You are on page 1of 24

PERKEMBANGAN SEKSUALITAS SEKSUALITAS DAN PROSES KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH WA ODE SALSIA 910312906105. 043

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AVICENNA KENDARI 2011/2012

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas hubungan antropologi dan sosiologi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Kendari, 18 juli 2011

Penulis

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama, berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya. Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa

dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas, dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan. Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung, bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan jati dirinya. Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder. Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan. Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama keyakinan agama dan moralitas; 2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan sosial dan kelompok pertemanan; 3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan

sehari-hari; 4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur pergaulan dan seks bebas relatif tinggi; 5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang; 6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat; 7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan; 8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko penyakit berbahaya; 9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks; 10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar rutinitas rumah tangga; 4 11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks. Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya, kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga, akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern. Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem

pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara bebas. Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi, tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri, sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar dilakukan. 5 II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya mengatakan bahwa:

"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan"; "Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan keindahan". Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa menunjukkan bukti cintaku kepadanya. Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film, show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks, sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka: "seperti apa sih rasanya seks itu"?, "apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"? Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek, lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN.

1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Definisi seksualitas 2. Perkembangan Seksualitas 3. Seksualitas dan Proses Keperawatan

1.3

TUJUAN 1.Untuk mengetahui definisi dari seksualitas 2.Membahas Tentang Perkembangan Seksualitas 3.Membahas Tentang Seksualitas dan proses keperawatam

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Seksualitas Menurut Drever (dalam Jersild, 1978), menyatakan seks suatu perbedaan yang mendasar berhubungan dengan reproduksi, dalam satu jenis yang mambagi jenis ini menjadi dua bagian yaitu jantan dan betina yang mana sesuai dengan sperma (jantan) dan sel telur (betina) yang diproduksi. Schuster dan Ashburn (1980) menyatakan bahwa pengertian yang mendekati adalah berkaitan dengan konsep seksualitas yang melibatkan karakteristik dan perilaku merupakan perilaku seksual dengan kecenderungan pada interaksi heteroseksual. Seksualitas melibatkan secara total dari sikap-sikap, nilai-nilai, tujuan-tujuan dan perilaku individu yang didasari atau ditentukan persepsi jenis kelaminnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep seksualitas seseorang atau individu dipengaruhi oleh banyak aspek dalam kehidupan, termasuk didalamnya prioritas, aspirasi, pilihan kontak sosial, hubungan interpersonal, self evaluation, ekspresi emosi, perasaan, karir dan persahabatan. Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Menurut Johan (1993), ada beberapa tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara dua orang yang bersahabat yaitu : (a). Tipe hubungan seks yang dapat terjadi antara seorang pria dengan pria lain (homoseksual); (b). Tipe hubungan seks yang dapat terjadi antara seorang wanita dengan wanita lain (lesbian); (c). Tipe hubungan seks seorang pria dengan seorang wanita. Menurut Reuben (Wirawan, 1981) seks mempunyai fungsi : (a). Seks untuk tujuan reproduksi, yaitu untuk memperoleh keturunan, oleh kerena itu sebagian orang beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang tabu dan tidak patut dibicarakan secara terbuka; (b). Seks untuk pernyataan cinta, yaitu seks yang dilakukan berlandaskan cinta dan didukung oleh ikatan cinta; (c). Seks untuk kesenangan yaitu hubungan seks dengan menghayati hubungan yang lama dan mampu mengalami kenikmatan tanpa merugikan salah satu pihak. Hubungan seksual adalah suatu keadaan fisiologik yang menimbulkan kepuasan fisik, dimana keadaan ini merupakan respon dari bentuk perilaku seksual yang berupa ciuman, pelukan, dan percumbuan (Jersild, 1978). Miller (1990) berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan hubungan fisik dalam bercumbuan, dimana hal ini merupakan rencana alamiah untuk meningkatkan gairah seksual bagi persiapan hubungan seksual yaitu : berpegangan tangan, saling memeluk (tangan di luar baju), berciuman, saling membelai atau meraba (dengan tangan di dalam baju yang lain). Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, bentuk tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku kencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri (Wirawan, 1997).

Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Namun bukan hanya pubertas saja yang menjadikan seksualitas sebagai isu penting dalam hal perkembangan remaja. Dalam tahapan perkembangan psikososial yang yang dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasanbatasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997). Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun. Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya. Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana

menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).

Seksualitas mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, emosional, dan dimensi spiritual dari kehidupan kita. Seksualitas dimulai diri sendiri, hubungan kita dengan diri kita sendiri dan meluas ke hubungan kita dengan orang lain. Hubungan kita dengan diri kita sendiri termasuk bagaimana kita merasakan tentang diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk seksual, sebagai laki-laki dan perempuan, dan bagaimana kita merasa tentang tubuh kita dan bagaimana kita merasakan aktivitas dan perilaku seksual. Hubungan kita dengan orang lain mungkin termasuk persahabatan, keintiman emosional, cinta, dan/atau kegiatan seksual. Hal menarik tentang seks adalah bagaimana Anda mendefinisikannya, sebagai individu, berdasarkan pengalaman dan perasaan. Ketika kebanyakan orang mengatakan mereka telah bercinta atau berbicara tentang seks berarti mereka senggama, tapi bagi banyak orang, bukan disitu masalah seksualitas.

2.2 Perkembangan Seksualitas Kata sex sering berkonotasi negatif sebagai sesuatu yang kotor, jorok, sesuatu yang tidak pantas dibicarakan, mengerikan dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena : 1. Seks selalu dikonotasikan dengan hubungan kelamin. 2. Dianggap tabu sehingga tidak boleh didiskusikan secara bebas sehingga konsep seks yang benar tidak tersampaikan. 3. Seks dianggap sebagai konsumsi orang dewasa saja sedangkan remaja atau siapapun yang belum menikah tidak boleh membicarakanya. Padahal menurut kamus bahasa seks selalu diartikan dengan jenis kelamin, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan alat kelamin disebut dengan seksualitas. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas. Yaitu dimensi biologis,dimensi psikologis,dimensi sosial,dimensi perilaku,dan dimensi kultural, (Master, Jhonson, Kolodny 1992). Dari sudut pandang Biologis,seksualitas berkaitan dengan reproduksi, termaksud bagaimana menfungsikanya secara optimal. Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana kita menjalankan fungsi kita sebagai makhluk seksual, identitas peran jenis, dan bagaimana perasaan kita terhadap seksualitas kita. Dimensi sosial menyoroti bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia,bagaimana lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan pandangan kita mengenai seksualitas dan pada akhirnya perilaku seks kita. Dimensi perilaku menunjukan bagaimana seksualitas itu muncul dalam perilaku. Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan seksual,mulai

