You are on page 1of 3

Liputan6.com, Bandung: Begitu angklung disebut, ingatan sebagian orang mungkin melayang ke Tanah Pasundan.

Maklumlah, hampir setiap orang di Tanah Air pernah mendengar alunan bilah bambu yang disusun sedemikian rupa tersebut. Tepatnya, terdiri dari tabung-tabung bambu dengan panjang dan diameter berbeda. Alat musik tradisional yang seluruhnya terbuat dari bahan alami ciptaan Tuhan ini memang asyik didengar. Terutama bila dimainkan secara bersama-sama layaknya sebuah orkestra. Cara memainkan angklung pun mudah, yakni dengan digoyang atau digetarkan sehingga menghasilkan nada tertentu. Kendati terlihat sederhana, ternyata mencari bambu untuk angklung tidaklah mudah. Seperti yang dilakukan Pak Wawan dan rekannya. Suatu hari, mereka berencana mencari bambu untuk bahan membuat angklung. Menebang bambu untuk angklung pun hanya dapat dilakukan setelah pukul 09.00 WIB hingga menjelang pukul 15.00 WIB. Syarat itu harus dipatuhi, bila ingin memperoleh bahan yang sempurna sehingga menghasilkan angklung berkualitas tinggi. Bambu yang ideal untuk angklung haruslah yang kuat dan keras. Biasanya bambu seperti itu hanya ada di dataran tinggi yang memiliki tekstur tanah berkapur. Tanah yang berkapur dapat membuat batangbatang bambu menjadi keras. Akan tetapi, menemukan bambu di tanah berkapur kini sangat sulit. Apalagi di daerah Bandung, Jawa Barat, yang kondisi tanahnya cenderung liat. Angklung dapat dibuat dari bambu jenis apa pun. Baik itu bambu kuning, hijau, cokelat maupun yang berwarna hitam. Bambu yang ditebang haruslah berumur sekitar empat sampai enam tahun. Jika umurnya terlalu muda, batang bambunya biasanya terlalu kecil dan lunak. Sedangkan bila lebih dari enam tahun, batang bambu cenderung besar dan tebal, sehingga sulit dibentuk menjadi angklung. Kriteria semacam itu ternyata bukan kendala bagi Pak Wawan. Buat memastikan bambu yang akan ditebang sudah cukup umur atau belum, dia cukup mengetuk beberapa kali salah batang rumpun bambu pilihan. Jika suaranya terdengar nyaring, maka batang bambu itu siap ditebang. Cara menebang bambu untuk angklung pun tak boleh sembarangan. Batang bambu dipotong dengan jarak dua jengkal dari akarnya. Selain untuk menumbuhkan bakal bambu lagi, cara ini dilakukan agar mendapatkan ruas yang sesuai untuk angklung. Hanya, bambu yang telah ditebang tak serta-merta menjadi angklung. Ini barulah tahap awal. Bambu dengan ketinggian rata-rata tujuh hingga sepuluh meter itu harus dipotong dengan ukuran lebih kecil, yakni dua atau tiga meter. Walaupun telah dipotong, batang-batang bambu tidak dapat langsung dibuat menjadi angklung. Batangbatang bambu itu harus melalui proses alam terlebih dahulu hingga menjadi kuat dan tahan terhadap rayap. Salah satu cara tradisionalnya adalah dengan mencelupkan bambu di sungai yang mengalir atau memasukan ke air berlumpur. Pak Wawan pun berbagi tugas dengan rekan-rekannya. Ia meminta Agus, salah satu rekannya yang paling muda untuk membawa bambu ke sungai. Setelah berjalan sejauh satu kilometer, Agus pun sampai di sungai. Tanpa menunggu waktu lagi, ia langsung menenggelamkan batang-batang bambu. Agar tak terbawa arus sungai, batang-batang bambu ditahan dengan batu kali yang cukup besar. Lain lagi yang dikerjakan Pak Wawan dan Udin. Dua lelaki ini membawa batangan bambu ke tempat berbeda. Kali ini bambu dibawa ke balong, sebuah kolam yang berisi lumpur padat. Tak berbeda dengan aliran sungai, balong pun berfungsi untuk memperkuat dan menghilangkan rayap di batang-batang bambu. Adapun proses perendaman berlangsung selama satu bulan lamanya. Waktu sebulan dianggap cukup untuk menghilangkan rayap bambu. Setelah sebulan, Wawan dan sejumlah rekannya membawa potongan bambu itu ke Saung Angklung

Udjo, sanggar sekaligus sentra pembuatan angklung yang didirikan almarhum Udjo Ngalagena atau Mang Udjo. Saung ini terletak di wilayah timur Kota Bandung, tepatnya di Jalan Padasuka Nomor 118. Mendiang Mang Udjo adalah seorang perajin sekaligus guru angklung buat ratusan bocah di sekitar tempat tinggalnya. Di sanalah mereka sering menggelar pentas musik angklung. Kini, pembuatan maupun pertunjukan musik angklung diteruskan anak-anaknya. Di beberapa sudut Saung Angklung Udjo, sangat mudah ditemukan batangan bambu yang menjadi bahan dasar angklung. Bambu-bambu ini telah melalui proses perendaman. Namun sebelum dapat dibentuk menjadi angklung, batang-batang bambu harus diangin-anginkan di tempat yang teduh selama enam bulan lamanya. Barulah setelah itu, bambu dianggap telah kering dan memiliki suara yang nyaring. Setelah dipilih bambu yang bagus, maka batangan bambu siap dipotong sesuai ukuran angklung yang akan dibuat. Bagi seorang perajin alat musik bambu, mengukur panjang sebuah angklung bukanlah sesuatu yang sulit. Setidaknya dibutuhkan lima orang untuk mengerjakan satu oktaf angklung. Pekerjaan paling sulit adalah menyelaraskan nada atau menyetem batangan angklung.

indosiar.com, Bengkulu - Alunan suara bersaut-sautan ini dari alat musik disebut Dol. Di Provinsi Bengkulu, Sumatera, alat musik Dol bukan hal yang baru. Iramanya kerap terdengar hampir disetiap sudut kota terutama sore hari.
Dol pertama kali dibawa oleh pedagang dari India. Bentuknya hampir mirip gendang terbuat dari kulit sapi. Ukurannya bervareasi. Diameter Dol terbesar sekitar 70 centimeter dengan tinggi 80 centimeter. Alat musik tradisional Bengkulu ini terbuat dari bongol buah kelapa atau pohon nangka. Masyarakat Bengkulu sangat akrab dengan alat musik Dol. Mereka biasanya bermain Dol secara berkelompok di rumah-rumah atau sanggar kesenian. Peminatnya tak terbatas pada orang dewasa atau remaja. Calung, alat musik dari bamboo, Jawa barat

Kolintang, Suawesi utara

Gamelan, jawa

You might also like