You are on page 1of 18

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 1

A. DISPNEA
I. PENDAHULUAN
1. Dispnea (sesak nafas) sebagai sebuah keluhan utama. Dispnea dihubungkan dengan berbagai penyakit pada jantung, paru-paru, dinding dada, maupun otot-otot pernapasan. Kondisi psikoneurotik, yang biasanya berhubungan dengan ketegangan atau kecemasan, juga dapat menyebabkan dispnea. Dalam sebuah literatur bahkan disebutkan bahwa dispnea psikoneurotik ini merupakan penyebab dispnea yang paling sering terjadi, ditemukan pada sekitar 10% pasien yang datang pada spesialis penyakit dalam. 2. Pernafasan diatur mekanisme sentral dan perifer. Tujuan respirasi adalah untuk memasok oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Pertukaran ini berlangsung dalam alveoli paru dan gerakan pernapasan yang berirama dipertahankan oleh pusat respirasi dalam mesensefalon (midbrain). Mekanisme sentral dan perifer mengatur ventilasi agar sesuai dengan peningkatan kebutuhan metabolisme selama aktivitas fisik maupun kondisi di mana terjadi kebutuhan metabolisme yang berlebihan, seperti pada saat cemas dan ketakutan. 3. Batasan dispnea. Tidak semua kegiatan bernafas yang sulit disebut dispnea. Orang normal yang sedang beristirahat tidak menyadari kegiatan bernafas. Setelah aktivitas ringan atau sedang, seseorang mungkin merasakan kegiatan bernafas ini, namun tanpa disertai perasaan tidak nyaman. Perasaan yang kurang nyaman dapat dirasakan setelah aktivitas fisik yang melelahkan, namun sensasi ini juga bukanlah dispnea, karena diyakini terjadi hanya sementara dan sesuai dengan kadar aktivitas fisik yang dilakukan. Definisi dispnea sangat berhubungan dengan perasaan yang tidak nyaman. Terdapat suatu keadaan di mana bernafas tampak sukar tapi tidak terjadi dispnea. Contohnya, hiperventilasi yang menyertai asidosis metabolik jarang disertai dispnea. Di lain pihak, penderita dengan pola pernafasan yang tampak normal mungkin saja mengeluh dispnea nafas. Oleh karena itu, sebagai gejala kardinal dari penyakit sistem kardiopulmonal, dispnea didefinisikan sebagai kesadaran akan pernafasan yang tidak nyaman dan abnormal. Peranan anamnesis dalam memastikan dispnea. Dispnea tidaklah menyakitkan. Namun penderita mengalami berbagai sensasi tidak menyenangkan yang berhubungan dengan pernafasan, dan menggambarkannya dalam bermacam-macam ekspresi verbal. Karena itu, anamnesis yang teliti sangat penting untuk memastikan apakah penggambaran adalah benar-benar suatu dispnea. Jika dispnea telah

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 2

dipastikan, selanjutnya harus ditentukan pada keadaan apa dispnea terjadi dan gejala apa saja yang menyertainya. 4. Onset dispnea yang akut dan gradual. Diagnosis banding dispnea yang akut berbeda dengan dispnea yang subakut atau kronis. Penyebab dispnea yang akut meliputi bronkospasme, emboli paru, pneumotoraks, edema paru akut, dan keadaan ansietas. Sebaliknya, pada sebagian kasus gagal jantung yang kronis, dispnea berkembang lambat secara progresif dalam beberapa minggu atau bulan. Namun perlu diingat pula bahwa dispnea yang kronis dapat pula bermanifestasi dalam bentuk eksaserbasi yang akut.

II. PENENTUAN BERAT DAN KUALITAS DISPNEA


1. Derajat dispnea dipengaruhi oleh aktivitas dan keadaan fisik umum penderita. Berat aktivitas sehari-hari masing-masing individu. Derajat dispnea nafas ditentukan berdasarkan beratnya aktivitas fisik yang dapat menimbulkan dispnea. Dispnea pada pelari terlatih saat berlari 2 km menunjukkan gangguan yang jauh lebih serius dibanding pada orang dengan aktivitas yang ringan.