dari bergandengan tangan,masturbasi,sampai dengan berhubungan seksual. Dimensi kultural menunjukan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada disetiap masyarakat. Hal ini tergantung nilai moral dan adab. Seksualitas merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang rentang kehidupan, mulai dari bayi sampai dengan meninggal dunia. Secara fisik perkembangan seksualitas ditandai dengan perkembangan alat kelamin bayi pada usia 7 minggu. Reflek-reflek seksual juga telah berfungsi ketika bayi lahir. Bayi laki-laki mengalami ereksi pada menit-menit pertama ia dilahirkan. sedangkan bayi wanita banyak yang mengalami ereksi klitoral dan lubrikasi vagina dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan. organ seksual kita memiliki fungsi reproduksi untuk melanjutkan keturunan dan fungsi rekreasi yang maksudnya melalui organ seksual kita dapat merasakan kesenangan. Ketika memasuki masa puberitas remaja mengalami perubahan. Tanda-tanda umum bagi remaja yang mengalami pubertas adalah perubahan bentuk tubuh menjadi lebih berlekuk-lekuk. Keringat dan bau badan yang berlebihan,jerawat tumbuh di daerah-daerah tertentu. Secara khusus anak perempuan mengalami menstruasi pertama kali sebagai tanda siklus reproduksi telah terjadi dalam dirinya, sedangkan anak laki-laki mengalami mimpi basah. Mimpi basah bukan merupakan tanda yang pasti mulai diproduksinya sperma. Kadang kala testis sudah berfungsi walaupun anak laki-laki itu belum mengalami mimpi basah, anak laki-laki juga mengalami perubahan suara. Anak perempuan mengalami pertumbuhan satu sampai dua tahun lebih cepat dari anak laki-laki. Badan mereka menjadi lebih besar lebih dulu dari anak laki-laki, tetapi pada perkembangan selanjutnya anak laki-laki akan lebih kelihatan besar daripada anak perempuan. Abad ini,anak perempuan mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9 tahun, dan mengalami manarche pada usia 12 tahun. Anak laki-laki menunjukan perubahan tubuh pada usia sekitar 10-11 tahun,sedangkan perubahan suara terjadi sekitar 13 tahun. pertumbuhan anak-anak menjadi lebih cepat karena faktor sosioekonomi,iklim,jumlah anggota keluarga,dan gizi yang lebih baik. Perkembangan ini dipengaruhi oleh hormon seksual yang telah berfungsi yaitu testosteron untuk laki-laki dan estrogen untik perempuan. Hormon ini juga yang mengakibatkan seseorang memiliki dorongan seksual seperti ketertarikan pada orang lain,keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Hormon testosteron pada laki-laki mengakibatkan ereksi (menegangnya penis) sehingga ia menyadari sensasi seksual dan lebih sensitif terhadap stimulasi seksual dan mengaktifkan dorongan seks. Pada perempuan,hormon estrogen meningkaatkan dorongan seksual pada masa subur dan mengatur ovulasi (pematangan sel telur) dan memerintahkan rahim untuk menebalkan dinding luarnya (endometrium). Sperma akan terus di produksi sampai kurun waktu yang tidak terbatas. Kesuburan laki-laki di pengaruhi oleh pola hidup,seperti gizi dan olahraga. Tidak diketahui batasan kapan laki-laki berhenti kemampuanya untuk membuahi. Pada perempuan ada batasan masa subur yaitu ketika perempuan tidak lagi mengalami menstruasi,disebut dengan monopause.

2.3 Seksualitas dan Proses Keperawatan


Pengkajian katagori : - klien menerima pelayanan kesehatan untuk kehamilan, dll, atau PMS - klien yang sakit atau dalam mendapat terapi yang kemungkinan dapat mempengaruhi

fungsi seksualnya - klien yang secara jelas mempunyai masalah seksual Pengkajian seksual mencakup: 1. Riwayat Kesehatan Seksual - pertanyaan masa lalu atau tidak mengetahui apakah klien mempunyai masalah kekhawatiran seksual. 2. Pengkajian Fisik - inspeksi dan palpasi 3. Identfkasi klien yang beresiko Misalnya : - adanya gangguan struktur atau fungsi tubuh akibat trauma, dll - riwayat pnganiayaan seksual. - kondisi yang tidak menyenangkan - terapi medikasi spesifik yang dapat menyenangkan masalah seksual. - gangguan aktivitas fisik sementara maupun permanen - konflik nilai-nilai antara kepercayaan pribadi dengan aturan religi Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan (b.d) - ketakutan kehamilan - efek antihipertensi - depresi perpisahan dengan perceraian 2. Disfungsi seksual b.d - cedera medulla spinalis - penyakit kronis - nyeri - ansietas mengenai penempatan di RS 3. Gangguan Citra tubuh b.d - efek masektomi - disfungsi seksual - perubahan pasca persalinan 4. Ganguan harga diri b.d - kerentanan yang dirasakan setelah mengalami serangan infrak miokardium - pola penganiayan ketika masih kecil

