You are on page 1of 5

1

1. Ontologi Dalam Arsitektur Tradisional Bali Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang suatu yang berada (Susanto, 2011 : 90). Banyak aliran terdapat dalam cabang filsafat tersebut, salah satunya Spiritualisme yang berpandangan bahwa hakikat keberadaan berasal dari roh, semua yang bersifat materi hanyalah penjelmaan dari roh. Konsep dari paham tersebut mirip dengan pandangan dari orang Bali yang memandang alam secara skala dan niskala. Alam skala yang merupakan alam materi dan apa yang nampak dari panca indra, sedangkan alam niskala merupakan alam roh yang tidak nampak dan hanya bisa dipahami melalui batin dan intuisi manusia. Masyarakat Bali percaya bahwa semua makhluk berasal dari Roh Yang Maha Besar yang disebut Ida Sang Hyang Widhi. Roh tersebutlah yang menciptakan makhluk hidup di dunia, dan pada setiap makhluk hidup tersebut terdapat bagian roh yang sangat kecil yang berasal dari Ida Sang Hyang Widhi yang disebut Jiwatman. Dalam kosmologi ruang masyarakat Bali, terdapat konsep Tri Bhuwana atau Tri Loka dimana konsep tersebut merupakan cerminan dari kepercayaan diatas. Tri Loka terdiri dari : Alam bawah tempat hidup semua makhluk (bhur loka); Alam tengah sebagai tempat roh suci (bwah loka); Alam atas merupakan alam sorga (swah loka). Alam atas dan alam tengah sering disebut Bhuwana Agung (makrokosmos) dan alam bawah disebut Bhuwana Alit (mikrokosmos). Arsitektur dalam masyarakat Bali dipandang sebagai wujud miniatur alam (makrokosmos kedalam mikrokosmos). Dalam arsitektur tradisional Bali, terdapat bangunan yang diperuntukkan bagi manusia secara materi dan diperuntukkan bagi roh secara spiritual. Wujud bangunan sebagai cerminan makrokosmos tampak pada kontemplasi peletakan tata ruang bangunan yang berdasarkan ulu-teben yang mengacu pada gunung-laut dan terbit-terbenamnya matahari sehingga hal tersebut menciptakan pola tata ruang yang disebut Sanga Mandala. Pemahaman bahwa hakikat keberadaan di alam berasal dari bentuk roh yang terdapat di alam atas dan alam tengah (makrokosmos) yang tercermin kedalam kehidupan di alam bawah (mikrokosmos) menciptakan sebuah pengetahuan tentang arsitektur yang disebut Asta Kosala Kosali (Kosala =hidup, materi, yang tampak ; Kosali = mati, roh, yang tidak nampak) Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah keberadaan yang berasal dari roh mampu memberikan pengaruh terhadap pandangan masyarakat Bali baik dalam kosmologi ruang maupun arsitektur. Hal ini tercermin dalam konsep Tri Loka dan Sanga Mandala (makrokosmos) yang aplikatif terhadap arsitektur tradisional Bali (mikrokosmos).

