You are on page 1of 45

LAPORAN TUTORIAL BLOK 7

Disusun oleh KELOMPOK 2 Husin Tindar Abdurahman M.Nur Shaffrial M.Arga Sena Setiawan Septian Putra Yusandy Alfatul Nur Karisma Maria Winarti Mardalena Stella Handayani Devia Mufida Zahara Nadia Ayu Tiarasari Irene Ruth Saputra 04101001104 04101001081 04101001076 04101001077 04101001178 04101001112 04101001111 04101001079 04101001016 04101001040 04101001075

Tutor : dra. Lusia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tugas tutorial skenario A ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini betujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tim penyusun laporan ini tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini. Laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan tim penyusun lakukan.

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................ KATA PENGANTAR .......................................... DAFTAR ISI ......................................................... SKENARIO ........................................................... KLARIFIKASI ISTILAH ...................................... IDENTIFIKASI MASALAH ................................ ANALISIS MASALAH ........................................ HIPOTESIS............................................................ KERANGKA KONSEP ........................................ LEARNING ISSUE ............................................... SINTESIS...............................................................

i ii iii 1 1 1 2 6 7 8 9

Skenario A blok 7
Boy,7 tahun dibawa ke Emergensi RS Pendidikan Unsri karena menderita demam selama 3 hari , batuk dan sesak napas. Hasil anamesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa Boy menderita pneumonia. Selama perawatan,Boy diberi obat antipiretik dan antibiotic amoksisilin. Ternyata keadaan Boy masih tetap buruk meskipun perawatan sudah memasuki hari kelima. Hasil pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan adanya bakteri gram positif ,coccus, uji koagulase (+). Bakteri ini resisten terhadap semua antibiotic golongan betalaktam tetapi peka terhadap golongan lainnya. Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui aspek genetic bakteri tersebut ditemukan gen mecA dan SSCmec tipe IV.

I.Klarifikasi Istilah
1. Pneumonia 2. Antipiretik 3. Demam 4. Batuk : Radang paru paru disertai eksudasi dan konsolidasi : Obat untuk meredakan demam : Peningkatan suhu tubuh diatas normal (37 derajat celcius) : Mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan sumber

gangguan, misalnya lendir, benda yang terhirup, infeksi di saluran nafas, dan sebagainya 5. Sesak napas 6. Amoksilin : Pernapasan yang sukar : Antibiotik turunan semi sintetik dari ampicilin yang efektif

terhadap spektrum luas bakteri gram positif dan negatif 7. Bakteri gram positif : Bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu

proses pewarnaan Gram sehingga akan berwarna biru atau ungu 8. Pemeriksaan mikrobiologi : Pemeriksaan mikro yang dilakukan untuk mengetahui jenis mikroorganisme 9. Antibiotik golongan beta laktam : Antibiotik yang membunuuh bakteri dengan cara

menghambat pembentukan dinding sel. 10. Coccus 11. Uji koagulase : Bakteri sferis . berdiameter < 1mikro : Uji untuk mengetahui adanya protein yang menyerupai enzim

yang apabila ditambahkan dengan oksalat atau sitrat mampu menggumpalkan plasma akibat adanya suatu faktor yang terdapat di dalam serum

12. Resisten

: Kemampuan alami organisme normal untuk tetap tidak

terpegaruh oleh alergen yang berbahaya 13. Gen mecA : Gen yang berikatan dengan DNA bakteri pada lokus mec. Gen

mecA masih merupakan bagian dari konversi gen SCCmec yang mengkode Penicillin Binding Protein (PBP) 14. Gen SCCmec tipe 4 : Elemen genetic yang terdapat pada kromosom Staphylococcus

aureus yang berfungsi sebagai insersi mobile genetic elements

II. Identifikasi Masalah


1. Boy ,7thn,dibawa ke UGD RS pendidikan Unsri karena menderita demam selama 3 hari,batuk dan sesak napas. 2. Hasil anamesis ,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa Boy menderita Pneumonia. 3. Selama perawatan Boy diberi obat antipiretk dan antibiotik amiksisilin tetapi keadaannya masih tetap buruk meskipun perawatan sudah memasuki hari ke5. 4. Hasil pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan adanya bakteri gram positif ,coccus yang resisten terhadap semua antibiotik golongan beta laktam tetapi peka terhadap golongan lainnya. Dan uji koagulase menunjukan hasil positif. 5. Pemeriksaan lanjutan ditemukan gen mecA dan gen SCCmec tipe IV.

III. Analisis Masalah


1. a. Apa etiologi gejala yang dialami Boy? -Demam : Infeksi bakteri staphylococcus menyebabkan demam melalui mekanisme pembetukan pirogen endogen yang akan mempengaruhi system set poin suhu tubuh pada hipotalamus. -Batuk : Batuk merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan sumber gangguan, misalnya lendir, benda yang terhirup, infeksi di saluran nafas, dan sebagainya.Iritasi pada salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar atau sera aferen cabang faring dari nervus glossofaringeal dapat

menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang. Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula, dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul batuk. -Sesak napas : Infeksi staphylococcus aureus menyebabkan bronkopneumonia yang merupakan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang menunjukkan manifestasi klinis sesak napas.

b. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan yang dialami Boy? -Demam Bakteri akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam waktu 8 10 menit. Interleukin-1 juga menginduksi pembentukan prostaglandin, terutama prostaglandin E2, atau zat yang mirip dengan zat ini, yang selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam. Selain itu pirogen yang dihasilkan akan merangsang pembentukan leukosit yang lebih banyak dan menstimulasi pembentukan interferon yang berasal dari makrofag yang aktif dan dapat mengaktifkan sel NK. -Batuk 1.Fase inspirasi Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah. 2.Fase kompensasi

Fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50-100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain 3.Fase ekspirasi Fase ekspirasi dimulai saat terbukanya glotis secara aktif dan udara keluar. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk -Sesak napas Adanya kerusakan jaringan akibat aktivitas makrofag akan mensekresikan histamine dari jaringan. Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mastdan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast. Akhirnya, saluran napas menjadi menyempit sehingga timbulah sesak napas. Selain itu infeksi bakteri staphylococcus aureus menyebabkan pneumonia. Pada pneumonia alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan pertukaran O2 dan CO2 tidak maksimal tubuh kekurangan O2 dan melakukan kompensasi penapasan yang cepat.

c. Adakah hubungan antara demam selama 3 hari dengan batuk dan sesak napas? Batuk,demam dan sesak napas merupakan gejala khas infeksi staphylococcus aureus yang menyebabkan bronkopneumonia yaitu gangguan sistem pernapasan bagian bawah.

2. a. Apa bakteri penyabab infeksi pneumonia? Beberapa organisme yang bisa menyebabkan pneumonia diantaranya : Streptococcus pneumonia, Klebsiella pneumonia, Hemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia, Legionella pneumonia, dan MRSA (methicillin-resistant Staphilococcus aureus).

Namun berdasaran hasil pemeriksaan mirobiologi yang menunjukkan adanya bakteri gram positif, coccus, hasil uji koagulase (+), serta informasi tambahan bahwa bakteri resisten terhadap antibiotik golongan betalaktam maka dapat dipastikan bahwa organisme pathogen penyebab pneumonia dalam kasus ini adalah MRSA (methicillin-resistant Staphilococcus aureus).

b. Bagaimana patofisiologi infeksi pneumonia oleh bakteri tersebut? Staphilococcus aureus yang berinvasi melalui saluran pernafasan dapat menembus pertahanan saluran nafas atas karena ukurannya yang hanya 1 m. Di jaringan alveoli ada makrofag jaringan yang dapat memfagosit Staphiloccus aureus, tetapi staphylococcus aureus dapat terhindar dari fagositosis dengan beberapa mekanisme: 1.Protein A yang terdapat pada dinding S. aureus dapat terikat ke bagian Fc dari Immunoglobulin G (IgG) akibatnya akan terjadi persaingan antara protein A dan makrofag untuk berikatan dengan igG yang secara langsung akan menurunkan opsosinasi makrofag. 2.Staph aureus mempunyai protein koagulase pada dinding selnya yang mampu membentuk koagulase dengan cara mengikat protrombin membentuk kompleks yang akan memulai polimerisaasi fibrin sehingga menghambat migrasi sel fagosit menuju tempat infeksi. 3.Staphilococcus aureus juga resisten terhadap beberapa enzim lisosomal sehingga sulit dicerna makrofag.

Terhindarnya staph aureus dari fagositosis oleh makrofag jaringan memungkinkan terjadinya aktifitas lanjutan yang dapat berlanjut menjadi infeksi.

Beberapa toksin yang berasal dari S. aureus: Sitotoksin : (toksin 33-kd protein alpha) menyebabkan perubahan formasi inti sel dan

merangsang inflamasi Superantigen toksik pirogenik : merangsang proliferasi sel T dan pelepasan sitokin

Eksotoksin

: berupa Panton Valentine Leukodin (PVL), dapat mempengaruhi

apoptosis PMN pada konsentrasi rendah. Pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan sitolisis pada PMN sehingga Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang ada dalam PMN keluar dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan.

