You are on page 1of 45

BAB I Pendahuluan Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan

oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Pada makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju. 1,2 Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ target utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E dan G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E dan G adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B, D dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.1,3,4 Diagnosis Banding Dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati, harus diingat adanya virus lain yang memberikan gejala hepatitis sebagai salah satu komponen dari gejala sistemik. Virus herpes simpleks (HSV), virus sitomegalo (CMV), virus Epstein-Barr, varicella, rubella, adenovirus, enterovirus, arbovirus dan HIV dapat memberi gejala hepatitis walaupun bukan merupakan virus hepatotropik. Selain itu usia penderita memegang peranan penting dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati. Pada usia neonatus, ikterus fisiologis, neonatal hepatitis, penyakit hemolitik dan sepsis memberikan gejala menyerupai hepatitis. Sedangkan kelainan metabolik seperti fruktosemia, tirosinemia, defisiensi alfa-1-antitripsin maupun kelainan anatomis seperti atresia biliaris dan kista duktus koledukus, memberikan gejala klinis hepatitis. Pada bayi dan anak, infeksi malaria, leptospirosis, bruselosis, infeksi berat pada keganasan, batu empedu dan sindroma hemolitik-uremik juga memberikan gejala hepatitis. Sindroma Reye dapat menyerupai gejala gagal hati fulminan. Obat-obatan seperti

asetaminofen, isoniazid, asam valproat dan halotan juga dapat memberikan gejala hepatitis.
1,3,4

HEPATITIS A Pendahuluan Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania dan Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A (HAV) dalam bentuk subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+). 1,4,7 Pada anak yang terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis (simtomatis), sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi 80% penderita simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat terjadi bentuk yang berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune trigger dan manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi pada penderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleura dan perikardial, gangguan neurologis, vaskulitis dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul karena adanya kompleks imun yang beredar dalam sirlukasi.1,2,3,4 Sejarah Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatitis A. Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang menular. Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus epidemi jaundice di Amerika Selatan. Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidemiologi untuk tujuan pencegahan. Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron. Virologi HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili Picornavirus. Genom terdiri atas 5'NTR-P1-P2-P3-3'NTR. VHA bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4 genotipe tapi hanya 1serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme imun yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis atau persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-infeksi.
2

Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada dimembran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses. 5,6,7,8 Epidemiologi Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia Tengah dan Asia Tenggara, paparan HAV hampir mencapai 100% pada naka berusia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung dan Makassar berkisar antara 35%-45% pada usia 5 tahun dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Penelitian seroprevalensi di Yogyakarta tahun 1997 menunjukkan 30-65% dari umur 4 tahun sampai 37 tahun (juffrie et al). Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus Universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedagang kaki lima yang berada disekitar kampus (harikus). Di negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang. Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua, diikuti konsekuensi timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan infeksi pada dewasa berkurang tetapi kasus hepatitis A akut yang manifest maupun berat dan kadang-kadang fulminan lebih sering dijumpai.9,10 Patogenesis HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit dan melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi ini tidak terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV diikat oleh imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada hepatosit. Selain Ig A, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinuosid, kanalikuli masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis maupun laboratoris. Makanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan adanya
3

suatu mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV dengan melibatkan proses netralisasi oleh Ig M dan Ig G, hambatan replikasi oleh interferon, dan apoptosis oleh sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/CTL).2,11,12,13 Gejala klinis Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali dan jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu : 1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari). 2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya < 39C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan. 3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sklera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat. 4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu setelah onset. Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, terapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia persisten maupun penyakit kronis.3,6,11,12, 1. Hepatitis A klasik Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG anti-HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi dan dapat memisahkan IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun untuk mencegah terjadinya relaps. 2. Hepatitis A relaps Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
4

3. Hepatitis A kolestatik Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal dan jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi. 4. Hepatitis A protracted Pada bentuk protracted (8,5%), clearence dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis dan lobular hepatitis. 5. Hepatitis A fulminan Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian. Angka kematian mencapai 85% dari semua kasus.13 Ditandai dengan memberatnya ikterus, enselopati dan pemanjangan waktu protrombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) beresiko tinggi untuk terjadinya bentuk fulminan ini. Diagnosis Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade, memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan biasanya hanya dilakukan untuk penelitian. Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai 5000 U/I, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis hepatitis A. 10 Pengobatan Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita

memerlukan rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan peroral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati dan enselopati. 4,11 Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah : (1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) unsur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi enselopati lebih dari 7 hari.9,10 Pencegahan Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatits A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan resiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan umum meliputi nasihat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene makananminuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG) dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).7,8 Imunisasasi pasif Indikasi pemberian imunisasi pasif : 1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita. 2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau keluarganya menderita hepatitis A. 3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A. 4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun. Dosis 0,02 ml/KgBB untuk perlindungan selama 3 bulan dan 0,06 ml/KgBB untuk perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenesitas vaksin. Imunogenesitas vaksin HAV tidak terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama. 7,11
6

