Professional Documents
Culture Documents
di
Oleh :
Guritno Soerjodibroto1
2007
1
Senior Adviser, GLG – Regional and Spatial Planning
1
Pendahuluan
Melalui mekanisme desentralisasi ini, sering masih diperdebatkan mengenai seberapa besar porsi
yang masih melekat di kewenangan Pusat, dan mana yang seyogyanya sepenuhnya menjadi
discresi daerah.
Jawaban atas perdebatan diatas hingga saat ini masih sangat relative, tiada kepastian dan sering
sangat tergantung pada interpretasi individu. Pada saat sang kepala daerah mempunyai
keyakinan, kapasitas dan keberanian (ada dukungan dari legislative di daerah), munculah
terobosan yang dirasakaan lebih sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi di daerah tanpa harus
meminta ‘restu’ atau dukungan legalitas dari tingkat pemerintah lebih atasnya (Pusat / Propinsi).
Akan tetapi sebaliknya juga, masih banyak juga beberapa pemerintah daerah yang lebih
‘memanfaatkan ‘ peluang ketergantungan dengan Pusat untuk membangun akses untuk tujuan
lain-lain, dengan assumsi bahwa semakin belum ada ketentuan yang mengatur, semakin
memungkinkan untuk memperbanyak frekwensi menunggu dan mengunjungi Pusat yang berarti
tidak banyak melakukan aksi di daerah.
Dari pengalaman yang ada, era desentralisasi dan otonomi ini sebenarnya adalah era untuk
mengaktualisasikan peranan pemerintah daerah secara nyata dalam pengertian bahwa berbagai
kebijakan yang akan berpengaruh di tingkat local seyogyanya sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemerintah local itu sendiri, ada atau tidak ada panduan dari pemerintah Pusat. Sebagai
contoh, beberapa pemerintah daerah telah berani mengejawantahkan niat mulia untuk lebih
meningkatkan pelayanan pada konstituenya / warganya melalui pengambilan kebijakan sendiri
yang lebih dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, yakni pemerintah kabupaten Sleman di DI
Jogyakarta, Gianyar di Bali, kota Tarakan di Kalimantan Timur, kabupaten Nganjuk di Jawa Timur,
dan lain-lain.
Dapat dipastikan, bahwa pada awalnya mereka semua tidak mengetahui ‘hasil akhir’ nya. Apa
yang akan terjadi dengan pengambilan kebijakannya, jelas merupakan satu ‘gambling’ , lima puluh
presen berhasil dan sisanya gagal. Mereka akan menanggung sendiri. Tetapi yang utama disini
adalah mereka berani (demi kepentingan kemaslahatan yang lebih luas) dibanding sekedar ‘diam’
tanpa resiko.
Saat ini, beberapa mereka yang disebut diatas sudah ‘menikmati’ hasil keberanian mereka
setidaknya berupa reputasi yang lebih dikenal tidak hanya di tingkat local saja, tetapi juga
antar-local dan nasional.
2
Satu peluang perbaikan
Berbagai bentuk upaya peningkatan pelayanan pada mayarakat sat ini memang hampir
seluruhnya lebih beriorentasi pada ‘hal-hal nyata’ yang lebih langsung dapat dirasakan masyarakat
penggunanya. Kelompok sasaranya jelas dan dengan mudah dapat ditentukan, seperti misalnya
pendidikan, kesehatan atau lainya yang sejenis. Akan tetapi, jarang atau belum ada satu
pemerintah daerah yang mencoba melihat dan selanjutnya menyempurnakan konsep
perencanaan pembangunan daerah.
Seperti kenyataan saat ini, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan melalui unit-unit kerja
yang ada yang disebut SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) . Bila ditelusuri simpul-simpul yang
terkait dengan proses perencanaan dalam keseluruhan proses yang ada, masih banyak ruang
yang perlu dibenahi untuk menghasilkan satu pelaksanaan pembangunan yang effektiv di
dasarkan atas perencanaan yang lebih memadai.
