You are on page 1of 23

CONTOH TESIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Pemerintahan Daerah
Perhatian serius untuk menata kembali sistem politik modern dengan didukung oleh birokrasi
pemerintah sebagai kekuatan utama, sebenarnya sudah lama dicanangkan, bahkan sejak masa
orde baru tahun 1966. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan suatu sistem birokrasi yang
eIisien dan eIektiI. Namun upaya itu gagal dilakukan oleh Orde Baru yang antara lain
disebabkan kuatnya sistim politik yang sentralistis. Pada era reIormasi paradigma baru yang
mengusung azas desenrtralisasi menjadi pilihan dalam penataan sistim pilitik dengan munculnya
UU Nomo 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi Daerah dalam UU nomor 32 tahun 2004, dinyatakan sebagai hak, kewenangan dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 5 Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan daerah ). Selanjutnya dalam Penjelasan Umum UU no. 32 tahun 2004 tersebut,
dinyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas dalam
arti pengakuan kewenangan pemerintahan yang secara nyata dilakukan oleh daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Kota dan kota, sedangkan otonomi daerah
propinsi merupakan otonomi yang terbatas, yang meliputi kewenangan-kewenangan yang tidak
dilakukan oleh daerah otonom Kota dan kota serta kebijakan strategis regional.
Apabila dicermati, sistem otonomi yang demikian lebih mendekati makna dan hakekat otonomi
sebagaimana termaktub dalam pasal 18 UUD 1945. Yaitu bahwa penyelenggaraan pemerintahan
di daerah harus dilakukan berdasarkan desentralisasi, dan tidak mengatur mengenai
pemerintahan wilayah yang merupakan manivestasi dari asas dekonsentrasi. Dalam pasal 18
UUD 1945 disebutkan sebagai berikut :
'Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersiIat istimewa

Sejak diberlakukan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tanggal 1 Januari 2001 dan juga
penggantinya Undang-Undang no.32 tahun 2004, kepada daerah diberikan otonomi yang luas
nyata dan bertanggungjawab. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999
sebagaimana disebut didepan adalah agar pemerintah pusat terbebaskan dari beban-beban yang
tidak perlu dalam menangani urusan domestik. Dengan demikian berkesempatan mempelajari,
memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan mengambil manIaatnya. Disamping
itu pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
nasional yang bersiIat strategis. Desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, juga akan
terjadi proses pemberdayaan daerah yang signiIikan. Kemampuan, prakarsa dan kreatiIitas
daerah yang akan terpacu sehingga memiliki kapabelitas yang kuat dalam mengatasi berbagai
masalah domestik.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004, juga dimaksudkan untuk lebih menekankan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Artinya bahwa otonomi daerah diharapkan akan lebih memberdayakan
masyarakat dan menghidupkan demokrasi.
Hal itu tercermin dari susunan pemerintahan daerah yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah. DPRD merupakan badan legislatiI daerah, sedangkan
Pemerintah Daerah adalah badan eksekutiI daerah. Pemisahan DPRD dari Pemerintah Daerah
juga dimaksudkan untuk menempatkan DPRD sebagai komponen penting dan sentral dalam
menjalankan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Hal itu merupakan usaha guna
mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat di tingkat daerah yang tercermin dengan adanya
keikutsertaan rakyat lewat lembaga perwakilan di daerah dalam menentukan kebijakan
pemerintahan di daerah yang bersangkutan.
Lembaga perwakilan rakyat, dalam sistem pemerintahan demokrasi , merupakan unsur yang
paling penting, disamping unsur sistem pemilihan, persamaan didepan hukum, kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Dalam setiap demokrasi, warga
negara baik secara langsung maupun melalui wakil pilihannya di lembaga perwakilan,
seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik.
Pengalaman sejarah ketatanegaraan di Indonesia terutama yang menyangkut melemahnya peran
legislatiI dan menguatnya peran eksekutiI sangat terasa pada zaman pemerintahan Orde Baru.
Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah misalnya,
menempatkan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah bukan suatu badan legislatiI daerah
yang terpisah dari eksekutiI daerah. Hal itu memberi peluang menguatnya peran EksekutiI di
pusat yang diikuti menguatnya peran Kepala Daerah terhadap DPRD.
Dalam pasal 80 UU No.5 tahun 1974 menunjukkan bahwa Kepala Daerah mempunyai
kekuasaan yang lebih kuat dibandingkan dengan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Apabila dicermati, Undang-undang No.5 tahun 1974 menganut dualisme. Kepala
daerah karena jabatannya juga merangkap kepala wilayah. Artinya, kepala wilayah merupakan
wakil pemerintah pusat di daerah dan sekaligus sebagai penguasa tunggal dibidang
pemerintahan. Dalam pengertian ini tugas Kepala Daerah adalah memimpin pemerintahan,
mengkoordinasikan pembangunan dan pembina kehidupan masyarakat dalam segala bidang
Ketentuan lain yang melemahkan ruang gerak kewenangan DPRD pola pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah yang tidak makin dekat kepada rakyatnya melainkan lebih cenderung
mengabdi pada Pemerintah Pusat.
Dengan lahirnya UU nomor 32 tahun 2004 peranan DPRD lebih besar. Pasal 40 dan 41
menyebutkan DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintah Daerah. Selanjutnya Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD
memiliki Iungsi legislasi, Anggran dan Pengawasan. Hal itu menunjukkan adanya pengakuan
prinsip kedaulatan rakyat di daerah, yang sekaligus menempatkan DPRD sebagai wakil rakyat
dalam posisi yang cukup sentral.
Itulah sebabnya salah satu agenda reIormasi tahun 1998 mencakup pula tentang penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala daerah dan
optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah.
Dari uraian diatas dapat dipahami maksud diadakannya otonomi daerah pada Kota, yaitu sebagai
upaya pemberdayaan. Selain urusan urusan Pertahanan dan Keamanan, Iiskal, Peradilan dan
Agama telah diserahkan kepada daerah otonom.
Kota Lubuk Linggau sebagai daerah otonom, telah memiliki kewenangan kewenangan daerah.
Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Daerah Kota / kota telah diatur melalui Keputusan
Presiden Nomor 5 tahun 2001. Lebih rinci kewenangan Kota / kota telah diatur oleh Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kota / kota.
Adanya penyerahan kewenangan daerah, tentunya akan memberikan keuntungan dan kerugian
bagi daerah itu sendiri. Keuntungannya, daerah itu mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengelola daerahnya sesuai kondisi dan kemampuan daerah otonom yang bersngakutan. Disisi
lain, kerugian yang dialami adalah bertambahnya permasalahanan yang akan lebih komplek
dalam mengatur dan mengelola daerahnya.
Oleh karenanya, Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat mengatur dan mengeluarkan kebijakan
publik yang memiliki nilai-nilai equality, dan berpihak kepada rakyat sebagai pemegang
kedaulatan. Kebijakan publik itu sendiri diujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)
maupun keputusan Walikota sesuai dengan tingkatan yang telah diatur oleh perundang-undangan
Pengaturan Peraturan Daerah (Perda) telah diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah yang berbunyi ' Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD menetapkan
Peraturan Daerah. Raperda, dapat berasal dari usulan inisiatiI DPRD atau yang diusulkan oleh
EksekutiI, dalam hal ini adalah Kepala Daerah.
Adanya pemisahan peran yang jelas antara Pemerintah Daerah selaku Badan EksekutiI Daerah
dengan DPRD selaku Badan legislatiI daerah, memberikan paradigma baru pada pola hubungan
antara DPRD dengan Pemerintah Daerah. Perbedaan yang mencolok seperti yang dianut oleh
Undang-undang No. 5 tahun 1974, dan Undang-undang No.32 tahun 2004 adalah bahwa DPRD
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra bagi Pemerintah Daerah. Kesetaraan dan kemitraan
tersebut, menunjukkan suatu kondisi dan peran yang 'equal antara keduannya.