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 3

Variasi antar individu. Variasi antar individu juga harus dipertimbangkan. Beberapa penderita dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan. Sebaliknya penderita lain dengan penyakit ringan dapat mengalami dispnea yang lebih berat. Pada umumnya, meskipun terdapat variasi individual, terdapat korelasi yang yang dapat diterangkan antara beratnya dispnea dan besarnya gangguan fungsi paru atau jantung yang menyebabkan dispnea. Pengaruh penyakit penyerta lain. Sebagian penderita dengan kelainan di paru-paru atau jantung jarang melakukan aktivitas fisik yang berat akibat penyakit lain (misalnya osteoartritis berat pada panggul atau lutut), sehingga tidak pernah merasakan dispnea meskipun terdapat gangguan fungsi paru atau jantung yang serius. Data-data yang harus dipahami. Untuk itu agar diperoleh pengertian yang baik tentang beratnya dipsnea, penting untuk memahami data mengenai keadaan fisik umum, aktivitas harian, dan riwayat pekerjaan dari penderita dengan keluhan dispnea nafas 2. Beberapa pola dispnea nafas yang khusus. Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Perubahan posisi dalam hubungannya dengan ventilasi dan perfusi diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Sudden unexpected dyspnea. Episode dispnea yang timbul tiba-tiba dan tidak terduga pada saat istirahat dapat dihubungkan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan, hiperkapnia sekunder akibat menahan nafas, atau kecemasan. Paroxysmal nocturnal dyspnea. Episode sesak yang memberat di malam hari merupakan gejala khas dari gagal jantung kiri. Ortopnea. Dispnea yang terjadi pada posisi telentang, atau ortopnea, dianggap sebagai karakteristik utama dari gagal jantung kongestif. Ortopnea juga dapat terjadi pada beberapa penderita asma dan obstruksi saluran nafas kronis, dan sering ditemukan pada penyakit paralisis diafragma bilateral (suatu penyakit yang jarang terjadi). Trepopnea dan platipnea. Trepopnea menggambarkan keadaan yang tidak lazim, di mana dispnea hanya timbul pada posisi lateral dekubitus (paling sering terjadi pada penderita penyakit jantung). Platipnea adalah dispnea yang hanya muncul pada posisi tegak.

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 4

III. MEKANISME TERJADINYA DISPNEA


1. Dispnea terjadi apabila kerja pernafasan berlebihan. Peningkatan kerja ini dibutuhkan otot pernafasan untuk menghasilkan volume yang diperlukan : jika kelenturan (compliance) dinding dada atau paru berkurang, atau jika resistensi terhadap aliran udara meningkat. 2. Peningkatan kerja nafas juga timbul jika ventilasi melebihi tingkat aktivitas. Walaupun seseorang lebih cenderung mengalami dispnea ketika kerja pernafasan meningkat, teori di atas tidak dapat menerangkan perbedaan antara : Pernafasan dalam dengan beban mekanik normal, dengan Pernafasan normal dengan beban mekanik yang meningkat. Kerja yang dilakukan keduanya mungkin sama, namun jenis yang kedua (pernafasan normal dengan beban meningkat) akan disertai dengan perasaan tidak nyaman (dispnea). Hal ini terjadi karena pusat pernafasan menganggap ventilasi yang terjadi melebihi tingkat aktivitas yang sedang dilakukan. Beban pada proses pernafasan, seperti tahanan di mulut, akan meningkatkan output dari pusat pernafasan yang tidak sebanding dengan peningkatan kerja pernafasan. Hipotesisnya : bila kerja otot-otot pernafasan mendekati sebagian fraksi maksimalnya, maka dispneu terjadi akibat transduksi mekanis terhadap stimulus saraf. 3. Hiperaktivasi pusat pernafasan pada semua keadaan dipsnea. Pada semua keadaan, dispnea ditandai dengan aktivasi abnormal atau berlebihan dari pusat pernafasan pada batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau melalui struktur dan jaras yang bervariasi, meliputi (1) reseptor intratorakal melalui vagus; (2) saraf somatik aferent, terutama dari otot-otot pernafasan dan dinding dada, selain itu dari otot skelet lainnya dan sendi-sendi; (3) Kemoreseptor dalam otak, aorta, dan badan karotis, serta tempat lain dalam sirkulasi; (4) pusat yang lebih tinggi (kortikal); dan mungkin pula (5) serabut aferen n. frenikus. 4. Dispnea terjadi melalui berbagai mekanisme pada berbagai derajat. Pada semua kemungkinan, beberapa mekanisme yang berbeda bekerja dengan derajat berbeda dalam berbagai situasi klinis di mana terjadi dispnea. Pada beberapa keadaan, dispnea ditimbulkan oleh stimulasi reseptor-reseptor di saluran nafas atas. Dalam keadaan lain sensasi dispnea dibangkitkan oleh reseptor-reseptor di paru-paru, saluran nafas, otot pernafasan, dinding dada, atau kombinasi dari struktur-struktur tersebut. Mekanisme penyebab dispnea bervariasi pada berbagai kondisi seperti digambarkan pada tabel di bawah ini :

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 5

Tabel 1. Kondisi terjadinya Dispnea dan Mekanismenya


Kondisi Asma Penyakit neuromuskuler PPOK Mekanisme Meningkatnya sensasi upaya bernafas Stimulasi reseptor terhadap iritan di saluran nafas Meningkatnya sensasi upaya bernafas Meningkatnya sensasi upaya bernafas Hipoksia Hiperkapnia Ventilasi mekanis Emboli paru Aferen yang tidak sesuai Berbagai faktor yang menyertai kondisi yang mendasari Stimulasi reseptor terhadap tekanan di pembuluh paru atau dapat saja di atrium kanan (Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)