Pada hakekatnya kondisi yang terjadi di tingkat pusat dan daerah adalah identik. Menghadapi
persoalan yang relative sama dalam hal efektivitas perencanaan pembangunan yang dilakukan
melalui mekanisme kerja yang ada saat ini.
Tiap Kementerian di tingkat pusat atau SKPD di tingkat daerah, setiap tahun akan mengajukan
usulan program dan kegiatan yang harus mendapat alokasi anggaran untuk pelaksanaan tahun
berikutnya. Di tingkat Pusat, Bapenas yang mempunyai fungsi sentral dalam mengelola substansi
usulan program dari tiap lembaga . kementerian selintas terlihat tidak dimungkinkanya untuk dapat
berfungsi sebagai koordinator pembangunan yang effektif. Setidaknya hal ini disebabkan karena
keberadaan system yang mengharuskan terjadinya pengelompokkan lembaga / kementrian
tertentu yang akan dikoordinir oleh Deputy tertentu di Bapenas. Dalam operasional pembahasan
usulan program dari tiap lembaga / kementrian diatas menjadi terpisah antara beberapa lembaga
dari lembaga lainya atau kementrian lainya, padahal dapat dipastikan bahwa akan selalu ada
keterkaitan antar satu dengan lain kementerian untuk mencapai efektivitas pencapaian sasaran
bersama.
Sedikit berbeda dengan keadaan diatas, khusus di daerah mekanisme yang terjadi di daerah untuk
saat ini masih terlihat banyaknya kelemahan yang terjadi sehingga menimbulkan berbagai
pemborosan dan tidak mudahnya tercapai sasaran yang ditetapkan sebagai visi daerah.
3
Kejelasan fokus dan sasaran bersama
Kondisi daerah serta masalahnya yang sering di interpretasikan menurut persepsi dan interest
masing masing SKPD, dan berlanjut pada perumusan program dan kegiatan di tiap SKPD yang
berorientasi lebih kepada visi masing-masing SKPD, secara akumulatif pada tahap ini akan
menghasilkan berbagai rumusan program yang tidak mempunyai keterkaitan satu sama lain, serta
yang lebih utama adalah tidak ada kejelasan mengenai kontribusi tiap program tersebut diatas
dengan sasaran pembangunan daerah.
Pada tahap koordinasi seluruh program yang diusulkan SKPD-SKPD yang selayaknya di
fungsikan oleh Bapeda, sering mengalami kendala karena keterbatasan instrumen yang diperlukan
untuk menilai sinergitas program-program dalam pencapaian sasaran pembangunan daerah yang
terumuskan dalam visi pembangunan daerah.
Beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab keadaan diatas :
- Basis perumusan program yang lebih didasarkan pada orientasi (interest) masing-masing
SKPD
- Belum atau tidak pernah terumuskanya secara jelas masalah daerah yang harus ditangani
secara terkoordinasi diantara skpd-skpd yang ada.
- Belum dan tidak pernah dirumuskanya secara konkrit dan terukur sasaran dari visi yang
ingin dicapai, sehingga tidak pernah dapat terumuskan bagaimana kaitan antara output
masing-masing program/kegiatan skpd yang direncanakan dengan sasaran visi diatas.
- Keseluruhan pada akhirnya menyebabkan tidak adanya referensi atau pegangan analisa
bagi pihak Bapeda dalam mengkoordinasikan program-program usulan dari skpd-skpd.
4
Persoalan integrasi antar dokumen perencanaan yang ada di daerah
2
Pembahasan rinci mengenai hal tidak dibahas disini
5
menjadi tanggung jawab SKPD-SKPD terkait. Akan tetapi, dalam kasus ini, sering
dokumen RPJMD yang ada tidak mengandung diatas. Berbagai program yang sudah
diidentifikasi, belum di tentukan SKPD mana yang akan menjadi penanggun jawab
program tertentu.
Dengan mengandaikan bahwa pendistribusian tanggung jawab tiap-tiap program yang ada
ke SKPD-SKPD yang ada sudah dilakukan dan disepakati, maka selanjutnya berbasis
pada rumusan tanggung jawab itulah, masing masing SKPD merumuskan strategi
pencapainya melalui dokumen Renstra SKPD nya.