2. Epistemologi Dalam Arsitektur Tradisional Bali Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan (Susanto, 2011 : 102). Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengaan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan sebagainya (Semiawan, 2005 : 157). Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain memiliki metode tersendiri dalam teori pengetahuan, antara lain : metode induktif, metode deduktif, metode kontemplatif, metode positivisme, dan metode dialektis. Ada beberapa syarat dalam epistemologi bahwa sesuatu ilmu dapat diakui, yaitu : adanya dasar pembenaran, metode pendekatan, dan sifat sistematis. Dari pemaparan diatas, dapat dipahami bahwa arsitektur tradisional Bali agar layak digolongkan sebagai pengetahuan harus memiliki beberapa kriteria, yaitu : dasar pembenaran, metode pendekatan, dan sifat yang sistematis. Dasar pembenaran berasal dari pemahaman hasil tangkapan empiris dan juga pengolahan secara rasional. Dalam konteks arsitektur tradisional Bali, hasil tangkapan empiris adalah bentuk-bentuk dan unsur-unsur alam (makrokosmos) yang terdapat juga pada tubuh manusia (mikrokosmos). Dalam kosmologi masyarakat Bali, alam terbagi menjadi 3, yaitu : Bhur Loka (alam bawah), Bwah Loka (alam tengah), dan Swah Loka (alam atas). Aplikasi pembagian alam makrokosmos tersebut diadaptasikan kedalam tubuh manusia yang merupakan wujud mikrokosmos menjadi konsep Tri Angga, yang terdiri dari : Kepala (Swah Loka), Badan (Bwah Loka), dan Kaki (Bhur Loka). Hasil tangkapan inderawi ini kemudian diolah secara rasional menjadi sebuah pengetahuan tentang tata cara pembuatan arsitektur yang disebut Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali memiliki sistem dan pedoman dalam tata cara pembuatan ukuran yang mengacu pada konsep Tri Angga yang disebut sistem gegulak. Sistem gegulak menggunakan ukuran tubuh sebagai sebuah sistem pembuatan ukuran rumah tinggal dengan tujuan ukuran rumah mampu memberi kenyamanan beraktivitas bagi civitas. Dalam ilmu pengetahuan barat, ilmu pengukuran yang menggunakan ukuran tubuh manusia disebut dengan antropometri. Ilmu tersebut berkaitan dengan norma kerja yang memiliki tujuan memberi kenyamanan bagi civitas atau juga disebut ergonomi. Ukuran gegulak tersebut menggunakan ukuran tubuh anggota keluarga yang paling tua sebagai patokannya. Beberapa nama ukuran tersebut antara lain : anguli madu, satu rai, depa alit, depa madya, depa, agung, tapak ngandang, alengkat, acengkang, dan yang lainnya. Sistem pengaturan pola tata ruang

perumahan menggunakan pedoman ulu-teben yang berpusat pada konsep Tri Mandala. Konsep Tri Mandala membagi ruang menjadi 3 bagian yaitu : Utama-Madya-Nista yang berorientasi pada arah gunung-laut dan terbit-terbenam matahari. Persilangan Tri Mandala yang berorientasi pada arah gunung-laut dan terbit-terbenam matahari, melahirkan konsep ruang Sanga Mandala (9 struktur ruang) (Raharja, 2010 : 15). Dari pemaparan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : Asta Kosala Kosali menggunakan metode deduktif untuk menemukan teknik pengukuran yang disebut gegulak. Metode deduktif digunakan sebagai cara pengerucutan kosmologi alam dari Bhuana Agung (makrokosmos) menjadi ukuran-ukuran yang terdapat pada tubuh manusia sebagai Bhuana Alit (mikrokosmos). Syarat-syarat seperti dasar pembenaran, metode pendekatan, dan sifat sistematis terdapat dalam Asta Kosala Kosali sehingga layak digolongkan sebagai sebuah pengetahuan. 3. Aksiologi Dalam Arsitektur Tradisional Bali Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 2000:234). Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan bertaraf tinggi) (Susanto, 2011:116). Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu meliputi etika dan estetika. Dari penjelasan aksiologi diatas, maka arah pembahasaan mengacu pada nilai etika dan nilai estetika pada bangunan Arsitektur Tradisional Bali yang terdapat di masa sekarang. Perkembangan masyarakat dan dinamika alam mempengaruhi segala macam bentuk dari kebudayaan. Tinjauan Arsitektur Tradisional Bali di masa sekarang dipilih menjadi objek pembahasan karena adanya pergeseran nilai-nilai etika dan estetika dibandingkan dengan masa lampau. Nilai-nilai yang terkandung dalam pembuatan Arsitektur Tradisional Bali tergerus oleh kebudayaan global, dan dampaknya mengakibatkan nilai-nilai terdahulu ditinggalkan karena faktor kepraktisan. Faktor kepraktisan yang dimaksud diatas adalah dampak dari budaya serba cepat yang di dalamnya terdapat efisiensi waktu, materi, dan tenaga yang mulai menggerayangi budaya Bali,