IV. DIAGNOSIS BANDING


4.1 PULMONAL 4.1.1 Penyakit Obstruksi Saluran Pernafasan Obstruksi aliran udara dapat terjadi di mana saja, mulai saluran nafas ekstratorakal sampai saluran nafas kecil di perifer paru-paru. 1. Obstruksi ekstratorakal. Obstruksi saluran nafas atas akut merupakan keadaan gawat darurat dalam kedokteran. Obstruksi saluran nafas besar di ekstratorakal dapat terjadi akut, seperti pada aspirasi makanan atau benda asing, atau pada angioedema glotis. Adanya riwayat alergi disertai urtika yang tersebar memperbesar kemungkinan terjadinya edema glotis. Jenis obstruksi yang lebih kronis dapat ditemukan pada tumor atau stenosis fibrotik yang terjadi setelah tindakan trakeostomi atau intubasi endotrakeal yang lama. Baik pada keadaan akut maupun kronik, gejala utamanya adalah dispnea, dengan tanda khas berupa stridor dan retraksi fossa supraklavikuler pada saat inspirasi. 2. Obstruksi intratorakal. Obstruksi saluran nafas intratorakal dapat bersifat akut dan sementara, atau kronik yang makin memberat selama infeksi saluran pernafasan. Obstruksi akut dan sementara dengan wheezing merupakan ciri khas asma. Batuk berdahak kronis merupakan gejala khas pada bronkitis kronis dan bronkiektasis. Tanda yang paling sering ditemukan adalah perpanjangan masa ekspirasi dan ronki kasar, yang pada bronkitis kronis terjadi di seluruh lapang paru, sedangkan pada bronkiektasis terlokalisir.

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 6

Infeksi yang menyelangi akan memperburuk batuk, meningkatkan produksi sputum

yang purulen, dan memperberat dispnea. Selama episode tersebut, penderita dapat mengeluh dispnea paroksismal di malam hari dengan wheezing, yang berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Meskipun pada kenyataannya, keterbatasan aliran udara ekspirasi yang berat dan hiperinflasi paru merupakan karakteristik penyakit ini, penderita lebih sering merasakan ketidakmampuan menarik nafas dalam daripada kesulitan mengeluarkan nafas. Pada penderita dengan emfisema sebagai kelainan utama, gejala khas yang terjadi adalah dispnea menahun pada saat aktivitas, yang kemudian berkembang menjadi dispnea saat istirahat. Walaupun didefinisikan sebagai penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran nafas. 4.1.2 Penyakit Parenkim Paru Difus Kategori ini meliputi sejumlah besar penyakit, mulai dari pneumonia akut sampai kelainan kronis seperti sarkoidosis, dan berbagai jenis pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, dan hasil radiografi yang abnormal seringkali memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Penderita seringkali tampak takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial di bawah normal. Aktivitas fisik sering makin menurunkan PO2 arterial. Volume paru-paru berkurang dan paru-paru menjadi lebih kaku, sehingga compliance menurun di bawah normal. 4.1.3 Penyakit Oklusi Pembuluh Paru-paru Episode berulang dispnea ketika istirahat sering ditemukan pada emboli paru rekuren. Terdapatnya sumber emboli seperti flebitis pada ekstremitas bawah atau panggul akan membantu mengarahkan diagnosis. Hasil analisis gas darah arteri hampir selalu abnormal, tapi volume paru umumnya normal atau hanya sedikit abnormal. 4.1.4 Penyakit Dinding Dada atau Otot-otot Pernafasan 1. Deformitas dinding dada. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis, pektus ekskavatum, atau ankylosing spondylitis. Meskipun ketiga deformitas ini dapat disertai dispnea, hanya kiposkoliosis berat yang selalu mengganggu ventilasi dengan intensitas yang cukup untuk akhirnya menjadi cor pulmonale kronis dan kegagalan pernafasan. 2. Manifestasi utama di sistem lain. Baik kelemahan maupun paralisis otot-otot pernafasan memang dapat menyebabkan dispnea dan kegagalan pernafasan. Namun pada gangguan neurologis atau muskuler, seringkali gejala dan tanda bermanifestasi lebih jelas di sistem lain (selain sistem pernafasan).