Kembali, persoalan yang ada disini diantaranya berupa :
- apakah dokumen RPJMD sudah memberi kejelasan mengenai SKPD mana
bertanggung jawab untuk program apa ?
- apakah tiap SKPD dalam merumuskan visi dalam dokumen Renstranya sudah tepat ?
Diartikan tepat, apabila visi yang disusun sepenuhnya berorientasi pada upaya
pencapaian target program yang sudah diamanahkan dalam dokumen RPJMD diatas.
- Integrasi antara dokumen Renstra SKPD dengan Renja SKPD
Sebagai dokumen rencana multi year, Renstra SKPD sudah harus mempunyai target
terukur (kuantitativ atau kualitativ) yang terdistribusi dalam target tahunan.
Satu pemerintah daerah yang ‘terbuka’ , seyogyanya mampu memberikan kejelasan sejak awal
kepada seluruh warganya mengenai ‘mau dibawa kemana masa depan seluruh warga kota /
kabupatennya ?’ Semua dapat dipastikan sangat memahami kebutuhan diatas, dan bahkan
dengan mudah pula menjawabnya dengan menjelaskan keberadaan rumusan visi yang harus di
tetapkan baik jangka panjang maupun jangka menengah. Fakta yang ada adalah bahwa peraturan
perundangan yang mengatur / mengharuskan perlunya Visi jangka panjang, secara formal baru di
legalkan , dan banyak daerah yang belum mempunyainya.
Visi yang ada pada saat ini adalah visi yang dibangun untuk kepentingan ‘kompetisi’ antar calon
kepala daerah. Rumusan yang disusun sepenuhnya berdasarkan pada ‘intuisi atau feeling’ individu
kalau tidak dikatakan sebagai representasi dari kepentingan satu partai politik, disamping juga
secara kualitas dan konsistensinya tidak ada yang menjamin apakah visi tersebut akan diwujudkan
atau tidak. Tidak ada satu mekanisme manajemen pemerintahan yang akan melakukan penilaian
atas hal ini.
Dalam konteks manajemen pemerintahan yang mengabdi pada warganya, jelas rumusan visi
diatas menjadi tidak / kurang bermakna.
Rumusan visi yang seperti apa yang dapat memberi implikasi yang nyata dan positif bagi satu
pertumbuhan daerah ?
Rumusan tersebut haruslah mempunyai orientasi yang jelas untuk menumbuhkan daerah baik
secara ekonomi maupun secara fisik. Meskipun hal ini masih sangat relative, manfaat nyata
dengan adanya satu arahan yang nyata untuk masa depan pembangunan untuk kurun waktu 20
tahun kedepan adalah menjadikan prinsip predictability dapat diterapkan. Dan hal ini akan
mendorong dan memudahkan bagi pihak swasta untuk melakukan analisis bagi kemungkinan
investasi yang setidaknya menuntut kepastian politik pembangunan jangka panjang dikaitkan
dengan pola perhitungan periode balik modal (b.a.p)
Persoalan timbul setelah rumusan visi jangka panjang diatas dikaitkan dengan keberadaan visi
jangka menengah yang seperti diuraikan diatas sebagai representasi dari kepentingan kompetisi
yang tidak ada tolok ukur penilaianya.
6
Adakah keterkaitan nyata antara visi pembangunan jangka panjang dengan visi jangka menengah
? Area pertanyaan ini saat ini masih berada di grey-area - berada di wilayah abu-abu, yang berarti
tidak sepenuhnya berada dalam pengawasan pemerintah (pusat dan daerah), tetapi juga tidak
sepenuhnya berada dalam pengawasan politik (dpr/d dan kpu), meskipun pertanyaan diatas
significant dalam konteks upaya mendorong pertumbuhan daerah.