Perencanaan tujuan yang dicapai mencakup : - mempertahankan, memperbaiki, atau meningkatkan kesehatan seksual - meningkatkan pengtahuan seksualitas dan kesehatan - mencegah PMS - mecegah kehamilan yang tidak diinginkan - meningkatkan kepuasan terhadap tingkat fungsi seksual

- memperbaiki konsep seksual diri Implementasi . Proses kesehatan seksual . perawat : keterampilan komuniksi yang baik . Topik tentang penyuluhan tergantung karakteristik dan faktor yang berhubungn . Rujukan mungkin diperlukan

Evaluasi . Evaluasi tujuan yang telah ditentukan dalam perencanaan . Klien, pasangan perawat mungkin harus mengubah harapan atau menetapkan jangka waktu yang lebih sesuai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan . Komunikasi terbuka dan harga diri yang positif dalam artian penting.

2.4 Proses Perkembangan Kesadaran Diri terhadap Seksualitas

Tingkat kesadaran diri perawat terhadap seksualitas mempunyai dampak langsung pada kemampuannya melakukan intervensi keperawatan, menurut Stuart & amp; Sundeen (1995), empat tahap proses kesadaran diri meliputi :

1. Tahap Ketidaksesuaian Kognitif.dapat diatasi dengan :


Menghindari tanggung jawab profesional dan tetap berpegang pada keyakinan pribadi Memeriksa fakta bahwa seksualitas merupakan bagian integral dari keadaan manusia

2. Tahap Ansietas

Perawat mengalami ansietas, rasa takut dan syok Perawat menyadari bahwa semua orang mengalami ketidakpastian, merasa tidak aman, bertanya-tanya dan bermasalah yang berkaitan dengan seksualitas

3. Tahap Marah

Kemarahan umumnya ditujukan pada diri sendiri, klien dan masyarakat Perawat mulai mengakui bahwa masalah yang berkaitan dengan seks dan seksualitas bersifat emosional

4. Tahap Tindakan

Pada tahap terakhir ini, perasaan marah mulai berkurang

Perawat mulai menyadari bahwa menyalahkan diri sendiri atau masyarakat karena ketidaktahuannya, tidak akan membantu klien dengan masalah seksualnya

Dengan memahami ke empat tahap perkembangan kesadaran perawat tentang seksualitas, akan memudahkan dan memungkinkan perawat untuk menjalankan empat tugas utamanya sebagai perawat berkaitan dengan yang dikemukakan oleh Johnson, 1989 yaitu : 1. Berpengetahuan tentang seksualitas dan norma masyarakat 2. Menggunakan pengetahuan tersebut untuk memahami perbedaan antara perilaku dan sikap orang lain dengan diri sendiri sebagai akibat dari pengaruh sosial budaya 3. Menggunakan pemahaman ini untuk membantu adaptasi klien dan keadaan sehat yang optimal 4. Menyadari dan merasa nyaman dengan seksualitas diri sendiri

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas

1. Pertimbangan Perkembangan

Proses perkembangan manusia mempengaruhi aspek psikososial, emosional dan biologik kehidupan yang selanjutnya akan mempengaruhi seksualitas individu Hanya aspek seksualitas yang telah dibedakan sejak fase konsepsi

2. Kebiasaan Hidup Sehat dan Kondisi Kesehatan


Tubuh, jiwa dan emosi yang sehat merupakan persyaratan utama untuk dapat mencapai kepuasan seksual Trauma atau stress dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan kegiatan atau fungsi kehidupan sehari-hari yang tentunya juga mempengaruhi ekspresi seksualitasnya, termasuk penyakit Kebiasaan tidur, istirahat, gizi yang adekuat dan pandangan hidup yang positif mengkontribusi pada kehidupan seksual yang membahagiakan