S. aureus mempunyai 6 faktor virulensi yang berperan dalam mekanisme infeksi yaitu : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adesin hemaglutinin dan glikoprotein fibronektin. Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang (2) Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukosidin, kinase dan hyaluronidase (3) Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimormonuklear; (4) Subtansi biokimia seperti; karotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit (5) Protein-A, koagulasi dan clumping factor untuk menghindari diri dari respon sel imun inang. S. aureus dengan koagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor koagulase (6) Toksin yang dapat melisiskan membran sel dan jaringan inang. S. aureus, selain menghasilkan enzim koagulase, juga memproduksi banyak substansi yang mendukung atau kemungkinan mendukung virulensi dan memiliki beberapa substansi penting yang baru diketahui yaitu berupa hemolisin dan toxin (Todar, 2005).

c. Bagaimana cara mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi tersebut? Pengujian-Pengujian Bakteri Staphylococcus aureus

a.

Menggunakan Media MSA (Manitol Salt Agar) Spesimen mula-mula ditanam pada media tryprone Hewit broth (THB),

diikubasikan pada suhu 37C, selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh pada media THB ditanam ulang ke Plat Agar Darah dan diikubasikan pada suhu 37C selama 24 jam. Koloni bakteri yang bersifat mukoid selanjutnya ditanam ulang pada media

manitol salt agar (MSA) pada suhu 37C, selama 24 jam. Adanya koloni S. aureus ditandai dengan perubahan warna media MSA dari merah menjadi kuning.

b.

Uji Katalase Selama respirasi aerobik (proses fosforilasi oksidatif) mikroorganisme yang menghasilkan peroksida, bahkan ada yang menghasilkan superoksida yang sangat beracun. Senyawa ini dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian pada mikroorganisme. Senyawa ini dihailkan oleh mikroorganisme aerobik fakultatif aerob maupun mikroaerofilik yang menggunakan jalur respirasi aerobik Satu ose dari koloni berwarna kuning dari media MSA dicampur dengan enzim katalase pada kaca objek. Adanya S. aureus ditandai terbentuknya gelembung gas

c.

Uji Koagulase Plasma

Satu mililiter plasma darah kelinci dalam tabung reaksi dicampur dengan 1 ose koloni bakteri, diinkubasikan pada 370C selama 24 jam. Staphylococcus aureus akan meng-gumpalkan plasma darah kelinci.

d.

Penentuan Aktivitas Hemolisin Staphylococcus aureus ditanam pada plat agar darah (agar base, Oxoid, Jerman), dan selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C. Adanya aktivitas hemolisin ditandai dengan adanya zona hemolisis pada plat agar darah .

Staphylococcus. aureus yang menghasilkan alfa-hemolisin akan membentuk zona terang di sekitar koloni, yang menghasilkan beta-hemolisin akan membentuk

zona agak gelap di sekitar koloni, dan yang menghasilkan gama-hemolisin tidak membentuk zona hemolisis di sekitar koloni. Sementara itu, kuman yang memproduksi kombinasi alfa-dan beta-hemolisin akan tampak zona gelap dan terang di sekitar koloni.

e.

Uji Hidrofobisitas

Bakteri ditanam dalam 5 ml kaldu Brain infusin (BHI) dan diinkubasikan pada 37C selama 24 jam. Kultur bakteri kemudian divortex, dipindahkan kedalam tabung sentrifus dan disentrifus 5 menit pada kecepatan 5.000 rpm. Supernatan dibuang, dan pellet dicuci 3 kali dengan PBS. Pellet bakteri disuspensikan dengan larutan BaSO4, konsentrasi 10 8 sel bakteri per ml. Sebanyak 50 l suspensi bakteri dicampur dengan 50 l Amonium Sulfat dengan konsentrasi 1,2M, 1,6, 2M, 2,4M dan 3,2M pada objek glas, dan diaduk dengan tusuk gigi steril. Uji hidrofobisitas dinyatakan positif bila terjadi agregasi bakteri yang tampak seperti pasir putih setelah campuran diaduk

f.

Uji Hemaglutinasi Darah kelinci yang diambil dengan antikoagulan 0,2 M sodium sitrat pH 5,2, disentrifus dan dicuci dua kali dengan 0,15 M NaCl. Suspensi sel darah merah 2% dibuat dalam larutan 0,15 M NaCl. Sebanyak 20 l suspense bakteri yang mengandung sekitar 109 bakteri/ml l suspensi sel darah merahdalam 0,15 NaCl dicampur dengan 20 kelinci 2% di atas gelas obyek. Gelas objek digoyang selama 30 detik dan reaksi hemaglutinasi diamati Tingkat hemaglutinasi dinyatakan sedang reaksi kuat,sebagai berikut: reaksi

3. a. Apa tujuan pemberian antipiretik dan antibiotik? Antipiretik adalah obat yang mempunyai efek menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam. Tujuan pemberian antipiretik bukan untuk menormalkan suhu tubuh melainkan untuk menurunkan suhu tubuh (tidak harus sampai normal) dan membuat seseorang merasa lebih nyaman. Antibiotika adalah obat yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman.

b. Bagaimana farmadinamik dan farmakokinetik amoksisilin? Tersedia dlm kapsul atau tablet ukuran 125 250 500 mg, Sirup 125mg / 5ml Dosis: Dewasa dan anak-anak berat badan 20 kg ke atas : sehari 3 kali 250-500 mg. Bayi, anak-anak berat badan kurang dari 20 kg : sehari 20-40 mg/berat badan, dalam 3 dosis terbagi (tiap 8 jam)

Farmakologi : Absorbsi : cepat dan hampir sempurna, tidak dipengaruhi oleh makanan. Setelah 1 jam dikonsumsi konsentrasinya dalam darah akan sangat tinggi. Distribusi : secara luas terdistribusi dalam seluruh cairan tubuh serta tulang; penetrasi lemah kedalam sel mata dan menembus selaput otak; konsentrasi tinggi dalam urin; mampu menembus placenta; konsentrasi rendah dalam air susu ibu. Metabolisme secara parsial melalui hepar dan ekskresi 80% dalam bentuk utuh melalui urin.

Farmakodinamik: Amoksisilin adalah antibiotic golongan betalaktam yang termasuk dalam kelas penicillin. Antibiotik beta-laktamase bekerja membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding selnya. Pada proses pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh enzim transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai

peptida-glukan. Enzim transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri tersebut juga dapat mengikat antibiotik beta-laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak mampu mengkatalisis reaksi transpeptidasi walaupun dinding sel tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah dan mudah terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan osmotik di dalam sel bakteri gram negatif dan di lingkungan akan membuat terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein transpeptidase dan antibiotik beta-laktam akan menstimulasi senyawa autolisin yang dapat mendigesti dinding sel bakteri tersebut.Dengan demikian, bakteri yang kehilangan dinding sel maupun mengalami lisis akan mati

c. Apa saja macam golongan antipiretik? Penggolongan secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni: -paracetamol. salisilat: asetosal, salisilamida dan benorilatc. -penghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen, dlld. -derivat-antranilat: mefenaminat, glafenine. derivat-pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon dan metamizol -benzidamin (Tantum)Co-analgetika adalah obat yang khasiat dan indikasi utamanya bukanlah menghalau nyeri, mis. antidepresiva trisiklis (amitriptilin) dan antiepileptika (karbamazepin, pregabalin, fenytoin, valproat). Obat-obat ini digunakan tunggal atau terkombinasi dengan analgetika lain pada keadaan-keadaan tertentu, seperti pada nyeri neuropatis.

d. Apa saja pengklasifikasian golongan antibiotik? Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a. Golongan Aminoglikosida Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin. b. Golongan Beta-Laktam Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan

sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan betalaktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). c. Golongan Glikopeptida Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin. d. Golongan Poliketida Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin). e. Golongan Polimiksin Diantaranya polimiksin dan kolistin. f. Golongan Kinolon (fluorokinolon) Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin. g. Golongan Streptogramin Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin. h. Golongan Oksazolidinon Diantaranya linezolid dan AZD2563. i. Golongan Sulfonamida Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim. j. Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.

e. Mengapa keadaan Boy tetap memburuk meskipun telah diberikan perawatan selama 5 hari? Bakteri-bakteri yang resisten terhadap antibiotik beta-laktam memiliki 3 mekanisme resistensi: -destruksi antibiotik dengan beta-laktamase -menurunkan penetrasi antibiotik untuk berikatan dengan protein transpepidase - menurunkan afinitas ikatan antara protein pengikat tersebut dengan senyawa antibiotik Keadaan boy tetap memburuk karena bakteri streptococcus mempunyai mekanisme pertahanan diri terhadap antibiotic dengan cara membentuk enzim beta laktamase yang dapat memecah cincin beta-laktam pada antibiotik tersebut dan membuatnya menjadi

tidak aktif. Mekanisme diawali dengan pemutusan ikatan C-N pada cincin beta-laktam dan mengakibatkan antibiotik tidak dapat berikatan dengan protein transpeptdase sehingga terjadi kehilangan kemampuan untuk menginhibisi pembentukan dinding sel bakteri.