Situasi atau kondisi permasalahan yang dihadapi satu pemerintah daerah setiap saat mengalami
perubahan. Satu saat persoalan yang dihadapi lebih sebagai reaktif (tanpa direncanakan) terhadap
isu masal yang menerpa (seperti flu burung, kekeringan, banjir dll), tetapi di saat lain pemerintah di
hadapkan pada isu yang terstruktur yang semestinya sudah dapat diantisipasi melalui satu
perencanaan yang baik. Kandungan analisis dalam proses penetapan isu disini, terdiri dari :
a. Sasaran 5 (lima) tahunan dokumen RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
b. Visi Kepala daerah terpilih
c. Kebijakan Nasional yang harus diimplementasikan di daerah
d. Fakta yang dihadapi saat ini
Gabungan dari keempat informasi diatas diramu sedemikian rupa, sehingga selanjutnya dapat
dihasilkan berbagai isu yang perlu segera dan harus ditangani dalam periode 5(lima) tahun
kedepan oleh seluruh stakeholder daerah sebagai isu bersama.
Mekanisme penyelengaraan pemerintahan saat ini di daerah dapat dikatakan masih berorientasi
pada aturan (tupoksi) atau disebut rule-driven3, yang berimplikasi terjadinya overlapping (karena
persoalan intepretasi sektoral yang satu sama lain dapat berbeda), atau bahkan terjadinya ‘area
tanpa layanan’. Satu hal yang jelas, persoalan atau isu daerah tidak pernah disepakati seperti
layaknya satu kebijakan (yang bermakna: kesepakatan) Nasional seperti isu Teroris, isu
Ketahanan Pangan, dll. Yang terjadi adalah isu di masing-masing unit atau SKPD. Semua berjalan
relative kaku , seolah menggunakan pemahaman bahwa ‘ Ini Areaku, atau Ini Kompetensiku dan
lebih jauh Ini Tanggung Jawabku dan yang lainya Bukan Areaku/Tanggung Jawabku. Semua
ditentukan sendiri-sendiri, berjalan rutin tanpa ada kendali yang objective.
Isu kemiskinan (misalnya) akan diterjemahkan dengan persepsinya sendiri oleh satu SKPD tanpa
mempertimbangkan kemungkinan integrasinya dengan SKPD lain yang mungkin juga dapat
berperan dalam penanganan kemiskinan. Unsur akses, kepandaian untuk meyakinkan, juga
kesempatan, banyak berperan dalam upaya untuk meng-goal’-kan satu kegiatan SKPD tanpa
harus dilihat secara sistimatis keseluruhan penanganan isu terkait. .
Akan jauh berbeda apabila ada upaya untuk menerapkan mission driven pada penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
Berbasiskan pada isu yang harus menjadi kesepakatan bersama (yang biasanya di manifestasikan
dalam bentuk kebijakan daerah), seluruh SKPD atau minimal yang relevan dengan isu yang ada,
melakukan ‘penilaian diri’ untuk mengambil peran dalam penanganan isu tersebut. Masing-masing
SKPD terkait akan mempunyai tugas (mission) yang berbeda-beda tetapi menuju satu titik yakni
penyelesaian isu. SKPD yang satu akan memberikan kontribusi 10%, sementara SKPD yang lain
dapat memberi kontribusi terhadap penyelesaian isu sebesar 60%, dan seterusnya, sehingga total
100 % isu yang ada akan secara jelas tertangani oleh SKPD_SKPD tertentu. Bila target
3
Ted Gaebler dan D. Osborne “Mewirausahakan Birokrasi”
7
ditetapkan, tanggung jawab dibebankan, dan anggaran sudah dialokasikan, maka penilaian kinerja
akan dengan mudah dapat dilakukan.
Mekanisme kerja penetapan isu (bersama) diatas dapat dilakukan melalui berbagai metoda, tetapi
melalui pendekatan CDS4, mekanisme ini dilakukan melalui pengadaan Profil Daerah yang
menggambarkan berbagai isu yang dihadapi, dan selanjutnya melalui satu mekanisme lokakarya
yang melibatkan masyarakat secara effective ditetapkan isu-isu daerah.
