You are on page 1of 14

ISSN 0215 - 8250 PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU : KENDALA PADA GURU oleh Sumarsono Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra

Indonesia dan Daerah Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRAK

156

Artikel ini berbicara tentang guru dalam meningkatkan profesionalisme mereka..Mereka dituntut oleh posisinya sendiri sebagai profesi atau sebagai guru. Mereka harus terus-menerus berubah, dan selalu belajar untuk meningkatkan profesionalisme mereka. Uji kompetensi sebenarnya dapat menjadi momentum guru untuk memulai. Tetapi sejumlah kendala justru berada pada diri guru sendiri, salah satunya ialah tidak ada kemauan untuk berubah. Solusinya juga terletak pada guru sendiri. Kata kunci : profesionalisme guru ABSTRACT This article discusses about teachers in relation to the upgrading of their professionalism. They are demanded by their profession to continuously change and have to learn and learn. The competence examination is actually reasonable momentum to upgrade teachers professionalism. But there are a number of constraints in the body itsself. One of those contrains is their unwillingness to change. So, the solution would be in the hands of the teachers themselves. Key words : teachers professionalis.

_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

157

1. Pendahuluan Momentum sering hanya diartikan sebagai waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu, padahal kata ini bermakna kemampuan untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan (diri, pengetahuan, keterampilan), tetapi juga dapat berarti kekuatan yang diperoleh dari sebuah gerakan (Hornby,2000). Makna yang terakhir ini boleh jadi merupakan makna yang tepat untuk diterapkan bagi kondisi guru saat ini. Pemerintah sudah pasti akan melaksanakan uji kompetensi bagi guru karena hal itu merupakan perintah dari UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP no.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat profesi itu tampak tersendat karena berbagai hal. Gejalanya dapat dilihat jelas di lapangan. Pada tahun 2004 sudah disiapkan berbagai kegiatan untuk menyongsong uji kompetensi itu. Departemen telah membentuk Kelompok Kerja Sertifikasi Guru (diketuai oleh Prof.Muchlas Samani), yang antara lain bertugas menyusun soal-soal uji kompetensi (yang melibatkan penulis). Departemen Pendidikan sudah mengumumkan (2005) bahwa jumlah guru kita 2,7 juta orang dan yang sudah bergelar S1/D4 mencapai 1,6 juta. Dari sekian banyak itu direncanakan 20.000 guru akan mengikuti uji kompetensi tahun 2006, disusul 200.000 tahun 2007. Tetapi, sampai dengan awal 2007 uji kompetensi itu belum dilaksanakan, bahkan ada berita bahwa jatah 20.000 itu baru akan dilakukan tahun 2007 ini. Di lain pihak guru pun tidak bergerak. Mereka tampak tidak tergerak untuk berubah dan mengubah diri untuk meningkatkan profesionalisme mereka. Gejala bahwa guru lamban dalam upaya meningkatkan mutu profesionalisme itu sebenarnya lama terjadi, sehingga terjadi kontroversi: di satu sisi posisi guru ingin dipandang dan diakui sebagai profesi dan guru menjadi seorang profesional, dengan
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

158

berbagai haknya, di sisi lain mereka sulit menerima kewajiban yang layak menyertai konsep profesi dan profesional itu. Kewajiban itu, misalnya, guru harus terus-menerus belajar, terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi, dan sebagainya. Tulisan ini sebenarnya bertujuan hendak mengajak guru untuk menyadari momentum uji kompetensi tadi dan menggunakannya sebagai suatu gerakan peningkatan dan perbaikan mutu profesionalisme mereka, tanpa harus memikirkan ada atau tidaknya uji kompetensi itu. Menggunakan istilah Abraham Maslow tentang penggolongan motivasi, momentum ini hendaklah dapat menjadi motivasi aktualisasi-diri (selfactualization) bagi guru, dalam arti bahwa peningkatan mutu profesionalisme itu hendaklah dipandang sebagai kebutuhan guru sendiri, dan bukan sebagai beban. Dari sini kita dapat mengarah kepada program yang lebih besar yaitu transformasi pendidikan karena peningkatan mutu guru diharapkan dapat meningkatkan mutu sekolah dan pada gilirannya meningkatkan mutu pendidikan. Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi guru, dalam arti jika guru sudah mengetahui apa posisi diri mereka, apa yang menjadi harapan masyarakat, dan kendala-kendala yang ada pada dirinya, maka seharusnya mereka tahu apa yang seharusnya dan selayaknya mereka lakukan; apalagi jika mereka ingin disebut sebagai seorang profesional, dan ingin agar karya guru menjadi bukan sekadar pekerjaan melainkan profesi. Tulisan ini hendak membahas peran guru, harapan masyarakat terhadap guru, dan kendala yang ada pada guru, khususnya ketidakmauan guru untuk berubah. Landasannya tidak terletak pada teori-teori murni tertentu melainkan pada pandangan-pandangan yang bersumber pada teori-teori tersebut. Muara tulisan ini ialah menjawab persoalan mengapa guru sulit berubah.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

