berbeda. Menurunnya volume pertunjukan akan mempengaruhi berbagai aspek kelestarian gamelan tersebut. Misalnya lagu-lagu pada gamelan ajeng, hampir semua nayaganya tidak hafal lagu khas ajeng, mereka hanya hafal lagu-lagu ajeng jenis rarancagan dan jenis kebon untuk mengarak pengantin. Tradisi mengarak pengantin dengan ajeng pun kini telah mengalami penurunan volume pertunjukan, sehingga yang dikhawatirkan ikut menghilang tidak hanya lagu ajeng, tetapi tari Soja, yang juga menggunakan gamelan ini.

Namun meskipun kadar dan volume pertunjukan berbeda-beda setiap masa, fungsi gamelangamelan di tatar Sunda masih relatif sama dengan masa sebelumnya, yaitu untuk keperluan ritual kepercayaan, hiburan, prosesi instansi tertentu, dan lain-lain.

Sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas http://sundamatandang.blogspot.com/2009/08/gamelan-sunda.html http://didiwiardi.multiply.com/journal/item/1

You might also like