4. a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan mikrobiologi? Bakteri gram positif : Dengan pewarnaan gram Coccus Uji koagulase (+) : Staphylococcus aureus

b. Apa saja golongan antibiotik beta laktam? Antibiotik beta-laktam terbagi menjadi 4 golongan utama, yaitu: - penisilin -sefalosporin -carbapenem -monobactam

c. Mengapa bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam? Bakteri streptococcus mempunyai mekanisme pertahanan diri terhadap antibiotic dengan cara membentuk enzim beta laktamase yang dapat memecah cincin beta-laktam pada antibiotik tersebut dan membuatnya menjadi tidak aktif. Mekanisme diawali dengan pemutusan ikatan C-N pada cincin beta-laktam dan mengakibatkan antibiotik tidak dapat berikatan dengan protein transpeptdase sehingga kehilangan kemampuan untuk menginhibisi pembentukan dinding sel bakteri.

d.Apa tujuan dilakukannya uji koagulasi? Uji koagulase sangat penting untuk membedakan S. aureus dengan Staphylococcus yang lain. S. aureus mampu menghasilkan koagulase, yaitu berupa protein yang menyerupai enzim yang apabila ditambahkan dengan oksalat atau sitrat mampu menggumpalkan plasma akibat adanya suatu faktor yang terdapat di dalam serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk membentuk esterase dan aktivitas penggumpalan, serta untuk

mengaktivasi protrombin menjadi trombin. Trombin akan membentuk fibrin yang akan berpengaruh terhadap terjadinya penggumpalan plasma.

e. Apa terapi antibiotik yang tepat untuk Boy pada kasus ini? Selain diberikan antibiotik golongan non-beta-laktam (ex. vankomisin) terapi dapat juga dilakukan menggunakan antibiotik kombinasi beta laktam denga inhibitor beta-laktamase seperti; asam claviculanat, tazobactam, dan sulbactam. Antibiotik kombinasi ini dapat bekerja sekalipun pada MRSA yang memiliki kemampuan memutuskan cincin betalaktam karena adanya inhibitor beta laktamase yang akan menghambat kerja enzim beta-laktamase sehingga antibiotik beta laktam dapat berikatan dengan transpeptidase. Salah satu antibiotik kombinasi yang dipakai adalah Augmentin (amoxicillin + as. clavulanat)

5. a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lanjutan? Hasil pemeriksaan lanjutan menunjukkan adanya gen mecA dan SCCmec tipe IV yang berperan terhadap terjadinya resistensi Stapylococcus aureus terhadap antibiotic golongan beta laktam penicillin.

b. Apakah ada hubungan gen dalam bakteri dengang resistensi terhadap antibiotik golongan beta laktam? Staphylococcus aureus memiliki gen blaZ yang menyandi protein betalaktamase yang mampu memecah cincin beta laktam pada antibiotic golongan penicillin (amoksisilin) Selain itu resistensi juga didukung karena adanya gen mecA dan SCCmec tipe IV.

c. Apa fungsi gen mecA dan SSCmec tipe IV? -Gen mecA berikatan dengan DNA bakteri pada lokus mec. Gen mecA masih merupakan bagian dari konversi gen SCCmec yang mengkode Penicillin Binding Protein (PBP2a atau PBP2') yang memiliki afinitas rendah terhadap antibiotic golongan penicillin. MecA memiliki organisasi,struktur,fungsi dan mekanisme yang menyerupai gen blaZ yang terdapat pada plasmid bakteri.

-Staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec) adalah elemen genetic yang terdapat pada kromosom Staphylococcus aureus yang berfungsi sebagai insersi mobile genetic elements. SCCmec tersusun atas gen rekombinase (ccr), gen kompleks mec, gen resisten tambahan, dan insertion sequences. Adanya gen SCCmec juga dapat menyebabkan resistensi baik terhadap antibiotic golongan betalaktam maupun non betalaktam. SCCmec mengandung transposon seperti Tn554 pada ujung 5' mecA dan insertion sequences seperti IS431 pada ujung 3' mecA.Insertion sequences IS431 memiliki kemampuan dan menjadi determinan resistensi terhadap merkuri, kadmium, dan tetrasiklin. Genlain yang berada di sekitar SCCmec seperti gengyrA juga diduga berinteraksi dengan SCCmec mengakibatkan resistensi terhadap kuinolon. SCC tipe IV tidak bersifat multiresisten.

d. Apakah g mecA dan SSCmec tipe IV merupakan gen bawaan? (maria,nadia) Gen mecA dan SCCmec tipe IV merupakan gen mutasi yang terletak pada kromosom staphylococcus aureus.

IV. Hipotesis
Boy,7thn, menderita pneumonia dengan keadaan yang tetap memburuk karena infeksi bakteri Streptococcus pneumonia tersebut resiten terhadap semua antibiotik golongan beta laktam.

V. Kerangka Konsep
Boy,7thn,menderita demam,batuk & sesak napas Menderita Pneumonia

Diberi antibiotic amoksisilin tetapi tidak membaik Uji mikrobiologi MRSA

Golongan beta laktam

Gen mecA & SCCmec tipe IV

VI. Learning Issue


Learning Issue Pneumoni a S.aureus & MRSA Antipireti k Antibiotik Penggolongan Jenis,bentuk,morf ologi Penggolongan Etiologi Tatalaksana,komplika si Gen dalam S.Aureus Patogenesis,patofisiolo gi Pengaruh infeksi , Tatalaksana Bentuk,komposisi,sedi Farmakokinetik,Farmak aan,dosis odinamik Internet Jurnal What I know What I dont know What I have to prove How I will learn Textbook

Bentuk,komposisi,sedi Farmakokinetik,Farmak aan,dosis odinamik Farmakokinetik,Farmak odinamik Tatalaksana Mekanisme resistensi,gen penyebab resisten Urutan pemeriksaan,fungsi,m anfaat Interpretasi hasil pemeriksaan

Betalakta m Resistensi

Penggolongan,Re sistensi Golongan antibiotic yang resisten

Struktur kimia

Uji mikrobiol ogi

Cara pemeriksaan,tujua n pemeriksaan

VII.Sintesis
1. Penggolongan antipiretik Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:

parasetamolb. salisilat: asetosal, salisilamida dan benorilatc. penghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen, dlld.

derivat-antranilat: mefenaminat, glafenine. derivat-pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon dan metamizol

lainnya: benzidamin (Tantum)Co-analgetika adalah obat yang khasiat dan indikasi utamanya bukanlah menghalau nyeri, mis. antidepresiva trisiklis (amitriptilin) dan antiepileptika (karbamazepin, pregabalin, fenytoin, valproat). Obat-obat ini digunakan tunggal atau terkombinasi dengan analgetika lain pada keadaan-keadaan tertentu, seperti pada nyeri neuropatis.

Penggunaan Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau antiradang. Oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rematik dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka-ragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid (dystnenorroe), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri terakhir, NSAID lebih layak. Pada nyeri lebih berat mis. setelah pembedahan atau fraktur (tulang patah), kerjanya kurang ampuh. Daya antipiretisnya herdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipothalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai keluarnya banyak keringat. Daya antiradang (antiflogistis). Kebanyakan analgetika memiliki dava antiradang, khususnya kelompok besar dari zat-zat penghambat prostaglandin (NSAIDs, termasuk asetosal), begitu pula benzidamin. Zatzat ini banyak digunakan untuk rasa nyeri yang disertai peradangan, Obat-obat Rematik.* Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi. Lagi pula efek sampingnya yang masing-masing terletak di bidang yang berlainan, dapat berkurang, karena dosis dari masing-masing komponennya dapat diturunkan. Kombinasi analgetika dengan kofein dan kodein sering kali digunakan, khususnya dalam sediaan dengan parasetamol dan asetosal.

Efek samping

Yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal dan juga reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan anal-getika secara kontinu tidak dianjurkan.

Interaksi Kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal dua minggu. Kehamilan dan LaktasiHanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan menyusui, walaupun dapat mencapai air susu. Asetosal dan salisilat, NSAIDs dan metamizol dapat mengganggu perkembangan janin, sehingga sebaiknya dihindari. Dari aminofenazon dan propifenazon belum terdapat cukup data. 2. Penggolongan Antibiotik Antibiotik ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1929 dan digunakan untuk membunuh bakteri secara langsung atau melemahkan bakteri sehingga kemudian dapat dibunuh dengan sistem kekebalan tubuh kita. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.

Mekanisme Kerja Antbiotik 1. Menghambat metabolisme sel, seperti sulfonamid dan trimetoprim. 2. Menghambat sintesa dinding sel, akibatnya pembentukkan dinding sel tidak sempurna dan tidak dapat menahan tekanan osmosa dari plasma, akhirnya sel akan pecah seperti penicillin, vankomisin, dan sefalosporin. 3. Menghambat sintesa membran sel, molekul lipoprotein dari membran sel dikacaukan pembentukkannya hingga bersifat permeabel akibatnya zat-zat penting dari isi sel keluar, seperti polimiksin.

4. Menghambat sintesa protein sel dengan melekatkan diri ke ribosom akibatnya sel terbentuknya tidak sempurna, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, streptomisin, dan aminoglikosida. 5. Menghambat pembentukkan asam-asam inti (DNA dan RNA) akibatnya sel tidak dapat berkembang, seperti rifampisin.

