Professional Documents
Culture Documents
A. DISPNEA
I. PENDAHULUAN
1. Dispnea (sesak nafas) sebagai sebuah keluhan utama. Dispnea dihubungkan dengan berbagai penyakit pada jantung, paru-paru, dinding dada, maupun otot-otot pernapasan. Kondisi psikoneurotik, yang biasanya berhubungan dengan ketegangan atau kecemasan, juga dapat menyebabkan dispnea. Dalam sebuah literatur bahkan disebutkan bahwa dispnea psikoneurotik ini merupakan penyebab dispnea yang paling sering terjadi, ditemukan pada sekitar 10% pasien yang datang pada spesialis penyakit dalam. 2. Pernafasan diatur mekanisme sentral dan perifer. Tujuan respirasi adalah untuk memasok oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Pertukaran ini berlangsung dalam alveoli paru dan gerakan pernapasan yang berirama dipertahankan oleh pusat respirasi dalam mesensefalon (midbrain). Mekanisme sentral dan perifer mengatur ventilasi agar sesuai dengan peningkatan kebutuhan metabolisme selama aktivitas fisik maupun kondisi di mana terjadi kebutuhan metabolisme yang berlebihan, seperti pada saat cemas dan ketakutan. 3. Batasan dispnea. Tidak semua kegiatan bernafas yang sulit disebut dispnea. Orang normal yang sedang beristirahat tidak menyadari kegiatan bernafas. Setelah aktivitas ringan atau sedang, seseorang mungkin merasakan kegiatan bernafas ini, namun tanpa disertai perasaan tidak nyaman. Perasaan yang kurang nyaman dapat dirasakan setelah aktivitas fisik yang melelahkan, namun sensasi ini juga bukanlah dispnea, karena diyakini terjadi hanya sementara dan sesuai dengan kadar aktivitas fisik yang dilakukan. Definisi dispnea sangat berhubungan dengan perasaan yang tidak nyaman. Terdapat suatu keadaan di mana bernafas tampak sukar tapi tidak terjadi dispnea. Contohnya, hiperventilasi yang menyertai asidosis metabolik jarang disertai dispnea. Di lain pihak, penderita dengan pola pernafasan yang tampak normal mungkin saja mengeluh dispnea nafas. Oleh karena itu, sebagai gejala kardinal dari penyakit sistem kardiopulmonal, dispnea didefinisikan sebagai kesadaran akan pernafasan yang tidak nyaman dan abnormal. Peranan anamnesis dalam memastikan dispnea. Dispnea tidaklah menyakitkan. Namun penderita mengalami berbagai sensasi tidak menyenangkan yang berhubungan dengan pernafasan, dan menggambarkannya dalam bermacam-macam ekspresi verbal. Karena itu, anamnesis yang teliti sangat penting untuk memastikan apakah penggambaran adalah benar-benar suatu dispnea. Jika dispnea telah
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 2
dipastikan, selanjutnya harus ditentukan pada keadaan apa dispnea terjadi dan gejala apa saja yang menyertainya. 4. Onset dispnea yang akut dan gradual. Diagnosis banding dispnea yang akut berbeda dengan dispnea yang subakut atau kronis. Penyebab dispnea yang akut meliputi bronkospasme, emboli paru, pneumotoraks, edema paru akut, dan keadaan ansietas. Sebaliknya, pada sebagian kasus gagal jantung yang kronis, dispnea berkembang lambat secara progresif dalam beberapa minggu atau bulan. Namun perlu diingat pula bahwa dispnea yang kronis dapat pula bermanifestasi dalam bentuk eksaserbasi yang akut.