3. Peran dan Hubungan


Kualitas hubungan seseorang dengan pasangan hidupnya sangat mempengaruhi kualitas hubungan seksualnya Cinta dan rasa percaya merupakan kunci utama yang memfasilitasi rasa nyaman seseorang terhadap seksualitas dan hubungan seksualnya dengan seseorang yang dicintai dan dipercayainya Pengalaman dalam berhubungan seksual seringkali ditentukan oleg dengan siapa individu tersebut berhubungan seksual

4. Konsep Diri

Pandangan individu terhadap dirinya sendiri mempunyai dampak langsung terhadap seksualitas

5. Budaya, Nilai dan Keyakinan


Faktor budaya, termasuk pandangan masyarakat tentang seksualitas dapat mempengaruhi individu Tiap budaya mempunyai norma-norma tertentu tentang identitas dan perilaku seksual Budaya turut menentukan lama hubungan seksual, cara stimulasi seksual dan hal lain terkait dengan kegiatan seksual

6. Agama

Pandangan agama tertenmtu yang diajarkan, ternyata berpengaruh terhadap ekspresi seksualitas seseorang Berbagai bentuk ekspresi seksual yang diluar kebiasaan, dianggap tidak wajar Konsep tentang keperawanan dapat diartikan sebagai kesucian dan kegiatan seksual dianggap dosa, untuk agama tertentu

7. Etik

Seksualitas yang sehat menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) tergantung pada terbebasnya individu dari rasa berssalah dan ansietas Apa yang diyakini salah oleh seseorang, bisa saja wajar bagi orang lain

2.6 Penyimpangan Perilaku Seksual

1. Transeksualisme

Rasa tidak nyaman yang menetap dan adanya ketidakwajaran seks dengan preokupasi yang menetap (sedikitnya untuk 2 tahun) dengan menyisihkan karakteristik seks primer dan sekunder dan memperoleh karakteristik lawan jenis

2. Gangguan identitas jender pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa

Tekanan yang kuat dan menetap mengenai status sebagai laki-laki atau perempuan dengan keinginan yang kuat untuk berjenis kelamin lawan seks dan penanggalan struktur anatomis individu

3. Pedofilia

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain yang melibatkan seorang anak atau lebih yang berusia 13 tahun kebawah

4. Eksibisionisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain dengan memamerkan genitalnya kepada orang asing/orang yang belum dikenal

5. Sadisme Seksual

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain yang menimbulkan kesakitan yang nyata atau stimulasi psikologis dan penderitaan fisik

6. Masokisme Seksual

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan ,fantasi atau rangsangan lain yang melibatkan penghinaan, pemukulan, pengikatan atau hal-hal lain yang sengaja dilakukan untuk menderita

7. Voyeurisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsunag selama 6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain yang melibatkan pengamatan terhadap orang-orang yang telanjang, sedang menanggalkan pakaian atau sedang melakukan kegiatan seksual tanpa diketahui mereka

8. Fetisisme

Terjadi hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantsi atau rangsangan lain dengan menggunakan objek mati

9. Fetisisme Transvestik

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selam 6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain dengan menggunakan pakaian orang lain

10. Frotterurisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berakhir 6 bulan antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau rangsangan lain meraba tanpa persetujuam pihak lain

11. Gangguan keinginan Seksual Hipoaktif

Defisit yang menetap/berulang atau tidak terdapatnya fantasi seksual dan keinginan untuk melakukan kegiatan seksual

12. Gangguan Keengganan Seksual

Keengganan yang berlebihan dan menetap dan menghindari semua atau hampir semua kontak dengan pasangan seksual

13. Gangguan Rangsangan Seksual

Kegagalan yang menetap dan sebagian untuk mencapai atau mempertahankan respons fisiologis dari kegiatan seksual atau hilangnya kepuasan seksual selama kegiatan seksual dilakuak

14. Hambatan Orgasme

Keterlambatan yang menetap atau tidak adanya orgasme yang menyertai pada saat fase puncak hubungan seksual, walaupun menurut tenaga profesional terhadap intensitas, lama dan fokus yang sesuai dengan usia individu