Penggolongan antibiotik berdasarkan aktivitasnya dibagi menjadi dua yaitu : 1. Zat-zat dengan aktivitas sempit (narrow spectrum), berguna untuk membunuh jenis-jenis bakteri secara spesifik, seperti ampicillin dan amoxycilin (augmentin, surpas, bactrim, septrim). 2. Zat-zat dengan aktivitas luas (broad spectrum), membunuh semua jenis bakteri didalam tubuh. Dianjurkan untuk menghindari mengkonsumsi Antibiotik jenis ini karena akan membunuh jenis bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh kita. Antibiotik yang termasuk kategori ini adalah cephalosporin (cefspan, cefat, keflex, velosef, duricef,dll).

Kelompok Antibiotik

1.

Sulfonamid Aktivitas : spektrum antibakteri luas baik gram positif (+) maupun gram negatif (-) yg peka,

contoh : Pyogenes, E.coli, B. anthracis, v. cholerae, C. trachomatis, C. diphteriae, Bersifat bakteriostatik, yaitu hanya menghentikan pertumbuhan mikroorganisme, Mekanisme kerja : antagonisme kompetitif PABA (para amino benzoid acid) Sediaan : oral, parenteral, topical, Efek samping : reaksi alergi, agranulositosis, trombositopeni, gangguan saluran kemih.

2. Kotrimoksazole Merupakan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol, Spektrum antibakteri luas, contohnya : S. aureus, Str. Pneumoniae, N. meningitis, E. coli, Mekanisme kerja : sulfonamid menghambat masuknya PABA ke molekul asam folat, trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat, Sediaan : tablet, suspensi, tablet pediatric,

Indikasi : infeksi saluran napas, infeksi gonokokal akut, shigellosis.

3. Penisilin Mekanisme kerja : menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri, Resistensi terhadap penisilin disebabkan diproduksinya enzim penisilinase oleh mikroorganisme, Efek samping : iritasi lokal, mual, muntah, diare, syok anafilaktik, Indikasi : infeksi pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, meningokokus, gonokokus, salmonela, difteria.

4.Sefalosporin Mekanisme kerja : menghambat sintesis dinding sel mikroba Aktif terhadap bakteri gram (+) dan gram (-), tetapi masing-masing derivat bervariasi Efek samping : reaksi alergi Sefalosporin hanya digunakan untuk infeksi yang berat atau tidak dapat diobati dengan antimikroba yang lain. Spektrum : luas, baik gram (+) atau gram (-), aerob, anaerob, spirochaeta, klamiidia, riketsia, Derivat : tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin, rolitetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, limesiklin, Indikasi : infeksi klamidia, riketsia, mikoplasma, gonore, kokus, kollera, Efek samping : reaksi kepekaan, toksik dan iritatif, Sediaan : tablet, kapsul, sirup, salep, pulveres.

5. Kloramfenikol Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein kuman Sifat : bakteriostatik Spektrum antibakteri luas Indikasi : demam tifoid, meningitis purulenta, riketsiosis, kuman anaerob

Efek samping : depresi sumsum tulang, alergi, reaksi sal.cerna, sindrom Gray, reaksi neurologik.

6.Aminoglikosid Efektif untuk bakteri gram () Mekanisme kerja : menghambat sintesis sel bakteri Sifat : bakterisidal, yaitu dapat mematikan mikroorganisme Efek samping : alergi, iritasi, ototoksik, nefrotoksik Jenis : streptomisin, gentamisin, kanamisin, neomisin, amikasin, tobramisin, paromomisin Indikasi : bakteri gram (-), Pseudomonas.

7.Golongan makrolida

Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Aktif secara in vitro terhadap kuman-kuman Gram positif, Gram negatif, mikoplasma, klamidia, riketsia dan aktinomisetes. Selain sebagai alternatif penisilin, eritromisin juga merupakan pilihan utama untuk infeksi pneumonia atipik (disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae) dan penyakit Legionnaires (disebabkan Legionella pneumophilla) termasuk dalam golongan makrolida selain eritromisin juga roksitromisin, spiramisin, josamisin, rosaramisin, oleandomisin dan trioleandomisin.

8. Golongan linkosamid.

Termasuk di sini adalah linkomisin dan klindamisin, aktif terhadap kuman Gram positif termasuk stafilokokus yang resisten terhadap penisilin, aktif terhadap kuman anaerob, misalnya bakteroides.

9. Golongan polipeptida. Antibiotika golongan ini meliputi polimiksin A, B, C, D dan E. Merupakan kelompok antibiotika yang terdiri dari rangkaian polipeptida dan secara selektif aktif terhadap kuman

Gram negatif, misalnya psedudomonas maupun kuman-kuman koliform yang lain. Toksisitas polimiksin membatasi pemakaiannya, terutama dalam bentuk neurotoksisitas dan nefrotoksisitas.

10.Golongan kuinolon Merupakan kemoterapetika sintetis yang akhir-akhir ini mulai populer dengan spektrum antikuman yang luas terutama untuk kuman-kuman Gram negatif dan Gram positif, enterobakteriaceae dan pseudomonas. Terutama dipakai untuk infeksi-infeksi nosokomial. Termasuk di sini adalah asam nalidiksat, norfloksasin, ofloksasin, dan pefloksasin.

3. MRSA

Morfologi Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif berbentuk bulat dengan diameter 0,5-0,7 m dan mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoik, fibronectin binding protein, clumping factors dan collagen binding protein. Komponen utama dinding sel adalah peptidoglikan yang menyusun hampir 50% dari berat dinding sel.Peptidoglikan tersusun dari polimer polisakarida (asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik), polipeptida (L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala, D-ala) dan sebuah jembatan pentaglisin. Melalui katalisis transpeptidase oleh Penicillin-Binding Protein (PBP), setiap peptidoglikan akan saling berikatan dengan peptidoglikan lainnya dengan cara merubah rantai alanin agar berikatan dengan jembatan pentaglisin dari peptidoglikan lainnya. Proses menghasilkan suatu struktur dinding sel yang padat. Beberapa enzim juga dihasilkan oleh S.aureus, diantaranya koagulase, clumping factor, hialuronidase dan laktamase. S.aureus sudah dikenal sebagai penyebab infeksi sejak tahun 1882 oleh Ogston. Mikroorganisme ini merupakan flora yang juga ditemukan pada area perianal, inguinal, aksila dan hidung (nares anterior). Sekitar 11-32% individu sehat mempunyai mikroorganisme ini dan 25% ditemukan pada tenaga kesehatan rumah sakit. Persentase tersebut lebih tinggi lagi pada pengguna obat suntik, pasien dengan masalah kulit dan

pengguna infus. Individu-individu karier yang terpapar ini mempunyai makna klinis karena berresiko lebih tinggi terjadi infeksi dibandingkan bukan karier.

Antibiotik Beta Laktam Penggunaan antibiotik mulai berkembang pada awal abad 20 oleh Paul Ehrlich dan kemudian pada tahun 1928 Alexander Fleming menemukan Penicillin notatum. Sejak itu penggunaan antibiotik berkembang pesat. S.aureus merupakan mikroorganisme prokariota gram positif yang sensitif terhadap preparat penicillin yang merupakan golongan antibiotik beta laktam. Terdapat 4 golongan antibiotik beta laktam; penisilin, sefalosporin, monobaktam dan karbapenem. Struktur beta laktam merupakan rantai yang terdiri dari 3 ion karbon dan 1 ion hidrogen, stuktur ini berperan pada kerja obat terhadap mikroorganisme. Struktur tersebut merupakan analog dari komponen peptida D-alanyl D-alanine yang terdapat pada peptidoglikan sehingga struktur beta laktam tersebut yang akan berikatan dengan PBP dan terjadi inhibisi reaksi transpeptidase.

Mekanisme resistensi Resistensi antibiotik terdiri dari resistensi natural dan aquired. Resistensi natural disebabkan aktivitas antibiotik yang berkurang dari spektrum biasanya, sedangkan resistensi aquired disebabkan oleh peningkatan minimal inhibitory concentration (MIC). Peningkatan faktor yang menentukan efektifitas suatu antibiotik ini dapat terjadi lambat (resistensi aquired relatif) ataupun cepat (resistensi aquired absolut), yang disebut terakhir disebabkan oleh suatu mutasi gen. Resistensi antibiotik beta laktam disebabkan oleh salah satu dari mekanisme berikut; inaktivasi oleh enzim beta-laktamase, modifikasi target PBP, penurunan kemampuan antibiotik terhadap PBP dan adanya pompa efluks. Enzim betalaktamase merupakan penyebab utama resistensi, lebih dari 100 macam enzim sudah diidenfikasi oleh bermacam mikroorganisme. Staphylococcus aureus, spesies

haemophillus dan E.coli menghasilkan enzim yang hanya bekerja pada penisilin, sedangkan Pseudomonas aeruginosa dan spesies enterobacter menghasilkan enzim yang bekerja pada penisilin dan sefalosporin. Resistensi terhadap komponen beta laktam yang tidak terhidrolisis oleh enzim-enzim beta laktamase seperti methicillin, oxacillin, nafcillin, cloxacillin dan dicloxacillin disebut dengan resistensi intrinsik atau resistensi methicillin.