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 7

4.2 KARDIAL 4.2.1 Patofisiologi 1. Pada penderita penyakit jantung, dispnea saat aktivitas paling sering timbul sebagai : konsekuensi dari peningkatan tekanan kapiler paru, yang selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri, penurunan compliance ventrikel kiri, dan stenosis mitral. 2. Kenaikan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah (vascular bed) paru cenderung untuk : mengacaukan kesetimbangan Starling, akibatnya terjadi transudasi cairan ke ruang interstitial, penurunan compliance paru, dan stimulasi reseptor J (juxtacapillary) dalam ruang interstitial alveoli. 3. Hipertensi vena pulmoner yang lama akan : menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah kecil paru-paru serta peningkatan jumlah sel perivaskuler dan jaringan fibrosa sehingga semakin menurunkan compliance. Ortopnea merupakan hasil dari perubahan gaya gravitasi yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini meningkatkan tekanan vena pulmoner dan kapiler, yang akhirnya meningkatkan volume penutupan paru-paru (pulmonary closing volume) dan menurunkan kapasitas vital. 4. Kompetisi untuk mendapatkan ruang antara pembuluh-pembuluh darah, saluran nafas, dan cairan yang meningkat dalam ruang interstitial akan mengganggu lumen saluran nafas kecil, sehingga meningkatkan resistensi saluran nafas. 5. Kondisi yang memperberat dispnea. Compliance yang menurun dan resistensi saluran nafas yang meningkat akan memperberat kerja pernafasan. Gagal jantung kongestif lanjut biasanya meliputi elevasi tekanan vena pulmonal dan sistemik. Dapat juga terjadi hidrotoraks, yang akan semakin mengganggu fungsi paru dan memperhebat dispnea. 4.2.2 Dispnea Paroksismal Nokturnal (Paroxysmal nocturnal dyspnea, PND) 1. Patofisiologi. Keadaan yang dikenal juga sebagai asma kardiale ini ditandai dengan serangan sesak nafas yang umumnya terjadi di malam hari dan membangunkan penderita dari tidurnya. Serangan ini dicetuskan oleh stimulus yang memperberat bendungan paru yang telah ada. Volume darah total meningkat di malam hari akibat reabsorpsi edema dari daerah dependen (yang pada

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 8

posisi tegak mengakumulasi banyak cairan) selama posisi berbaring. Sebenarnya saat tidur, penderita dapat mentolerir bendungan paru yang relatif berat dan hanya terbangun (dengan sesak dan wheezing) jika telah terjadi edema paru dan bronkospasme yang nyata. 2. Diagnosis banding. Dua bentuk lain PND harus dibedakan dari PND yang berhubungan dengan gagal jantung. Bronkitis kronis ditandai dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, sekret tersebut terakumulasi sehingga menyebabkan dispnea dan wheezing yang dapat berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Pada penderita asma, derajat obstruksi saluran nafas terjadi dalam variasi sirkadian. Obstruksi makin berat antara pukul 2 sampai 4 pagi dan dapat membangunkan penderita dengan sensasi seperti tercekik, dispnea yang hebat, dan wheezing. Walaupun komponen utama pada asma nokturnal adalah inflamasi, bronkodilator perinhalasi biasanya dapat mengurang gejala-gejala dengan cepat. 3. Diagnosis. Penegakan diagnosis dispnea kardiale tergantung dari pengenalan penyakit jantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang ditunjang dengan berbagai pemeriksaan noninvasif. Mungkin terdapat riwayat infark miokard, bunyi jantung ke-3 dan ke-4, tanda pembesaran ventrikel kiri, distensi vena jugular di leher, atau edema perifer. Pada foto toraks, sering ditemukan tanda-tanda gagal jantung berupa edema interstitial, redistribusi pembuluh darah pulmoner, dan akumulasi cairan di septum dan kavitas pleura. Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung struktural, yang dapat menyebabkan dispnea, terutama untuk memperoleh petunjuk adanya kelainan jantung sebagai faktor etiologi dari dispnea yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. 4. Perbedaan dispnea kardial dan pulmonal. Anamnesis. Pada sebagian besar penderita dengan dispnea, terdapat bukti klinis yang nyata akan adanya penyakit jantung bersama-sama dengan penyakit paru. Penderita dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga dapat terbangun di malam hari dengan dispnea, namun hal ini biasanya berhubungan dengan produksi sputum. Dispnea biasanya berkurang dengan pengeluaran sputum. Kesulitan membedakan keduanya semakin bertambah jika penyakit yang terjadi telah meliputi kedua sistem organ tersebut. Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fungsi paru dapat membantu menentukan apakah dispnea berasal Ekokardiografi atau ventrikulografi dengan radionuklida juga dapat membantu. dari penyakit jantung, penyakit paru, abnormalitas dinding dada, atau kecemasan. Fraksi ejeksi ventrikel kiri berkurang pada kegagalan ventrikel kiri, yang kanan dapat

Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 9

menurun pada saat istirahat atau meningkat selama aktivitas pada penderita penyakit paru berat, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kanan normal pada saat istirahat dan selama aktivitas pada dispnea yang berhubungan dengan kecemasan atau malingering. Observasi yang cermat selama tes treadmill sering dapat mengidentifikasi dispnea Tes latihan kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing) juga sangat akibat malingering atau kecemasan. bermanfaat, di mana dilakukan penilaian kapasitas maksimal dalam melakukan aktivitas fungsional, sekaligus pemeriksaan EKG, tekanan darah, konsumsi oksigen, oksimetri, dan ventilasi. Tabel 2 : Polapola Abnormal dalam Cardiopulmonary Exercise Testing Keterbatasan pada fungsi kardiovaskular. Denyut jantung > 85% dari prediksi maksimal Ambang anaerobik yang rendah Penurunan konsumsi oksigen maksimal Tekanan darah drop dengan aktivitas fisik Aritmia atau iskemia pada EKG Tidak mampu mencapai prediksi ventilasi maksimal Tidak memiliki desaturasi yang signifikan Keterbatasan pada fungsi respirasi. Mampu mencapai atau melampaui prediksi ventilasi maksimal Desaturasi signifikan (<90%) Dead space yang stabil atau meningkat terhadap rasio volume tidal Adanya perkembangan ke arah atau telah terjadi bronkospasme dengan nilai FEV1 yang jatuh Tidak mampu mencapai 85% dari prediksi denyut jantung maksimal Tidak terdapat tanda iskemia pada EKG
(Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)

