You are on page 1of 16

BAB I PENGERTIAN NIKAH MENURUT ISLAM Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan.

Kata dasar dari pernikahan adalah nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan pergaulan antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah yang diridhai oleh Allah SWT, dan dilangsungkan menurut ketentuan syariat-syariat Islam. Nikah termasuk kepada contoh perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah rasul. Dalam hal ini, disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang atinya, Dari Anas bin Malik r.a., bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda, Akan tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah dari golonganku. (H.R. Bukhari dan Muslim) BAB II HUKUM-HUKUM NIKAH 2.1. JAIZ ATAU MUBAH Perkawinan hukum asalnya adalah mubah (boleh). Pada prinsipnya, setiap manusia yang telah memiliki persyaratan untuk menikah, dibolehkan untuk menikahi seseorang yang menjadi pilihannya. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT. Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian

senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya. (Q.S. An-Nisa, 4: 3) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, Ada empat hal yang merupakan ajaran para rasul, yaitu memiliki rasa malu, memakai wangi-wangian, bersiwak, dan menikah. 2.2. SUNAH Perkawinan hukumnya sunah bagi mereka yang telah mampu dan berkeinginan untuk menikah. Perkawinan yang dilakukannya mendapat pahala dari Allah SWT. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh semua ahli hadis, yang artinya: Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mampu serta berkeinginan untuk menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya perkawinan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihat dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia berpuasa. Karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang. 2.3. WAJIB Perkawinan yang dilakukan seseorang yang sudah memiliki kemampuan, baik secara materi maupun mental hukumnya wajib. Jika ia menangguhkannya, justru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kesesatan. 2.4. MAKRUH Perkawinan menjadi makruh hukumnya apabila dilakukan oleh orang-orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu melangsungkan perkawinan dan belum

mampu member nafkah kepada istri dan anak-anaknya kelak. Kepada mereka dianjurkan untuk berpuasa. 2.5. HARAM Perkawinan menjadi haram hukumnya apabila dilakukan oleh seorang yang bertujuan tidak baik dan bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi dalam perkawinannya atau bisa juga untuk menyakiti hati seseorang. Perkawinan dengan motivasi yang demikian dilarang oleh ajaran Islam dan sangat bertentangan dengan tujuan mulia dari perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan adalah sebagai firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Ar-Rum, 30: 21 Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan di antara kamu rasa kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum : 21) Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah terciptanya ketentraman dan munculnya rasa dan kasih sayang di antara suami dan istri. Termasuk ke dalam perkawinan yang diharamkan ialah perkawinan yang dilakukan dengan maksud menganiaya dan mengambil harta orang. Hal ini disebabkan niat perkawinan tersebut bukan karena Allah SWT., tetapi hanya karena harta atau materi. BAB III SYARAT DAN RUKUN NIKAH Suatu pernikahan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, sementara rukun merupakan unsur pokok yang mesti dipenuhi.

3.1. SYARAT NIKAH Secara rinci, syarat-syarat pernikahan dalam islam adalah sebagai berikut: 3.1.1. Adanya persetujuan antara kedua calon mempelai 3.1.2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya 3.1.3. Antara kedua calon mempelai tidak ada larangan untuk menikah 3.1.4. Masing-masing tidak terkait tali perkawinan, kecuali bagi calon mempelai lakilaki bila mendapat izin dari pengadilan (atas persetujuan isterinya) 3.1.5. Kedua calon pengantin tidak pernah terjadi dua kali perceraian 3.1.6. Telah lepas dari masa iddah atau jangka waktu tunggu karena putusnya perkawinan. 3.2. RUKUN NIKAH Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam, yakni sebagai berikut: 3.2.1. Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya. 3.2.2. Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan haji atau umrah. 3.2.3. Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai wanita dengan mempelai laki-laki atau mengizinkan pernikahannya. Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam yang empat kecuali An-NasaI dan disahkan oleh Abu Awamah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim yang arinya: Dari Aisyah r.a. ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda , Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya.

3.2.4. Ada dua orang saksi, dengan syarat beragama Islam, laki-laki, balig (dewasa), dan berakal sehat, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. 3.2.5. Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan Qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sabagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam AlQuran: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Q.S.An-Nisa, 4: 4) BAB IV ORANG-ORANG YANG BERHAK MENIKAHKAN (WALI NIKAH) Dalam pernikahan yang islami adanya wali nikah itu merupakan suatu kewajiban. Oleh karena itu, sebelum kita mempelajari orang-orang yang menjadi wali nikah, maka kita harus mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah. Adapun syarat-syarat untuk menjadi wali nikah adalah sebagai berikut: a. Beragama Islam, orang yang tidak beragama Islamtidak sah menjadi wali nikah, seperti dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 28 yang artinya: Janganlah orang-orang mumin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mumin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). b. Laki-laki

c. d. e. f.