Resistensi ini disebabkan oleh perubahan afinitas penicillin binding protein 2a (PBP2a) akibat mutasi gen mecA. Antibiotik beta laktam dapat menghambat target PBP pada strain Staphylococcus aureus yang sensitif, proses ini merusak langkah akhir dalam

biosintesis dinding sel yang menyebabkan kematian bakteri. PBP 2a bersifat refraktori dalam menghambat semua antibiotik beta laktam yang tersedia. Jika antibiotik beta laktam menghambat PBP pada Staphylococcus aureus biasa, maka pada PBP2a yang tidak sensitif terhadap beta laktam, ia akan mengambil alih fungsi biosintetisnya sendiri. Penyebab kedua resistensi antibiotik beta laktam disebabkan perubahan afinitas PBP terhadap struktur beta laktam dan hal ini terjadi pada methicillin resistance staphylococcus dan penicillin resistance pneumococcus. Resistensi akibat penurunan kemampuan antibiotik berikatan dengan PBP hanya terjadi pada spesies gram negatif akibat impermeabilitas membran luar. Pada gram negatif, antibiotik terlebih dahulu melalui porin yang berada pada membran luar sel dan kemudian baru masuk kedalam sel, sehingga pada mikroorganisme gram positif yang tidak mempunyai struktur kanal tersebut menyebabkan mengurangi kemampuan obat masuk kedalam sel. Selain itu mikroorganisme gram negatif mempunyai pompa efluks sehingga dapat memompa antibiotik yang sudah berada dalam ruang periplasmik kembali keluar sel.

Tatalaksana Penanganan infeksi MRSA dapat dengan preventif dengan pengendalian infeksi dan kuratif. Pengendalian infeksi dilakukan dengan higiene tangan, penapisan dan isolasi pasien, eradikasi kolonisasi, kebersihan lingkungan. Sedangkan terapi medikamentosa menggunakan preparat vancomisin, teicoplanin, linezolid, quinupristin/dalfopristin dan beberapa preparat lain yang masih dapat digunakan seperti kotrimoksazol Higiene tangan berperan pada transmisi infeksi nosokomial pada pekerja kesehatan, namun kesadaran akan hal tersebut masih rendah, bahkan pada suatu rumah sakit pendidikan saja hanya 48% yang mematuhi hal tersebut. Cara mencuci tangan merupakan hal yang harus diketahui dengan baik, penggunaan sabun yang mengandung alkohol akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencuci tangan. Hal ini berguna pada instalasi intensif yang mobilisasinya lebih cepat dibandingkan instalasi rawat biasa.

Reservoir MRSA dapat berasal dari kolonisasi dan proses infeksi. Dilaporkan kolonisasi dan infeksi MRSA pada seseorang berkaitan erat dengan jumlah pasien yang mempunyai MRSA saat perawatan. Hal ini menyebabkan pentingnya identifikasi dini guna melakukan isolasi dan pengendalian infeksi. Penapisan dilakukan minimal setiap minggu dengan pengambilan sampel dari hidung dan perineum. Jika didapatkan hasil positif maka sebaiknya dilakukan isolasi pasien namun hal ini dianggap sama efektifnya dengan pengaturan penggunaan antibiotik. Eradikasi kolonisasi MRSA tidak banyak diyakini efektifitasnya, namun mupirosin topikal dapat mengurangi jumlah kolonisasi. Penularan melalui faktor lingkungan perlu menjadi perhatian tersendiri dan kemampuan S.aureus hidup saat berada dilingkungan menentukan transmisi cara ini. Beberapa penelitian melaporkan kemampuan hidup mikroorganisme ini pada lingkungan rumah sakit dapat bertahan dalam 24 jam bahkan jika berada pada material poliester dan polietilen akan bertahan 56 hari dan 90 hari.Medikamentosa digunakan pada penanganan kuratif infeksi MRSA. Preparat glikopeptida seperti vankomisin dan teikoplanin merupakan pilihan utama. Namun sejak dilaporkan adanya glikopeptida resistensi intermdiate S.aureus (GISA) tahun 1996, beberapa preparat antibiotik alternatif mulai dikembangkan. Linezolid merupakan golongan oksazolidinon yang sudah digunakan di Inggris tahun 2001. Preparat ini bekerja pada proses sintesis protein dan sama efektifnya dengan vankomisin pada pneumonia nosokomial serta sediaan oral menjadi keunggulan lainnya. Namun biaya yang diperlukan lebih besar 10 kali dibandingkan vankomisin. Quinopristin-dalfopristin merupakan golongan makrolide-linkosamid-streptogramin dan terdiri dari streptogramin pristamisin IA dan IIB dengan rasio 30:70. Kendati efektif pada mikroorganisme gram positif nammun tidak demikian dengan Enterococcus faecalis. Preparat ini hanya mempunyai sediaan parenteral dengan efektifitas terapi MRSA antara 64-76%. Preparat lain yang sedang dikembangkan diantaranya tigesiklin (GAR-936) yang merupakan derivat minosiklin dari antibiotik golongan terbaru, glisilsiklin. Selain itu terdapat 2 preparat lain yang masing-masing dari golongan karbapenem (CP5609 dan CS-023) dan sefalosporin (BAL9141 dan S-3578).

4. Respon tubuh terhadap mikroorganisme

Pertahanan melawan mikroba diperankan oleh : sistem imun nonspesifik (innate/natural/native immunity) pertahanan yang paling awal sistem imun spesifik (adaptive/acquired immunity) respons yang lebih kuat Patogenitas dan ketahanan mikroba dalam tubuh host dipengaruhi kemampuan mikroba menghindari atau bertahan dari mekanisme imunitas host ini.Pada beberapa infeksi, kerusakan jaringan dan penyakit dapat disebabkan oleh respons host terhadap mikroba dan produknya daripada oleh mikroba itu sendiri

Imunitas tehadap bakteri ekstraseluler Bakteri ekstraseluler mampu bereplikasi diluar sel host. Bakteri ekstraseluler menimbulkan penyakit dengan dua cara : menginduksi inflamasi mengakibatkan kerusakan jaringan memproduksi toksin Endotoksin dan eksotoksin

Sistem imun non spesifik terhadap Bakteri Ekstraseluler aktivasi komplemen, fagositosis dan respon inflamasi Bakteri gram positif mengandung peptidoglikan mengaktifkan jalur alternatif dari komplemen opsonisasi dan meningkatnya fagositosis Sistem imun spesifik terhadap ekstraseluler bakteria Immunitas humoral memusnahkan mikroba dan mentralisir toksinnya Respons antibodi secara langsung melawan bakteri dan sekret pada dinding sel dan toksinnya Antigen protein dari bakteri ekstraselular juga mengaktifkan sel T helper, yang memproduksi sitokin merangsang produksi antibodi, memicu inflamasi lokal, dan meningkatkan fagositik dan aktivitas mikrobial makrofag

System imun spesifik thd mikroba ekstraseluler Respon imun, aktivasi makrofag, dan inflamasi. spesifik terhadap mikroba ekstraseluler, seperti bakteri, dan toksinnya terdiri dari produksi antibodi dan aktivasi dari sel T helper CD4+. Antibodi menetralisir dan mengeliminasi mikroba dan toksin dengan beberapa mekanisme.

Konsekuensi kerusakan utama respons tubuh host terhadap bakteri ekstraselular syok septik dan inflamasi Syok septik merupakan akibat patologi diinduksi oleh sitokin Gejalanya kolapsnya sirkulasi dan terjadinya koagulasi intravaskular

Imunitas thd bakteri intraseluler Karakteristik bakteria intraselular: kemampuannya untuk bertahan hidup dan bahkan bereplikasi dalam sel fagosit pemusnahannya memerlukan mekanisme cell-mediated immunity Respons imun nonspesifik sel fagosit dan sel natural killer (NK). Sel fagosit, yaitu neutrofil dan makrofag, memfagosit dan berusaha

Imunitas non specific thd bakteri intraseluler

menghacurkan mikroba ini, tetapi bakteri intraseluler patogen resisten terhadap degradasi dalam fagosit Bakteri intraseluler mengaktifkan NK NK sel memberikan pertahanan awal dalam melawan mikroba tersebut, sebelum imunitas spesifik Respon imun utama cell-mediated immunity Cell-mediated immunity terdiri dari dua jenis Membunuh bakteri intraseluler yang terfagosit sebagai hasil aktivasi makrofag oleh sel T-yang memproduksi sitokin, terutama IFN- lisisnya sel yang terinfeksi oleh cytolytic T lymphocytes (CTLs).

2Aktivasi makrofag yang terjadi akibat respons dari mikroba intraseluler juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan ini bermanifestasi sebagai hipersensitifitas tipe lambat/ delayed type hypersensitivity (DTH) Perbedaan antara individu dalam pola dari respons sel T terhadap mikroba intraseluler merupakan determinan penting dari progresi penyakit dan hasil klinik 5. Staphylococcus aureus

Morfologi sel S. aureus Menurut Merchant dan Parker (1963), S. aureus berbentuk spheris, dan kadang kala ramping jika dua sel saling berhimpitan. Diameter sel bervariasi, antara 0,8-1 m, berkapsul. S. aureus adalah bakteri Gram positif, mempunyai bentuk sel bulat bergerombol seperti buah anggur, kadang terlihat sel tunggal atau berpasangan, tidak motil, anaerobik fakultatif, menghasilkan koagulase dan menghasilkan warna biru (violet) pada pewarnaan Gram. Beberapa biakan yang sudah tua akan kehilangan Gram positifnya, sehingga dalam pewarnaan akan menghasilkan warna merah (Pelczar dan Chan, 2006; Foster, 2004). S. aureus adalah bakteri yang tidak membentuk spora dan tidak dapat lisis oleh pengaruh obatobat seperti penicillin. Pada biakan cair sering ditemukan sel tunggal, berpasangan, tetrad dan berbentuk rantai (Jawetz, 2001). S. aureus dapat tumbuh pada suhu 15-45oC dan cenderung bersifat patogen apabila tumbuh pada kondisi aerob atau anaerob pada suhu 35-45oC dengan pH optimum 7,0-7,5 (Bonang, 1982). Dinding bakteri S. aureus sebagai Gram positif mengandung lipid 1-4%, peptidoglikan dan asam teikoat. Peptidoglikan merupakan lapisan tunggal sebagai komponen utama yang berjumlah 50% dari berat kering dinding sel bakteri dan berfungsi menyebabkan kekakuan (Pelczar dan Chan, 2006).