2.7 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Penyimpangan Seksual

Pengkajian

Berikut ini pedoman wawancara yang baik dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan aspek psikoseksual : 1. Menggunakan pendekatan yang jujur dan berdasarkan fakta yang menyadari bahwa klien sedang mempunyai pertanyaan atau masalah seksual 2. Mempertahankan kontak mata dan duduk dekat klien 3. Memberikan waktu yang memadai untuk membahas masalah seksual, jangan terburu-buru 4. Menggunakan pertanyaan yang terbuka, umum dan luas untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, persepsi dan dampak penyakit berkaitan dengan seksualitas 5. Jangan mendesak klien untuk membicarakan mengenai seksualitas, biarkan terbuka untuk dibicarakan pada waktu yang akan datang 6. Masalah citra diri, kegiatan hidup sehari-hari dan fungsi sebelum sakit dapat dipakai untuk mulai membahas masalah seksual\ 7. Amati klien selama interaksi, dapat memberikan informasi tentang masalah ap yang dibahs, bigitu pula masalah apa yang dihindari klien 8. Minta klien untuk mengklarifikasi komunikasi verbal dan nonverbal yang belum jelas 9. Berinisiatif untuk membahas masalah seksual berarti menghargai kjlien sebagai makhluk seksual, memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang masalah seksual. Perlu dikaji berbagai mekanisme koping yang mungkin digunakan klien untuk mengekspresikan masalah seksualnya, antara lain : 1. Fantasi, mungkin digunakan untuk meningkatkan kepuasan sekasual 2. Denial, mungkin digunakan untuk tidak mengakui adanya konflik atau ketidakpuasan seksual 3. Rasionalisasi, mungkin digunakan untuk memperoleh pembenaran atau penerimaan tentang motif, perilaku, perasaan dan dorongan seksual 4. Menarik Diri, mungkin dilakukan untuk mengatasi perasaan lemah, perasaan ambivalensi terhadap hubungan intim yang belum terselesaikan secara tuntas.

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi tubuh, penganiayaan fisik (seksual), depresi.

Batasan Karakteristik :

Tidak adanya hasrat untuk aktivitas seksual Perasaan jijik, ansietas, panik sebagai respons terhadap kontak genital Tidak adanya pelumasan atau sensasi subjektif dari rangsangan seksual selama aktivitas seksual Kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis selama aktivitas seksual Ketidakmampuan untuk mencapai orgasme atau ejakulasi Ejakulasi prematur Nyeri genital selama koitus Kontriksi vagina yang mencegah penetrasi penis

Tujuan Jangka Pendek :


Pasien akan mengidentifikasi stresor yang berperan dalam penurunan fungsi seksual dalam 1 minggu Pasien akan mendiskusikan patofisiologi proses penyakitnya yang menimbulkan disfungsi seksual dalam 1 minggu Untuk pasien dengan disfungsi permanen karenan proses penyakit : pasien akan mengatakan keinginan untuk mencari bantuan profesional dari seorang terapis seks supaya belajar alternatif cara untuk mencapai kepuasan seksual dengan pasangannya dalam dimensi waktu ditetapkan sesuai individu

Tujuan Jangka Panjang :

Pasien akan mendapatkan kembali aktivitas seksual pada tingkat yang memuaskan untuk dirinya dan pasangannya (dimensi waktu ditentukan oleh situasi individu)

Intervensi :

Kaji riwayat seksual dan tingkat kepuasan sebelumnya dalam hubungan seksual Kaji persepsi pasien terhadap masalah Bantu pasien menetapkan dimensi waktu yang berhubungan dengan awitan masalah dan diskusikan apa yang terjadi dalam situasi kehidupannya pada waktu itu Kaji alam perasaan dan tingkat energi pasien Tinjau aturan pengobatan, observasi efek samping Anjurkan pasien untuk mendiskusikan proses penyakit yang mungkin menambah disfungsi seksual Dorong pasien untuk menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan seksual dan fungsi yang mungkin menyusahkan dirinya

b. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan pilihan sksual yang berbeda, penyesuaian diri terhadap seksual terlambat.