Balig dan berakal Merdeka dan bukan hamba sahaya Bersifat adil Tidak sedang ihram, haji atau umrah Setelah kita mengetahui syarat-syarat untuk menjadi wali nikah, maka baru

kita mempelajari pembagian atau orang-orang yang berhak menjadi wali, yaitu sebagai berikut: 4.1. WALI NASAB Wali nasab adalah wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut : 4.1.1. Ayah 4.1.2. Kakek ( keatas) 4.1.3. Saudara laki-laki ( kakak / adik ) seayah seibu ( kebawah) 4.1.4. Saudara laki-laki ( kakak / adik ) se ayah ( kebawah) 4.1.5. Anak Saudara laki-laki ( kakak / adik ) se ayah se ibu 4.1.6. Anak saudara laki-laki ( kakak / adik ) se ayah 4.1.7. Uwak / paman (saudara laki-laki ayah) se ayah se ibu 4.1.8. Uwak / paman (saudara laki-laki ayah) se ayah 4.1.9. Anaknya uwak paman (saudara laki-laki ayah) se ayah se ibu 4.1.10. Anaknya dst. 4.2. WALI HAKIM Wali hakim yaitu kepala Negara yang beragama Islam. Di Negara Indonesia wewenang presiden sebagai ahli hakim dilimpahkan kepada pembantunya, yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya unuk bertindak sebagai ahli hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada Uwak / paman (saudara laki-laki ayah) se ayah

disetiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah, jika wali nasab tidak ada atau tidak bisa memenuhi tugasnya.

BAB V PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN Dalam syariat Islam pernikahan yang dilarang dapat dikategorikan kepada dua kelompok: 5.1. Larangan Untuk Selama-lamanya Bagi Seorang Laki-Laki dengan Perempuan 5.1.1. Hubungan pertalian darah terdekat: - Dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari keturunan ayah atau ibu tanpa batas - Dalam garis menyamping lurus ke atas dan lurus ke bawah dari keturuna ayah atau ibu tanpa batas 5.1.2. Hubungan persusuan: - Ibu susuan, anak susuan, saudara sesusuan, keponakan sesusuan, bibi susuannya. 5.1.3. Hubungan persemendaan: - Ibu tiri, menantu/ cucu menantu, Ibu mertua/ nenek mertua, anak tiri/ cucu tirinya. 5.2. Larangan Untuk Sementara Waktu 5.2.1. Talak Bain Kubra Larangan ini tidak berlaku lagi, apabila isteri yang telah ditalak tersebut telah dinikahi dengan sah oleh laki-laki lain dan telah mengadakan hubungan,

kemudian diceraikan dan telah habis pula masa iddahnya dari laki-laki tersebut. 5.2.2. Permaduan Seorang laki-laki dilarang memperisterikan dua orang perempuan bersaudara dalam waktu ysng bersamaan, contohnya dua orang perempuan kakak beradik, saudara perempuan dari ibu isterinya atau saudara perempuan dari bapak isterinya. 5.2.3. Jumlah Poligami Pernikahan dari seorang laki-laki yang telah memiliki empat orang isteri yang akan melakukan pernikahan untuk calon isteri ke-lima akan menjadi batal (karena hokum). 5.2.4. Masih Bersuami/ dalam Iddah Seorang laki-laki dilarang menikahi seorang perempuan yang masih dalam ikatan pernikahan dan seorang perempuan yang masih dalam masa iddahnya. 5.2.5. Perbedaan Agama Seorang laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan non-muslim dan demikian pula sebaliknya. Namun demikian, seoranglaki-laki muslim dibolehkan menikah dengan perempuan ahli kitab yang beragama Yahudi atau Nasrani. 5.2.6. Ihram Laki-laki ataupun perempuan yang sedang melakukan ihram haji atau umrah dilarang melangsungkan akad nikah, karena tidak sah atau batal menurut hukum.

BAB VI PEMUTUSAN HUBUNGAN PERNIKAHAN

Pemutusan hubungan pernikahan antara suami dan istri disebut juga dengan perceraian. Salah satu penyebab perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak suami dan puhak istri. Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena dapat menimbulkan efek-efek negatif, terutama apabila pasangan suami-sitri tersebut sudah mempunyai anak. Rasulullah bersabda: perbuatan yang halal, tetapi paling dibenci Allah adalah talak (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah) Pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin perceraian lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT. Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan atau pernikahan adalah meninggalnya salah satu pasangan, talak, fasakh, khulu, lian, ila, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 6.1. TALAK Talak berarti melepaskan ikatan pernikahan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh. Hal ini sesuai dengan penegasan Rasulullah SAW dalam hadisnya, sebagaiman telah dikemukakan. Talak dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: 6.1.1. Talak Raji yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa iddah atau dapat menikah kembali setelah habis masa iddah-nya. 6.1.2. Talak Bain yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istri yang ditalaknya itu, melainkan mesti dengan akad nikah baru. Talak bain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a.) Talak bain sugra adalah talak dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak tebus. Pada talak ini suami tidak boleh merujuk kembali bekas istrinya, kecuali dengan pernikahan baru baik pada masa iddah maupun sesudahnya. b.) Talak bain kubra adalah talak tiga dimana bekas suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dan telah dicampuri. Jika suaminya itu menceraikannya, maka bekas suami yang pertama boleh menikahinya kembali, sebagaimana firman Allah: Kemudian jika suami menthalaknya (sesudah thalak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kamu yang mengetahui. (QS.Al-Baqarah, 2: 230) 6.1.3. Talak Sunni dan Talak Bidhi Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang suci, tidak sedang haid atau tidak dicampuri. Sedangkan talak bidhi adalah talak yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang haid, atau telah dicampuri. Talak bidhi hukumnya haram. 6.1.4. Talak Sarih dan Talak Kinayah Talak Sarih adalah talak yang diucapkan suami dengan menggunakan kata talak (cerai), firak (pisah), atau sarah (lepas). Dengan menggunakan kata-kata tersebut dinyatakan sah. Talak kinayah adalah ucapan yang tidak jelas namun mengarah kepada thalak. Misalnya, ucapan yang bernada mengusir, menyuruh pulang, atau yang bernada tidak memerlukan lagi dan sejenisnya. Jika suami mengucapkannya dibarengi niat, maka talaknya jatuh. Nabi bersabda: Dari abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: Ada tiga perkara