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 3
Variasi antar individu. Variasi antar individu juga harus dipertimbangkan. Beberapa penderita dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan. Sebaliknya penderita lain dengan penyakit ringan dapat mengalami dispnea yang lebih berat. Pada umumnya, meskipun terdapat variasi individual, terdapat korelasi yang yang dapat diterangkan antara beratnya dispnea dan besarnya gangguan fungsi paru atau jantung yang menyebabkan dispnea. Pengaruh penyakit penyerta lain. Sebagian penderita dengan kelainan di paru-paru atau jantung jarang melakukan aktivitas fisik yang berat akibat penyakit lain (misalnya osteoartritis berat pada panggul atau lutut), sehingga tidak pernah merasakan dispnea meskipun terdapat gangguan fungsi paru atau jantung yang serius. Data-data yang harus dipahami. Untuk itu agar diperoleh pengertian yang baik tentang beratnya dipsnea, penting untuk memahami data mengenai keadaan fisik umum, aktivitas harian, dan riwayat pekerjaan dari penderita dengan keluhan dispnea nafas 2. Beberapa pola dispnea nafas yang khusus. Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Perubahan posisi dalam hubungannya dengan ventilasi dan perfusi diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Sudden unexpected dyspnea. Episode dispnea yang timbul tiba-tiba dan tidak terduga pada saat istirahat dapat dihubungkan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan, hiperkapnia sekunder akibat menahan nafas, atau kecemasan. Paroxysmal nocturnal dyspnea. Episode sesak yang memberat di malam hari merupakan gejala khas dari gagal jantung kiri. Ortopnea. Dispnea yang terjadi pada posisi telentang, atau ortopnea, dianggap sebagai karakteristik utama dari gagal jantung kongestif. Ortopnea juga dapat terjadi pada beberapa penderita asma dan obstruksi saluran nafas kronis, dan sering ditemukan pada penyakit paralisis diafragma bilateral (suatu penyakit yang jarang terjadi). Trepopnea dan platipnea. Trepopnea menggambarkan keadaan yang tidak lazim, di mana dispnea hanya timbul pada posisi lateral dekubitus (paling sering terjadi pada penderita penyakit jantung). Platipnea adalah dispnea yang hanya muncul pada posisi tegak.
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 4
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 5
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 6
yang purulen, dan memperberat dispnea. Selama episode tersebut, penderita dapat mengeluh dispnea paroksismal di malam hari dengan wheezing, yang berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Meskipun pada kenyataannya, keterbatasan aliran udara ekspirasi yang berat dan hiperinflasi paru merupakan karakteristik penyakit ini, penderita lebih sering merasakan ketidakmampuan menarik nafas dalam daripada kesulitan mengeluarkan nafas. Pada penderita dengan emfisema sebagai kelainan utama, gejala khas yang terjadi adalah dispnea menahun pada saat aktivitas, yang kemudian berkembang menjadi dispnea saat istirahat. Walaupun didefinisikan sebagai penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran nafas. 4.1.2 Penyakit Parenkim Paru Difus Kategori ini meliputi sejumlah besar penyakit, mulai dari pneumonia akut sampai kelainan kronis seperti sarkoidosis, dan berbagai jenis pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, dan hasil radiografi yang abnormal seringkali memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Penderita seringkali tampak takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial di bawah normal. Aktivitas fisik sering makin menurunkan PO2 arterial. Volume paru-paru berkurang dan paru-paru menjadi lebih kaku, sehingga compliance menurun di bawah normal. 4.1.3 Penyakit Oklusi Pembuluh Paru-paru Episode berulang dispnea ketika istirahat sering ditemukan pada emboli paru rekuren. Terdapatnya sumber emboli seperti flebitis pada ekstremitas bawah atau panggul akan membantu mengarahkan diagnosis. Hasil analisis gas darah arteri hampir selalu abnormal, tapi volume paru umumnya normal atau hanya sedikit abnormal. 4.1.4 Penyakit Dinding Dada atau Otot-otot Pernafasan 1. Deformitas dinding dada. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis, pektus ekskavatum, atau ankylosing spondylitis. Meskipun ketiga deformitas ini dapat disertai dispnea, hanya kiposkoliosis berat yang selalu mengganggu ventilasi dengan intensitas yang cukup untuk akhirnya menjadi cor pulmonale kronis dan kegagalan pernafasan. 2. Manifestasi utama di sistem lain. Baik kelemahan maupun paralisis otot-otot pernafasan memang dapat menyebabkan dispnea dan kegagalan pernafasan. Namun pada gangguan neurologis atau muskuler, seringkali gejala dan tanda bermanifestasi lebih jelas di sistem lain (selain sistem pernafasan).