Tabel 16.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan. (Sumber:Sayder) Kejadian Lama perlindungan dalam bulan Dosisi IG (ml/KgBB) 0.02 Sebelum paparan Jangka pendek (1-2) Jangka panjang (3-5) 0.06 Saat paparan 0.02 Sesudah paparan Imunisasi aktif Vaksin yang beredar saat ini adalah HavrixTM (Smith Kline Beecham) dan VaqtaTM (Merck), AvaximeTM (Avantis Pasteur). Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. HavrixTM mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.7,10 Tabel 16.2. Dosis HavrixTM yang dianjurkan Umur anak Dosis Volume (ml) (Tahun) (EL.U) 720 0.5 2-18 1440 1.0 >18

Jumlah dosis 2 2

Waktu dalam bln 6-12 6-12

Efikasi dan imunogenesitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-rata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l pada HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi. Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma Guillain-Barre, transverse myelitis dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi. Indikasi imunisasi aktif : 1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi. 2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak. 3. Homoseksual.
7

4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang mengidap hepatitis C kronis. 5. Peneliti HAV. 6. Penderita dengan penyakit hati kronis dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi hati karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat. 7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX). Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat. Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat menyuntikannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.7 Hepatitis B Pendahuluan Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia yang sekarang telah diketahui sebagai HbsAG. Virologi Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg) yang
8

membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan terutama hati. HbeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya infeksi.1,2,3,4,5,6,7 Epidemiologi WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HbsAg 0,2%0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HbsAg 2%-7 dan anti-HBs 20%-55%) dan prevalensi tinggi (HbsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara skandinavia prevalensi HbsAg bervariasi antara 0,1%0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7 tahun dan 80% pada umur 15 tahun. Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%.8,9,10 Patogenesis Di Indonesia, jalur penularan infeksi HBV (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa. Bayi dari ibu dengan HbsAg positif beresiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HbeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keadaan HbsAg positif pada bayi, antara lain : 1. Titer HBsAg ibu 2. Status HbeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HbeAg negatif karier memiliki resiko sebesar 20%) 3. DNA HBV positif pada serum ibu

4. HbsAg positif pada darah plasenta 5. Saudara kandung dengan HbsAg positif Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas selular terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HbcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HbsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulus membranosa, polimialgia, vaskulitis dan sindroma Guillain-Barre.11,12 Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis; sehingga HbcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadiam infeksi kronis. Infeksi HBV dibawah umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi diatas umur 3 tahun. 11,12 Gejala klinis 1. Hepatitis akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat heaptitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 67 minggu setelah infeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun dan 30% pada

10

dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak dan 80% bayi.1,2 2. Hepatitis kronis Definis hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HbsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati berlanjut. Fluktuasi kadar

aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi kronis yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setalah 4 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1 3. Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama heaptitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.1,4,5 4. Pengidap sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah : (1) Membaik (anti-Hbe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1% dan (3) mederita karsinoma hati kurang dari 1%.3,8
11

Diagnosis Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HbsAg, HbeAg dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis.3,5 Pengobatan Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan heaptitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirorsis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HbeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan. 1,10 1. Interferon alfa Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HbeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.11,12 Efek samping dengan interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, neurologis dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan,
12

jiwa, adiksi terhadap

alkohol dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan

mual, muntah, diare, nyeri perut dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis dan sepsis. Efek neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido dan usaha bunuh diri. 2. Analog nukleosida Lamivudin, famsiklovir dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon. Dosisnya 3 mg/KgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya anti-Hbe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi anti-Hbe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh. Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 tahun dengan dosis 3 mg/KgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudin tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudin saja.11,12 HEPATITIS C Pendahuluan Virus hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian hepatitis paksa transfusi. Saat ini virus hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi virus hepatitis C sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang
13

minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah, mual, nafsu makan turun dan mialgia.1,2,3 Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for Disease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987) dan Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti-HCV, yaitu suatu uji yang sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.4,5 Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai beberapa subtipe dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis dari infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.7,8 Virologi HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili flaviviridae dan pestivirus karena organisasi genetiknya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30-60 nm dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.1,6,9,10,11 RNA HCV terdiri atas bagian-bagian : 1. 5 noncoding region 2. Gen yang mengkode core protein 3. Gen yang mengkode envelope protein 4. Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5) 5. 3 noncoding region Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya.1,2,4,8,12 Akibat dari heterogenitas tersebut adalah : 1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus. 2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat.
14

3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4. 4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis. 5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap tipe. Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1,2 dan 3 tersebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire, genotipe 5 di Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV-1a dan HCV-1b banyak ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di kedua negara tersebut. Di Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan Eropa pada umumnya yang dominan adalah subtipe 1a dan 1b. HCV group 3 dan group 1 banyak dijumpai di Skotlandia. Di Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripada subtipe yang lain diikuti subtipe 2a. Telah ditemukan subtipe baru yaitu HCV-1d yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Di Jakarta ditemukan isolat baru yang termasuk dalam subtipe 2e dan 2f serta 10a dan 11a.2,5,10 Epidemiologi 1. Prevalensi Survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. DI Amerika Serikat seroprevalensi adalah 0,2% dan untuk usia 12-18 tahun seroprevalensi sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1,3% untuk seluruh populasi; sampai usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti-HCV, insidensi hepatitis paska transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan c100-3 assay, insidensinya turun menjadi 2%-3%.11 Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti-HCV didapatkan pada mereka yang sering mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%-90%). Angka yang sedang didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang beresiko tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).5