Menguatnya peran DPRD dewasa ini, memunculkan kesan dan anggapan bahwa seolah-olah
dominasi berada pada badan LegislatiI Daerah terhadap badan EksekutiI Daerah. Kalau
sinyalemen ini benar, maka telah terjadi bias terhadap kesetaraan kedudukan DPRD dan
Pemerintah Daerah. Hal yang demikian menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti, bagaimana
DPRD Kota Lubuk Linggau berperan dalam perumusan Peraturan Daerah, khususnya dalam
penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ?
2. Penyusunan APBD
Satu hal yang sangat vital dalam pengelolaan daerah sesuai Otonomi yang telah diberikan kepada
Daerah, adalah bagaimana Pemerintah Kota bersama DPRD menetapkan kebijakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara konseptualisasi sesuai UU No. 25 tahun 2000,
APBD harus mengacu kepada Program Pembangunan Nasional, Pola Dasar Pembangunan
daerah ( Poldas) yang telah dimiliki dan kemudian dijabarkan melalui, Program Pembangunan
Daerah (Propeda).
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 108/2000, sebagai tolok ukur Pertanggungjawaban
Kepala Daerah disusun Program Pembangunan Daerah (Propeda) yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah Nomor :17/2002 tentang Program Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau
tahun 2002 2005. Bertolak dari hal itu Kota Lubuk Linggau telah menyusun Rencana Strategik
(Renstra) yang dituangkan melalui Peraturan Daerah Nomor : 18/2002 tentang Rencana Strategis
Pemerintah Kota Lubuk Linggau . Propeda dan Renstra tersebut kemudian dijabarkan secara
tehnis melalui Repetada ( Rencana Pembangunan Tahunan Daerah). Dari Repetada itulah
kemudian disusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) Kota Lubuk Linggau tahun 2007 ditetapkan
melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 25 tahun 2002 tanggal 16 Desember 2002. Repetada
ini merupakan landasan dan pedoman bagi seluruh Aparatur Pemerintah di Kota Lubuk Linggau
dalam rangka penyusunan rencana kegiatan tahun 2007 sesuai dengan tugas, Iungsi dan
wewenang masing-masing. Pelaksanaan Repatada ini tercermin dalam APBD dan Kebijakan
Pemerintah Daerah lainnya dengan memperhatikan kemungkinan perkembangan yang berubah
begitu cepat dan memerlukan penyesuaian-penyesuaian.
Persoalannya adalah benarkah Repetada tersebut telah mendasari penyusunan RAPBD, atau
bahkan sebaliknya draIt RAPBD yang dijadikan acuan bagi penyusunan Repetada. Pertanyaan
itu mengkait dengan rentan waktu yan amat singkat, hanya sekitar setengah bulan antara
penetapan RAPBD dengan Repetada, bahkan Repetada ditetapkan saat RAPBD sudah mulai
dibahas oleh DPRD sehingga muncul kecurigaan draIt RAPBD tersusun lebih dahulu.
Selain itu, Kepmendari nomor 29 tahun 2002 melalui pasal 17 ayat (1) dan (2) mensyaratkan
bahwa dalam penyiapan Rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD harus
menyusun terlebih dahulu Arah Kebijakan Umum APBD. Dalam penyusunan Arah Kebijakan
Umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat (Jaring Asmara) yang
berpedoman pada Renstra dan atau dokumen perencanaan daerah lainnya yang ditetapkan
Daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh Menteri Dalam
Negeri. Berdasarkan Arah Kebijakan Umum APBD, sesuai Pasal 18 Kepmendari nomor 29
tahun 2002 Kepala Daerah menyusun strategi dan Prioritas APBD. Kepmendagri tersebut juga
mengatur mekanisme baru dalam penyusunan APBD yaitu dengan menggunakan Rencana
Anggaran Sistem Kinerja (RASK), dari yang sebelumnya menggunakan DUKDA (daItar Usulan
Kegiatan Daerah) / DaItar Usulan Proyek Daerah (DUPDA). Masing-masing unit kerja membuat
rencana Anggaran dengan sitim kinerja.
Persoalannya adalah bagaimana proses penjaringan aspirasi masyarakat dalam kerangka
penyusunan APBD itu dilakukan, sejauhmana melibatkan stakeholders yang ada sehingga APBD
mencerminkan kebutuhan rakyat Lubuklinggau ? Pertanyaan itu terasa penting dikedepankan
karena ternyata dalam pengesahan APBD masih terdapat kendala dan tarik ulur.
Perumusan APBD Kota Lubuk Linggau pada Tahun Anggaran 2007/2008 terkesan menjadi
arena kompetisi antara legislatiI dan eksekutiI daerah. Rapat anggaran pada saat itu sedikit
banyak bernuansa konIlik dan sarat kepentingan. Padahal seharusnya, kepentingan
masyarakatlah yang harus dikedepankan.
Dari kondisi seperti itu, setidaknya memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya Proses
Perumusan Rancangan ABPD Kota Lubuk Linggau khususnya tahun 2007 ? Inilah yang perlu
dikaji, sejauhmana penjaringan aspirasi masyarakat, Perumusan Arah Kebijakan Umum APBD
dan penyusunan Strategi dan Prioritas APBD sebagaiman telah ditetapkan melalui Peraturan
Daerah Nomor : 3 tahun 2007 dilakukan dengan melibatkan stakeholders.

B. Perumusan Masalah
Bertolak dari pandangan di atas, dan latar belakang yang telah dikemukakan, maka untuk
merumuskan permasalahan dapat dikemukakan dua pernyataan guna mengungkap permasalahan
dalam perumusan APBD Kota Lubuk Linggau tahun 2007 ( Perda Nomor : 3 Tahun 2007):
1. Bagaimana Proses Perumusan APBD Kota Lubuk Linggau Tahun Anggaran 2007 ?
2. Bagaimana Keterlibatan aktor eksekutiI dan legislatiI daerah pada perumusan APBD Kota
Lubuk Linggau Tahun Anggaran 2007 ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
1. Mengkaji lebih mendalam proses Perumusan APBD Kota Lubuk Linggau Tahun Anggaran
2007
2. Mengkaji lebih mendalam keterlibatan stakeholders dan para aktor dalam proses Perumusan
APBD Kota Lubuk Linggau Tahun Angaran 2007
3. Mencoba merumuskan saran tindak aplikatiI dalam rangka mewujudkan Perumusan APBD
yang aspiratiI dan demokratis
D. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk membatasi agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas, maka penelitian di Iokuskan
pada Proses Perumusan APBD Kota Lubuk Linggau tahun 2007 sejak dari perumusan RAPBD
sampai dengan Penetapan APBD nya. Pembatasan ruang lingkup penelitian ini dilakukan dengan
pertimbangan waktu dan tenaga yang terbatas.
E. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah pokok diatas maka tujuan yang dapat dicapai dari hasil
penelitian ini adalah :
1. Memberikan gambaran tentang proses perumusan APBD Kota Lubuk Linggau tahun 2007,
sejak dari perumusan penjaringan aspirasi masyarakat, Strategi dan skala prioritas RAPBD
sampai dengan Penetapan APBD Kota Lubuk Linggau tahun 2007
2. Sebagai sumbang pikir dalam pengembangan studi proses perumusan kebijakan publik
khususnya dalam perumusan APBD.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Paradigma yang digunakan
Penelitian ini menggunakan batasan paradigma yang kelima yaitu paradigma Administrasi
negara sebagai administrasi negara. Paradigma ini memIokuskan pada teori administrasi, dalam
hal ini teori kebijakan publik dengan lokusnya birokrasi pemerintahan. Kebijakan publik dalam
bentuk perumusan APBD adalah tindakan strategis yang diambil birokrasi pemerintah daerah
yang notabene penegak aturan dan pengambil kebijakan yang syah, berkait adanya permasalahan
atau situasi problematis di masyarakat pasca diterapkannya UU nomor 32 tahun 2004 (lokus).
B. Teori Kebijakan Publik
Kebijakan publik marupakan konsep yang sangat kompleks. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari
banyaknya deIinisi tentang kebijakan publik dalam kepustakaan ilmu politik. Secara umum
kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan. Oleh karenanya
untuk mengkaji atau menganalisa kebijakan dalam studi ini perlu kiranya meninjau pengertian
kebijakan publik yang bermacam-macam.
