You are on page 1of 6

Cerpen bahasa Indonesia

Jauh
Namaku Ace. Ace Bogzgov lebih lengkapnya. Aku anak remaja yang terlahir biasa saja. Aku sekarang duduk di bangku kelas tiga SMA di SMA terfavorit di kotaku. Mungkin itu satu-satunya yang bisa kubanggakan dari diriku. Di sekolah, tak banyak yang menghiraukanku. Tak banyak yang mengenalku. Guru-guruku pun mungkin tak tahu bahwa aku adalah salah satu murit mereka. Bagaimana tidak, kemampuan akademisku standart, kemampuan fisikku pun juga biasa saja. Tapi, aku masih punya seorang sahabat. Namanya Yugo. Ialah satu-satunya yang mengajakku bicara saat yang lainnya tak menghiraukan diriku. Di rumah, aku tinggal bersama ibuku. Ialah orang terdekat yang kumiliki. Ibuku lah satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki. Aku tak mengenal siapa-siapa selain ibuku. Pernah kutanyakan kepadanya tentang silsilah garis keturunan yang mengair di aliran darahku ini. Ia tak menjawab. Tak tega rasanya memaksa ibuku menjawab pertanyaanku, dikala ia membanting tulang sebagai single parent membesarkan diriku. Aku tinggal di sebuah rumah yang sudah cukup lama kami diami. Sangat luas bagi kami yang hanya tinggal berdua. Empat belas tahun lamanya kami tinggal disini. Hanya selisih tiga tahun dari umurku saat ini. Sebenarnya, ini rumah kedua kami. Kata ibukku, rumah pertama kami hangus terbakar pada saat aku masih berumur tiga tahun. Rentang waktu yang sangat lama. Sulit untuk mengingat apa yang telah terjadi pada saat itu. Bertahun-tahun kujalani hidupku yang hambar ini. Pergi kesekolah pada pagi hari, pulang pada sore harinya. Diselingi oleh les tiap dua hari sekali. Begituah kehidupanku. Tak ada kegembiraan, tak ada kesedian, tak ada harapan, dan tak ada rintangan. Aku hanya menjalaninya saja, satu harapanku, kelak akan ada sesuatu yang membuat hidupku berubah. Pada awal bulan april, tanggal dua tepatnya, tanggal yang disebut-sebut ibuku sebagai tanggal lahirku, aku menemukan bingkisan aneh di depan rumah. Sebuah buku catatan yang terlihat kusut, tapi masih belum pernah dipakai sebelumnya. Kertas-kertasnya yang putih kusam masih tertata rapi di dalamnya. Ada seuntai pita hitam melilit di sekelilingnya, menjaganya agar tetap tertutup rapat. Terdapat empat huruf pada cover depan buku tersebut. Huruf-huruf itu terangkai seperti kesatuan inisial. A C C A! Huruf a pertama dan c kedua berwarnakan putih. Sedangkan, dua lainnya berwarna hitam. Ku tak mau diliputi perasaan penasaran. Kutannyakan pada ibukku yang tengah menggoreng ikan didapur. Bu, ibu menaruh buku catatan di teras?, tanyaku pelan.