Dalam hal SKPD mana yang harus terlibat, dapat ditetapkan melalui Keputusan Kepala Daerah
yang memuat nama-nama SKPD yang harus terlibat dalam penanganan Isu tertentu. Sehingga
keseluruhan anggaran pembangunan menjadi jelas peruntukkanya yang terbagi dalam isu-isu
seperti dalam dokumen RPJMD, yang ditetapkan dengan kelompok SKPD yang terbagi dalam isu-
isu yang ada.
Setiap tahun, unit-unit SKPD selalu merencanakan program dan kegiatan yang perlu dibiayai untuk
menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Berbasiskan pada peraturan perundangan yang ada5, maka mekanisme perencanaan
pembangunan dilakukan dengan menggunakan dokumen rencana tahunan yang disahkan lewat
pembahasan dengan legislative yang mengacu pada dokumen perencanaan diatasnya yakni
RPJMD dan lebih rinci di uraikan dalam Renstra SKPD.
Masing-masing SKPD, melalui mekanisme pengelompokkan dalam tema-tema (atau jenis isu)
yang selanjutnya disebut SKPD working group mendapatkan beban dan tanggung jawab yang
jelas dalam penyelesaian penanganan satu isu atau lebih. Proses ini dilakukan sejak perumusan
isu di tingkat dokumen RPJMD
Berlanjut dengan kesepakatan bersama terhadap isu-isu yang dianggap prioritas dan memadai
untuk ditangani dalam kurun waktu 5 tahun kedepan, dilakukan proses analisis dan perumusan
kebutuhan program penanganan isu tersebut oleh masing-masing SKPD working group sesuai
tema atau isu .
4
City Development Strategy Concept adopted from City Alliance
5
Undang-Undang nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
8
Kesemua uraian diatas dimaksudkan sebagai upaya inovasi yang perlu dilakukan untuk
memodifikasi mekanisme kerja yang ada selama ini, setidaknaya untuk menghasilkan suatu
program pembangunan yang tidak lagi skpd oriented, tetapi pada common issue oriented.
Gambaran hasil yang diharapkan dari proses kerja SKPD working group diatas dapat terlihat pada
table :
Contoh : penerapan mission driven dalam dokumen perencanaan (RPJMD + Renstra SKPD)
1 Ekonomi 1.Penguatan lembaga 1.1. Pelatihan tenaga 1.1. Dinas Koperasi 25 tenaga terlatih dan Merupakan dokumen
Rakyat keuangan organisasi pembukuan koperasi Dan Penanaman Modal mampu menjalankan pem renstra untuk masing-
nelayan nelayan 1.2.Dinas Koperasi dan bukuan / tahun I masing SKPD , yang
2.Pengembangan 1.2. Pemetaan kondisi Penanaman Modal 40 lembaga keuangan sudah dilengkapi dengan
sarana angkutan lembaga keuangan 2.1. Dinas PU teridentifikasi kondisinya / target tiap tahun.
pedesaan kelompok nelayan 2.2.Dinas BudPar dan In tahun I+ II
2.1.Pembangunan fokom 30 desa terjangkau pra
3.Pembangunan jalur jarring an jalan desa 2.3.Dinas sarana jalan desa / tahun
komunikasi bisnis antar Pemberdayaan I+ II + III + IV
pelaku 2.2. Kampanye dan Masyarakat Desa Seluruh desa (300 desa)
fasili tasi pengadaan terinformasi dan
sarana angkutan desa 3.1. Dinas a, b, c dll terpetakan kebutuhanya /
2.3. Pengembangan mo tahun II + III
del sarana angkutan Model sarana angkutan
pedesaan yang dibutuhkan terpilih /
tahun III
Secara diagramatik, perubahan mekanisme kerja dari yang ada selama ini, ke perubahan yang
ditawarkan dapat terlihat seperti yang dilustrasikan pada diagram dibawah
9
Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa seluruh SKPD tidak lagi merencanakan program dan
kegiatannya baik untuk dokumen Renstra maupun Tahunanya berbasis pada rumusan visi yang
disusun sendiri, tetapi lebih ‘menjalankan amanah’ yang disepakati seperti tertuang pada
dokumen RPJMD . Penyelenggaraan SKPD menjadi lebih berbasis pada tugas atau misi untuk
mengatasi isu atau persoalan daerah (bukan persoalan dari persepsi masing-masing SKPD).