159

2. Pembahasan 2.1 Predikat Guru Guru di Indonesia sering memperoleh predikat yang menyejukkan atau membanggakan, tetapi sang guru tetap saja begitu, in status quo, tidak berubah. Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa, padahal seharusnyalah mereka sudah memiliki tanda jasa. Tidak muluk-muluk tanda jasa itu. Cukup jaminan bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang nyaman sehingga dapat melanjutkan profesi mulianya, kata Rika Yudani (2005). Sayangnya, penghargaan yang real berwujud nafkah yang layak pun masih menjadi impian. Bahkan guru-guru kontrak dibayar ala kadarnya, mungkin malah sekadar imbalan berupa ucapan Terima kasih sehingga bisa disebut Guru Terima Kasih (Wejak, 2005). Guru sering disebut sebagai fasilitator, dalam arti guru harus memberi kemudahan bagi muridnya untuk belajar dan menemukan sumber belajar. Termasuk tugas fasilitator ialah membuat ilmu yang sulit bagi murid menjadi mudah setelah ada intervensi guru. Sayangnya, banyak kali murid justru menjadi bingung dan tidak mengerti setelah mengikuti pelajaran guru mereka. Bahkan saat ini, ketika teknologi informasi sudah maju, murid sendiri lebih mampu mencari sumber belajarnya, lebih banyak difasilitasi oleh teknologi internet. Sementara itu, guru-guru malah banyak yang gagap teknologi, menyentuh komputer pun tidak pernah (Atau tidak mau!?), apalagi menjangkau internet. Karena itu sebutan guru sebagai pengembang ilmu patut diragukan bagi sebagian besar guru. Kenyataan di lapangan menunjuukkan bahwa pengetahuan guru seringkali hanya sebatas materi yang ada dalam kurikulum plus buku pegangan bagi guru dan bagi murid. Apa yang diajarkan dari hari ke hari, dan tahun ke tahun, ya hanya itu-itu saja, bahkan
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

160

penyajiannya pun dengan cara yang tak pernah berubah. Buku-buku ilmu pengetahuan di bidangnya yang cukup tersebar tidak pernah tersentuh, karena budaya membaca di kalangan guru juga sangat rendah. Dalam hal seperti itu guru tampaknya sulit menjadi menyandang predikat sebagai teladan bagi murid mereka. Ada yang menempatkan guru bukan sebagai sekadar pekerja (atau karyawan) melainkan sebagai pekerja budaya (Lie,2005) yang harus memperoleh perlindungan hukum atas hak-hak personal dan profesionalnya. Sayangnya, hal itu juga belum terwujud betul. Sebagai pekerja budaya teramat layak jika mereka sedikit banyak diperlakukan seperti seniman atau budayawan yang memperoleh kebebasan berkarya, yang mengemban tugas (meminjam istilah Drijarkara) memanusiakan manusia melalui pembudayaan anak untuk memasuki budaya masyarakatnya. Tentu saja dengan imbalan yang layak. Dalam hubungan dengan pekerja budaya itu patut dicatat bahwa guru itu haruslah menjadi seniman, karena mengajar itu bukan hanya ilmu melainkan juga seni. Seni atau kiat mengajar guru itu tampak jika ketika guru sedang mengajar seturut rancangannya tiba-tiba terjadi peristiwa yang tidak terduga atau tidak terencana sebelumnya. Sebagai seniman pun guru harus diberi kebebasan berkarya (Baca Suparno, 2004). Bahkan DePorter dkk. (2000) menempatkan guru sebagai dirigen, orang yang memimpin seniman-seniman musik dalam sebuah ensambel pembelajaran di kelas. Guru juga memperoleh predikat sebagai agen pembaruan. Mengapa? Berawal dari masyarakat yang selalu berkembang dan berubah, menjadi makin maju, melakukan perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, lebih tinggi dari keadaannya yang sekarang. Di dalam sejarah manusia, perubahan itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Nah, di situlah peran guru itu tidak dapat diabaikan: gurulah yang mengarahkan
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