Menurut Charles O. Jones (dalam Budi Winarno, 2002 : 14) kebijakan (policy term) digunakan
untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering
dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decision), standar, proposal, dan grand
design.
Pengertian senada dikemukakan oleh Harold D Laswell dan Abraham Kaplan (dalam IrIan
Islamy, 2002 : 15) yang menyebutnya sebagai 'a projected program oI goals, values and
practtices (suatu program pencapaian tujuan nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Akan
tetapi dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan lebih luas dipergunakan dalam kaitannya
dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku negara pada
umumnya (Johnson dalam Abdulwahab, 1991:13). Oleh karena itu kebijakan dapat bermakna
sebagai tindakan politik. Konsep kebijakan oleh Carl J. Friedrich (dalam IrIan Islamy , 2002 :
17) diartikan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan pada seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.
Thomas R. Dye (dalam Budi Winarno, 2002 : 15) mendeIinisikan kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. IrIan Islamy (2002 : 18)
mengartikan batasan Dye tersebut bahwa apabila pemerintah memilih untuk dilakukan sesuatu
maka harus ada tujuannya (obyektiInya) dan kebijakan politik itu harus meliputi semua
'tindakan pemerintah bukan semata-mata merupakan keinginan pemerintah atau pejabat-pejabat
pemerintah saja. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun, mernurut
Dye, termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan karena 'sesuatu yang tidak dilakukan oleh
pemerintah akan mempunyai (dampak) yang sama besarnya dengan 'sesuatu yang dilakukan '
oleh pemerintah.
Pengertian kebijakan negara yang mirip dengan pendapat Dye, dikemukakan oleh George C.
Edwards III dan Sharkansy (dalam IrIan Islamy, 2002:18) yang mendeIinisikan kebijakan negara
adalah '.is whats government say and do, or do not do. It is the goals or purpose oI government
Programs . (adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah.).
Menurutnya kebijakan itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-
undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-
program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Udoji (dalam Abdulwahab,1995:15) mendeIinisikan
kebijakan negara sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu,
yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang
mempengaruhi sebagian besar masyarakat.
Amir Santoso ( dalam Budi Winarno , 2002 :17) , menyebutkan bahwa pandangan tentang
kebijakan publik dapat dibagi kedalam 2 wilayah kategori. Pertama pendapat ahli yang
menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dari kelompok
ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan
publik. Pandangan kedua menurut Amir santoso berangkat dari para ahli yang memberikan
perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagai
dalam 2 kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan - keputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap
kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang diramalkan.
Dalam glosary di bidang administrasi negara, kebijakan publik mempunyai arti : (1) The
organizing Iramer work oI purposes and rationales Ior government programs that deal with
speciIed societal problems, (2) Whatevers government chooser to do or not to do, (3) The
complex programs enacted and implemented by governments. (' Bahwa ; (1) susunan rancangan
tujuan-tujuan dan dasar pertimbangan programa-programa pemerintah yang berhubungan dengan
masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, (2) Apapun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau tidak, (3) Masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan
pemerintah) (dalam Islamy,2002:20).
Di samping berkait tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan juga terdapat cara pencapaian
dari tujuan tersebut. Seperti deIinisi yang diberikan Nakamura dan Smallwood, yang
memandang kebijakan negara dalam tiga aspek, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa kebijakan negara
adalah serentetan instruksi / perintah dari para pembuat kebijakan yang ditunjukkan kepada para
pelaksanaan kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut (Abdul Wahab,1990,32).
Kemudian Jenkins mendeIinisikan kebijakan publik adalah
' A set oI interelated decisisons taken by a political group or actor concerning the selection oI
goals means oI achieving them within a speciIied situations shold in principles, bewithin power
oI these actors to achievi( Serngkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh
seorang aktor politik berkenaan dengan tujuan yang dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut). (dalam Abdulwahab, 1997:4)

Dari deIinisi-deIinisi di atas dapat disimpulkan makna dari kebijakan publik adalah sebagai
berikut :
1. Merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang
serba acak.
2. Merupakan tindakan yang berpola dan bersangkut paut yang mengarah pada tujuan tertentu
yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri.
3. Merupakan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
4. Dapat berbentuk positiI, apabila dalam keputusan atau tindakannya untuk mempengaruhi
masalah-masalah tertentu, dan dapat dalam bentuk negatiI apabila pemerintah tidak merespon
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian kebijakan negara adalah serangkaian tindakan yang bersiIat memaksa dan
dilakukan oleh pemerintah sebagai respon dari serangkaian keadaan dalam masyarakat serta
berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dari pengertian tersebut, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah termasuk kategori Kebijakan Publik. Oleh karenanya penulis sependapat dengan
glosary di bidang administrasi negara, yang mendeIinisikan Kebijakan Publik adalah : Bahwa ;
(1) susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar pertimbangan programa-programa pemerintah
yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, (2) Apapun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak, (3) Masalah-masalah yang kompleks yang
dinyatakan dan dilaksanakan pemerintah (dalam Islamy,2002:20). Penelitian ini memIokuskan
perhatianya pada Iormulasi kebijakan sebagai salah satu aspek dalam analisis kebijakan Publik.
C. Teori Formulasi Kebijakan Publik
1. Proses Formulasi Kebijakan Publik
Membuat atau merumuskan suatu kebijakan negara bukanlah hal yang mudah dan sederhana tapi
suatu proses yang rumit dimana didalamnya terdapat kekuatan yang berpengaruh. Menurut
Charles E. Lindblom (1986) (dalam Abdulwahab, 1997 : 16 ), Pembuatan kebijakan publik
merupakan:
' an extremely complex, analitycal and political process to which there is no begininging or end,
and the boundaries oI which are most uncertain, Somehow a.complex set oI Iorces that we call
policy-making all taken together, produces aIIect called policies
(Merupakan proses yang amat kompleks dan analitis dimana tidak mengenal saat dimulai dan
diakhirnya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian
kekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan kebijakan negara itulah yang
kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan).

Charles E. Lindblom (1986 : 3 ) menunjuk pada metode untuk mempelajari peliknya perumusan
Kebijakan. Suatu metode yang populer, membagi perumusan kebijakan kedalam tahap-tahap dan
kemudian menganalisis masing-masing tahap. Pertama mempelajari bagaimana masalah-masalah
itu timbul dan masuk dalam agenda para pengambil keputusan pemerintah, kemudian bagaimana
masyarakat merumuskan masalah-masalah tersebut untuk pengambilan suatu tindakan, kemudian
sikap apa yang diambil oleh badan legislatiI atau lembaga lainnya, kemudian bagaimana para
pemimpin menerapkan kebijakan itu, dan akhirnya bagaimana kebijakan tersebut dievaluasi.
Senada dengan itu, Etzioni (1968) menjelaskan bahwa 'melalui proses pembuatan keputusanlah
komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali kabur dan abstrak, sebagaimana nampak dalam
nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik) ke dalam
komitmen-komitmen yang spesiIik menjadi tindakan-tindakan yang kongkrit. (dalam Wahab,
1997 : 17)
William N Dunn ( 2000 : 22 ), memberikan pendapat, proses perumusan kebijakan merupakan
aktivitas politik yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang
diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, Iormulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Anderson (dalam Budi Winarno, 2002 : 69-70) membedakan antara pembentukan kebijakan dan
Perumusan Kebijakan . Perumusan Kebijakan diartikan sebagai aktivitas yang menyangkut
upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatiI disepakati untuk masalah-masalah
yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi, Ia merupakan proses yang secara spesiIik
ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan
lebih merujuk pada aspek-aspek seperti misalnya, bagaimana masalah-masalah publik menjadi
perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-
masalah khusus, dan bagaimana proposal tersebut dipilih diantara berbagai alternatiI yang saling
berkompetisi.