15

2. Penularan Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi. Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan penularannya. Penularan melalui transfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisa, tertusuk jarum suntik, tatu dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah. Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan yang paling sering dijumpai pada anak. Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C.5,6 Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah. Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan darah penderita HCV, misalnbya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV dan pengguna obat bius dengan suntikan intravena. Penularan melalui hubungan seksual Diantara pasangan seksual pengidap HCV kronis yang tidak mempunyai resiko lain untuk terjadinya infeksi, rata-rata prevalensi anti HCV adalah 5% (antara 0%-15%). Ada studi yang mendapatkan hasil bahwa pasangan wanita dari pria pengidap HCV lebih banyak tertular dibanding apabila yang menderita pengidap kronis adalah wanitanya. Penularan infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual dan tidak digunakannya kondom. Diago melaporkan angka 11,4% penularan dari pasangan seksual pengidap HCV kronis. Kihara mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita pelacur yaitu 11% dibandingkan masyarakat umum. Penularan vertikal dari ibu ke bayi Penularan (transmisi) vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang tejadi daripada penularan vertikal HBV, karena titer HCV secara umum lebih rendah daripada HBV. Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam maupun operasi. Pecahnya ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor resiko terjadinya penularan HCV.2,3 Bila ibu menderita infeksi HIV bersama dengan infeksi HCV, maka kemungkinan tertular bagi bayi yang lahir akan lebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada ibu
16

yang hanya menderita infeksi HCV saja. Dihipotesiskan bahwa ibu yang mengidap infeksi HIV mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih tinggi menyebabkan mudahnya penularan secara vertikal. Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 bulan sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan secara perinatal. Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun anti HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang minum ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI. Kemungkinan adanya RNA HCV pada ASI adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage. Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi 2. Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna 3. Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral Penularan dalam anggota keluarga Yang dimaksud disini adalah adanya anggota keluarga yang menderita infeksi HCV kronis melalui penularan dengan atau tanpa hubungan seksual. Tanpa adanya faktor resiko yang lain, nilai yang didapat berkisar antara 0% sampai 11% denga harga ratarata 4%. Penularan dari penderita anak kepada saudaranya adalah rendah. Di Surabaya, Widawati mendapatkan angka penularan 2,06% pada 97 anggota keluarga dari 34 penderita hepatitis C kronis. Sedangkan Arief mendapatkan angka 0% dari 28 anggota keluarga 6 anak penderita talasemia yang menderita hepatitis C kronis. Patogenesis HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan menghambat replikasi intraselular melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya.
17

Mekanisme ini dapat menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi dari antibodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan cara infeksi langsung pada sel limfoid dan mengganggu produksi interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity) diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas I dan core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga dihubungkan dengan gangguan imunologis seperti krioglobulinemia, vaskulitis, glomerulonefritis, artritis dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.7,8 Gambaran Klinis Infeksi HCV 1. Hepatitis C akut Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa inkubasi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, nilai ALT dapat meningkat sampai 10 kali nilainormal. Antibodi terhadap HCV (Anti HCV) mungkin belum terdeteksi dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian menggunakan metode PCR dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan.1,2,4,6,7 2. Hepatitis C kronis Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan
18

penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan lainnya meningkat sekitar 3 kali nilai normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut.1,2,4,6,7 3. Sirosis hati Perkembangan dari heaptitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara 20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya progresifitas penyakit yaitu : 1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi 2. Laki-laki 3. Derajat fibrosis pada saat biopsi awal 4. Status imunologi 5. Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV 6. Infeksi genotip 7. Adanya quasi-apecies 8. Overload besi 9. Konsumsi alkohol Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai terjadinya dekompensasi. Niederau dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis hepatitis C kronis mendapatkan bahwa apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5 year survival rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati. Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala tiap 6 bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein. 4. Karsinoma hepatoselular Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya
19

karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. Diagnosis Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu : 1. Uji saring Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV dan juga pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi. 2. Uji konfirmasi Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji konfirmasi ini meliputi : a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2, RIBA-3) b. Deteksi virologis c. Biopsi hati Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat-obatan anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2 golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.9 Pemeriksaan serologis Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditunjukan untuk menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein

20

nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33 dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama, diamana generasi pertama kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi HCV. Disamping itu generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV dengan lebih cepat yaitu antara 4-6 minggu paska infeksi. Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah core tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi tetap ada pada penderita hepatitis C kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCV pada 50% penderita infeksi kronis. Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan viremia rendah. Pemeriksaan molekuler Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus dan juga dapat untuk melakukan perhitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis molekular. Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV : 1. Polymerase chain reaction (PCR) 2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBAtm) 3. Ligase chain reaction (LCR) 4. Branched DNA assay (b DNA assay) PCR, NASBA dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification. Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya kontaminasi.10 Pengobatan Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasi dari FDA adalah pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin.