4.3 NEUROSIS KECEMASAN 1. Evaluasi dispnea sekunder ansietas. Dispnea yang dialami oleh penderita neurosis kecemasan sulit untuk dievaluasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala hiperventilasi akut atau kronik tidak dapat diandalkan untuk membedakannya dengan proses lain seperti emboli paru rekuren. Biasanya desahan nafas panjang berulang kali dengan pola pernafasan yang ireguler menunjukkan dispnea psikogenik.

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 10

2. Astenia neurosirkulatori. Sindroma hiperventilasi juga sering membingungkan, karena kadang disertai nyeri dada dan kelainan pada EKG, suatu kondisi yang sering diistilahkan sebagai astenia neurosirkulatori. Nyeri dada biasanya tajam pada beberapa lokasi, berlalu dengan cepat (hanya beberapa detik), dengan kelainan EKG yang paling sering tampak saat repolarisasi. 3. Gangguan kecemasan pada penyakit jantung dan paru. Penting untuk diingat pula bahwa kecemasan dan depresi yang menyertai penyakit jantung atau paru dapat memperberat gejala-gejala dispnea melampaui derajat yang seharusnya dari disfungsi organ tersebut. Tabel 3. Proses yang Terjadi pada Berbagai Penyebab Dipsnea
PROBLEM Gagal jantung kiri PROSES Peningkatan tekanan dalam Capillary bed dengan transudasi cairan ke ruang interstitial dan alveoli, penurunan compliance (peningkatan kekakuan ) paru-paru, dan peningkatan kerja pernafasan Produksi mukus yang berlebihan dalam bronki, diikuti dengan obtruksi kronis saluran nafas. Bronkitis kronis dan emfisema sering muncul bersamaan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat terjadi akibat salah satu atau keduanya. Bronkus yang hiperresponsif berhubungan dengan proses inflamasi Infiltrasi yang abnormal dan luas dari sel-sel, cairan, dan kolagen ke ruang interstitial di antara alveoli. Banyak penyebab Inflamasi parenkim paru, mulai dari bronkiolus sampai alveoli. Bocornya udara ke rongga pleura melalui /akibat blebs pada pleura visceralis yang menyebabkan kolaps paru parsial atau komplit. Oklusi tiba-tiba seluruh atau sebagian percabangan arteri oleh bekuan darah yang biasanya berasal dari vena-vena dalam pada tungkai atau panggul. Bernafas berlebihan, dengan akibat alkalosis respiratorik dan penurunan drastis sebagian tekanan karbondioksida dalam darah. (Dimodifikasi dari Bates, 1996)

Bronkitis kronis

Emfisema paru Penyakit paru interstitial difus Pneumonia Pneumotoraks spontan Emboli paru akut

Kecemasan dengan hiperventilasi

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 11

Tabel 4. Anamnesis Dispnea (Dimodifikasi dari Bates, 1996)


PROBLEM Gagal jantung kiri (gagal ventrikel kiri atau mitral stenosis) Bronkitis kronis WAKTU Dispnea dapat berkembang lambat atau terjadi tiba-tiba seperti pada edema paru akut Batuk produktif kronis diikuti dengan dispnea yang berkembang dengan lambat Episode akut, diselangi dengan periode bebas gejala. Episode nokturnal umum terjadi Dispnea progresif yang perkembangannya bervariasi sesuai dengan penyebab Penyakit akut, waktu terjadi bervariasi tergantung penyebab Dispnea dengan onset tiba-tiba Dispnea dengan onset tiba-tiba YANG MEMPERBERAT Aktivitas fisik, merebahkan diri YANG MEMPERINGAN Istirahat, duduk tegak, walaupun begitu dispnea dapat menjadi menetap. Pengeluaran dahak; istirahat, walaupun begitu dispnea dapat menjadi menetap Menghindari faktorfaktor yang memperberat Istirahat, walaupun dispnea dapat menjadi menetap GEJALA PENYERTA Seringkali batuk, ortopnea, dispnea paroksismal nokturna, kadangkala wheezing Batuk produktif kronis, infeksi pernafasan berulang, dapat terjadi wheezing Wheezing, batuk, perasaan sesak di dada KONDISI Riwayat penyakit jantung atau adanya faktor-faktor predisposisi Riwayat merokok, polusi udara, infeksi pernafasan berulang Kondisi lingkungan dan emosi