Udoji merumuskan secara rinci pembuatan kebijakan negara sebagai :
' The whole articulating and deIining problems, Iormulating posible solutions into political
demands, channeling those demands into political system, seeking sanctions or legitimation oI
the preIered course oI action, legitimation and implementation, monitoring and review
(Ieedback) (keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendeIinisian masalah,
perumusan kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan politik, penyaluran tuntutan
tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah
tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan
peninjauan kembali (umpan balik) (dalam Abdulwahab, 1997 : 17).

Lydden, Shipman dan Wilkinson (dalam Abdulwahab, 1990 : 4). menyebutkan bahwa proses
pembuatan kebijakan publik negara biasanya mengacu pada langkah-langkah yang teratur
mengenai interaksi pihak pemerintah dan pihak swasta yang memperbincangkan atau berdebat,
serta usaha untuk mencapai kesepakatan bersama tentang ruang untuk menangani masalah sosial
tertentu. Proses kebijakan negara tersebut meliputi : (1) Pencarian inIormasi yang tepat untuk
merumuskan masalah sosial, (2) Mengembangkan alternatiI masalah sosial, (3)Mencapai
kesepakatan pendapat alternatiI terbaik untuk memecahkan masalah
Makna pembuatan kebijakan negara menurut Dror (1968) dengan :
' A very complex, dynamic process whose various components make diIIerent contributons to it,
it dicides major guidlines Ior action directed at Iuture, mainly aim at achievning wahat is the
public interest by the posible means (suatu proses yang sangat kompleks dan dinamis yang
terdiri dari berbagai unsur yang satu sama lain kontribusinya berbeda-beda terhadap pembuatan
kebijakan negara tersebut. Artinya pembuatan kebijakan negara memutuskan pedoman-pedoamn
umum untuk melakukan tindakan mengarah pada masa depan, terutama bagi lembaga
pemerintah, pedoman-pedoman umum secara Iormal dimaksudkan untuk mencapai apa yang
termaktub dalam istilah kepentingan umum dengan cara sebaik mungkin ) (dalam Abdulwahab,
1990 : 34)

Dari deIinisi-deIinisi di atas dapat disimpulkan bahwa Iormulasi kebijakan publik meliputi
beberapa aspek yaitu :
a. Merupakan tindakan yang berpola dan berkesinambungan yang berlangsung dalam suatu
sistem.
b. Adanya keterlibatan beberapa aktor yang mempunyai peranan yang berbeda.
c. Artinya sama dengan pengambilan keputusan.
d. Diarahkan pada masa depan
e. Dilakukan oleh lembaga pemerintah.
I. Adanya proses kompromi dalam pembuatan kebijakan
g. Adanya kesepakatan tujuan bersama oleh para aktor yang terlibat di dalamnya, tujuan ini
mengandung maksud untuk kepentingan umum.
Dari deIinisi tersebut, tampak adanya Iaktor yang mempengaruhi dalam proses Iormulasi
kebijakan publik. Faktor-Iaktor tersebut diantaranya adalah lingkungan baik itu imternal maupun
eksternal. Nigro dan Nigro (dalam Islamy, 2002 : 25 ) menjelaskan adanya Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan dan beberapa kesalahan umum dalam pembuatan
kebijakan.
IrIan Islami (2002 : 25-26 ) menyebutkan beberapa Iaktor yang mempengaruhi dalam proses
Iormulasi kebijakan publik adalah : (1) Adanya tekanan-tekanan dari luar, (2) Adanya pengaruh
kebiasaan lama (Konservatisme); (3) Adanya pengaruh siIat-siIat pribadi ; (4) Adanya pengaruh
dari kelompok luar; (5) Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Menurut Gerald E. Caiden, disamping Iaktor-Iaktor tersebut di atas ada beberapa Iaktor yang
menjadikan sulitnya membuat kebijakan, yaitu : sulitnya memperoleh inIormasi yang cukup,
bukti-bukti sulit disimpulkan, adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda, dampak
kebijakan sulit dikenali, umpan balik keputusan bersiIat sporadis, proses perumusan kebijakan
tidak mengerti dengan benar dan sebagainya. (dalam IrIan Islami; 2002 : 27)
Sedangkan kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses Iormulasi menurut
Nigro & Nigro ada tujuh macam yaitu:
a. Cara berpikir yang sempit ( cognitive nearsightedness)
b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulang masa lalu (Asumption that Iuture will
repeat past)
c. Terlalu menyederhanakan sesuatu ( over simpliIication);
d. Terlampau menggantungkan pada seseorang ( Overline on one`s own experience);
e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan (Procencieved
nations);
I. Tidak adanya keinginan aktor untuk melakukan percobaan ( Unwillingness to experiment)
g. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide) ( Islamy, 2002 : 27-30)
Dalam kontek pembuatan kebijakan, James E. Anderson melihat adanya bermacam-macam nilai
yang melandasi tingkah laku pembuat keputusan dalam membuat keputusan, yaitu :
a. Nilai-nilai politis (political values). Keputusan-keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik
dari Partai Politik atau kelompok kepentingan tertentu.
b. Nilai-nilai organisasi ( Organization values). Keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai
organisasi, seperti balas jasa (reward) dan sanksi (sanctions).
c. Nilai-nilai pibadi (personal values). Seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi
yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi,
kekayaan dan sebagainya
d. Nilai-nilai kebijakan (policy values) . Nilai dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan
tentang kepentingan publik atau pembuat kebijakan yang secara moral dapat
dpertanggungjawabkan.
e. Nilai-nilai idiologi (idiological values). Misalnya nilai nasionalisme dapat menjadi landasan
pembuat kebijakan seperti misalnya kebijakan dalam dan luar negeri. (dalam Islamy, 2002 : 27 )
Dari uraian tersebut diatas, penulis memilih teori Udoji merumuskan secara terperinci pembuatan
kebijakan negara sebagai :
'keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendeIinisian masalah, perumusan
kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan politik, penyaluran tuntutan tersebut ke
dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan
yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan
kembali (umpan balik) (dalam Abdulwahab, 1997 : 17).

Dari pandangan Udoji tersebut, Proses Iormulasi kebijakan publik merupakan sebuah proses;
terdiri atas tahapan-tahapan yang dapat disederhanakan menjadi 4 tahap yaitu :
a. Perumusan masalah kebijakan publik,
b. Penyusunan agenda pemerintah
c. Perumusan usulan kebijakan publik,
d. Pengesahan kebijakan publik.
e. Perumusan masalah kebijakan publik
Schattschneider (1960) mendeIinisikan, masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-
nilai, atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui
tindakan publik. Karenanya, perumusan masalah oleh Dunn dikatakan merupakan sistem
petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua Iase
analisis kebijakan (dalam William Dunn 2000: 210). Itu sebabnya mengenali dan merumuskan
masalah merupakan langkah yang paling Iundamental dalam perumusan kebijakan. Dibuatnya
suatu kebijakan pada umumnya berasal dari adanya suatu masalah yang ada di dalam masyarakat
dan masyarakat menyadari bahwa itu adalah masalah yang harus dipecahkan oleh pemerintah.
Menurut Smith masalah dalam konteks kebijakan publik adalah :
' For policy purposes, a problem can be Iormaly deIined as condition or situation that producers
need or dissatis Iactions on the part or people Ior which relieI or redress is sought this may be
done by thos directly aIIected or by others acting on their behalI (untuk kepentingan kebijakan
suatu masalah dapat diartikan secara Iormal atau sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan
kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan pada rakyat untuk mana dicari penanggulangannya, hal
ini dilakukan secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya
tanggung jawab). (dalam Islamy, 2002 : 79 )
Charles E.Lindblom (1980 : 3) menjelaskan, untuk memahami siapa yang sebenarnya
merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami siIat-siIat semua pemeran serta
(participants), bagian atau peran apa yang mereka mainkan, wewenang atau bentuk kekuasaan
apa yang mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi.
Menurutnya, tahapan-tahapan dalam perumusan kebijakan, pertama dipelajari bagaimana
masalah-masalah yang timbul dan masuk kedalam agenda pengambil keputusan pemerintah,
kemudian bagaimana masyarakat merumuskan masalah-masala tersebut untuk mengambil suatu
tindakan, kemudian sikap apa yang diambil oleh badan legislatiI atau lembaga lainnya, kemudian
bagaimana para pemimpin menerapkan kebijakan itu, dan akhirnya bagaimana kebijaksanan
tersebut dievaluasi.