21

Tabel 16.5. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan Hepatitis C Kronis Indikasi Kontraindikasi pada Kontraindikasi pada Interferon Ribavirin Peningkatan AST/LST Depresi berat Anemia (Hgb < 11 g/dl) Ditemukan HCV-RNA Dekompensasi hati Tidak tahan anemia Fibrosi portal atau Pengguna alkohol Penyakit jantung koroner inflamasi pada biopsi hati Pengguna obat-obatan Kehamilan Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi Penyakit penyerta berat Penyakit vaskular perifer Diabetes berat Gagal ginjal Hipertensi berat Gout Sumber: Farrel Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi HCV akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi tidak berskala besar, bukan penelitian multisenter dan bukan uji klinis. Dari laporan-laporan tersebut didapatkan sustained virologic response berkisar 33%-45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon pada orang dewasa. Kemungkinan penyebabnya adalah : (1) penyakit pada stadium malam, (2) tidak ada faktor yang memperberat penyakit dan (3) dosis interferon relatif lebih tinggi. Atau mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan bukan uji klinis sehingga terjadi artefak statistik. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin adalah 8,12 atau 15 mg/KgBB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang mengalami ko-infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

22

Tabel 16.6. Evaluasi pada pengobatan Hepatitis C Kronis. Pilihan terapi Obat Penjelasan Interferon tunggal Dosis dapat Interferon alfa-2a Roferon-A ditingkatkan/diperpanjang Induksi Interferon alfa-2b Intron-A Interferon alfa-n1 Wellferon,lymphoblastoid Interferon beta IFN Interferon alfacon-1 Ribavirin tunggal Infergen,consensus IFN Respon biologis dan Rebetol histologis (+), respon Kombinasi interferon and virologis (-) ribavirin Rebetron Sustained response rates Pegylated interferon alfasekitar 40%. Terapi utama 2a Symmetrel Masih diteliti, hasil lebih Amantadin;rimantadin Flumadin baik Recombinant interleukins IL-2,IL-10,IL12 Dalam penelitian Ursodeoxycholic acid Ursodil Dalam penelitian,hasil (UDCA) Actigall lebih baik Phlebotomy (TA1) Kurang baik Thymosin alpha-1 NSAIDs Hasil diperdebatkan nonsteroidal Kurang memuaskan Kurang baik 41 Sumber: farrel Pencegahan1,2,4,5 Tidak seperti HAV atau HBV, dimana imunoglobulin memainkan peranan penting dalam profilaksis primer, pada HCV belum ditemukan jenis imunoglobulin yang efektif untuk pencegahan . Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat diversitas genetik. Sehingga pencegahan dititikberatkan pada : 1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ. 2. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. 3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh. Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah : 1. Pengguna obat terlarang dengan suntikan 2. Penerima darah dan produknya 3. Penderita dialisis kronis 4. Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat 5. Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV

23

6. Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV HEPATITIS D Pendahuluan Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada tahun 1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati. Pemeriksaan serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980. Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila tidak bersamaan dengan infeksi HEV. Dahulu HDV dianggap sebagai bagian dari HBV, namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi protein penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari HBV (HBsAg) dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.1,2,3 Virologi HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HbsAg yang membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg adalah protein yang dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul 27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi dari HDV terjadi di dalam inti sel hati dengan cara yang sama seperti virus lain walaupun mekanisme transkripsi RNA-HDV belum jelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HbsAg masih belum jelas.1,3,4,5 Epidemiologi Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania dan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral. Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih
24

sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita penyakit darah dan infeksi nosokomial.6,7,8 Patogenesis Oleh karena dibungkus HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebiih berat. Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas. Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik). Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltarsi sel radang kronis pada portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak jelas.9,10,11 Gambaran klinis Gambaran klinis infeksi HDV tergantung pada mekanisme infeksi. Pada koinfeksi gejala klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun untuk menjadi hepatitis kronnis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi resiko terjadinya hepatitis hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.11,12 Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas mendadak, hematemesis dan gejala gagal hati fulminan. Terjadinya terutama di daerah lembah sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau hepatitis sentra marta.1 Diganosis Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda RIA atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode analisis Western blot. RNA HDV hepatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan cara
25

Northern blot, Hibridasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari HDV RNA.11 Pengobatan Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian interferon diteruskan sampai HbsAg hilang dari serum.12 Pencegahan Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi HDV.5,10 HEPATITIS E Pendahuluan Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik (ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun 1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis hepatitis ini secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B (HBV).1,2,3 Virologi Virus hepatitis E mempunyai berdiameter 32-34nm, berbentuk sferis dan merupakan partikel yang tidak mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500 pasangan nukleotida rantai tunggal.1,2 Epidemiologi Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 19551956 yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.4,5 Patogenesis HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis lain yaitu pembengkakan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM
26

pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.1,2,3,6 Gambaran klinis Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya tidak dapat dikenal karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah 3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk kronis.1,2,3,6,7 Diagnosis1,2,3 Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara : 1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita. 2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking assay. 3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu timbulnya gejala klinis. 4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja. Pencegahan Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV. Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk mencegah infeksi HEV.3,8 HEPATITIS G Pendahuluan Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D dan E telah dapat dibuat namun masih ada sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996 ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus

27

hepatitis G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.1,2,3 Virologi Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri atas 9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral.3 Epidemiologi HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita panyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta. Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT serum normal. Patogenesis Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas normal. Ditemukannya HGV/ virus GB-C pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.6,7,8 Gambaran klinis Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.1,2,8