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 7
4.2 KARDIAL 4.2.1 Patofisiologi 1. Pada penderita penyakit jantung, dispnea saat aktivitas paling sering timbul sebagai : konsekuensi dari peningkatan tekanan kapiler paru, yang selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri, penurunan compliance ventrikel kiri, dan stenosis mitral. 2. Kenaikan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah (vascular bed) paru cenderung untuk : mengacaukan kesetimbangan Starling, akibatnya terjadi transudasi cairan ke ruang interstitial, penurunan compliance paru, dan stimulasi reseptor J (juxtacapillary) dalam ruang interstitial alveoli. 3. Hipertensi vena pulmoner yang lama akan : menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah kecil paru-paru serta peningkatan jumlah sel perivaskuler dan jaringan fibrosa sehingga semakin menurunkan compliance. Ortopnea merupakan hasil dari perubahan gaya gravitasi yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini meningkatkan tekanan vena pulmoner dan kapiler, yang akhirnya meningkatkan volume penutupan paru-paru (pulmonary closing volume) dan menurunkan kapasitas vital. 4. Kompetisi untuk mendapatkan ruang antara pembuluh-pembuluh darah, saluran nafas, dan cairan yang meningkat dalam ruang interstitial akan mengganggu lumen saluran nafas kecil, sehingga meningkatkan resistensi saluran nafas. 5. Kondisi yang memperberat dispnea. Compliance yang menurun dan resistensi saluran nafas yang meningkat akan memperberat kerja pernafasan. Gagal jantung kongestif lanjut biasanya meliputi elevasi tekanan vena pulmonal dan sistemik. Dapat juga terjadi hidrotoraks, yang akan semakin mengganggu fungsi paru dan memperhebat dispnea. 4.2.2 Dispnea Paroksismal Nokturnal (Paroxysmal nocturnal dyspnea, PND) 1. Patofisiologi. Keadaan yang dikenal juga sebagai asma kardiale ini ditandai dengan serangan sesak nafas yang umumnya terjadi di malam hari dan membangunkan penderita dari tidurnya. Serangan ini dicetuskan oleh stimulus yang memperberat bendungan paru yang telah ada. Volume darah total meningkat di malam hari akibat reabsorpsi edema dari daerah dependen (yang pada
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 8
posisi tegak mengakumulasi banyak cairan) selama posisi berbaring. Sebenarnya saat tidur, penderita dapat mentolerir bendungan paru yang relatif berat dan hanya terbangun (dengan sesak dan wheezing) jika telah terjadi edema paru dan bronkospasme yang nyata. 2. Diagnosis banding. Dua bentuk lain PND harus dibedakan dari PND yang berhubungan dengan gagal jantung. Bronkitis kronis ditandai dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, sekret tersebut terakumulasi sehingga menyebabkan dispnea dan wheezing yang dapat berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Pada penderita asma, derajat obstruksi saluran nafas terjadi dalam variasi sirkadian. Obstruksi makin berat antara pukul 2 sampai 4 pagi dan dapat membangunkan penderita dengan sensasi seperti tercekik, dispnea yang hebat, dan wheezing. Walaupun komponen utama pada asma nokturnal adalah inflamasi, bronkodilator perinhalasi biasanya dapat mengurang gejala-gejala dengan cepat. 