Kesimpulannya, masalah adalah kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan manusia harus
dipecahkan atau diatasi. Banyak sekali masalah atau problem yang dimiliki masyarakat, tidak
selalu hal itu langsung menjadi problem umum (public Problem). Problema umum adalah
kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau
diatasi secara pribadi (privat), Problema-problema umum (public problems) itu adalah masalah-
masalah yang mempunyai akibat yang luas termasuk akibat yang mengenai orang-orang secara
tidak langsung terlibat (Islamy, 2002 : 79).
Menurut Dunn (2000 : 226) Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan
empat Iase yang saling tergantung, yaitu : (1) Pencarian Masalah (Problem Search), (2)
PendeIinisian Masalah (problem deIinition), (3) SpesiIikasi Masalah (Problem SpeciIication), (4)
Pengenalan Masalah (Problem Sensing).
2. Penyusunan Agenda Pemerintah
Setalah perumusan masalah kebijakan tahap selanjutnya adalah penyusunan agenda pemerintah.
Menurut Cobb dan Elder ( dalam Islamy, 2002 :91) Agenda pemerintah sebagai ' That Sets oI
items explicity up Ior the active and sriousconsideration oI authoritative decision makers '
(Serangkaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan pertimbangan-pertimbangan aktiI dan
serius dari pembuat keputusan yang sah akan otoritatiI).
Dari pendapat di atas disimpulkan agenda pemerintah disusun atau dibuat berdasarkan masalah-
masalah yang membutuhkan keseriusan pembuat keputusan untuk mempertimbangkan guna
dicari pemecahannya.
Agenda pemerintah dapat berisi hal-hal (items) yang baru atau lama. Hal-hal lama (old items)
selalu muncul secara reguler pada agenda pemerintah. Hal ini sudah cukup dikenali oleh
pembuat keputusan dan alternatiI yang dipilihpun sudah terpola, sehingga pembuat kebijakan
lebih banyak memberikan pada hal-hal lama dimana hal tersebut selalu terus menerus muncul
dan mereka sudah mengetahui seluk beluknya sedangkan hal-hal baru (new items) adalah hal-hal
yang belum dideIinisikan sebagai akibat munculnya situasi atau peristiwa khusus dan baru.
Menurut Anderson (dalam Islamy, 2002 : 86-88) ada beberapa Iaktor yang dapat menyebabkan
problema-problema umum masuk dalam agenda pemerintah. Faktor tersebut adalah : (1) Bila
terdapat ancaman terhadap kesinambungan antar kelompok (group equilibrium), (2)
kepemimpinan politik, (3) Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa, (4) Adanya gerakan-
gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, (5) Masalah-masalah khusus atau isu politik yang
timbul di masyarakat yang menarik perhatian media komunikasi.
3. Perumusan Usulan Kebijakan Publik
Tahap perumusan usulan kebijakan publik dilakukan setelah problema umum dimasukkan dalam
agenda pemerintah. Perumusan usulan kebijakan publik menurut Islamy. (2002 : 92-96), adalah
kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan
masalah. Termasuk dalam kegiatan ini adalah :
a. MendeIinisikan AlternatiI
b. MendeIinisikan dan Merumuskan alternatiI,
c. Menilai AlternatiI
d. Memilih alternatiI yang memuaskan.
Suatu alternatiI yang telah dipilih secara memuaskan itu akan menjadi usulan kebijakan (policy
proposal), yang telah diantisipasi dapat dilaksanakan dan memberikan dampak yang positiI.
Tetapi belum tentu semua usulan kebijakan itu dapat langsung menjadi keputusan kebijakan
(policy decision), karena sangat tergantung dari proses terjadi dalam pengesahan kebijakan
(policy adoption).
Bentuk dan jenis kebijakan banyak pula dipengaruhi oleh pihak dalam (inside participans) dan
pihak luar (outside participans). Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan
tergantung dari sistem politik (political system) negara yang bersangkutan .
4. Pengesahan Kebijakan Publik
Dalam proses Iormulasi kebijakan publik pengesahan merupakan tahap penting dan tidak bisa
dilepaskan dengan proses pembuatan kebijakan. Karena usulan kebijakan dapat menjadi suatu
kebijakan dan mengikat bagi kelompok sasaran apabila diberi pengesahan oleh badan yang
berwenang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh IrIan Islamy (2002 ::98), bahwa suatu usulan
kebijakan yang dibuat oleh pembuat keputusan (baik oleh orang atau badan) dapat saja usulan itu
disetujui atau ditolak oleh pengesah kebijakan. Sekali usulan kebijakan diadopsi atau diberikan
legitimasi (pengesahan) oleh seorang atau badan yang berwenang, maka usulan kebijakan itu
berubah menjadi kebijakan (policy decision) yang syah (legitimate) dalam arti dapat dipaksakan
pelaksanaan nya dan bersiIat mengikat bagi orang atau pihak yang menjadi sasarannya.
Pertama, adalah bentuk yang memberi wewenang (authorizes) kepada proses politik dasar yang
meliputi juga proses yang dirancang untuk mengesahkan proposal-proposal khusus mengenai
pemecahan masalah-masalah publik ( public problems). Kedua, meliputi proses-proses khusus
lewat mana program-program pemerintah disahkan. Yang pertama mengacu pada pengesahan
(legitimasi) sedang yang kedua pada persetujuan (dalam Jones 1991 : 198). Proses pengesahan
kebijakan adalah proses-proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-
prinsip yang diakui dan ukuran-ukurannya yang diterima.
Di Indonesia, landasan utama dalam perumusan dan pengesahan kebijakan negara dilakukan
secara 'Musyawarah untuk muIakat '. Pemungutan suara (voting) dimana satu orang punya satu
suara (one man one vote) barulah dilakukan kalau musyawarah untuk muIakat sudah buntu.
Proses pengesahan biasanya diawali dengan kegiatan persuasi (persuasion) dan tawar menawar
(bergaining). Menurut Anderson Persuasi adalah : ' Attemps to convice others oI correctness oI
value oI one`s position, and threbay cause them to adapt it as their own Usaha-usaha untuk
meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai keduduk an seseorang dan sehingga
mereka mau menerimanya sebagai miliknya.
Dari pendapat diatas disimpulkan persuasi adalah proses untuk meyakinkan kepada orang lain
bahwa pendapatnya benar sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan arti dari tawar menawar
(bergaining) menurut Anderson juga adalah :
' As a process in which two or mor persons in postions oI power oI authority adjust their al lease
partialy inconsistent goals in order to Iormulate a course oI action that acceptable but not
necessarily ideal to the participants (sebagai suatu proses dua orang atau lebih yang mempunyai
kekuasaan atau otoritas untuk mengatur atau menyesuaikan sebagian tujuan-tujuan yang tidak
mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama
tetapi tidak terlalu ideal bagi mereka.)

Dari pendapat di atas tawar menawar merupakan suatu proses 2 orang atau lebih yang
mempunyai wewenang untuk bernegosiasi dalam memperoleh kesepakatan tentang suatu tujuan
tertentu walau kesepakatan itu tidak terlalu ideal bagi masing-masing. Yang termasuk dalam
tawar menawar adalah : perjanjian (negotiation), Saling memberi dan menerima (Take and give)
dan kompromi (compromise) (dalam Islamy, 2002 : 101).
Kesimpulannya, pada tahap ini perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan
kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat. Dengan demikian, alternatiI penetapan kebijakan
yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan.
5. Keterlibatan Aktor dalam perumusan Kebijakan
Budi Winarno (2002 : 84), menyebutkan, bahwa pembahasan mengenai siapa saja aktor yang
terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson (1979),
Charles Lindblom (1980) maupun James Lester dan Joseph Stewart, J (2000). Menurutnya aktor-
akor dalam proses pembuatan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu para
pemeran resmi dan pemeran tidak resmi. Termasuk kedalam pemeran resmi adalah agen-agen
pemerintah (biokrasi), presiden (eksekutiI), legislatiI dan YudikatiI. Sedangkan kelompok
pemeran tidak resmi meliputi : kelompok-kelompok kepentingan, Partai Politik, warga negara
dan individu.