XII IA8-25

Tidak, Nak , jawab ibukku sayu. Oh, iya. Aku ingat sudah dua hari ibukku tak pergi kerja. Ia sakit. Badannya panas, kata dokter sih, ibu butuh istirahat. Kerja saja tidak, apalagi keluar rumah, ke teras dan menaruh buku di sana. Mustahil! Kubawa buku tua itu kamarku. Kuletakkan tasku yang berat penuh buku pelajaran bilingual. Kutaruh pula buku aneh itu di atas meja belajarku. Kuganti seragamku dengan pakaian rumah sejenak. Kulepas pula penatku dengan mencuci muka di kamar mandi. Akhirnya, kembalilah aku ke meja belajarku untuk mengamati buku catatan yang tadi. Kubuka untaian pita hitam di atasnya. Kubuka berlahan buku catatan tersebut. Halaman pertama buku tersebut kosong putih tak berisi. Ada bau khas yang keluar dari buku itu. Bau yang sangat aku kenal, tapi sulit rasanya mengingat bau apa itu. Diriku mulai tak terkendalikan. Tak sabar rasanya mengetahui apa yang ada didalam buku yang sejauh ini masih kosong. Kubuka lembaran-lembarannya makin cepat sampai-sampai halaman yang men-double tak kuhiraukan karena kuyakin lembaran itu kosong. Sampai halaman terakhir pun aku tak menemukan apa-apa. Sedih rasanya hati ini. Di saat mulai ada gairah hasrat menggebu, hasrat itu pupus hilang diikuti balikan halaman terakhir buku tersebut. Aku kesal. Ku buka kembali halaman-halaman buku itu dengan cepat. Sret srett.. Bunyi kertas yang tertahan jempol kiri tanganku. Ku ulangi tiga kali! Tak ada yang kudapat. Berat rasanya tangan ini untuk menutup cover terakhir buku ini, menandakan akhir rasa penasaran ini. Betapa kagetnya diriku. Mataku tiba-tiba terbelalak. Tubuhku tersentak kearah buku itu saking kagetnya. Selepas kututup cover belakang buku tersebut ternyata ada tulisan berwarna putih di pojok kiri bawah di cover yang berwarna coklat tua yang buram itu. Tulisan itu menggunakan model latin, tegak bersambung. Terlihat pasti bahwa itu merupakan tulisan tangan. Aku sangat mengenali tulisan ini. Ya! Ini tulisan ibuku. Di situ tertuliskan sebuah alamat. Entah kantor atau rumah, aku tak tau. Ada hasrat di benakku untuk menanyakan masalah ini ke ibu. Tak tega rasanya. Di samping itu aku ingin mengetahui hal apa yang terdapat pada alamat tersebut. Kucatat alamat tersebut. Kulihat jam tangan di tangan kananku. Ternyata pukul setengah enam sore. Waktu yang cukup larut untuk pergi kesuatu tempat yang tak ku kenal. Kuambil sepeda bututku dan ku kayuh keluar rumah. Ternyata cukup jauh juga. Sekitar lima kilometer telah ku tempa demi rasa ingin tau ini. Alamat ini berada di selatan perumahan rumahku. Perumahan yang terkenal cukup elit. Sesampai di alamat yang kutuju, kuturun sejenak dari sadel sepedaku. Kuhempaskan diriku kedepan sadelku sehingga aku dapat berdiri diantara frame besi yang menghubungkan ban depan dan

XII IA8-25

ban belakang. Aku berdiri dan ku sandandarkan tubuhku pada setir sepedaku. Jadi ini rumahnya?, tanyaku pada angin yang tak mungkin menjawab. Sebuah rumah yang megah, besar, tinggi, modern, dan tak terawat. Terlihat dari luar, bangunan itu mempunyai bahan dasar marmer. Lihat saja dua tiang yang menyangga bagian depannya, sangat besar dan gagah. Bagian garasinya cukup besar, carport-nya saja cukup untuk dua mobil, belum lagi dalamnya. WOW.. Coba lihat pintu ganda yang terbuat dari kayu jati di terasnya, khas rumah orang kaya. Itu semua hal-hal positif yang aku pikirkan saat melihat bangunan itu. Sisi buruknya tak kalah seru. Sekarang sudah pukul enam sore, mungkin sudah hampir setengah tujuh malahan. Mentari sudah capek untuk menemaniku menjelajahi rumah itu. Rumah itu cat bagian luarnya sudah banyak yang terkelupas. Mungkin karena termakan waktu. Banyak lumut di dindingnya. Pagar besi besar yang menutupinya juga sudah berkarat. Tak dapat kubayangkan seberapa berat untuk mendorong benda berkarat itu. Suasana di sini hening sekali. Biasa, perumahan elit! Tak banyak orang berbuat kegaduhan seperti di kampungku. Paling-paling hanya suara jangkrik dari lahan sebelah bangunan ini. Pos satpam terdekat pun jaraknya minimal 25 meter dari sini. Suasana itulah yang membuatku sedikit merinding. Memasuki rumah besar yang kayaknya sudah belasan tahun tak dihuni, pada malam hari. Sinar lampu saja sepertinya ogah menemaniku masuk kedalam. Takut. Suasana angker seperti film-film horror di bioskop juga menyelimutiku. Kuberanikan diriku. Dengan ditemani handphone yang dapat berfungsi sebagai senter, aku masuk kedalam. Untung pagar berkaratnya sudah terbuka sedikit. Jadi, aku bisa masuk. Sangat horror. Kulangkahkan kakiku menuju pintu kayu yang besar itu. Kucoba membukanya berlahan. Deg, deg, deg.. Sreeet.. Bunyi pintu menggoser marmer yang berdebu. Kuintip pelan-pelan apa yang ada di dalamnya. Susah rasanya menggambarkan apa yang kulihat. Ruang utama tampak sangat besar. Tak ada sekat. Terlihat dua tangga yang simetris di pojok-pojok ruangan. Lurus di depanku kulihat satu set sofa, ada televisi juga. Di sebelahnya ada tempat bermain. Terdapat keranjang besar berisi kumpulan mainan. Tak heran jika anak pemilik rumah ini mempunyai mainan yang begitu banyak. Mulai kulangkahkan kakiku. Aku berjala ke bagian tengah rungan utama ini. Kucoba melihat sekeliling, pekatnya gelap menghalangiku untuk melihat dengan jelas. Kuamati pigora paling besar yang tertancap di dinding. Sobek di bagian tengah! Entah kenapa. Yang ada disana hanya potret seorang lelaki beserta seorang anaknya. Ada perasaan aneh yang menarikku. Aku seakan-akan ingin sekali menghampiri tempat bermain yang aku ihat tadi. Aku jongkok dan kuperhatikan satu-persatu mainan itu. Segala macam mainan pesawat, kapal, mobil, dan masih banyak lagi, terkumpul di sana. Satu hal yang sangat mengganjal hatiku. Tiap jenis mainan selalu terdapat sepasang. Jadi, ada selalu ada dua mainan yang sama kembar. Lebih mengganjal lagi, ada sebuah mainan yang hanya ada satu, yaitu miniatur ultraman. Serial fiktif yang pasti disukai anak kecil. XII IA8-25