28

BAB II LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama Tempat/tanggal lahir Jenis kelamin No. Rekam Medis Pendidikan Nama Ayah Pekerjaan/Pangkat Nama Ibu Pekerjaan/ pangkat Alamat Rumah : An. A : Jakarta, 7 Agustus 2007 : Laki-laki : 14.24.60 :: Tn. I : Swasta : Ny . N : IRT : Kramat Pulo RT 06/ RW 08 No. C23 Kel. Kramat Kec. Senen Jakarta-Pusat Agama Suku / Bangsa : Islam : Betawi

Masuk Rumah Sakit Tanggal : 18 Juli 2011 Datang sendiri / dikirim oleh : Rujukan PKM kelurahan Kramat

29

II. ANAMNESIS ( Alloanamnesa ) Keluhan Utama : Perut sebelah kanan nyeri dan badan serta mata kuning. Keluhan Tambahan : Demam sejak 5 hari , BAK berwarna teh, lemas dan nafsu makan berkurang. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RS.MRM karena rujukan dari PKM kelurahan Kramat dengan keluhan perut sebelah kanan nyeri dan kulit serta mata kuning. Sebelumnya pasien demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, dengan pengukuran 38C, tidak disertai batuk dan pilek. Ibu pasien mengatakan sudah memberi obat panadol namun masih tetap demam. Dua hari sebelum datang ke PKM pasien mengeluhkan kepada ibunya bahwa perut kanan bawah terasa nyeri yang kadang-kadang hilang. Pasien selalu menunjuk bagian di bawah tulang iga kanan yang terasa sakit saat ibunya bertanya. Ibu pasien mengatakan kalau nafsu makannya berkurang sejak keluhan perut bagian kanannya dan pasien terlihat lemas. Tidak ada keluhan mual dan muntah serta BAB normal. Satu hari sebelum ke PKM ibu pasien mengatakan bahwa BAK berwarna seperti teh dan ibu pasien melihat mata serta badan pasien menguning. Pasien tinggal di lingkungan yang padat. Pasien tinggal satu rumah dengan 2 orang kakak ibu pasien, dengan luas rumah sekitar 5X10 m2. Kebersihan lingkungan rumah cukup. Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Dalam lingkungan rumah atau anggota keluarga pasien tidak ada mempunyai keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat Penyakit Dahulu (yang berhubungan dengan penyakit sekarang) : Pasien belum pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga : Di keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien. Lingkungan Rumah : Anggota lain yang serumah Masalah dalam keluarga Perumahan Keadaan rumah Daerah lingkungan Sumber Air Lingkungan Sumber Air lain : orangtua, 2 kakak ibu : tidak ada : cukup padat : ventilasi kurang baik : cukup bersih : air PAM : sumur
30

Riwayat Kehamilan: Riwayat Kehamilan Perawatan antenatal Tempat lahir Ditolong oleh Cara persalinan Berat badan lahir Panjang badan lahir Usia gestasi Keadaan bayi saat lahir : G2 P2 A0 : Teratur : Tempat praktek bidan : Bidan : Spontan : 3200 gram : 50 cm : 40 minggu : Langsung menangis, gerak aktif

Kelainan bawaan (sebutkan ) : Tidak ada Anak ke 2 dari 2 anakRPD

Riwayat perkembangan 6 bulan Pertumbuhan gigi I Psikomotor 4 bulan Berdiri 10 bulan Tengkurap 12 bulan Duduk 8 bulan Bicara 1,5 tahun Baca tulis lupa Berjalan Gangguan perkembangan : disangkal

Riwayat Makanan Umur 0-2 bulan 2-4 bulan 4-6 bulan 6-8 bulan 8-10 bulan 10-12 bulan ASI / PASI Merk & Takaran ASI on demand ASI on demand ASI on demand ASI + PASI ASI + PASI ASI + PASI Buah /Biskuit Bubur susu Nasi Tim

Bubur merah Pepaya,biskuit Bubur merah Nasi tim saring Pepaya,biskuit Bubur merah Nasi tim saring Pepaya,biskuit Nasi tim saring

31

Di atas > 1 tahun: Jenis Nasi Sayur Ayam/Ikan Frekuensi 2-3 x 1 porsi 2-3 x1 porsi Selang 2 hr 1x potong Jenis Telur Tahu Susu Dancow Frekuensi 2-3 x 1 butir 2 x 3 potong 3 gelas/hari

Kesulitan makan : tidak ada, anak mudah makan sayur dan nasi, anak sering jajan di luar Kesan: riwayat makan sesuai Riwayat Imunisasi Riwayat Imunisasi. Jenis Waktu dan jumlah pemberian Usia 1 bulan BCG 1 kali, usia bulan DPT 1 kali, usia 0 bulan Polio ? kali Campak ? kali Hepatitis B Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap,imunisasi ulangan untuk DPT,Polio tidak dilakukan. Riwayat Keluarga : No 1 2 Umur 8 thn 4 th Kelamin Hidup Ya Ya Lahir Mati Abortus Sebab Kematian Keterangan Sehat Sehat

Data orangtua : DATA Umur sekarang Perkawinan ke Umur saat menikah Pendidikan terakhir Agama Suku bangsa Keadaan kesehatan Penyakit ( bila ada ) Kosanguitas AYAH 32 I 22 SMA Islam Betawi Baik Disangkal IBU 32 I 22 SMA Islam Betawi Baik Disangkal -