Sementara dari sisi perumusan program dan kegiatan, tidak lagi disusun atas dasar kapasitas dan
kapabilitas masing-masing SKPD, tetapi dalam bentuk working group (yang terdiri dari dua atau
lebih SKPD yang relevan dengan tema/isu).
Output dari kerja working group dalam hal ini berupa : (a) Mengelaborasi topic/isu yang relevan
dengan bidang tugasnya menjadi program dan kegiatan , (b) Menetapkan target pencapaian untuk
setiap kegiatan (c) Memutuskan / menetapkan pembagian beban tugas untuk tiap rumusan
kegiatan yang sudah dirumuskan, dan (d) Menetapkan jadwal / scheduling tiap kegiatan6
Keseluruhan hasil diatas merupakan komponen dasar dari dokumen RPJMD diluar analisis
keuangan daerah.
6
Scheduling kegiatan dalam dokumen RPJMD bermakna bahwa kegiatan satu dengan kegiatan lainya tidak
harus mulai dan berakhir pada saat yang sama dan kebutuhan waktu penanganya berbeda-beda sesuai
beban yang ada (lihat contoh pada table diatas)
10
Kesepakatan terhadap pembagian tugas dan peran tiap SKPD dalam pencapaian target 5 tahun
diatas selanjutnya di jadikan ketentuan dasar bagi tiap SKPD dalam merencanakan kegiatan
dalam lingkup bidang tugasnya untuk periode 5 tahun kedepan.
Pada saat ini dan masa lalu, mekanisme kerja perencanaan tiap unit kerja berada di masing-
masing unit (SKPD) yang dilaksanakan oleh unit perencanaan di dalam tiap tiap SKPD yang ada.
Atau dengan kata lain, melalui masing-masing unit perencanaan inilah selanjutnya tiap SKPD akan
mempunyai dokumen perencanaan pembangunan untuk daerah. Kumpulan dari seluruh kegiatan
SKPD pada tahun yang sama pada hakekatnya identik dengan RKPD (rencana kerja Pemerintah
Daerah) yang berlanjut dengan pengalokasian anggaran.
Arti lebih lanjut dapat dikatakan bahwa, keseluruhan nasib rakyat (di dalam satu pemerintahan
daerah) sangat ditentukan oleh kualitas rencana yang dihasilkan oleh unit-unit perencanaan di tiap
unit kerja yang ada.
Prosedur kerja seperti yang dimaksud diatas, hampir dikatakan tidak mudah untuk dilakukan
sinkronisasi dan ataupun koordinasi untuk mengefektifkan hasil rumusan program-program di
SKPD terkait . Koordinasi hampir selalu dilaksanakan pada tahap akhir, yang artinya adalah
apabila dokumen yang dihasilkan oleh tiap SKPD sudah sedemikian kompleksnya, maka
koordinasi yang dapat dilakukan cenderung minimal, yang selanjutnya dapat diartikan bahwa hasil
koordinasinya relative tidak bermakna..
Demikian juga pada saat menentukan prirotas program diantara program-program yang diusulkan
dari SKPD-SKPD yang ada. Dan kondisi ini dapat juga diartikan bahwa perhatian terhadap
perbaikan nasib rakyat menjadi kurang terfokus
Untuk itu perlu dikembangkan satu mekanisme koordinasi yang effektiv7 untuk menghasilkan
sinergi antar pihak-pihak terlibat dengan sumberdaya yang ada, untuk kepentingan ini. Mekanisme
koordinasi yang bertujuan untuk mengefektivkan pemanfaatan anggaran (public) yang ada
sehingga dengan anggaran yang ada dapat dihasilkan sebesar-besarnya manfaat bagi
rakyat.
Assumsi yang ada saat ini, adalah bahwa dengan memperbaiki mekanisme dan tata kerja
koordinasi, akan didapat beberapa manfaat langsung dan tak langsung bagi aparat maupun
masyarakat banyak.