3. Diagnosis. Penegakan diagnosis dispnea kardiale tergantung dari pengenalan penyakit jantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang ditunjang dengan berbagai pemeriksaan noninvasif. Mungkin terdapat riwayat infark miokard, bunyi jantung ke-3 dan ke-4, tanda pembesaran ventrikel kiri, distensi vena jugular di leher, atau edema perifer. Pada foto toraks, sering ditemukan tanda-tanda gagal jantung berupa edema interstitial, redistribusi pembuluh darah pulmoner, dan akumulasi cairan di septum dan kavitas pleura. Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung struktural, yang dapat menyebabkan dispnea, terutama untuk memperoleh petunjuk adanya kelainan jantung sebagai faktor etiologi dari dispnea yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. 4. Perbedaan dispnea kardial dan pulmonal. Anamnesis. Pada sebagian besar penderita dengan dispnea, terdapat bukti klinis yang nyata akan adanya penyakit jantung bersama-sama dengan penyakit paru. Penderita dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga dapat terbangun di malam hari dengan dispnea, namun hal ini biasanya berhubungan dengan produksi sputum. Dispnea biasanya berkurang dengan pengeluaran sputum. Kesulitan membedakan keduanya semakin bertambah jika penyakit yang terjadi telah meliputi kedua sistem organ tersebut. Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fungsi paru dapat membantu menentukan apakah dispnea berasal Ekokardiografi atau ventrikulografi dengan radionuklida juga dapat membantu. dari penyakit jantung, penyakit paru, abnormalitas dinding dada, atau kecemasan. Fraksi ejeksi ventrikel kiri berkurang pada kegagalan ventrikel kiri, yang kanan dapat
Disp n ea & E de ma Pa ru / A nd i P D / Mo du l I P D 9
menurun pada saat istirahat atau meningkat selama aktivitas pada penderita penyakit paru berat, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kanan normal pada saat istirahat dan selama aktivitas pada dispnea yang berhubungan dengan kecemasan atau malingering. Observasi yang cermat selama tes treadmill sering dapat mengidentifikasi dispnea Tes latihan kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing) juga sangat akibat malingering atau kecemasan. bermanfaat, di mana dilakukan penilaian kapasitas maksimal dalam melakukan aktivitas fungsional, sekaligus pemeriksaan EKG, tekanan darah, konsumsi oksigen, oksimetri, dan ventilasi. Tabel 2 : Polapola Abnormal dalam Cardiopulmonary Exercise Testing Keterbatasan pada fungsi kardiovaskular. Denyut jantung > 85% dari prediksi maksimal Ambang anaerobik yang rendah Penurunan konsumsi oksigen maksimal Tekanan darah drop dengan aktivitas fisik Aritmia atau iskemia pada EKG Tidak mampu mencapai prediksi ventilasi maksimal Tidak memiliki desaturasi yang signifikan Keterbatasan pada fungsi respirasi. Mampu mencapai atau melampaui prediksi ventilasi maksimal Desaturasi signifikan (<90%) Dead space yang stabil atau meningkat terhadap rasio volume tidal Adanya perkembangan ke arah atau telah terjadi bronkospasme dengan nilai FEV1 yang jatuh Tidak mampu mencapai 85% dari prediksi denyut jantung maksimal Tidak terdapat tanda iskemia pada EKG
(Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)
4.3 NEUROSIS KECEMASAN 1. Evaluasi dispnea sekunder ansietas. Dispnea yang dialami oleh penderita neurosis kecemasan sulit untuk dievaluasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala hiperventilasi akut atau kronik tidak dapat diandalkan untuk membedakannya dengan proses lain seperti emboli paru rekuren. Biasanya desahan nafas panjang berulang kali dengan pola pernafasan yang ireguler menunjukkan dispnea psikogenik.