32

III. PEMERIKSAAN FISIK o Berat badan sekarang o Tinggi badan o Tekanan darah o Frekuensi nadi o Frekuensi nafas o Suhu tubuh o Turgor o Dispneu o Rumple Leed Keadaan Umum o Keadaan sakit o Kesadaran o Gizi BB/TB : Tampak sakit sedang : Compos Mentis : Baik (Z Score) : 15 17,1 17,1 15,6 = - 1,4 : 15 kg o Berat badan sebelum sakit : 15 kg : 105 cm : 110/80 mmHg : 90 x / menit, reguler, isi cukup : 20 x / menit : 380 C : Cukup : tidak ada : tidak ada

TB/U

: 105 102,3 = 0,6 102,3 98, 1

BB/U

: 15 16,5 = - 0,7 16,5 14,6

Kepala o Bentuk kepala o Rambut o Ubun-ubun besar o Wajah : Normocephal : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut : Sudah menutup : Tampak menguning

33

Mata o Palpebra o Konjungtiva o Sklera o Cekung o Air mata Telinga o Serumen o Liang o Gendang o Telinga luar hiperpigmentasi Hidung o Septum o Sekret Mulut o Bibir o Lidah o Tonsil o Faring o Leher Thorax Paru : o Inspeksi o Palpasi o Perkusi o Auskultasi : Pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan : Mukosa bibir kering, sianosis (-), Kopliks spot (-) : Coated tongue -/: T1 - T1 dalam batas normal : dalam batas normal :Pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-) : Deviasi -/: -/: Tidak ada : Tampak lapang : Tampak intak : Tampak ruam mukopapular yang sudah : Edem -/: Anemis -/- Hiperemis -/- lakrimasi -/- sekret -/ : Ikterik +/+ : -/: +/+

dinamis pada kedua lapang paru, retraksi (-). : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris : Sonor pada kedua lapang paru : Suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

34

Jantung : o Inpeksi o Palpasi o Perkusi o Auskultasi Abdomen o Inspeksi o Auskultasi o Palpasi o Hepar o Lien o Perkusi Genitalia : Iktus kordis tidak terlihat : Iktus kordis tidak teraba : Batas jantung dalam batas normal : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

: Datar, simetris : Bising usus (+) N : Supel, turgor cukup : Teraba 2 jari bawah arkus costae dextra,nyeri tekan (+) : Tidak teraba pembesaran :Timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-) :Laki-laki, tidak ada kelainan

Ekstremitas atas & bawah : Akral hangat, edem (-/-) dan sianosis (-/-) o Refleks fisiologis : Refleks biceps +/+ Refleks triceps +/+ Refleks radialis +/+ o Reflek patologis Refleks patella +/+

Refleks tendo achilles +/+ : Refleks babinski -/Refleks Chadock -/-

Refleks openheim -/- Refleks Gordon Refleks Hoffman trumer -/o Kekuatan motorik : 5 5 5 5

IV. R E S U M E Anamnesis : Seorang anak laki-laki, umur 4 tahun dengan BB 15 Kg Panas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak disertai batuk dan pilek, suhu tubuh saat pengukuran 38C, demam tidak dipengaruhi waktu dan tidak menggigil, badan terasa lemas, nafsu makan berkurang, hepatomegali ringan dengan nyeri tekan (fase prodormal)
35

Pasien sudah minum obat warung (panadol) namun keluhan tidak membaik Tidak ada keluhan mual dan muntah, BAB normal, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemas BAK berwarna teh, kulit serta sklera berwarna kuning (fase ikterik) Pasien tinggal di lingkungan padat, kebersihan lingkungan baik, pasien tinggal serumah dengan 2 orang kakak ibunya Pada pemeriksaan fisik ditemukan : KU/KS : Tampak sakit sedang/compos mentis Suhu febris (38C) tidak dipengaruhi waktu (fase prodormal) Kulit dan mata (sklera) berwarna kuning, badan lemas (fase ikterik) Teraba massa 2 jari bawah arcus kosta kanan (hepatomegali ringan), nyeri tekan (+) (fase ikterik) Tidak ada kelemahan otot (motorik) V. DIAGNOSA BANDING Hepatitis e.c viral HAV, HBV, HCV Leptospirosis Hepatitis typhosa VI. DIAGNOSA KERJA Hepatitis virus akut VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG Cek HbsAg

Pemeriksaan darah (dari PKM): Hb : 13,3 gr/dl (12 14) Ht : 40 % (38 - 47) Trombosit : 250.000/ mm3 (150.000 300.000) Leukosit : 7000/ mm3 (5000 10.000) Bilirubin total : 11,70 mg/dl (0,25-1,0) Bilirubin direk : 9 mg/dl (0,0-0,25) Bilirubin indirek : 2,70 mg/dl (0,0-0,6)

36

Alkali fosfatase : 245 U/L (15-69)

SGOT : 430 U/L SGPT : 474 U/L

(L <25) (L < 30)

Kesan : Disfungsi hati, Suspek hepatitis

VIII. PENATALAKSANAAN Suportif o Cairan : Infus D5% 13 tetes/menit (makro) o Supplement : lesichol tab 3 X o Supplement : curcuma syrup 2 X 1 CTH o Antipiretik : ottopan syrup 3 x 1 CTH o Istirahat yang cukup o Mempertahankan status nutrisi & hidrasi Promotif o Pisahkan dari keluarga / pasien yang lain o Di RS pasien hepatitis dirawat di bangsal isolasi penyakit menular Prognosa Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanationam : ad bonam : ad bonam ; Personal : ad bonam Komunitas : dubia