Morfologi koloni dan sifat biokimiawi S. aureus Koloni S. aureus tumbuh pada media agar, berbentuk sirkuler, buram, dan mengkilap dengan tepi koloni entire (Anonim, 1994). Pada media plat agar darah (PAD), S. aureus memproduksi pigmen lipochrom yang membuat koloni tampak berwarna kuning keemasan atau kuning jeruk

dan pigmen kuning ini yang membedakannya dari S. epidermitis. Pada media manitol salt agar (MSA) S. aureus menunjukkan pertumbuhan koloni berwarna kuning dikelilingi zona berwarna kuning karena memfermentasi manitol. Jika bakteri tidak mampu memfermentasi manitol akan tampak zona merah muda. Beberapa karakter S. aureus menurut Austin (2006) disajikan pada Tabel 1. Pada media biakan sel tampak bergerombol tidak teratur. Ketika plat agar diinkubasi secara anaerob, pertumbuhan S. aureus menuju ke permukaan media, sehingga koloni menjadi cembung dan rata (Anonim, 1994). Menurut Bonang (1982) uji koagulase positif sangat penting untuk membedakan S. aureus dengan Staphylococcus yang lain. S. aureus mampu menghasilkan koagulase, yaitu berupa protein yang menyerupai enzim yang apabila ditambahkan dengan oksalat atau sitrat mampu menggumpalkan plasma akibat adanya suatu faktor yang terdapat di dalam serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk membentuk esterase dan aktivitas penggumpalan, serta untuk mengaktivasi protrombin menjadi trombin. Trombin akan membentuk fibrin yang akan berpengaruh terhadap terjadinya penggumpalan plasma. S. aureus dapat dibedakan dari Streptococcus sp. dengan uji katalase, dimana Streptococcus sp. akan menunjukkan katalase negatif sedangkan Staphylococcus sp. akan menunjukkan hasil katalase positif karena bakteri mampu mamproduksi enzim katalase. Uji ini dilakukan dengan cara mencampur biakan dari agar miring dengan beberapa tetes 3% H2O2 dan katalase positif menunjukkan gelembung-gelembung gas (Todar, 2005).

Tabel 1. Karakter beberapa Staphylococcus (Austin, 2006) Uji Ukuran koloni besar Pigmen koloni Pertumbuhan anaerob Pertumbuhan aerob Koagulase Hemolisin Fermentasi gula : S. aureus +d + + + + + S. epidermidis + + + + + d S. wemeri D S. sapropiti + d (+) + -

Maltosa D-trekalosa D-manitol Sukrosa Rafinosa -laktosa -D-fruktosa Keterangan : + : 90% atau lebih positif - : 90% atau lebih negatif Metabolit kuman

+ + + + + + +

+ + d +

(+) + d + d +

+ + d + d +

d : 11-80% positif ( ) : proses berlangsung 48-72 jam

Staphylococcus aureus membuat 3 macam metabolisme, yaitu metabolit yang bersifat : 1. Nontoksin 2. Eksotoksin 3. Enterotoksin

Metabolit non toksin a.Antigen protein A terletak di luar antigen polisakarida, kedua-duanya bersama-sama membentuk dinding sel kuman (Arif et al, 2000). Antigen ini berfungsi antara lain mencegah serangan oleh faga, mencegah reaksi koagulosa dan mencegah fagositosis. b. Koagulasa (Stafilokoagulosa) Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat karena faktor koagulasareaktif di dalam serum. Faktor ini bereaksi dengan koagulasa dan menghasilkan suatu esterase yang dapat membangkitkan penggumpalan, sehingga terjadi deposit fibrin pada permukaan sel kuman yang dapat menghambat fagositosis. c. Hialuronidasa Enzim ini tertuma dihasilkan oleh jenis koagulasa positif. Penyebaran kuman dipermudah dengan adanya enzim ini, oleh karena itu enzim ini juga disebut sebagai spreading factor.

d. Stafilokokus atau fibrinolisin Enzim ini dapat melisiskan bekuan darah dalam pembuluh darah yang sedang meradang, sehingga bagian-bagian dari bekuan yang penuh kuman terlepas dan menyebabkan terjadinya lesi metastatik di lain tempat. e. Gelatinasa dan proteasa Gelatinasa adalah suatu enzim yang dapat mencairkan gelatin. Protease dapat melunakkan serum yang telah diinspirasikan (diuapkan airnya) dan menyebabkan nekrosis jaringan termasuk jaringan tulang. f. Lipasa dan tributirinasa Lipasa terutama dihasilkan oleh jenis koagulasa positif, tetapi tidak mempunyai peranan yang khas. Tributirinasa atau egg-yolk factor merupakan suatu lipase-like enzyme yang menyebabkan terbentuknya fatty droplets dalam suatu pembenihan kaldu yang mengandung glukosa dan kuning telur. g. Fosfatase, lisosin, dan penisilinasa Ada korelasi antara aktivitas asam fosfatase, patogenitas kuman dan pembentukan koagulasa, tetapi pemeriksaan asam fosfatase jauh lebih sulit untuk dilakukan dan kurang khas jika hendak dipakai sebagai petunjuk virulensi. Lisosim dibuat oleh sebagian besar jenis koagulasa positif dan penting untuk menentukan patogenitas kuman. Penisilinasa dibuat oleh beberapa jenis Stafilokokus, terutama dari grup. h. Katalasa Enzim ini dibuat oleh Stafilokokus dan Mikrokokus, sedangkan Pneumokokus dan Streptokokus tidak. Adanya enzim ini dapat diketahui jika koloni Stafilokokus berumur 24 jam dituangi H2O2 3% dan timbul gelembung-gelembung udara. (Arif et al, 2000).

Eksotoksin a. Alfa hemolisin Toksin ini dibuat oleh Stafilokokus virulen dari jenis human dan bersifat : - Melisiskan sel darah merah kelinci, kambing, domba, dan sapi. - Tidak melisiskan sel darah merah manusia. - Menyebabkan nekrosis pada kulit manusia dan hewan.

- Dalam dosis yang cukup besar dapat membunuh manusia dan hewan. - Menghancurkan sel darah putih kelinci. - Tidak menghancurkan sel darah putih manusia - Menghancurkan trombosit kelinci - Bersifat sitotoksik terhadap biakan jaringan mamalia

(Arif et al, 2000). Semua sifat tersebut di atas dapat dinetralkan oleh IgG, tetapi tidak oleh IgA atau IgM. Semua efek tersebut diatas terjadi karena pelepasan anion dengan fospolipid yang terdapat dalam membran sel kuman. Setelah diolah dengan formalin toksin ini dapat dipakai sebagai toksoid (Arif et al, 2000). Kemampuan untuk membuat toksin ini dapat dipindahkan dengan bakteriofaga L2043, namun jenis yang menerimanya tidak selalu menghasilkan toksin yang sama kuatnya seperti yang dihasilkan oleh jenis asalnya (Arif et al, 2000). b. Beta hemolisin Toksin ini terutama dihasilkan oleh jenis yang berasal dari hewan. Dapat menyebabkan terjadinya hot-cold lysis pada sel darah merah domba dan sapi. Dalam hal ini lisis baru terjadi setelah pengeraman 1 jam pada suhu 10oC. Toksin ini dapat dibuat toksoid. c. Delta hemolisin Toksin ini dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efeknya terhadap sel darah merah domba kurang. Jika toksin pekat disuntikkan pada kelinci secara intravena, maka akan terjadi kerusakan ginjal yang akut berakibat fatal. d. Leukosidin Toksin ini dapat merusak sel darah putih beberapa macam binatang dan ada 3 tipe yang berbeda : - Alfa hemolisin - Yang identik dengan Delta hemolisin, bersifat termostabil dan menyebabkan perubahan morfologik sel darah putih dari semua tipe kecuali yang berasal dari domba. - Yang terdapat pada 40-50% jenis Stafilokokus dan hanya merusak sel darah putih manusia dan kelinci tanpa aktivitas hemolitik.

e. Sitotoksin

Toksin ini mempengaruhi arah gerak sel darah putih dan bersifat termostabil. Toksin ini dibuat dalam suasana di mana : - Kompleks antigen zat anti menghasilkan suatu kompleks trimolekuler dari komplemen yang terdiri dari C5, C6 dan C7. - Streptokinase merubah plasminogen menjadi plasmin yang kemudian bereaksi dengan C3 sehingga menjadi C3 yang aktif.