Aktivitas fisik, menghirup iritan, infeksi pernafasan

Emfisema paru

Bervariasi, termasuk alergen, iritan, infeksi pernafasan, olah raga, dan emosi Aktivitas fisik

Penyakit paru interstitial difus (seperti sarkoidosis, neoplasma luas, asbestosis, dan fibrosis paru idiopatik) Pneumonia

Kelemahan, kelelahan (fatigue).Batuk lebih jarang dibandingkan pada penyakit paru lain. Nyeri pleuritik, batuk, sputum, demam, tapi tidak harus ada. Nyeri pleuritik, batuk Seringkali tidak ada. Nyeri retrosternal yang menekan pada oklusi masif. Nyeri pleuritik, batuk, dan hemoptisis jika terjadi infark pulmonal. Gejala kecemasan (lihat di bawah)

Bervariasi. Paparan satu dari banyak macam zat dapat menjadi penyebab. Bervariasi

Pneumotoraks spontan Emboli paru akut

Seringkali pada dewasa muda yang sehat Periode postpartum atau post-operasi; tirah baring lama; gagal jantung kongestif, penyakit paru kronis, dan fraktur tulang panggul atau tungkai; trombosis vena dalam (seringkali tidak tampak) Bisa terdapat manifestasi kecemasan lain

Kecemasan dengan hiperventilasi

Episodik, sering berulang

Lebih sering timbul saat istriahat daripada setelah olah raga.

Bernafas ke dalam dan keluar kantung kertas sering meringankan gejala penyerta.

Desahan nafas panjang, pusing, baal/ kesemutan pada tangan dan kaki, palpitasi, nyeri dada.

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 12

B. EDEMA PARU
I. EDEMA PARU KARDIOGENIK
1.1 Patofisiologi 1. Peningkatan tekanan vena pulmonal akibat gagal jantung kongestif. Peningkatan tekanan vena pulmonal, yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah paru, sering terjadi pada sebagian besar dispnea yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif. Compliance paru-paru berkurang, resistensi saluran nafas kecil meningkat, dan terdapat peningkatan aliran limfatik yang tampaknya berfungsi mempertahankan volume cairan ekstravaskuler di paru-paru agar tetap konstan. Terjadi pula takipnea ringan. 2. Edema interstitial akibat peningkatan tekanan intravaskuler. Jika peningkatan tekanan intravaskuler memadai baik dalam besar maupun durasinya, maka akan terjadi pengumpulan sejumlah cairan di ruang ekstravaskuler (edema interstitial). Pada keadaan ini, gejala-gejala akan memburuk, takipnea bertambah, gangguan pertukaran gas makin berlanjut, dan kelainan radiografik mulai tampak (garis Kerley B dan menjadi tidak jelasnya batas-batas pembuluh darah). Pada tingkat ini, sambungan (junction) interseluler endotel kapiler melebar sehingga memungkinkan makromolekul memasuki ruang interstitial. 3. Edema alveoli akibat elevasi lebih jauh tekanan intravaskuler. Elevasi tekanan intravaskuler yang lebih jauh merusak sambungan erat antara lapisan sel-sel alveoli dan mengakibatkan tercurahnya cairan yang mengandung sel-sel darah merah dan makromolekul, sehingga terjadi edema alveoli. Kerusakan membran alveolar-kapiler yang lebih berat lagi menyebabkan cairan edematous membanjiri alveoli dan saluran pernafasan. Pada titik ini, edema paru telah berkembang penuh secara klinis yang ditandai dengan wet rales (ronkhi basah) bilateral. Pada foto toraks tampak kekaburan difus di kedua lapang paru dengan densitas yang lebih besar di daerah hili yang lebih proksimal. Manifestasi klinis khas pada keadaan ini adalah penderita gelisah dan berkeringat dingin, sputum berbusa dan berwarna darah. Memburuknya hipoksia memperparah gangguan pertukaran gas. Tanpa penatalaksanaan yang tepat, akan terjadi asidosis yang progresif, hiperkapnia, dan henti nafas.

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 13

1.2 Hukum Starling 1. Pertukaran cairan kapiler-interstitial dalam keseimbangan. Tahap awal akumulasi cairan dijelaskan menurut hukum Starling mengenai pertukaran cairan kapiler-interstitial :

Akumulasi cairan = K [(Pc PIF) (pl IF)] Qlimf


K Pc IF PIF pl Qlimf = = = = = = = Konduktan hidrolik (berbanding langsung dengan luas permukaan membran dan berbanding terbalik dengan ketebalan membran) Tekanan intrakapiler rata-rata Tekanan onkotik cairan interstitial Koefisien makromolekul Tekanan cairan interstitial rata-rata Tekanan onkotik plasma Aliran limfatik