begitu pula pada konteks arsitektur. Ada beberapa fenomena terkait nilai etika dan estetika dalam konteks Arsitektur Tradisional Bali. Pertama, arsitektur yang berpatokan pada ukuran manusia (antroposentris) dipandang tidak praktis lagi, mengingat anggota keluarga yang tertua yang menjadi patokan ukuran membuat ketidaknyamanan dari segi ukuran tubuh keluarga yang lain yang ikut beraktivitas di dalamnya. Belum lagi faktor materi dan waktu sebagai tolak ukur pada budaya modern sekarang. Pada akhirnya bentuk diseragamkan dengan patokan ukuran standar yang ada dan menggunakan sedikit sekali perhitungan gegulak. Tujuannya untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya dalam pembuatan bangunan. Hal ini menggerus nilai pengetahuan yang diwariskan, sehingga nilai-nilai dalam arsitektur tradisional masyarakat Bali mengambang tanpa identitas yang jelas. Prinsip gegulak mengajarkan penyatuan unsur mikrokosmos dan makrokosmos sehingga terciptanya keselarasan alam. Pada etikanya, kesalahan dalam perhitungan dipercaya akan membuat civitasnya menjadi sakit dan kesusahan sehingga timbul beberapa istilah terkait hal tersebut seperti: mantri asasaran, kala ngamah awak, nemu bhuta, dsb. Fenomena penggunaan ukuran standar tersebut merupakan akibat dari budaya serba cepat yang mulai masuk kedalam budaya Bali, sehingga secara etika menyalahi nilai-nilai yang terdapat dalam perhitungan Arsitektur Bali Tradisional. Kedua, bentuk bangunan mulai bertambah sesuai fungsi dan guna lahan. Setidaknya ada tiga faktor yang terkait dalam fenomena ini yang menjadi sebab perubahan bentuk bangunan tersebut, yaitu: faktor ekonomi, etika, dan estetika. Pola tata ruang tradisional Bali yang menggunakan bentuk Sanga Mandala sebagai bentuk orientasi ulu-teben, dan didalamnya terdapat pembagian seperti : Parahyangan, Bale Daja/Bale Meten, Bale Dangin/Bale Semanggen, Pewaregan, Bale Loji, dan pusatnya ditengah area kosong yang disebut Natah. Pada masa sekarang bentuk arsitektur Bali mengalami perubahan pada penambahan bangunan sebagai bentuk yang bertujuan sebagai fungsi guna. Beberapa contoh dari fenomena tersebut antara lain : Pertama, adanya beberapa rumah yang membangun di bagian tengah dari pola tata ruang Bali yang seharusnya berfungsi sebagai titik netral. Hal ini bertentangan dengan etika dalam konsep Catuspata yang menerangkan titik dari ujung akhir tiap arah mata angin yang berpusat ditengah dan merupakan sebuah titik yang sangat berbahaya. Titik tengah harus dinetralisasi tanpa mengisinya dengan bangunan dan harus diupacarai. Dalam pola tata ruang arsitektur modern, area kosong atau yang disebut natah tersebut merupakan jalur sirkulasi utama civitas pada pola tata ruang perumahan Bali, sehingga tidak boleh diisi dengan bangunan ataupun objek yang dapat menghambat jalur sirkulasi civitas.

Pengisian area tengah tersebut sering dimaksudkan sebagai efisiensi lahan berkaitan dengan penambahan fungsi guna ekonomi seperti warung di depan rumah atau faktor yang lainnya seperti penambahan garasi. Contoh lainnya adalah pembangunan rumah bertingkat di salah satu desa di Bali yakni pada Desa Bayung Gede. Pada desa tersebut terdapat rumah dengan garasi yang ditingkat atasnya terdapat bangunan lumbung. Dilihat dari nilai etika dan estetika bangunan tradisional Bali, hal tersebut sudah melanggar pakem yang ada yang seolah-olah mengabaikan perhitungan tradisional. Sungguh ironis melihat hal tersebut, apalagi mengingat fenomena tersebut berada di daerah yang merupakan salah satu desa yang banyak memiliki warisan masyarakat Bali Aga. Dari pemaparan diatas, penulis hanya membatasi pada fenomena yang berdasar pada nilai etika dan estetika pada kajian aksiologi yang terdapat dalam filsafat ilmu. Arsitektur Tradisional Bali dikaji berdasarkan pergeseran nilai-nilai tersebut. Sedangkan hal diluar nilai-nilai tersebut tidak dibahas dalam penulisan ini. Semoga dengan pemaparan yang singkat tersebut masyarakat Bali mampu menyikapi nilai-nilai lokal dalam arsitektur agar tidak kehilangan jati dirinya dan ditelan oleh budaya global.

You might also like