Pada penyakit granulomatosa septik kronik yang bersifat herediter sering ditemukan sebagai penyebabnya kuman Stafilokokus dan pada penyakit ini sel darah putih dapat melakukan fagositosis tetapi tidak dapat menghancurkan kumannya. f. Toksin eksfoliatif Toksin ini dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan merupakan suatu protein ekstraseluler yang tahan panas tetapi tidak tahan asam. Toksin ini dianggap sebagai penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSS), yang antara lain meliputi dermatitis eksfoliativa pada neonatus (Ritters disease),impetigo bulosa, Staphylococcal scarlatiniform rash dan toksin epidermal nekrolisis pada orang dewasa. (Arif et al, 2000) Bakteriosin Toksin ini dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan merupakan suatu protein ekstraseluler yang dapat membunuh kuman positif Gram, yaitu dengan cara menghambat sintesis protein dan DNA tanpa menyebabkan lisis kuman (Arif et al, 2000). Eanterotoksin Toksin ini dibuat jika kuman ditanam dalam perbenihan semisolid dengan konsentrasi CO2 30%. Toksin ini terdiri dari protein yang bersifat : - Nonhemolitik - Nondermonekrotik - Nonparalitik - Termostabil, dalam air mendidih tahan selama 30 menit. - Tahan terhadap pepsin dan tripsin (Arif et al, 2000).

Toksin ini penyebab keracunan mekanan, terutama terdiri dari hidrat arang dan protein. Masa tunas antara 2-6 jam dengan gejala yang timbul secara mendadak, yaitu mual, muntah-muntah dan diare. Kadang-kadang dapat terjadi kolaps sehingga dikira kolera (Arif et al, 2000). Penyembuhan biasanya terjadi setelah 24-48 jam dan jarang berakibat fatal. Efek muntah terjadi karena toksin merangsang pusat muntah di susunan syaraf pusat. Salmonella dan clotsridium dapat menimbulkan keracunan makanan dengan gejala yang serupa (Arif et al, 2000). Belum ditemukan suatu cara yang mudah yang dapat menyatakan bahwa suatu menyatakan bahwa suatu perbenihan kuman Stafilokokus mengandung enterotoksin, yang jelas ada hubungan antara pembentukan enterotoksin dan koagulosa. Staphylococcus aureus yang membentuk enterotoksin adalah koagulasa positif , tetapi tidak semua jenis koagulosa positif dapat membentuk enterotoksin. Jika dari setiap gram makanan yang tersangka dapat ditemukan ratusan, ribuan kuman Stafilokokus atau lebih, maka hal ini dapat merupakan suatu bukti dari dugaan bahwa makanan tersebut memang menyebabkan keracunan makanan. Namun perlu diingat bahwa enterotoksin bersifat termostabil, sehingga jika makanan yang tersangka telah dipanaskan mungkin tidak dapat ditemukan kuman lagi, meskipun di dalamnya terkandung jumlah besar enterotoksin (Arif et al, 2000). Faktor virulensi S. aureus S. aureus mempunyai 6 faktor virulensi yang berperan dalam mekanisme infeksi yaitu : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adesin hemaglutinin dan glikoprotein fibronektin. Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2) Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukosidin, kinase dan hyaluronidase; (3) Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimormonuklear; (4) Subtansi biokimia seperti; karotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit, (5) Protein-A, koagulasi dan clumping factor untuk menghindari diri dari respon sel imun inang. S. aureus dengan koagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor koagulase; (6) Toksin yang dapat melisiskan membran sel dan jaringan inang. S. aureus, selain menghasilkan enzim koagulase, juga memproduksi banyak substansi yang mendukung

atau kemungkinan mendukung virulensi dan memiliki beberapa substansi penting yang baru diketahui yaitu berupa hemolisin dan toxin (Todar, 2005).

Hemolisin Hemolisin merupakan suatu protein eksotoksin yang dikode di kromosom dan mampu melisiskan eritrosit, membebaskan Hb serta menghancurkan sel-sel lain. Hemolisin adalah imunogenik yang aktivitasnya dapat dinetralkan oleh antibodi. Hemolisin dapat merusak eritrosit, menghasilkan nekrosis pada jaringan lokal dan mematikan hewan eksperimen. Secara kimia dan serologis hemolisin S. aureus dibedakan atas alfa, beta, delta toksin, leukosidin, dan sitotoksin (Jawetz, 2001). Alfa toksin (-toksin) merupakan suatu hemolisin yang paling karakteristik yang dihasilkan oleh S. aureus berupa monomer yang mampu mengikat terhadap selaput sel-sel yang peka. Pada manusia, trombosit dan monosit yang paling utama sensitif dengan - toksin dan pada hewan yang paling sensitif adalah eritrosit. Alfa-toksin dapat dinetralkan oleh IgG, tetapi tidak oleh IgA atau IgM (Todar, 2005). Beta toksin (-toksin) merupakan suatu sphingomyelinase yang memiliki selaput kaya akan lipid. Toksin ini dapat menyebabkan hot-cold lysis pada eritrosit domba, dimana lisis terjadi setelah inkubasi selama 1 jam pada suhu 370 C. Suatu bakteriofag yang lisogenik dikenal mampu untuk menyandi toksin ini (Todar, 2005). Delta toksin (-toksin) merupakan suatu peptida yang sangat kecil yang dihasilkan oleh S. aureus dan juga dihasilkan oleh S. epidermis, yang perannya tidak begitu diketahui. Leukosidin merupakan suatu toksin protein multicomponent yang dihasilkan sebagai komponen terpisah. Leukosidin membentuk suatu transmembran yang heterooligomeric yang terdiri atas 4 LukF dan 4 subunit LukS, mampu membentuk pori octomeric di dalam membran yang dipengaruhi (Todar, 2005)

Sensitifitas bakteri terhadap antibiotik Antibiotik adalah bahan yang dihasilkan mikroorganisme yang membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya (Lay, 1994). Uji sensitifitas dilakukan untuk mengetahui resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel bakteri oleh bakteri lain (Setiabudi, 1995). Perkembangan resistensi kuman

terhadap antibiotik dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotik di suatu wilayah. Terdapat tiga macam pola resistensi atau sensitifitas mikroba terhadap obat anti mikroba. Pola I yaitu belum pernah terjadi resistensi. Pola II yaitu pergeseran dari sifat peka menjadi kurang peka, tetapi tidak sampai terjadi resistensi sepenuhnya. Pola III yaitu sifat resisten pada tingkat yang cukup tinggi sehingga menimbulkan masalah (Setiabudi, 1995).

Resistensi S. aureus terhadap antibiotik Gambaran kemampuan penyebaran resistensi S. aureus terhadap beberapa antibiotik menurut Bywater (1991) adalah: (1) terjadi antar spesies, hal ini dapat menyebabkan transfer resistensi dari komensal yang sudah resisten kepada patogen potensial; (2) Plasmid yang sederhana membawa genetik pemberi resitensi kepada varietas yang tidak berhubungan dengan antibiotik; (3) Transfer resistensi dapat dengan mudah didemonstrasikan secara in vitro dan dapat terjadi (kemungkinan agak jarang) in vitro; (4) S. aureus memiliki plasmid dalam jaringan, tetapi transfer dilakukan dengan transinduksi bakteriofag; (5) Beberapa galur S. aureus mempunyai kapsul yang menghambat fagositosis oleh leukosit paramorfonuklear kecuali jika terdapat antibiotik spesifik

6. Amoksisilin Kemasan : Kaplet Kapsul Sirup kering - Nama & Struktur Kimia : Kantong plastik @ 25 strip @ 10 kaplet : Kantong plastik @ 25 strip @ 10 kapsul : dus @ 25 botol, dengan sendok Asam (2S,5R,6R)-6[ (R)-(-)-2-amino-2-(p-hidroksifenil)asetamido]-3-3: dimetil-7-okso-4-tia-1-azabisiklo[3,2,0]-heptana-2-karboksilat trihidrat . C16N19N3NaO5S - Sifat Fisikokimia Mengandung tidak kurang dari 90.0% C16N19N3NaO5S dihitung sebagai anhidrat. Amoksisilin berwarna putih, praktis tidak berbau. Sukar : larut dalam air dan methanol; tidak larut dalam benzena, dalam karbontetraklorida dan dalam kloroform. Secara komersial, sediaan amoksisilin tersedia dalam bentuk trihidrat. serbuk hablur, dan larut

dalam air. Ketika dilarutkan dalam air secara langsung, akan berbentuk amoksisislin suspensi oral dengan pH antara 5 - 7.5. - Keterangan Amoksisilin adalah aminopenisilin yang perbedaan strukturnya dengan : ampisilin hanya terletak pada penambahan gugus hidroksil pada cincin fenil. pH larutan 1% dalam air = 4.5-6.0.1 Golongan/Kelas Terapi Anti Infeksi Nama Dagang - Abdimox - Amosine - Ancla - Ballacid - Bimoxyl - Clacomb - Corsamox - Etamox - Hufanoxil - Intemoxyl - Kenoko - Liskoma - Mokbios - Novax - Ospamox - Pritamox - Robamox - Solpenox - Topcillin - Widecillin - Zumafen Indikasi - Aclam - Amoxan - Arcamox - Bannoxillin - Bintamox - Claneksi - Danoxillin - Farmoxyl - Ikamoxyl - Kalmoxillin - Kimoxil - Medimox - Moxaxil - Nufamox - Palentin - Protamox - Sammoxil F - Ssilamox - Varmoxillin - Yefamox - Amobiotic - Amoxil - Athimox - Bellamox - Broadamox - Claxy - Dexymox - Goxallin - Improvox - Kamox - Lactamox - Mestamox - Moxigra - Omemox - Penmox - Ramoxlan - Scannoxyl - Supramox - Vibramox - Yusimox - Amocomb - Amoxillin - Auspilin - Biditin - Bufamoxy - Comsikla - Erphamox - Hiramox - Inamox - Kemosillin - Leomoxyl - Mexylin - Moxtid - Opimox - Primoxil - Ramoxyl - Sirimox - Surpas - Vulamox - Zemoxil

