You are on page 1of 12

RINITIS ATROFI (OZAENA)

Oleh :
I Dewa Ayu Vanessa
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

I. PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis
chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum
ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak
menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu
ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini
sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis
tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan.
Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara
pasien sendiri menderita anosmia).1,2,4
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di
lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2,3
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam
insidens ozaena.5
II. TINJAUAN PUSTAKA

Batasan
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis
chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.
Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur
fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada
umur sekitar pubertas.1,2,6

Kekerapan
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan
Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita
dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk
mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi
mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di
negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember
2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37
tahun.1,2
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam
insidens ozaena.5
FREKWENSI OZAENA BERDASARKAN UMUR DAN
JENIS KELAMIN
R.S. DR. KARIADI ­­ SEMARANG, 1975 ­­ 1976
Jumlah kasus
1975 1976 Total
Wanita :
8 tahun 1 1
13-20 tahun 11 11 22
20 tahun ke atas 3 6 9

Laki-laki :
15-20 tahun 3 2 5
20 tahun ke atas 3 3 6
Jumlah wanita : laki-laki = 32 : 11, atau kurang lebih 3 : 1
Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat
berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis.
Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5
• Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena.
Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain
golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,
Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus,
Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
• Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
• Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
• Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
• Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
• Teori mekanik dari Zaufal.
• Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
• Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
• Herediter.
• Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
• Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi
primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma
hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang
disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada
hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan
hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,
scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera
pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka
insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis


Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi
epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan
kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis
pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi
dua : 1
a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat
di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan
fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel
bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat.
Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori
proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung
terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi
mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia.
Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik
untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu : 3
• Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
• Silia hidung. Silia akan menghilang.
• Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis.
• Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,
gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain
yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien
mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan
udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan
sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara
yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari
mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,5,6
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga
hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat,
terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi
inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa
hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang
timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai
awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai
mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel
pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental.
Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar
rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi
dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh.
Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan
kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa
hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat
mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat
menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis
sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain : 3,4
• Transiluminasi.
• Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
• Pemeriksaan mikroorganisme.
• Uji resistensi kuman.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan Fe serum.
• Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung
menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.
• Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux
test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
1. Rinitis kronik TBC
2. rinitis kronik lepra
3. rinitis kronik sifilis
4. rinitis sika

Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan
lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan
lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah
pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan
demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat
diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3

Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,
dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai
tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada
pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
• NaCl
• NH4Cl
• NaHCO3 aaa 9
• Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
• Na bikarbonat 28,4 g
• Na diborat 28,4 g
• NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml,
kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali
sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3%
perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan
jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari
selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari,
kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat,
pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3
bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan
rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah
dibedakan menjadi dua kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu
hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan
koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan
memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan


perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi
normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan
rongga hidung.4
Daftar Pustaka
1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed :
2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.
2. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed
: 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.
3. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from :
http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from :
http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita Selekta
Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
5. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Referat

RINITIS ATROFI (OZAENA)

Oleh :
I Dewa Ayu Vanessa
(H1A 003022)

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram


2008

You might also like