Mekanisme koordinasi untuk kegiatan apa dan bagaimana melaksanakanya, pada dasarnya
sangat tergantung kepada kepekaan masing-masing daerah, akan tetapi terkait dengan upaya
meningkatkan kinerja pembangunan lewat perenncanaan yang baik disini, mekanisme koordinasi
lebih banyak diperlukan pada tahap-tahap setidaknya :
7
Erna Witoelar (Kompas 20 july 07) menyatakan bahwa lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintahan
masih menjadi penyebab utama kurang berhasilnya pelaksanaan program pemerintah untuk rakyat. Untuk
menjamin agar setiap lembega pemerintahan konsisten melaksanakan hasil koordinasi, perlu dibuat aturan
hokum formal yang jelas. Saat ini koordinasi untuk menjalankan program pembangunan bersama masih
menjadi ‘barang mewah’.
11
a. Merumuskan dan menetapkan program dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah / isu daerah.
b. Penetapan prioritas program dan kegiatan atas dasar keterbatasan anggaran yang ada
c. Pendistribusian atau penetapan peran dan kontribusi tiap SKPD dalam penanganan
masalah/ isu daerah
d. Penilaian kinerja SKPD
Melalui satu mekanisme koordinasi yang baik, kegiatan-kegiatan diatas akan dapat dirumuskan
dengan landasan persepsi yang lebih kuat sehingga memungkinkan timbulnya semangat
kebersamaan dalam melaksanakan hasil-hasilnya.
Manfaat secara tidak langsung yang dapat diambil dari penguatan mekanisme koordinasi disini
dapat berupa :
- Lebih terbukanya sistem perencanaan yang ada, sehingga tidak ada peluang untuk
membangun akses secara bilateral antara SKPD tertentu dengan pihak-pihak yang
mempunyai otoritas untuk menyepakati dan meng-approved proposal anggaran.
- Adanya shared value diantara SKPD yang ada, sehingga lebih memudahkan untuk
menciptakan keberssamaan yang sangat diperlukan untuk menciptakan satu pemerintah
daerah yang ‘solid’.
- Terjadinya capacity building atau peningkatan pemahaman dan kapasitas dalam
mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang berorientasi untuk menuntaskan
persoalan daerah.
- Dan berbagai nuansa kebersamaan lainya.
Pada saat satu dokumen perencanaan jangka menengah di Perda-kan, maka dokumen tersebut
cenderung menjadi statis, karena tidak ada lagi keluwesan di dalamnya. Perobahan yang
diperlukan tidak lagi dapat dilakukan dengan mudah, berkaitan dengan proses penerbitan satu
Perda (peraturan daerah).
Secara substansi, beberapa hal yang cenderung dinamis dalam kaitanya dengan satu
perencanaan yang dalam hal ini perencanaan pembangunan daerah adalah :
- perobahan perobahan pada variable dasar yang berupa (i) jumlah penduduk, dan (ii)
angka inflasi
- perobahan pada variable pengaruh lainya, yakni politik, keamanan, serta alam.
Terjadinya perobahan terhadap variable-variabel diatas yang menyimpang significant dari yang
diperkirakan, dapat dipatikan menuntut adanya modifikasi atau penyesuaian terhadap perubahan
tersebut. Akan tetapi, apabila dokumen perencanaan yang ada sudah ditetapkan berdasarkan
pada Perda, hal ini dapat dipastikan tidak dimungkinkan untuk dilakukan. Arti lebih lanjut adalah
dokumen perencanaan tersebut menjadi kurang valid, kurang sesuai dengan fakta yang ada. Hal
ini akan terjadi pada dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Sedikit berbeda dengan dokumen Renstra SKPD yang disahkan melalui kepala SKPD, menjadi
dokumen yang lebih flexible dibandingkan RPJMD diatas.
Untuk itu, berbagai perobahan yang terjadi selanjutnya akan dapat diakomodasi dalam dokumen
Renstra SKPD ini yang notabene sudah sepenuhnya merupakan dokumen yang ‘menginduk’ pada
dokumen RPJMD (lihat table contoh pada halaman 7 didepan).