10

yang apabila disungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi, yaitu nikah, thalak dan rujuk. (HR.Imam empat, kecuali Nasai dan disahkan oleh Hakim) Dalam pernikahan di Indonesia, selesai akad nikah biasanya suami mengucapkan talik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Talik talak hukumnya sah dan dibenarkan syara. 6.2. FASAKH Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami dan istri karena sebabsebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari suami atau istri dengan alasan yang dapat dibenarkan. Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya. Namun, kalau ia ingin kembali sebagai suami-istri harus melalui akad nikah baru. Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, mantan pasangan suami-istri tersebut boleh menikah kembali, tanpa mantan istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain. 6.3. KHULU Menurut bahasa, khulu berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu berarti talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua. Khulu diperkenankan dalam Islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan-tindakan suami yang tidak wajar (umum). Allah SWT berfirman yang artinya, Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hokum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 229)

11

Akibat perceraian dengan cara khulu, suami tidak dapat rujuk, walaupun istrinya masih dalam masa idda. Akan tetapi kalau mantan pasangan suami-istri tersebut ingin kembali, harus melalui akad nikah baru. Berbeda dengan fasakh, kulu dapat mmpengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap sudah tiga kali talak (talak bain kubra), sehingga mantan suami tidak boleh menikah lagi dengan mantan istrinya, sebelum mantan istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa iddah-nya. 6.4. LIAN Lian adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta. Apabila suami sudah menjatuhkan Lian, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang berukuran sedang sampai mati. Agar istri terlepas dari hukum rajam karena merasa tidak berzina, ia harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya, dia mengatakan, Laknat (kutukan) Allah akan menimpa diriku, apabila tuduhan tersebut benar. Sumpah suami-istri tersebut, secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali untuk selama-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak mantan suaminya. Ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang lian ini terdapat dalam Surah AnNur, 24: 6-10. 6.5. ILA

12

Ila berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tesebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Akan tetapi, jika sampai empat bulan dia tidak kembali kepada istrinya, maka hakim berhak mneyuruhnya untuk memilih diantara dua hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan pilihannya, hakim memutuskan bahwa suami mentalak istrinya dengan talak bain sughra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi. Ayat Al-Qurn yang menjelaskan tentang ila adalah Surah Al-Baqarah, 2: 226 dan 227. 6.6. ZIHAR Zihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, punggungmu sama dengan punggung ibuku. Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut, dan tidak melanjutkan dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat tersebut dibayarkan. Ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang zihar ialah Surah Al-Mujadilah, 58: 1-6. 6.7. KEMATIAN Di antara suami atau isteri yang telah meninggal dunia, maka putuslah ikatan pernikahannya. Pasangan yang ditinggalkan dapat melakukan pernikahan dengan orang lain. Bagi isteri yang ditinggalkan, dapat menikah kembali setelah habis masa iddahnya. Masa iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah sampai dengan melahirkan (kalau sedang hamil) atau empat bulan sepuluh hari/ empat kali suci (bila ditinggal mati dalam keadaan suci).

13

BAB VII HIKMAH PERNIKAHAN

Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain: 7.1. Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang diridhai Allah (cara yang islami), dan menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian). Pemenuhan kebutuhan sseksual dengan cara yang diridhai Allah tentu akan mendatangkan banyak manfaat (Q.S. Ar-Rum, 30: 21). Sedangkan pemenuhan seksual dengan cara yang dimurkai Allah tentu akan mendatangkan bencana. 7.2. Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan diridhai Allah untuk

memperoleh anak serta mengembangkan keturunan secara sah. Rasulullah bersabda, Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak karena saya akan bangga, sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibandingkan nabi-nabi yang lain di akherat kelak. (H.R. Ahmad bin Hanbali) 7.3. Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab

membaginya dalam rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Bila dalam suatu rumah tangga, suami dan istri telah melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, tentu rumah tangganya akan menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (damai sejahtera, saling mnegasihi, dan menyayangi).

14

7.4.

Menjalin hubungan silaturrahmi antara keluarga suami dengan keluarga istri,

sehingga sesame mereka salinh menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Nasrul H.S, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skills Untuk Perguruan Tinggi. Padang: UNP Press

16

You might also like