Tekanan yang cenderung menggerakkan cairan keluar dari pembuluh darah adalah Pc dan IF, di mana dalam keadaan normal mampu diatasi tekanan yang cenderung menggerakkan cairan kembali ke pembuluh darah, yakni hasil penjumlahan aljabar antara PIF dan pl. 2. Akumulasi cairan pada kondisi ketidakseimbangan. Kompensasi limfatik. Menurut persamaan di atas, apabila terjadi ketidakseimbangan (misalnya akibat peningkatan Pc pada gagal jantung kongestif), aliran limfatik untuk mengangkut cairan yang berpindah dapat bertambah sehingga akumulasi cairan interstitial dapat dicegah. Edema interstitial. Elevasi Pc lebih lanjut tidak hanya meningkatkan pergerakan cairan keluar dari kapiler, tetapi juga merekrut lebih banyak cairan dari capillary bed sehingga meningkatkan K (konduktan hidrolik). Kedua efek ini menyebabkan filtrasi cairan melebihi kapasitas klirens limfatik, sehingga terjadi akumulasi cairan dalam ruang interstitial paru yang longgar (edema interstitial) Edema paru. Peningkatan Pc yang lebih besar lagi akan membuka sambungan interseluler yang longgar di endotel, yang dilanjutkan dengan terbukanya sambungan interseluler yang lebih kokoh di alveoli. Akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas terhadap makromolekul. Kerusakan sekunder pada fungsi dan struktur membran alveoli-kapiler tersebut mengakibatkan tergenangnya alveoli (edema paru).

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 14

Tabel 5: Klasifikasi Edema Paru Berdasarkan Mekanisme Pencetus


I. Ketidakseimbangan pada Hukum Starling. A. Kenaikan tekanan kapiler pulmonal 1. Kenaikan tekanan vena pulmonal tanpa kegagalan ventrikel kiri (misal stenosis mitral) 2. Kenaikan tekanan vena pulmonal sekunder terhadap kegagalan ventrikel kiri 3. Kenaikan tekanan kapiler pulmonal sekunder terhadap kenaikan tekanan arteri pulmonal (disebut sebagai edema paru akibat overperfusi) B. Penurunan tekanan onkotik plasma 1. Hipoalbunemia C. Kenaikan tekanan negatif interstitial 1. Koreksi segera pnemotoraks dengan pemberian tekanan negatif yang besar (unilateral)

2. Tekanan negatif yang besar akibat obstruksi saluran nafas saja dengan peningkatan
volume akhir ekspirasi (end-expiratory) (asma) II. Perubahan permeabilitas membran alveoli-kapiler (sindrom distres pernafasan akut) A. Pneumonia infeksius bakterial, viral parasitik B. Inhalasi toksin (misalnya fosgen, ozon, klorin, uap teflon, nitrogen dioksida, asap) C. Substansi asing dalam sirkulasi (misalnya bisa ular, endotoksin bakteri) D. Aspisari isi lambung yang asam E. Pneumonitis radiasi akut F. Substansi vasoaktif endogen (misalnya histamin, kinin) G. DIC H. Imunologis pneumonitis hipersensitf, obat (nitrofurantoin), leukoaglutinin I. J. Syok paru yang berkaitan dengan trauma nontorakal Pankreatitis hemoragik akut

III. Insufisinsi limfatik A. Setelah transplantasi paru B. Karsinomatosis limfangitik C. Limfangitis fibrosing (misalnya silikosis) IV. Tidak diketahui atau hanya dipahami sebagian A. Edema paru akibat ketinggian B. Edema paru neurogenik C. Overdosis narkotika D. Emboli paru E. Setelah tindakan kardioversi F. Setelah tindakan anestesi