Batasan Karakteristik :

Laporan adanya kesukaran, pembatasan atau perubahan dalam perilaku atau aktivitas seksual Laporan bahwa getaran seksual hanya dapat dicapai melalui praktik yang berbeda Hasrat untuk mengalami hubungan seksual yang memuaskan dengan individu lain tanpa butuh getaran melalui praktik yang berbeda

Tujuan Jangka Pendek :


Pasien akan mengatakan aspek-aspek seksualitas yang ingin diubah Pasien dan pasangannya akan saling berkomunikasi tentang cara-cara dimana masingmasing meyakini hubungan seksual mereka dapat diperbaiki

Tujuan Jangka Panjang :


Pasien akan memperlihatkan kepuasan dengan pola seksualitasnya sendiri Pasien dan pasangannya akan memperlihatkan kepuasan dengan hubungan seksualnya

Intervensi :

Ambil riwayat seksual, perhatikan ekspresi area ketidakpuasan pasien terhadap pola seksual Kaji area-area stress dalam kehidupan pasien dan periksa hubungan dengan pasangan seksualnya Catat faktor-faktor budaya, sosial, etnik dan religius yang mungkin menambah konflik yang berkenaan dengan praktik seksual yang berbeda Terima dan jangan menghakimi Bantu therapy dengan perencanaan modifikasi perilaku untuk membantu pasien yang berhasrat untuk menurunkan perilaku-perilaku seksual yang berbeda Jika perubahan pola seksualitas berhubungan dengan penyakit atau pengobatan medis, berikan informasi untuk pasien dan pasangannya berkenaan dengan hubungan antara penyakit dan perubahan seksual

Hasil Pasien Yang Diharapkan / Kriteria Pulang 1. Pasien mampu menghubungkan faktor-faktor fisik atau psikososial yang mengganggu fungsi seksual 2. Pasien mampu berkomunikasi dengan pasangannya tentang hubungan seksual mereka tanpa merasa tidak nyaman 3. Pasien dan pasangannya mengatakan keinginan dan hasrat untuk mencari bantuan dari terapi seks yang professional 4. Pasien mengatakan kembali bahwa aktivitas seksualnya ada pada tahap yang memuaskan dirinya dan pasangannya 5. Pasien dan pasangannya mengatakan modifilkasi dalam aktivitas seksual dalam berespon pada keterbatasan karena penyakit atau tindakan medis

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Seksualitas merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang rentang kehidupan, mulai dari bayi sampai dengan meninggal dunia. Secara fisik perkembangan seksualitas ditandai dengan perkembangan alat kelamin bayi pada usia 7 minggu. Reflek-reflek seksual juga telah berfungsi ketika bayi lahir. Bayi laki-laki mengalami ereksi pada menit-menit pertama ia dilahirkan. sedangkan bayi wanita banyak yang mengalami ereksi klitoral dan lubrikasi vagina dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan. organ seksual kita memiliki fungsi reproduksi untuk melanjutkan keturunan dan fungsi rekreasi yang maksudnya melalui organ seksual kita dapat merasakan kesenangan.

3.2 Saran Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan yang bersifat kontruktif sangat saya butuhkan untuk pembuatan makalh kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

www.geocities.com ; www.scribd.com www.slideshare.com ; www.books.google.com www.bkkn.com ; www.wikipedia.com

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 RUMUSAN MASALAH 1.3 TUJUAN BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN SEKSUALITAS 2.2 PERKEMBANGAN SEKSUALITAS 2.3 SEKSUALITAS DAN PROSES KEPERAWATAN 2.4 PROSES PERKEMBANGAN KESADARAN DIRI TERHADAP SEKSUALITAS 2.5 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKSUALITAS 2.6 PENYIMPANGAN PERILAKU SEKSUAL 2.7 ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PENYIMPANGAN SEKSUAL

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

You might also like