Tentang aktor-aktor yang berperan dalam proses kebijakan publik, Jones (dalam Abdulwahab,
1997 : 29-34) menyebut sedikitnya ada empat golongan atau tipe aktor yang terlibat dalam
proses pengambilan kebijakan. Masing-masing adalah golongan rasionalis, golongan teknisi,
golongan inkrementalis dan golongan reIormis.
Menurut dia, bahwa dalam kasus atau isu tertentu kemungkinan hanya satu atau dua golongan
aktor tertentu yang berpengaruh dan aktiI terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan
tersebut dalam proses kebijakan, nilai-nilai dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja
mereka, berbeda satu sama lain.
Golongan rasionalis, mempunyai ciri-ciri utama bahwa dalam melakukan pilihan alternatiI
kebijakan mereka akan selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut : 1)
MengidentiIikasi masalah, 2) Merumuskan adanya tujuan, 3) MengidentiIikasi AlternatiI
kebijakan, 4) Meramalkan atau memprediksikan akibat-akibat dari tiap alternatiI, 5)
Membandingkan akibat-akibat tersebut dengan mengacu pada tujuan, 6) memilih alternatiI
terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor rasionalis akan identik dengan
peran yang dimainkan oleh para perencana dan analisis kebijakan yang proIesional dalam
menghadapi masalah publik. Metode rasional mereka mengansumsikan bahwa segala tujuan
dapat ditetapkan sebelumnya, dengan pengetahuan serta data-data atau inIormasi yang lengkap
dan disediakan.
Gaya kerja golongan aktor rasionalis cenderung seperti gaya kerja seorang perencana yang
komprehensiI, yakni berusaha menganalisis semua aspek dari setiap isu kebijakan publik yang
muncul.
Golongan teknisi, pada dasarnya tidak lebih dari seorang rasionalis, sebab ia adalah seorang yang
karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam proses tahapan kebijakan.
Golongan ini mempunyai kebebasan dalam lingkup sebatas pekerjaan dan keahliannya dan
apapun yang mereka bekerja dalam proyek yang membutuhkan keahliannya dan apapun yang
mereka kerjakan ditetapkan oleh pihak lain. Peran yang dimainkan dalam hubungan ini adalah
seorang spesialis yang karena dibutuhkan tenaganya untuk melaksanakan tugas tertentu.
Nilai-nilai yang diperjuangkan adalah nilai-nilai yang berkait dengan latar belakang pendidikan
mereka, misal sebagai insinyur elektro, ahli komputer dan sebagainya. Di luar disiplinnya,
cenderung tidak percaya diri.
Golongan inkrementalis, Golongan ini dapat dapat kita identikan dengan pada politisi,
sebagaiman kita ketahui cenderung memiliki sikap kritis namun acapkali tidak sabaran terhadap
gaya kerja para perencana dan teknisi, walaupun mereka sebenarnya dalam melangkah amat
tergantung pada gaya kerja pada teknisi dan perencana.
Golongan inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa siIat yang komprehensiI dan serba
rasional itu merupakan suatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan
ketidaksempurnaan. Golongan ini memandang bahwa tahap-tahap perkembangan kebijakan dan
implementasinya sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil
akhir dari suatu tindakan.
Mereka cenderung hanya melakukan perubahan-perubahan kecil karena merasa bahwa inIormasi
dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pernah mencukupi hasil untuk menghasilkan suatu
program kebijakan yang lengkap. Nilai-nilai yang diperjuangkan atau yang terkait dengan
metode atau pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal
yang berhubungan dengan terpeliharanya status-Quo dan kestabilan sistemnya. Kebijakan
apapun akan cenderung dilihat sebagai suatu perubahan yang terjadi sedikit demi sedikit
(Gradual changes).
Dalam hubungan ini tujuan kebijakan dianggap sebagai konsekwuensi dari adanya tuntutan-
tuntutan, baik karena didorong kebutuhan untuk melakukan sesuatu upaya yang baru atau yang
sudah dikembangkan dalam teori. Gaya kerjanya dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu
melaksanakan proses tawar menawar atau bergaining dengan secara teratur mendengarkan
tuntutan, menguji seberapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi.
Golongan reIormis (pembaharu) seperti halnya golongan inkrementalis golongan ini juga
mengakui adanya keterbatasan dalam inIormasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses
kebijakan, sekalipun berbeda dalam menarik kesimpulan. Golongan inkrementalis berpendapat
bahwa keterbatasan mendikte gerak langkah dalam proses pembuatan kebijakan.
Sedang golongan reIormis sependapat dengan padangan Easton yang menyebutkan bahwa kita
harus menerima sebagai kebenaran-kebenaran akan perlunya mengarahkan diri kita langsung
pada persoalan-persoalan yang berlangsung pada hari ini untuk memperoleh jawaban yang
singkat dan cepat, memanIaatkan perangkat analisis dan teori-teori mutakhir yang tersedia,
betapapun tidak memadainya perangkat tersebut.
Dengan demikian tekanan perhatiannya adalah pada tindakan sekarang karena urgensi dari
persoalan yang dihadapi. Pendekatan macam ini umumnya dilakukan oleh para Lobbyst. Nilai-
nilai yang dijunjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan
sosial. kadangkala demi perubahan itu sendiri namun lebih sering terpaut dengan kepentingan
kelompok tertentu.
Tujuan kebijakan umumnya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut melalui
bermacam-macam proses, termasuk diantaranya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir
dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng arahnya bahkan gagal. Karena itu gaya-gaya
reIormis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindakan demonstrasi
dan konIrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku empat golongan tersebut Abdulwahab dalam buku
Analisis Kebijakan, Dari Iormulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, menyebut bahwa
seringkali satu sama lain saling mengecam.
Golongan rasionalis sering dikecam / dikritik karena tidak memahami kodrat manusia,
Braybrooke dan Lindblom sebagai penganjur teori inkrementalis, menyatakan bahwa golongan
aktor rasionalis itu terlalu idealis, malahan menyatakan bahwa golongan aktor rasionalis itu
terlalu idealistis, sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam
mengatasi masalah. Sementara golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan
yang picik karena peduli terhadap masalah-masalah yang sempit sebatas pada bidang keahlian
semata dan tidak perduli kepada masalah-masalah publik yang luas, mungkin melampaui bidang-
bidang keahlian yang dikuasainya.
Golongan inkrementalis di lain pihak seringkali dianggap memiliki sikap konservatiI sebab
mereka tidak terlalu tangap perubahan sosial yang lain. akhirnya golongan aktor reIormis
seringkali dituduh mau menangnya sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena ini
tidak realistis.
Sedangkan Samudra Wibawa ( 1987: ) membagi aktor kebijakan atau kelompok kepentingan
atau kekuatan atau pihak yang mempengaruhi kebijakan sebagai berikut : (1) Partai politik, yang
mengeluarkan resolusi, (2) lembaga pendidikan atau kelompok studi, (3) Kelompok kepentingan
(organisasi proIesi), (4) Pers, (5) Opini publik, (5) Perorangan ilmuan sosial, (6) Lembaga
internasional.
Besarnya peran partai politik dalam proses kebijakan, juga dikemukakan Hans Dieter
Klingemann,dkk (2000 : 12). Disebutkan, didalam proses kebijakan, partai-patai menjalankan
tugas yang komplek dan saling berkaitan. Demokrasi menurutnya bukanlah sekedar deskripsi
tentang bagaimana pemerintah dibentuk, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana berIungsinya
pemerintahan. Partai terlibat dalam rekruitmen politik, penyatuan dan pengungkapan beragam
kepentingan, komunikasi politik, memobilisasi dan memperantai partisipasi politik massa.