Amoksisilin digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif (Haemophilus Influenza, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella). Amoksisilin juga dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri positif (seperti; Streptococcus pneumoniae, enterococci, nonpenicilinase-producing staphylococci, Listeria) tetapi walaupun demikian, aminophenisilin, amoksisilin secara umum tidak dapat digunakan secara sendirian untuk pengobatan yang disebabkan oleh infeksi streprococcus dan staphilococcal.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian Dosis anak Umum: Anak < 3 bulan: 20-30 mg/kg/hari terpisah setiap 12 jam.Anak >3 bulan dan <40kg; dosis antara 20-50 mg/kg/hari dosis terpisah setiap 8-12 jam. Khusus: Infeksi hidung,tenggorokan,telinga,saluran kemih dan kulit: ringan sampai sedang: 25 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam atau 20 mg/kg/hari setiap 8 jam.Gawat: 45 mg/kg/hari setiap 12 jam atau 40 mg/kg/hari setiap 8 jam. Otitis media akut: 80-90 mg/kg/hari setiap 12 jam.Infeksi saluran nafas bawah: 45 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam atau 40 mg/kg/hari setiap 8 jam. Dosis dewasa Umum: Rentang dosis antara 250 500 mg setiap 8 jam atau 500 875 mg dua kali sehari.Khusus: Infeksi telinga, hidung, tenggorokan, saluran kemih, kulit: Ringan sampai sedang: 500 mg setiap 12 jam atau 250 mg setiap 8 jam.Berat: 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam.Infeksi saluran nafas bawah: 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam.Endocarditis profilaxis: 2 g sebelum prosedur operasi. Eradikasi Helicobacter pylori: 1000 mg dua kali sehari, dikombinasikan dengan satu antibiotik lain dan dengan proton pump inhibitor atau H2 bloker. Dosis berdasarkan fungsi ginjal Dosis 875 mg tidak diberikan pada pasien dengan : Clcr <30 mL/menit; Clcr 10-30 mL/menit; 250-500mg setiap 12 jam; Clcr <10 mL/menit: 250 500 mg setiap 24 jam. Pemberian dan lama pemberian Antibiotik amoksisilin termasuk antibiotik time deppendent sehingga untuk menjaga konsentrasi obat dalam plasma tetap berada pada kadar puncak, maka obat diberikan sesuai dengan jadwal waktu yang telah dibuat. Obat dapat diberikan bersamaan dengan makanan.

Tergantung pada jenis dan tingkat kegawatan dari infeksinya, juga tergantung pada respon klinis dan respon bakteri penginfeksi. Sebagai contoh untuk infeksi yang persisten, obat ini digunakan selama beberapa minggu. Jika amoksisilin digunakan untuk penanganan infeksi yang disebabkan oleh grup A -hemolitic streptococci, terapi digunakan tidak kurang dari 10 hari guna menurunkan potensi terjadinya demam reumatik dan glomerulonephritis. Jika amoksisilin digunakan untuk pengobatan ISK (infeksi saluran kemih) maka kemungkinan bisa lebih lama, bahkan beberapa bulan setelah menjalani terapi pun, tetap direkomendasikan untuk diberikan.

Farmakologi Absorbsi : cepat dan hampir sempurna, tidak dipengaruhi oleh makanan. Distribusi : secara luas terdistribusi dalam seluruh cairan tubuh serta tulang; penetrasi lemah kedalam sel mata dan menembus selaput otak; konsentrasi tinggi dalam urin; mampu menembus placenta; konsentrasi rendah dalam air susu ibu. Ikan protein : 17-20% Metabolisme : secara parsial melalui hepar. Metabolisme : secara parsial melalui hepar. Bayi lahir sempurna: 3,7 jam Anak-anak : 1-2 jam. Dewasa: fungsi ginjal normal 0.7-1,4 jam. ClCr <10 mL/menit: 7-12 jam. Time Peak; kapsul 2 jam; suspensi 1 jam. Eksresi: urin (80% bentuk utuh); pada neonates eksresi lebih rendah Dilisis: Moderat dilisis melalui Hemo atau peritonial dilisis: 20-50%

Stabilitas Penyimpanan Stabilitas obat: amoksilin 125 dan 250 mg kapsul, chewable tablet, dan serbuk suspensi oral harus disimpan dalam suhu 20C atau lebih rendah. Amosisilin 200 dan 400 mg chewable tablet dan salut tipis disimpan pada suhu 25C atau lebih rendah

Kontraindikasi

Kontraindikasi untuk pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin, atau komponen lain dalam obat.

Efek Samping Susunan Saraf Pusat : Hiperaktif, agitasi, ansietas, insomnia, konfusi, kejang, perubahan perilaku, pening. Kulit : Acute exanthematous pustulosis, rash, erytema multiform, sindrom stevens-johnson, dermatitis, tixic ephidermal necrolisis, hypersensitif vasculitis, urticaria. GI : Mual, muntah, diare, hemorrhagic colitis, pseudomembranous colitis, hilangnya warna gigi. Hematologi : Anemia, anemia hemolitik, trombisitopenia, trombositopenia purpura, eosinophilia, leukopenia, agranulositosi. Hepatic : AST (SGOT) dan ALT (SGPT) meningkat, cholestatic joundice, hepatic cholestatis, acute cytolitic hepatitis. Renal : Cristalluria

Interaksi -Dengan Obat Lain : Meningkatkan efek toksik: 1. Disulfiram dan probenezid kemungkinan meningkatkan kadar amoksisilin. 2. Warfarin kemungkinan dapat meningkatkan kadar amoksisilin 3. Secara teori, jika diberikan dengan allopurinol dapat meningkatkan efek ruam kulit. Menurunkan efek: 1. Kloramfenikol dan tetrasiklin secara efektif dapat menurunkan kadar amoksisilin 2. Dicurigai amoksisilin juga dapat menurunkan efek obat kontrasepsi oral.

Pengaruh - Terhadap Kehamilan : Faktor risiko : B, Data keamanan penggunaan pada ibu hamil belum diketahui. - Terhadap Ibu Menyusui : Karena amoksisilin terdistribusi kedalam ASI (air susu ibu) maka dikhawatirkan amoksisilin dapat menyebabkan respon hipersensitif untuk bayi, sehingga monitoring perlu dilakukan selama menggunakan obat ini pada ibu menyusui.

- Terhadap Anak-anak : Data tentang keamanan masih belum diketahui. - Terhadap Hasil Laboratorium : Berpengaruh terhadap hasil pengukuran : Hematologi dan hepar.

Bentuk Sediaan Kapsul, Serbuk Kering Suspensi Oral, Tablet Salut Film, Tablet Kunyah

Peringatan Pernah dilaporkan: Reaksi hipersensitifitas, meliputi reaksi anaphilaksis dapat mengakibatkan efek yang fatal (kematian). Penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya suprainfeksi termasuk Pseudomembranous collitis. Pada pasien gagal ginjal, perla penyesuaian dosis. Kasus diare merupakan kasus terbanyak jika amoksisilin digunakan sendiri. Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus

Mekanisme Aksi Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilinprotein (PBPs Protein binding penisilins), sehingga menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri menjadi pecah (lisis).

Monitoring Penggunaan Obat Lamanya penggunaan obat : Menilai kondisi pasien sejak awal hingga akhir penggunaan obat. Mengamati kemungkinan adanya efek anaphilaksis pada pemberian dosis awal.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.scribd.com/doc/31851981/Staphylococcus-Aureus 2. http://analisqmateri.blogspot.com/2010/09/isolasi-dan-identifikasi-bakteri.html 3. Fuda C, Hesek D, at al. Mechanistic Basis For the Action of New Cephalosporin Antibiotics Effective against Methicillin and Vancomicyn resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Journal of biological chemistry 2006;281:10035-10041. 4. Haddadin AS, Fappiano SA, Lipsett PA. Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in the intensive care unit. Postgrad Med J 2002;78:385-92 5. Hardy KJ, Hawkey PM, Gao F, Oppenheim BA. Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in the critically ill. Br J Anesth 2004;92:121-30 6. Graffunder EM, Venezia RA. Risk factors associated with nosocomial Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection including previous use of antimicrobials. Journal of Antimicrobial Chemotheraphy 2002;49:999-1005 7. Chambers HF. Beta-lactam antibiotics & other inhibitors of cell wall synthesis. In: Katzung BG, editors. A Lange medical book. Basic & clinical pharmacology. New York: McGrawHill; 2001. p.754-771

You might also like