2. Astenia neurosirkulatori. Sindroma hiperventilasi juga sering membingungkan, karena kadang disertai nyeri dada dan kelainan pada EKG, suatu kondisi yang sering diistilahkan sebagai astenia neurosirkulatori. Nyeri dada biasanya tajam pada beberapa lokasi, berlalu dengan cepat (hanya beberapa detik), dengan kelainan EKG yang paling sering tampak saat repolarisasi. 3. Gangguan kecemasan pada penyakit jantung dan paru. Penting untuk diingat pula bahwa kecemasan dan depresi yang menyertai penyakit jantung atau paru dapat memperberat gejala-gejala dispnea melampaui derajat yang seharusnya dari disfungsi organ tersebut. Tabel 3. Proses yang Terjadi pada Berbagai Penyebab Dipsnea
PROBLEM Gagal jantung kiri PROSES Peningkatan tekanan dalam Capillary bed dengan transudasi cairan ke ruang interstitial dan alveoli, penurunan compliance (peningkatan kekakuan ) paru-paru, dan peningkatan kerja pernafasan Produksi mukus yang berlebihan dalam bronki, diikuti dengan obtruksi kronis saluran nafas. Bronkitis kronis dan emfisema sering muncul bersamaan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat terjadi akibat salah satu atau keduanya. Bronkus yang hiperresponsif berhubungan dengan proses inflamasi Infiltrasi yang abnormal dan luas dari sel-sel, cairan, dan kolagen ke ruang interstitial di antara alveoli. Banyak penyebab Inflamasi parenkim paru, mulai dari bronkiolus sampai alveoli. Bocornya udara ke rongga pleura melalui /akibat blebs pada pleura visceralis yang menyebabkan kolaps paru parsial atau komplit. Oklusi tiba-tiba seluruh atau sebagian percabangan arteri oleh bekuan darah yang biasanya berasal dari vena-vena dalam pada tungkai atau panggul. Bernafas berlebihan, dengan akibat alkalosis respiratorik dan penurunan drastis sebagian tekanan karbondioksida dalam darah. (Dimodifikasi dari Bates, 1996)
Bronkitis kronis
Emfisema paru Penyakit paru interstitial difus Pneumonia Pneumotoraks spontan Emboli paru akut
Emfisema paru
Bervariasi, termasuk alergen, iritan, infeksi pernafasan, olah raga, dan emosi Aktivitas fisik
Penyakit paru interstitial difus (seperti sarkoidosis, neoplasma luas, asbestosis, dan fibrosis paru idiopatik) Pneumonia
Kelemahan, kelelahan (fatigue).Batuk lebih jarang dibandingkan pada penyakit paru lain. Nyeri pleuritik, batuk, sputum, demam, tapi tidak harus ada. Nyeri pleuritik, batuk Seringkali tidak ada. Nyeri retrosternal yang menekan pada oklusi masif. Nyeri pleuritik, batuk, dan hemoptisis jika terjadi infark pulmonal. Gejala kecemasan (lihat di bawah)
Bervariasi. Paparan satu dari banyak macam zat dapat menjadi penyebab. Bervariasi
Seringkali pada dewasa muda yang sehat Periode postpartum atau post-operasi; tirah baring lama; gagal jantung kongestif, penyakit paru kronis, dan fraktur tulang panggul atau tungkai; trombosis vena dalam (seringkali tidak tampak) Bisa terdapat manifestasi kecemasan lain
Bernafas ke dalam dan keluar kantung kertas sering meringankan gejala penyerta.
Desahan nafas panjang, pusing, baal/ kesemutan pada tangan dan kaki, palpitasi, nyeri dada.