161

subjek didik atau peserta didiknya, juga masyarakat, untuk mencapai sesuatu yang juga diperintahkan oleh masyarakat itu sendiri (Baca Raka Joni dkk,1985). Pertanyaannya ialah bagaimana guru dapat menjadi agen pembaruan manakala guru sendiri sulit berubah atau tidak mau mengubah dirinya? Lebih memfokus lagi, guru itu diharapkan menjadi agen reformasi dalam dunia pendidikan, dunia guru sendiri. Dalam hubungan dengan reformasi pendidikan itu guru sering diberi predikat sebagai ujung tombak pembaruan, terutama di dalam kelas. Ujung tombak itu harus dimaknai sebagai proses pengajaran dan pemelajaran di dalam kelas,dan dari situlah pendidikan kelak terwujud. Proses pengajaran dan pemelajaran itu akan menghasilkan, dalam jangka waktu dekat, dampak atau hasil instruksional (instructional effects), dan yang lebih penting lagi, dalam jangka jauh, dampak pengiring (nurturent effects) seperti kedisiplinan, kejujuran, keadilan, cinta kasih terhadap sesama, toleransi, demokrasi, dan sebagainya. Tetapi, sebaik apa pun rancangan perubahan atau reformasi pendidikan yang ditetapkan, bila guru tidak siap dan tidak mau melaksanakan perubahan itu, maka tidak terjadi apa-apa. (Suparno, 2002). 2.2 Berbagai Harapan Sekian banyak harapan dari masyarakat ditujukan pada guru, dan predikat-predikat di atas pun menunjukkan harapan itu. Tetapi yang tidak kalah penting ialah harapan, atau tuntutan dari profesi guru itu sendiri, karena tiap profesi pasti mempunyai sejumlah tuntutan yang khas, yang menjadi karakteristik, dari profesi itu. Dalam dunia pendidikan dikenal dongeng modern. Konon ketika Amerika Serikat tertinggal dari Uni Soviet, karena yang terakhir ini di sekitar tahun 1960 telah mencapai bulan lebih dulu, Presiden J.F.Kennedy
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

162

bertanya, Whats happened in our class?. Pertanyaan ini, menurut hemat saya, mengandung konotasi bahwa presiden tahu betul (1) apa yang terjadi di dalam kelas merupakan gambaran dunia pendidikan di negeri itu; (2) secara pragmatik, pertanyaan itu tidak bermaksud untuk bertanya melainkan menyatakan (atau menuduh) rendahnya mutu proses pengajaran dan pemelajaran di kelas. Maka, reaksi pakar pendidikan di sana ialah bahwa (3) perbaikan pendidikan harus dimulai dari dalam kelas dan kelas itu pastilah menjadi tanggung jawab guru. Mengapa harus mulai dari kelas? Tukiman Taruna (2002), yang tampaknya dekat dengan pandangan Freire, mengemukakan empat alasan. (1) Mengenal dan menata kelas dengan baik akan mengajarkan guru dan murid mengenali batas-batas dirinya; (2) di kelas guru perlu mengembangkan kerendahan hati; (3) Guru perlu mempunyai beberapa indikasi tentang bagaimana siswa memahami realitas mereka yang memang berbeda dibanding realitas guru; (4) guru dan murid perlu berkembang kecakapannya, dan kunci pengembangan itu ada di kelas. Hemat saya, Taruna hendak mengatakan bahwa di kelas guru itu tidak cukup hanya mengajar, melainkan harus mendidik murid dan dirinya sendiri; yang belajar bukan hanya murid melainkan juga guru. Ujaran pembuka pelajaran seperti Anak-anak, Bapak/Ibu akan menjelaskan/menerangkan . tampak menunjukkan dominasi, kekuasaan, dan kurangnya kerendahan hati guru ketimbang ujaran seperti, Anak-anak, marilah kita belajar tentang (Sumarsono,2005). Dominasi seperti itu, dan dominasi-dominasi dalam bentuk lain, di mata Ivan Illich adalah penjara bagi anak-anak, penjajahan yang harus dihapus dari kelas; pendidikan harus membebaskan bukan memenjarakan anak. Tukiman Taruna (2002) mengutip pandangan Ira Shor dan Paulo Freire (2001). Kedua penulis ini mengharapkan guru yang merdeka, dan
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