37

IX. FOLLOW UP Tanggal Keluhan 19-07-2011 (Hari I) Perut sebelah kanan terasa sakit, sklera dan kulit terlihat kuning, BAK berwarna seperti teh, BAB normal, demam (-), nafsu makan berkurang, mual dan muntah (-) Tampak Sakit Sedang Compos Mentis 20-07-2011 (Hari II) Perut sebelah kanan terasa sakit, sklera dan kulit terlihat kuning, BAK berwarna seperti teh, BAB normal

Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign: - Tekanan darah - Nadi - Pernafasan - Suhu

Tampak Sakit Sedang Compos Mentis

110/80 mmhg 90 x/menit 24 x/menit 37,8 C

110/90 mmHg 88 x/menit 24 x/menit 37,1 C

Pemeriksaan Fisik : - Sklera dan kulit terlihat kuning - Teraba massa 2 jari bawah arcus costae dextra, NT (+) Pem. Penunjang:

(+)

(+)

(+)

(+)

HbsAg (-) Cek Anti HAV, IgM Anti HAV

Anti HAV reaktif, IgM Anti HAV reaktif

Therapi: - IVFD D 5% 12 tts/ mnt (makro) - Lesichol tab 2 X - Curcuma syrup 2 X 1 CTH - Ottopain syrup 3 X 1 CTH (p.r.n) - Rencana cek Anti HAV, IgM Anti HAV

(+)

(+) (+)

(+) (+) (+)

38

Tanggal Keluhan ;

21-07-2011 (Hari III) Keluhan nyeri perut berkurang, sklera dan kulit terlihat kuning, nafsu makan membaik, BAK berwarna kuning pekat, BAB normal Tampak sakit sedang Compos mentis 120/70 mmHg 94 x/menit 24 x/menit 36,2 C

22-07-2011 (Hari IV) Keluhan nyeri perut berkurang, sklera dan kulit terlihat kuning, nafsu makan membaik, BAK berwarna kuning pekat, BAB normal Tampak sakit sedang Compos mentis 110/70 mmHg 88 x/menit 20 x/menit 36,5 C

Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign: - Tekanan darah - Nadi - Pernafasan - Suhu Pemeriksaan Fisik : - Sklera dan kulit terlihat kuning - Teraba massa 2 jari bawah arcus costae dextra, NT (+) Pem. Penunjang: Therapi: - IVFD D 5% 12 tts/ mnt (makro) - Lesichol tab 2 X - Curcuma syrup 2 X 1 CTH - Ottopain syrup 3 X 1 CTH (p.r.n)

(+) (+) (-) (+) (+) (+) (+)

(+) (+) Cek fungsi hati

39

Tanggal Keluhan ;

23-07-2011 (Hari V) Keluhan nyeri perut berkurang, sklera dan kulit terlihat kuning, nafsu makan membaik, BAK berwarna kuning pekat, BAB normal Tampak sakit sedang Compos mentis 110/70 mmHg 94 x/menit 24 x/menit 36,2 C

24-07-2011 (Hari VI) Keluhan nyeri perut berkurang, sklera dan kulit terlihat kuning, nafsu makan membaik, BAK berwarna kuning pekat, BAB normal Tampak sakit sedang Compos mentis 110/80 mmHg 88 x/menit 20 x/menit 36,5 C

Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign: - Tekanan darah - Nadi - Pernafasan - Suhu Pemeriksaan Fisik : - Sklera dan kulit terlihat kuning - Teraba massa 2 jari bawah arcus costae dextra, NT (+) Pem. Penunjang: Therapi: - Lesichol tab 2 X - Curcuma syrup 2 X 1 CTH - Ottopain syrup 3 X 1 CTH (p.r.n)

(+) (+) (+) (+) (+)

(+) (+) Pemeriksaan urin

40

Tanggal Keluhan ;

25-07-2011 (Hari VII) Keluhan nyeri perut berkurang, sklera dan kulit terlihat kuning, nafsu makan membaik, BAK berwarna kuning pekat, BAB normal Tampak sakit sedang Compos mentis 110/90 mmHg 88 x/menit 20 x/menit 36,8 C (+) (+)

Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign: - Tekanan darah - Nadi - Pernafasan - Suhu Pemeriksaan Fisik : - Sklera dan kulit terlihat kuning - Teraba massa 2 jari bawah arcus costae dextra, NT (+) Pem. Penunjang: Therapi: - Lesichol tab 2 X - Curcuma syrup 2 X 1 CTH - Ottopain syrup 3 X 1 CTH (p.r.n)

(+) (+) (+)

41

Pemeriksaan laboratorium tanggal 19 Juli 2011 : HBsAg secara kualitatif, hasil HbsAg (-)

Pemeriksaan labotorium tanggal 20 Juli 2011 : Anti HAV dan IgM Anti HAV Jenis Anti HAV IgM Anti HAV Hasil Reaktif, indeks 0,104 Reaktif, indeks 6,01 Nilai rujukan Non reaktif, indeks > 1 Non reaktif, indeks < 0,8

Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Juli 2011 : Cek fungsi hati Jenis Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin direk Alkali fosfatase SGOT SGPT Hasil 11 mg/dl 9 mg/dl 2,70 mg/dl 245 U/L 227 U/L 288 U/L Nilai rujukan 0,25 1,0 0,1 0,25 0,1 0,6 15 69 L < 25 L < 30

Pemeriksaan urin tanggal 24 Juli 2011 Jenis Warna dan kejernihan urin Eritrosit Leukosit Bilirubin Urobilinogen Kristal amorf dan asam urat Epitel Tanggal 25 Juli 2011 Pasien pulang dengan persetujuan yang didapat dari dokter dan terapi yang diberikan diteruskan penggunaannya oleh pasien di rumah. Terapi pasien adalah: Lesichol tab 2 X Curcuma syrup 2 X 1 CTH Ottopain syrup 3 X 1 CTH (p.r.n) bila demam Hasil Kuning tua, keruh 0-1/ LPB 0-2/ LPB + + + + Nilai rujukan Kuning muda 0-5/ LPB + + + +

42

Dengan Anjuran: Makan makanan yang bergizi dan minum yang banyak Istirahat yang cukup Periksa kontrol ke poli anak tanggal 1 Agustus 2011 untuk evaluasi gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan tes fungsi hati tanggal 1 Agustus 2011 Jenis Bilirubin total Bilirubin indirek Bilirubin direk SGOT SGPT X. DIAGNOSA AKHIR Hepatitis A akut tipe klasik fase ikterik Hasil 3,45 mg/dl 1,98 mg/dl 1,04 mg/dl 45 U/L 42 U/L Nilai rujukan 0,25 1,0 0,1 0,25 0,1 0,6 L < 25 L < 30

43

BAB III ANALISA KASUS Pada pasien ini diagnosis ditegakkan hepatitis A akut tipe klasik fase ikterik berdasarkan atas : Anamnesa : o Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak disertai gejala flu, batuk dan pilek, badan terasa lemas, nafsu makan bekurang (fase prodormal). Demam tidak dipengaruhi waktu. o Sklera dan kulit terlihat kuning (fase ikterik). o Rasa tidak nyaman (nyeri) pada perut kanan atas, hepatomegali ringan (fase ikterik). Pemeriksaan fisik : o KU/KS : Tampak sakit sedang / compos mentis o Suhu febris (38C) (fase prodormal) o Kulit dan mata (sklera) ikterik (fase ikterik) o Abdomen : Teraba massa 2 jari bawah arcus costae dextra, nyeri tekan (+) hepatomegali ringan (fase ikterik) o Tidak ada kelemahan otot (motorik) Pemeriksaan laboratorium darah : o SGOT 430 U/L dan SGPT 474 U/L o Anti HAV reaktif, indeks 0,104 dan IgM Anti HAV reaktif, indeks 6,01 Pada pemeriksaan fisik diatas ditemukan manifestasi klinis sesuai dengan hepatitis A akut tipe klasik fase ikterik. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan enzim yang dihasilkan hati, SGOT dan SGPT yang menunjukkan adanya disfungsi dari oragan hati. Temuan serologis Anti HAV reaktif dan IgM Anti HAV. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat di diagnosis hepatitis A akut tipe klasik fase ikterik, sehingga dapat disingkirkan diagnosis banding hepatitis karena virus hepatitis B dan C. Diagnosa leptospirosis dapat disingkirkan karena tidak ditemukan serologis untuk penyakit ini, selain itu dari anamnesa pasien tidak mengeluhkan sakit kepala hebat dan tidak ditemukan kelemahan otot serta sendi. Diagnosis banding ketiga yaitu hepatitis typhosa juga dapat disingkirkan karena pada anamnesa tidak ditemukan panas yang tinggi terutama pada malam hari dan hasil pemeriksaan fungsi hati, kandungan dalam darah bilirubin total yang tinggi dengan dominan bilirubin direk serta enzim

44

aminotransferase yang meningkat lebih dari 10 X batasan normal. namun hal ini bisa saja terjadi mengingat pada pasien ini belum dilakukan tes widal. Terapi yang diberikan : IVFD D 5% 13 tetes/menit (makro) Lesichol tab 3 X Curcuma syrup 2 X 1 CTH Ottopan syrup 3 X 1 CTH

Terapi sudah tepat, terapi cairan sudah di berikan 13 tetes per menit, dengan perhitungan :

Lesichol diberikan untuk terapi supportif menunjang fungsi hati. Curcuma syrup (curmin) berfungsi membantu memelihara kesehatan fungsi hati, memperbaiki nafsu makan. Ottopan syrup (parasetamol) sebagai anti piretik dengan dosis 10-15/kgBB. Namun seperti diketahui parasetamol atau asetaminofen merupakan obat yang hepatotoksik. Obat ini bisa menggangu fungsi enzim hati dan pada kasus ini bisa memperburuk fungsi hati bila diberikan dalam dosis besar. Untuk terapi yang lebih aman sebaiknya obat penurun panas bisa diberikan ibuprofen dengan dosis 20 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pemberian. Sebagai catatan bila terjadi gangguan pembekuan darah oleh karena disfungsi protrombin, ibuprofen tidak boleh diberikan. Karena protombin diproduksi di sel hati dan ibuprofen mempunyai efek antikoagulan seperti aspirin.

45

You might also like