B. EDEMA PARU
I. EDEMA PARU KARDIOGENIK
1.1 Patofisiologi 1. Peningkatan tekanan vena pulmonal akibat gagal jantung kongestif. Peningkatan tekanan vena pulmonal, yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah paru, sering terjadi pada sebagian besar dispnea yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif. Compliance paru-paru berkurang, resistensi saluran nafas kecil meningkat, dan terdapat peningkatan aliran limfatik yang tampaknya berfungsi mempertahankan volume cairan ekstravaskuler di paru-paru agar tetap konstan. Terjadi pula takipnea ringan. 2. Edema interstitial akibat peningkatan tekanan intravaskuler. Jika peningkatan tekanan intravaskuler memadai baik dalam besar maupun durasinya, maka akan terjadi pengumpulan sejumlah cairan di ruang ekstravaskuler (edema interstitial). Pada keadaan ini, gejala-gejala akan memburuk, takipnea bertambah, gangguan pertukaran gas makin berlanjut, dan kelainan radiografik mulai tampak (garis Kerley B dan menjadi tidak jelasnya batas-batas pembuluh darah). Pada tingkat ini, sambungan (junction) interseluler endotel kapiler melebar sehingga memungkinkan makromolekul memasuki ruang interstitial. 3. Edema alveoli akibat elevasi lebih jauh tekanan intravaskuler. Elevasi tekanan intravaskuler yang lebih jauh merusak sambungan erat antara lapisan sel-sel alveoli dan mengakibatkan tercurahnya cairan yang mengandung sel-sel darah merah dan makromolekul, sehingga terjadi edema alveoli. Kerusakan membran alveolar-kapiler yang lebih berat lagi menyebabkan cairan edematous membanjiri alveoli dan saluran pernafasan. Pada titik ini, edema paru telah berkembang penuh secara klinis yang ditandai dengan wet rales (ronkhi basah) bilateral. Pada foto toraks tampak kekaburan difus di kedua lapang paru dengan densitas yang lebih besar di daerah hili yang lebih proksimal. Manifestasi klinis khas pada keadaan ini adalah penderita gelisah dan berkeringat dingin, sputum berbusa dan berwarna darah. Memburuknya hipoksia memperparah gangguan pertukaran gas. Tanpa penatalaksanaan yang tepat, akan terjadi asidosis yang progresif, hiperkapnia, dan henti nafas.
1.2 Hukum Starling 1. Pertukaran cairan kapiler-interstitial dalam keseimbangan. Tahap awal akumulasi cairan dijelaskan menurut hukum Starling mengenai pertukaran cairan kapiler-interstitial :
Tekanan yang cenderung menggerakkan cairan keluar dari pembuluh darah adalah Pc dan IF, di mana dalam keadaan normal mampu diatasi tekanan yang cenderung menggerakkan cairan kembali ke pembuluh darah, yakni hasil penjumlahan aljabar antara PIF dan pl. 2. Akumulasi cairan pada kondisi ketidakseimbangan. Kompensasi limfatik. Menurut persamaan di atas, apabila terjadi ketidakseimbangan (misalnya akibat peningkatan Pc pada gagal jantung kongestif), aliran limfatik untuk mengangkut cairan yang berpindah dapat bertambah sehingga akumulasi cairan interstitial dapat dicegah. Edema interstitial. Elevasi Pc lebih lanjut tidak hanya meningkatkan pergerakan cairan keluar dari kapiler, tetapi juga merekrut lebih banyak cairan dari capillary bed sehingga meningkatkan K (konduktan hidrolik). Kedua efek ini menyebabkan filtrasi cairan melebihi kapasitas klirens limfatik, sehingga terjadi akumulasi cairan dalam ruang interstitial paru yang longgar (edema interstitial) Edema paru. Peningkatan Pc yang lebih besar lagi akan membuka sambungan interseluler yang longgar di endotel, yang dilanjutkan dengan terbukanya sambungan interseluler yang lebih kokoh di alveoli. Akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas terhadap makromolekul. Kerusakan sekunder pada fungsi dan struktur membran alveoli-kapiler tersebut mengakibatkan tergenangnya alveoli (edema paru).