163

mempertanyakan bagaimana menjadi guru yang merdeka, dan bagaimana menjadi guru sebagai pendidik yang membebaskan. Jawabnya antara lain ialah: guru perlu menemukan dirinya sendiri; guru harus rela belajar bersama dan belajar dari siswanya; rela melakukan dialog (mendekatkan diri) dengan siswanya. Jika ada dialog, guru dan murid harus pada posisi sejajar, yang menurut bahasa Raka Joni (1985) guru dan siswa itu dalam kedudukan seimbang dan yang membedakan adalah fungsinya (guru mengajar dan murid belajar). Bahwa guru itu antidialog tampak pada keadaan sekarang ini, yaitu kebanyakan guru di kelas mendominasi murid, dan tiap dominasi pasti membawa kekuasaan atau kekuatan yang dapat mengarah kepada penindasan atau penjajahan guru terhadap murid. Karena itu murid yang selalu tercekam itu harus dibebaskan. Harapan berikutnya ialah tentang perlunya guru terus belajar. Buku terbitan UNESCO, Lifelong Education dan Learning to Be, yang masingmasing terbit tahun 1970-an dan 1080-an, pastilah berlaku bagi guru juga. Begitu juga buku Andrias Harefa (2000), Menjadi Manusia Pembelajar. Drost (2002) mengusulkan agar guru melakukan on going formation (membentuk dirinya sendiri secara terus-menerus) dan bukan sekadar remedial teaching (memperbaiki cara mengajarnya), dan itu harus dimulai satu minggu setelah guru meulai mengajar. Belajar, katanya, adalah satu-satunya cara memperoleh pembentukan; bagi seorang professional harus dalam suasana bebas mutlak. On going formation yang paling berguna ialah pengalaman, yaitu hasil sikap tanggap atas setiap kejadian selama 24 jam sehari. Kalau begitu, tentunya Drost juga tidak menolak adanya pengalaman guru di depan kelas. Menurut hemat saya, untuk melakukan remedial teaching, melalui Penelitian Tindakan Kelas saja guru sudah merasakan kesulitan.

_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

164

Mengajarlah dengan Kreativitas, begitu bunyi judul tulisan Prasetyo Utomo (2006). Judul itu menyiratkan harapan sesama guru. Judul itu menyiratkan konotasi (1) selama ini guru kurang kreatif dalam mengajar; dan (2) kalau melakukan kreativitas dianggap sebagai pembaruan, maka pembaruan itu harus terjadi dari dalam kelas. Kreatif berarti berbeda dari yang lama, jadi mengandung makna pembaruan (inovasi), pasti (berani) menyimpang dari yang biasa, sehingga guru tidak jatuh kepada rutinitas. Kreativitas juga merupakan potensi besar tiap manusia karena otak manusia, khususnya belahan kiri, menangani potensi itu (Baca Nggermanto,2002; Rose dan Nicholl, 2002). Dengan kreativitas guru itu suasana kelas tidak kaku, atau beku, melainkan cair mengalir lancar (Nara, 2006). Sayangnya, kata Sugita (2006), kreativitas guru itu, terutama pada zaman Orba, telah dipasung, dalam arti pemerintah tidak memberi ruang (dan kepercayaan) untuk berkreativitas; dan itu terjadi sampai sekarang. Tentu saja apa yang dikatakan Sugita itu tidak seluruhnya benar. Bahwa kurikulum pusat sekarang diharapkan dapat didiversifikasikan ke sekolah-sekolah jelas merupakan peluang guru untuk berkreativitas. Hendro Martono (2006) juga membantah Sugita. Setidaktidaknya di sekolah kejuruan, guru sudah dituntut untuk kreatif tidak sebatas pada tataran mengajar saja; sejak persiapan pun sudah dimulai. Guru kreatif juga selalu mengembangkan instrumen evaluasi. Masih banyak lagi harapan yang harus dilakukan oleh guru, agar mutu guru meningkat meskipun tidak mesti seperti malaikat (Surakhmad,2004). Ketika lahir gagasan tentang KBK pun pemerintah meminta guru untuk mengubah paradigma lama menjadi paradigma baru: fokus pada guru dan siswa harus diubah menjadi fokus pada siswa dan belajar; fokus hasil belajar harus diimbangi dengan fokus pada proses belajar, dst. Tetapi, guru ternyata sulit berubah dan mengubah dirinya,
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