12
Berbagai bentuk konsekwensi dari perubahan mendasar yang terjadi, haruslah dilakukan melalui
satu mekanisme koordinasi untuk menetapkan langkah atau kegiatan yang lebih sesuai.
Penutup
Perencanaan pembangunan di daerah, baik dari kebutuhan riil yang terjadi maupun yang
diamanahkan dalam peraturan perundangan yang ada (UU32/2004), mempunyai tujuan pokok
yang berupa (a) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan (b) menghidupkan dan
membangun nuansa demokratis. Dua hal besar inilah yang selayaknya menjadi sasaran
manajerial pembangunan oleh pemerintah daerah.
Ragam cara untuk mencapainya , dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan yang
sudah ada sejak adanya satu ke pemerintahan daerah. Persoalan yang hampir selalu muncul
setiap tahun mengenai di daerah-daerah dan secara aggregate kondisi Indonesia keseluruhan
adalah merosotnya berbagai kualitas kehidupan social, ekonomi bahkan keamanan dan politik.
Persoalan-persoalan diatas jelas tidak mungkin dapat teratasi dengan sendirinya tanpa ada satu
intervensi nyata dari penyelenggara pemerintah.
Bentuk intervensi yang dapat langsung terasakan adalah melalui penyempurnaan, perbaikan tata
laksana perencanaan pembangunan dalam hal ini khususnya di daerah.
Melalui artikel ini, telah diuapayakan dikenali berbagai kelemahan yang terjadi dalam proses
perencanaan pembangunan yang terjadi, dan sekaligus diupayakan pemikiran perbaikannya yang
diharapkan selanjutnya dapat dijadikan bahan innovasi bagi daerah.
Berbagai perubahan yang terjadi dibandingkan dengan pendekatan yang selama ini digunakan
secara administrasi dan legalitas tidak harus dijadikan satu kendala bagi upaya satu perbaikan.
Pemerintah daerah diharapkan tidak lagi terjebak pada orientasi rule-driven , tetapi di dorong
untuk lebih menerapkan satu konsep dimana penyelenggaraan pemerintahan yang ada lebih
berbasiskan pada amanah atau kebutuhan yang dirasakan. Diharapkan akan terjadi satu
keluwesan dalam menghadapi satu situasi atau keadaan.
Untuk menerapkan konsep yang ditawarkan pada dasarnya tidak harus menunggu peraturan atau
petunjuk untuk itu, atau juga tidak perlu harus menunggu pemerintah daerah lain mendahului.
Karena, menjadi contoh bagi yang lain akan mempunyai nilai tambah yang lebih dibandingkan
menunggu untuk menjadi pengikut (follower), seperti beberapa pemerintah daerah yang telah
berani berinovasi seperti disebutkan di awal tulisan ini.
Pengalaman dari daerah atas pelaksanaan satu metode atau pendekatan adalah masukan yang
paling berharga bagi satu perumusan kebijakan di tingkat Pusat.
Penulis :
guritno.soerjodibroto@gtz.de , guritno@gtz.or.id
13
Bahan Bacaan :
1. Badrul Munir “ Memangkas Inefisensi Anggaran Daerah”, diterbitkan oleh Samawa Center
dan dicetak atas dukungan GTZ, 2003
2. Ted Gaebler dan David Osborne “ Mewirausahakan Birokrasi”
3. Guritno Soerjodibroto “City Development Strategy (CDS) sebagai satu alternative
perencanaan pembangunan kota”, bunga rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam
Abad 21, Buku 1, diterbitkan oleh Yayasan Sugiyanto Soegiyoko bekerjasama dengan
URDI (Urban and Regional Development Institute, 2005
4. Jerome B. McKinney “Effective Financial Management in Public and Non Profit Agencies
“ ; A Practical and Integrative Approach , Qourum Books.
5. Gerhard Mersmann and Gero Von Harder “ Change Management” ; A Concept of
Enhancing the Process of Change”, Lembaga Asministrasi Negara, Deutsch Stiftung fur
International Entwicklung.
14