2. Tekanan negatif yang besar akibat obstruksi saluran nafas saja dengan peningkatan
volume akhir ekspirasi (end-expiratory) (asma) II. Perubahan permeabilitas membran alveoli-kapiler (sindrom distres pernafasan akut) A. Pneumonia infeksius bakterial, viral parasitik B. Inhalasi toksin (misalnya fosgen, ozon, klorin, uap teflon, nitrogen dioksida, asap) C. Substansi asing dalam sirkulasi (misalnya bisa ular, endotoksin bakteri) D. Aspisari isi lambung yang asam E. Pneumonitis radiasi akut F. Substansi vasoaktif endogen (misalnya histamin, kinin) G. DIC H. Imunologis pneumonitis hipersensitf, obat (nitrofurantoin), leukoaglutinin I. J. Syok paru yang berkaitan dengan trauma nontorakal Pankreatitis hemoragik akut
III. Insufisinsi limfatik A. Setelah transplantasi paru B. Karsinomatosis limfangitik C. Limfangitis fibrosing (misalnya silikosis) IV. Tidak diketahui atau hanya dipahami sebagian A. Edema paru akibat ketinggian B. Edema paru neurogenik C. Overdosis narkotika D. Emboli paru E. Setelah tindakan kardioversi F. Setelah tindakan anestesi
daripada kenaikan tekanan kapiler pulmonal. Berada di tempat tinggi (High Altitude Pulmonary Edema, HAPE) dalam hubungannya dengan aktivitas fisik yang berat diketahui menyebabkan edema paru pada orang sehat. Hal ini terjadi jika tubuh belum sempat beraklimatisasi setelah singgah selama beberapa waktu di tempat dengan ketinggian yang lebih rendah. Sindrom ini jauh lebih sering terjadi pada usia di bawah 25 tahun. Hipoksia nampaknya berperan karena penderita membaik bila diberikan oksigen dan/atau bila kembali ke daerah dengan ketinggian lebih rendah. Namun karena hipoksia saja tidak dapat mengubah permeabilitas membran alveoli-kapiler, peningkatan curah jantung dan tekanan arteri pulmonal akibat aktivitas dikombinasikan dengan hipoksia akibat konstriksi arteri pulmonal (yang lebih menonjol pada orang muda) dapat bergabung sehingga menjadi edema paru prearteriolar bertekanan tinggi. Edema paru neurogenik selama ini ditemukan pada pasien dengan gangguan sistem saraf pusat tanpa riwayat disfungsi ventrikel kiri yang nyata. Hampir semua hasil penelitian menunjukkan keterlibatan aktivitas sistem saraf simpatis, walaupun masih bersifat dugaan. Aktivasi saraf adrenergik yang masif mengakibatkan vasokonstriksi perifer dengan peningkatan tekanan darah dan pengalihan darah ke sirkulasi sentral. Mungkin saja penurunan compliance ventrikel kiri juga terjadi, dan kedua faktor tersebut menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri yang cukup tinggi sehingga memicu edema paru.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, B. 1995. An Approach to Symptoms. Dalam A Guide to Physical Examination and History Taking 6 th Edition. USA: J.B. Lippincott Company. Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Dypnea. Dalam Harrisons Manual of Medicine 15th Edition. India: McGraw-Hill International. Braunwald, E. 1992. Examination of The Patient : The History. Dalam Braunwald Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. USA: W.B. Saunders Company. Cox, PM Jr; Schwarz, MI. 1996. Respiratory Problems : Dyspnea. Dalam Problem-Oriented Medical Diagnosis 6th Edition. Editor : H. Harold Friedman. USA : Little, Brown, and Company. Fraser, RS; Pare, JAP; Fraser, RC; Pare, PD. 1994. Methods of Clinical, Laboratory, and Functional Investigation. Dalam Diseases of the Chest 2nd Edition. USA: W.B. Saunders Co. Haist, SA; Robbins, JB; Gomella, LG. 1997. On Call Problems : Dyspnea. Dalam Internal Medicine on Call 2nd edition. Connecticut : Prentice Hall International, Inc. Ingram, RH Jr; Braunwald, E. 2001. Dypnea and Pulmonary Edema. Dalam Harrisons Principles of Internal Medicine 15th Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill International. Mattingly, D; Seward, C. 1989. Dispnea. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia : Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.
___________________
Disusun oleh :
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad / RS Hasan Sadikin Bandung 2002