165

padahal perubahan itu sebenarnya untuk kepentingan guru sendiri. Mengapa? 2.3 Kendala Perubahan pada Guru Dunia pendidikan di Indonesia ini ibarat kapal besar dengan muatan penuh. Jika pendidikan itu harus dibelokkan ke arah dunia baru reformasi terasa amat sulit, banyak sekali kendalanya. Dari dunia luar pendidikan, kendala itu tampak pada adanya intervensi politik, langsung atau tidak langsung. Namun, dari insan pendidikan sendiri tampak pada diri dan tubuh guru. Sebagimana tersurat dan tersirat dalam paparan di depan, tampaknya banyak guru kurang memahami dirinya sendiri sebagai seorang profesional yang mengemban tugas dan fungsi sebagai profesi yang bernama guru. Marilah kita mulai dari rekrutmen calon guru di LPTK. Banyak calon mahasiswa masuk ke LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) karena terpaksa, karena tidak diterima di fakultas yang hebat seperti kedokteran, teknik, ekonomi, dsb. Kalau nilai ujian akhir SMA dipakai sebagai patokan, kadaan di atas menunjukkan bahwa yang masuk ke LPTK adalah mereka yang memiliki nilai rendah. Mereka ini kelak menjadi guru bukan karena panggilan nurani untuk menjadi guru melainkan karena panggulan beban akademis (dan mungkin juga ekonomis) yang berat. Hal ini sudah dirasakan sejak tahun 1970-an. Yang serupa adalah keadaan beberapa tahun terakhir ini. Minat masuk menjadi guru amat besar karena harapan untuk diangkat menjadi guru PNS relatif lebih besar ketimbang di lembaga lain (Pemda, kantor pemerintah, dsb). Arus masuk ke LPTK, baik negeri maupun swasta, menjadi begitu besar sehingga (seperti) tidak terkontrol. Motivasi mereka ialah menjadi pegawai negeri, bukan menjadi guru. Hal ini ditambah
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

166

dengan kenyataan bahwa LPTK sedikit banyak lalai melakukan seleksi dan penyaringan yang ketat. Hasilnya adalah calon guru yang mau menjadi guru meskipun belum tentu mampu mengemban profesi guru. Ini berlaku pula bagi tamatan non-LPTK yang beramai-ramai mencari Akta Mengajar agar dapat menjadi guru. Guru-guru semacam itu diragukan kepekaannya terhadap perubahan. Paul Suparno (2002) mengidentifikasi delapan penyebab yang menyebabkan guru sulit berubah. Salah satu adalah faktor yang sangat umum dan berlaku pada banyak profesi, yaitu guru telah bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah merasa enak. Ungkapannya barang kali ialah: Kalau dengan begini saja sudah enak, ngapain berubah?. Yang lain ialah moral guru sebagai tukang yang pasif dan serba menunggu petunjuk. Guru yang begini mesti tidak mempunyai prakarsa untuk berubah, sebagian karena takut menghadapi risiko. Pendidikan guru yang serba statis dan tidak melatih adanya perubahan dan sikap tanggap terhadap perubahan juga dituding Suparno sebagai faktor penyebab. Kondisi ini bertambah parah jika dosennya juga membuat mahasiswa calon guru menjadi pasif, menjadi tidak kritis (yang sebagian karena kemampuan akademis mereka lemah). Banyak pula guru yang memahami tugas guru sebagai konservatif. Artinya, tugas guru dipahami sebagai orang yang harus memberikan atau menyampaikan nilai-nilai tradisi masyarakat kepada muridnya; mereka itu tidak merasa perlu untuk mengubah tradisi. 3. Penutup Lalu, dari mana kita harus memulai? Pasti dari diri guru sendiri. Gurulah yang harus membongkar dirinya (Taruna,2002), diperiksa apa yang kurang dan apa yang dibutuhkan, lalu dengan niat baja memulai
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