Di samping itu dari tubuh birokrasi itu sendiri ada beberapa sumber inspirasi bagi perumusan
kebijakan ( yang berarti mempengaruhi pilihan masalah kebijakan ) :
a. Pejabat puncak dan para pegawai bawahanya.
b. Karyawan-karyawan kantor atau tenaga skill
c. Lembaga penelitian dan pengembangan di tiap departemen.
d. Para menteri kabinet
e. Pegawai atau pejabat senior.
Dengan kata lain aktor yang ikut mempengaruhi setiap kebijakan dengan intensitas masing-
masing adalah lembaga ekskutiI, legislatiI, yudikatiI dan publik itu sendiri dengan berbagai
macam pengelompokan di dalamnya.
6. Model Sistem Dalam Formulasi Kebijakan Publik
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa proses Iormulasi suatu kebijakan publik bukanlah suatu
proses yang sederhana tetapi merupakan proses yang sulit karena banyaknya Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhi. Oleh sebab itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan
kebijakan publik agar lebih mudah dipahami. Thomas R Dye merumuskan sembilan model
Iormulasi kebijakan, yaitu :
a. Model Kelembagaan ( Institusional)
b. Model Proses (Process)
c. Model Kelompok (Group)
d. Model Ellit ( Elite)
e. Model rasional ( Rational)
I. Model Inkremental (incremental)
g. Model Teori permainan (Game theory)
h. Model Pilihan Publik (public Choice)
i. Model Sistem (System)
Dalam Penelitian ini memilih Model Sistem yang menurut hemat penulis lebih cocok
sebagaimana ditawarkan Paine dan Naumes (1979) (dalam Budi Winarno, 2002 : 70 - 72).
Menurutnya, model proses perumusan pembuatan kebijakan merujuk pada model sistem yang
dikembangkan oleh David Easton. Model ini merupakan model deskriptiI karena lebih berusaha
menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan, disusun hanya berasal dari
sudut pandang para pembuat kebijakan. Para pembuat kebijakan dilihat dari perannya dalam
perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan ; (1).
Menghitung kesempatan dan meraih / menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2).
Memuaskan permintaan lingkungan, dan (3). Secara khusus memuaskan keinginan /
kepentingannya itu sendiri.
Menurut model ini, kebijakan merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep ' Sistem itu
sendiri, menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentiIikasi dalam
masyarakat yang berIungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan
yang otoritatiI. Konsep 'sistem juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen-
elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi
kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam
bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.
Dengan bahasa lain dapat digambarkan bahwa model sistem sebagai interaksi yang terjadi antara
lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proes yang dinamis. Oleh Budi winarno
(2002 : 71) diasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan
dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya dalam bentuk keluaran dan masukan (
inputs dan outputs). Outputs yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian
lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi.
Dalam model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik
terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungnnya dimana hal tersebut merupakan
kondisi yang berada di luar batas-batas politik. Sementara kekuatan-kekuatan yang timbul dari
dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai inputs bagi sistem
politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik dan merupakan tanggapan
terhadap tuntutan-tuntutan tersebut dipandang sebagai outputs dari sistem politik.
Tuntutan-tuntutan akan timbul apabila individu atau kelompok dalam sistem politik memainkan
peran dalam mempengaruhi kebijakan publik. Kelompok-kelompok ini secara aktiI berusaha
mempengaruhi kebijakan publik. Sedangkan dukungan atau support diberikan apabila individu-
individu atau kelompok - kelompok menerima hasil-hasil pemilihan, mematuhi undang-undang,
membayar pajak dan secara umum mematuhi keputusan-keputusan kebijakan.
Model sistem menurut David Easton (dalam Riant Nugroho D, (2007 : 134) diandaikan bahwa
kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik. Seperti dipelajari dalam ilmu politik,
maka sistem politik terdiri dari input, throughtput, dan output sebagaimana pada Gambar 1 yang
diadopsi dari kerangka kerja sistem.
Gambar 1 : Proses Perumusan Kebijakan Model 'Sistem






Sumber : David Easton (dalam Riant Nugroho D, (2007 : 134)

Seperti dikemukakan didepan, kebijakan publik menurut model sistem merupakan hasil dari
suatu sistem politik, dimana konsep 'sistem itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga
dan kegiatan yang dapat diidentiIikasi dalam masyarakat yang berIungsi mengubah tuntutan-
tuntuan (Demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatiI. Konsep 'sistem juga
menunjukkan adanya saling berhubungan antara elemen yang membangun sistem politik dan
mempunyai kemampuan menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya.
D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Suparmoko (2001 : 26) memberikan pengertian bahwa anggaran adalah suatu alat perencanaan
mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnya
disusun untuk satu tahun. Disamping itu disebutkan juga bahwa anggaran merupakan alat kontrol
atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan di amasa yang akan datang.
Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Goedhart (dalam Ratmoko, 1981:304) yang
menyebutkan bahwa istilah anggaran ( budget) negara biasanya digunakan untuk menamai
perkiraan normatiI dari semua pengeluaran negara dan alat pembiayaan untuk menutup peluaran
mengenai sesuatu jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. George A. Steiner (
1979:215) memberikan pengertian sebagai suatu metode untuk mewujudkan perencanaan
strategis dalam kegiatan sehari-hari. Anggaran itu mengetengahkan suatu standar untuk
koordinasi kegiatan dan merupakan dasar untuk pengawasan pelaksanaan kegiatan sehingga
suatu kegiatan dapat diketahui sesuai tidaknya dengan rencana yang ada. Menurutnya,
anggaran memiliki tiga Iungsi secara bersamaan, yaitu Iungsi perencanaan, koordinasi dan
pengawasan. Seperti halnya Suparmoko , Steiner juga menyebutkan bahwa suatu anggaran
lazimnya diadakan untuk waktu satu tahun, meskipun ada pula anggaran yang berjangka waktu
tiga bulan, satu bulan bahkan hanya satu minggu.
Howard M. Carlisle (dalam Libertus Bruno Merep; 1995:12) menyebutkan beberapa
karakteristik anggaran yang disebutnya sebagai The SigniIicance oI Budgeting yaitu anggaran
sebagai suatu rencana yang seragam (uniIorm) yang mencakup keseluruhan organisasi. Dalam
konteks ini anggaran diadakan demi dapat dikoordinasikannya semua usaha dalam rangka
penggunaan sumber-sumber daya; anggaran sebagai dasar pemandu dan pembanding seluruh
dasar kegiatan operasi sepanjang dinyatakan dalam suatu kesatuan uang; anggaran sbagai suatu
landasan operasi merupakan suatu eIisiensi dan ddapat dianggap sebagai bagian penilaian hasil
kegiatan.
Disisi lain Suparmoko ( 2000:48) berpendapat bahwa anggaran pada pokoknya harus
mencerminkan politik pengeluaran pemerintah yang rasionil secara kualitatiI maupun kwantitaiII
sehingga akan terlihat : adanya pertanggungjawaban atas pungutan pajak dan pungutan lainnya
oleh pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan ekonomi; adanya
hubungan yang erat antara Iasilitas penggunaan dana dan penarikannya; adanya pola pengeluaran
pemerintah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan
pemerintah yang pada akhirnya menentukan pula tingkat distriibusi penghasilan dalam
perekonomian.
Dari beberapa pendapat tentang anggaran tersebut, dapat dikemukakan bahwa kelancaran roda
pemerintahan dan pembangunan akan ditentukan oleh tujuan akhir yang ingin dicapai disamping
dana yang tersedia. Sedangkan alokasi dana pemerintah tercermin dalam anggaran yang disebut
dengan APBN / APBD.
E. DeIinisi Konsep dan deIinisi Operasional.
Berdasarkan acuan kerangka teoritik yang telah disampaikan di muka, maka dirumuskan deIinisi
perasional untuk mengkongkritkan ruang lingkup masalah yang diteliti. Dengan strategi
demikian diharapkan usaha penelitian ini dapat mencapai tujuannya yaitu mengetahui
bagaimanakah proses perumusan Anggaran Penapatan dan Belaja daerah (APBD) Kota Lubuk
Linggau Tahun Angaran 2007 berlangsung.