Kulanjutkan perjalananku. Kunaiki tangga yang licin oleh debu satu demi satu. Seperti lantai bawah, tak banyak kamar di atas. Hanya ada dua. Kuihat secara sepintas, ada sebuah kamar utama yang terdapat satu kamar tidur besar dan ada kamar yang lebih kecil dan di dalamnya terdapat dua kasur kecil. Cocok untuk anak balita. Semua ini membuatku bingung. Apa pula hubungan rumah ini dengan buku yang aku temukan tadi sore. Perasaanku terombang-ambing. Aku berpikir ini rumah suami ibuku yang mungkin juga merupakan ayahku. Tapi, bagaimana bisa aku tau jika di sini saja aku tak mendapatkan informasi lanjutan. Aku berjalan keluar. Kuberhenti sejenak dan kembali melihat pigora di ruang utama. Mataku yang mulai terbiasa, kini dapat melihat tulisan kecil di bagian bawah foto tersebut. Victor! Akhirnya aku dapat petunjuk lagi. Aku merenungkan semua yang telah terjadi padaku selama tiga hari kedepannnya. Yugo agaknya peka akan kondisiku yang agak murung. Ia mengajakku jalan-jalan bersama anak-anak kelasku. Kami akan bermain sepak bola di sebuah lapangan di perumahan kami. Jadi, kami berjalan kaki ke lapangan tersebut. Aku berjalan sengan tenang. Kedua tanganku kumasukkan ke dalam saku celana training-ku. Yang lain dengan gembira bercanda tawa, termasuk Yugo. Aku melihat pemandangan sekitar, sampai akhirnya.. Aku melihat sebuah rumah yang di depannya terdapat kotak pos bernamakan Victor! Aku menghentikan langkahku. Seluruh temanku memandangi diriku. Pergilah duluan! Aku akan menyusul, kataku pada teman-teman. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Aku masuk kerumah Victor. Kubuka pintu tak terkunci dan langsung saja aku masuk tanpa berkata apa pun. Tampaknya adab kesopananku terselimuti rasa penasaran yang lebih mendalam. Banyak sekali foto-foto yang ditempel di dinding. Orang tua, bayi, remaja, dan dewasa ada semua. Dan akhirnya aku menemukan foto yang telah lama kucari. Foto penuh dari pigora rumah tua yang lalu. Terlihat dengan jelas sosok seorang lelaki dan isterinya, serta kedua anaknya yang laki-laki. Kuamati terus-menerus foto tersebut. Jelas sekali jika perempuan dan salah satu anak di foto tersebut adalah aku dan ibuku. Lalu siapa dua orang lainnya?, batinku. Seiring itu aku pun membalikkan badan. Betapa kagetnya diriku ternyata ada orang yang telah menunggu di belakanngku, sepertinya ia sang pemilik rumah itu. Siapa kamu? Tak kukira ada pemuda se-lancang kamu, masuk kerumah orang tanpa permisi., kata orang tersebut.