167

menguubah diri, dari hari ini, Menjadi manusia pembelajar. Learning to be harus diartikan belajar menjadi, dan tak pernah bisa jadi. Aku, yang sekarang sedang membaca buku tentang inovasi pendidikan, berbeda dengan Aku besok pagi karena besok Aku sudah menjadi Aku + inovasi pendidikan. Hari berikutnya sudah menjadi Aku + demokratis di kelas, seminggu lagi sudah menjadi Aku + dialog dengan muridku. Begitulah, Aku tidak pernah betul-betul menjadi Aku, sampai aku mati, karena dalam diri Aku selalu bertambah plus X, apa pun yang namanya x itu. Tulisan ini banyak mengambil manfaat dari surat kabar di samping buku. Dengan cara ini saya ingin membuktikan bahwa surat kabar, dengan artikel-artikelnya tentang pendidikan, mampu memberikan pencerahan dan membuka mata kita tentang berbagai masalah pendidikan. Yang tidak kalah penting ialah kenyataan bahwa sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, artikel-artikel tadi ditulis oleh guru. Dengan demikian juga ada peluang untuk memperoleh nafkah di luar gaji. Semoga guru-guru mau berubah menjadi penulis artikel. DAFTAR PUSTAKA DePorter.2000. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa. Drost,J. 2002. On Going Formation bagi Seorang Guru. KOMPAS. 14 Februari 2002. Harefa, Andrias.2000.Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: KOMPAS. Hornby,A.S. 2000.Oxford Advanced Learners Dictionary. Edited by Sally Wehmeier. Oxford: Oxford University Press.

_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250

168

Joni,T.Raka. dkk.1985. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Ditjen Dikti, P3G. Lie, Anita. 2005. Guru sebagai Pekerja Budaya. KOMPAS. 3 Mei 2005. Martono,Hendro. 2006.Batas Kreativitas. KOMPAS. 13 Februari 2006. Nara, Nasrullah.2006. Mencairkan Pembelajaran di dalam Kelas. KOMPAS. 28 November 2006. Nggermanto, Agus.2002. Quantum Quotient. Cet. Ke-4. Bandung: Nuansa. Poedjinoegroho E.,Baskoro. Guru Profesional,Adakah?. KOMPAS. 5 Januari 2006. Rose, Collin dan M.J.Nicholl.2002. Accelerated Learning. Terjemahan Dedy Ahimsa, Cet.ke-3. Bandung: Nuansa. Sugita,M.Basuki. Kreativitas Guru (Telah) Dipasung. KOMPAS 30 Januari 2006. Sumarsono. 2005. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Komisi Pendidikan/KWI. Suparno,Paul.2002. Guru dan Reformasi Pendidikan. KOMPAS 22 Agustus 2002. Suparno,Paul.2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius. Surakhmad, Winarno.2004. Guru Berkualitas Tak Harus seperti Malaikat. KOMPAS 1 Mei 2004. Taruna,J.C.Tukiman. 2002. Mengubah Guru. KOMPAS 9 Juli 2002. Utomo, S.Prasetyo.2006. Mengajarlah dengan Kreativitas. KOMPAS, 23 Januari 2006. Wejak, Justin L.2005. Guru Terima Kasih. KOMPAS. 24 September 2005.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

ISSN 0215 - 8250 Yudani, Rika.2005. Guru, Pahlawan yang Tanda Jasa. KOMPAS, 2 Mei 2005. Sudah Saatnya

169 Memiliki

_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007

You might also like