G. Setelah operasi pintas (bypass) kardiopulmoner


(Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 15

II. EDEMA PARU NONKARDIOGENIK


1. Ketidakseimbangan Hukum Starling yang non-kardiogenik. Beberapa kondisi klinis yang disertai edema paru didasari oleh gangguan keseimbangan gaya Starling yang bukan terjadi akibat kenaikan primer tekanan kapiler paru (Pc). Penurunan tekanan onkotik plasma (pl) Penurunan tekanan onkotik plasma pada keadaan hipoalbunemia (misalnya penyakit hati berat, sindroma nefrotik, enteropati dengan protein-loss) diperkirakan dapat menyebabkan edema paru. Namun biasanya keadaan kesetimbangan akan meningkatkan proses resorpsi dengan kuat, sehingga edema paru umumnya harus didahului kenaikan tekanan kapiler. Peningkatan tekanan interstitial (PIF) Koreksi pneumotorak luas. Peningkatan tekanan negatif interstitial berperan dalam timbulnya edema paru setelah tindakan koreksi yang terlalu cepat pada pneumotoraks yang luas. Dalam situasi ini, mungkin hanya ditemukan kelainan radiologis, tapi biasanya penderita mengalami dispnea dengan hasil pemeriksaan fisik hanya menunjukkan paru-paru yang edematous. Serangan asma berat. Tekanan negatif intrapleura yang tinggi saat serangan akut asma yang berat juga diduga dapat menyebabkan terjadinya edema interstitial. Blokade limfatik (Qlimf). Blokade limfatik yang terjadi sekunder terhadap penyakit fibrosis dan inflamasi atau karsinoma limfangitik dapat menyebabkan edema interstitial. Dalam keadaan ini, baik manifestasi klinis maupun radiologis didominasi oleh proses penyakit yang mendasari. 2. Kerusakan (permeabilitas) membran alveoli-kapiler. Kondisi lain yang ditandai oleh peningkatan jumlah cairan interstitial paru tampaknya berhubungan secara primer dengan kerusakan membran alveoli-kapiler. Setiap keadaan toksik yang timbul karena faktor lingkungan atau apa saja yang timbul secara spontan, termasuk infeksi paru difus, aspirasi, dan syok (terutama yang disebabkan sepsis, pankreatitis hemoragik dan setelah operasi bypass kardiopulmoner), berhubungan dengan edema paru difus, yang jelas tidak bersumber dari keadaan hemodinamik. 3. Bentuk lain dari edema paru. Terdapat tiga bentuk edema paru yang mekanisme tepatnya belum jelas sampai sekarang. Overdosis narkotika sangat dikenal sering diikuti dengan edema paru. Walaupun penggunaan heroin parenteral secara sembunyi-sembunyi merupakan penyebab tersering, overdosis parenteral dan oral akibat morfin, metadon, atau dekstropropoksifen yang digunakan sesuai ketentuan dapat juga menyebabkan edema paru. Bukti-bukti yang ada menyiratkan bahwa perubahan permeabilitas alveoli dan membran kapiler lebih berperan

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 16

daripada kenaikan tekanan kapiler pulmonal. Berada di tempat tinggi (High Altitude Pulmonary Edema, HAPE) dalam hubungannya dengan aktivitas fisik yang berat diketahui menyebabkan edema paru pada orang sehat. Hal ini terjadi jika tubuh belum sempat beraklimatisasi setelah singgah selama beberapa waktu di tempat dengan ketinggian yang lebih rendah. Sindrom ini jauh lebih sering terjadi pada usia di bawah 25 tahun. Hipoksia nampaknya berperan karena penderita membaik bila diberikan oksigen dan/atau bila kembali ke daerah dengan ketinggian lebih rendah. Namun karena hipoksia saja tidak dapat mengubah permeabilitas membran alveoli-kapiler, peningkatan curah jantung dan tekanan arteri pulmonal akibat aktivitas dikombinasikan dengan hipoksia akibat konstriksi arteri pulmonal (yang lebih menonjol pada orang muda) dapat bergabung sehingga menjadi edema paru prearteriolar bertekanan tinggi. Edema paru neurogenik selama ini ditemukan pada pasien dengan gangguan sistem saraf pusat tanpa riwayat disfungsi ventrikel kiri yang nyata. Hampir semua hasil penelitian menunjukkan keterlibatan aktivitas sistem saraf simpatis, walaupun masih bersifat dugaan. Aktivasi saraf adrenergik yang masif mengakibatkan vasokonstriksi perifer dengan peningkatan tekanan darah dan pengalihan darah ke sirkulasi sentral. Mungkin saja penurunan compliance ventrikel kiri juga terjadi, dan kedua faktor tersebut menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri yang cukup tinggi sehingga memicu edema paru.

DAFTAR PUSTAKA
Bates, B. 1995. An Approach to Symptoms. Dalam A Guide to Physical Examination and History Taking 6 th Edition. USA: J.B. Lippincott Company. Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Dypnea. Dalam Harrisons Manual of Medicine 15th Edition. India: McGraw-Hill International. Braunwald, E. 1992. Examination of The Patient : The History. Dalam Braunwald Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. USA: W.B. Saunders Company. Cox, PM Jr; Schwarz, MI. 1996. Respiratory Problems : Dyspnea. Dalam Problem-Oriented Medical Diagnosis 6th Edition. Editor : H. Harold Friedman. USA : Little, Brown, and Company. Fraser, RS; Pare, JAP; Fraser, RC; Pare, PD. 1994. Methods of Clinical, Laboratory, and Functional Investigation. Dalam Diseases of the Chest 2nd Edition. USA: W.B. Saunders Co. Haist, SA; Robbins, JB; Gomella, LG. 1997. On Call Problems : Dyspnea. Dalam Internal Medicine on Call 2nd edition. Connecticut : Prentice Hall International, Inc. Ingram, RH Jr; Braunwald, E. 2001. Dypnea and Pulmonary Edema. Dalam Harrisons Principles of Internal Medicine 15th Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill International. Mattingly, D; Seward, C. 1989. Dispnea. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia : Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.

Dispn e a & Ed e ma P a ru / An d i PD / Mod u l IP D 17

___________________

Modul 2 : DISPNEA DAN EDEMA PARU

Disusun oleh :

Andi Pratama Dharma, dr

Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad / RS Hasan Sadikin Bandung 2002

You might also like