XII IA8-25

Maafkan saya. Buakn maksud saya untuk tidak sopan, tapi saya sangat penasaran dengan foto yang potret. Bisakan bapak jelaskan maksud dari foto itu?, aku pun menunjuk foto besar yang tadi kuamati. Ehmm. Rupanya anak ini mulai sadar bahwa ia memiliki anggota keluarga lain. Mungkin sudah saatnya aku ceritakan kondisi yang sebetulnya., Victor memandangiku. Akhirnya, kesalahpahaman pada awal aku masuk rumah Victor terbayarkan. Ia menjelaskan semuanya. Puas sekali diriku. Ternyata aku mempunyai ayah. Yes! Aku pun juga memiliki saudara, tak sabar diriku menemuinya dan melihat seperti apa dirinya. Aku bergegas ke alamat yang diberikan Victor. Aku beharap dapat bertemu ayah dan kakaku. Tibalah aku di rumah pada alamat tersebut. Alangkah kagetnya diriku, rumah itu adalah rumah kecil, mungkin lebih kecil dari rumah yang kini kutinggali dengan ibuku. Daun-daunan pohon mangga di depan rumah berceceran di halaman. Sepertinya sudah seminggu tak ada yang membersihkan. Atap plafon teras pun ada yang berlobang, kemungkinan besar karena rayap atau tetesak air hujan. Alangkah kontrasnya rumah ini dengan rumah megah yang kemarin malam aku datangi. Kuberanikan diriku memasuki rumah tesebut. Seperti sebelumnya, rasa penasaran membuatku lupa diri, aku tak mengucapkan salam, permisi pun tidak. Aku masuk dari pintu depan. Kulihat dalam rumah. Langsung terlihat lorong kecil setelah pintu masuk. Kugerakkan badanku menuju kamar yang sepertinya utama yang terletak di ujung lorong. Kamar tersebut tak ditutup, rasanya sih memang dibiarkan terbuka. Terlihat seorang laki-laki terbujur lemas di kasur kapuk kecil yang agaknya keras. Terus kuamati, ia takbergerak sedikit pun. Hanya hela napasnya yang sedikit berirama. Sampaisampai aku sadar jika dibelakangku telah ada orang yang memandangiku. Hatiku bergetar. Apakah ia kakaku yang selama ini berpisah denganku?, tanyaku dalam hati. Belum sempat terjawab, ia menarik tanganku dengan keras dan menarikku ke halaman depan. Berani-beraninya kau menginjakkan kakimu di rumah kami, dasar bajingan., teriaknya kasar. Bajingan? Ada apa denganku?, pikirku. Paras tubuhnya tinggi dan berisi sama seperti aku wajahnya pun mirip denganku. Sama seperti di foto, rasanya kami anak kembar. Tapi mengapa? Sekian lama kau tinggalkan kami dan sekarang kau datang. Kau ingin buat bapakku mati apa!, ia segera mengambil linggis yang tertancap di tana halaman. Dasar kurang ajar, ia memukulkan linggis itu padaku. Kutahan sekuat raga dengan kedua tanganku. Kuhentakkan ke depan hingga ia sedikit terpental. Aku lari kedalam rumah, kututup pintu rapat-rapat. Tak ada gunanya. Dengan beberapa pukulan saja, pintu reyot itu sudah hancur. Rupanya kembaranku ini ingin benar-benar membunuhku. Aku berlari ke kamar tempat orang tua terbujur lemas itu. Kututup dengan rapat pula pintu itu. Kutau ini tak ada gunanya. Aku mencari alat untuk membela diri di dalam ruangan itu, selagi XII IA8-25

kembaranku merusak pintu dan memaksa masuk. Kutemukan pisau kecil di atas tumpukan buah. Ia pun masuk, aku sembunyikan pisau tadi dibelakang tubuhku, sehingga ia tak menyadarinya. Sudah menyerah kau? Dasar adik tak tau diri!, ia menghempaskan linggis karatan dengan tangan kanannya tepat menharah ke kepalaku bagian kiri. Hanya berjarak beberapa centimeter, kutangkis dengan tangan kiri. Linggisnya terjatuh. Dengan secepat kilat tangan kananku yang menggegam pisau menerjang lehernya. Hentikan! Ace, Colt, kalian bersaudara, dasar bodoh! Terlambat. Pisauku telah mengggores leher kakakku. Aku menjatuhkan pisau dari tangan kananku. Aku menghempaskan tubuhku ke lantai dan memeluk kaki kakakku. Untung goresanku tidak dalam, itu tak sampai membunuhnya. Tiba-tiba seorang lagi datang dari pintu yang telah rusak oleh kakakku. Itu ibu! Rupanya ia mengikutiku dari pagi. Ohh, Tuhan! Kami semua terkumpul pada pagi itu. Kami semua termenung tak tau apa yang harus dilakukan. Kulihat di dinding terdapat sebuah foto tertempel. Foto yang sama dengan yang kutemui di rumah megah dan rumah Victor. Di bawah foto itu terdapat tulisan ACCA. Adam, Celine, Colt, Ace..

Penulis Terima kasih pada Jumlah kata XII IA8-25

: Satrio Wicaksono (XII IA8-25) : M. Syaiful Akmal : 2224

You might also like