Dalam kerangka penelitian ini, penulis mengasumsikan bahwa proses dalam perumusan APBD
ini terdapat dalam dua tahapan, yaitu proses perumusan RAPBD (Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belaja Daerah ) Kota Lubuk Linggau tahun Anggaran 2007 oleh Tim Penyusun
RAPBD ( Tim Anggaran) EksekutiI dan Proses Penetapan RAPBD menjadi APBD oleh
LegislatiI (DPRD).
Konsep sistem politik (Throughput ) dalam penelitian ini adalah aktivitas aktor dalam mengatur,
menyelesaian petentangan atau konIlik dan memberlakukannya kepada pihak yang bersangkutan.
Oleh karena itu sistem politik dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung dan
tergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem. Hal itu dikarenakan kebijakan dianggap
sebagai konsekuensi dari adanya tuntutan-tuntutan, baik karena didorong kebutuhan untuk
melakukan sesuatu upaya.
Secara operasional, sistem politik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses politik para
aktor untuk melakukan proses tawar - menawar atau bergaining, menguji intensitas tuntutan
tersebut dan menawarkan kompromi dalam merumuskan RAPBD maupun penetapan APBD
Kota Lubuk Linggau tahun Anggaran 2007.
Dalam konteks perumusan RAPBD Kota Lubuk Linggau ini, aktor-aktor yang dimaksud adalah :
Tim Penyusun RAPBD ( Tim Anggaran ) EksekutiI ; dan DPRD yang terdiri dari Panitia
Anggaran, Fraksi-Fraksi, Komisi-komisi dan seluruh anggota DPRD serta masyarakat melalui
Rapat-rapat Panitia Anggaran, Rapat-rapat Fraksi, rapat - rapat Komisi dan Rapat Paripurna.
a. Proses Perumusan RAPBD
Seiring dengan rumusan diatas, maka item-item yang tercakup dalam indikator yang menurut
hemat penulis dapat menjelaskan proses perumusan RAPBD adalah :
1). Indikator keterlibatan para aktor penyusunan RAPBD Kota Lubuk Linggau dengan item-
itemnya yaitu :
i ). Peranan Tim Penyusun APBD dalam proses perumusan RAPBD
ii ). Peranan Bapeda sebagai badan Perencana daerah dalam penyusunan RAPBD
iii). Peranan Satuan Kerja / Lembaga tehnis daerah dalam penyusunan RAPBD
iv). Peranan masyarakat dalam proses penyusunan RAPBD
v ). Peranan Walikota ddalam proses penyyusunan RAPBD
vi). Peranan DPRD dalam proses penyusunan RAPBD
2). Indikator Sistem Politik dalam Proses Perumusan RAPBD Kota Lubuklinggau
i ). Elemen-elemen dalam proses perumusan RAPBD
ii ). Interaksi elemen-elemen proses perumusan RAPBD dalam identiIikasi masalah
iii). Interaksi elemen-elemen dalam proses perumusan RAPBD
iv). Interaksi elemen-elemen proses perumusan RAPBD dalam penyusunan RAPBD
b. Proses Penetapan RAPBD menjadi APBD oleh DPRD
1). Indikator keterlibatan para aktor penyusunan RAPBD Kota Lubuk Linggau dengan item-
itemnya yaitu :
i ). Peranan Pimpinan DPRD dalam proses penetapan APBD
ii). Peranan Komisi-komisi DPRD dalam proses penetapan APBD
iii). Peranan Fraksi-Iraksi DPRD dalam proses penetapan APBD
iv). Peranan Panitia Anggaran DPRD dalam proses penetapan
v). Peranan Bapeda dalam proses penetapan APBD
vi). Peranan Satuan Kerja dalam proses penetapan APBD
vii ). Peranan masyarakat dalam proses penetapan APBD
viii). Peranan Walikota dalam proses penetapan APBD
ix). Peranan Tim penyusun RAPBD dalam proses penetapan APBD
2). Indikator Sistem Politik dalam Proses Penetapan APBD
i ). Proses / tahapan dalam proses pembahasan RAPBD
ii ). Interaksi elemen-elemen dalam pembahasan RAPBD oleh Fraksi
iii). Interaksi elemen-elemen dalam pembahasan RAPBD oleh komisi-komisi
iv). Interaksi elemen-elemen dalam pembahasan RAPBD oleh Panitia Anggaran DPRD
v). Interaksi elemen-elemen dalam proses pengesahan / persetujuan RAPBD oleh rapat Paripurna
DPRD
E. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam pnelitian ini dapat digambarkan melalui bagan berikut ini ( Gambar : 2
)
Gambar 2 : Kerangka berIikir










BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan suatu kajian yang mengulas tentang usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan cara-cara
ilmiah. Dalam melakukan penelitian ada berbagai macam metode yang dapat dipilih. Metode
yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan.
A. Metode Penelitian
Untuk menjamin tingkat validitas penelitian, pemilihan metode penelitian harus didasarkan pada
realitas yang menjadi objek. Mengacu pada teori Moh. Nasir (1985 : 63), penelitian ini
menggunakan metode penelitian DeskriptiI dimana metode deskriptiI adalah suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa di masa sekarang. Penggunaan metode penelitian deskriptiI ini
berupa studi kasus dengan analisis kualitatiI. Tujuan dari penelitian deskripsi adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, Iactual dan akurat mengenai Iakta-
Iakta, siIat-siIat serta hubungan antar Ienomena yang diselidiki.
Masri Singarimbun (1989:4), menyebutkan Penelitian DeskriptiI dimaksudkan untuk pengukuran
yang cermat terhadap Ienomena social tertentu, Peneliti mengembangkan konsep dan
menghimpun Iakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.
Lexy J. Moleong (2002 : 6 ), mengemukakan metode DeskriptiI; data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode
kualitatiI. Selain itu, semua yang dikumpulkaan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa
yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen
resmi lainnya.
B. Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah para aktor yang terlibat dalam proses Perumusan RAPBD
sampai dengan penetapan APBD Kota Lubuk Linggau. Lebih deIinitiInya adalah aktor yang
secara kelembagaan atau elit politik yang mewakili lembaga aktor para pejabat Pemerintah Kota
Lubuk Linggau yang tersebar pada lembaga-lembaga.
Aktor-aktor itulah yang karena jabatannya biasa dan bisa terlibat secara langsung dalam proses
penyusunan / perumusan APBD. Intensitas keterlibatannya memang lain-lain. Karena itulah
dalam penelitian ini perlu dibuat strtegi dalam pengambilan sampel :
1. Para Pejabat Eselon II yang terdiri dari : Tim Penyusun APBD dan Kepala Dinas / Lembaga
Tehnis Daerah/ Kepala Unit Kerja, sebagian camat, dan Kepala Desa
2. Anggota DPRD khususnya adalah : Pimpinan DPRD, Ketua-Ketua Komisi, Ketua-Ketua
Fraksi, dan Panitia Anggaran DPRD Kota Lubuk Linggau, dengan pertimbangan bahwa DPRD
memiliki kedudukan yang sejajar dengan EksekutiI dan merupakan lembaga yang berhak
memberikan persetujuan dalam penetapan Perda APBD.
3. Sebagian warga masyarakat
C. Teknik Pengambilan Sampling
Sampling dalam pendekatan ini lebih banyak bersiIat 'purpopsive sampling, dimana peneliti
lebih cenderung memilih inIorman yang dianggap tahu dan dipercaya untuk menjadi sumber data
yang akurat dan mengetahui masalah secara mendalam. Sugiyono (2001 : 62) menyebutkan
Purposive sampling adalah tehnik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja. Dimana sampel
yang dipilih adalah orang yang ahli dalam bidangnya saja. Namun tidak tertutup kemungkinan
inIorman yang dipilih dapat menunjuk inIorman lain yang lebih tahu, maka pilihan inIorman
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti memperoleh data ( Patton
dalam Soetopo,1988).
InIorman - inIorman tersebut masing-masing para aktor yang mempunyai kewenangan
pengambil kebijakan, dan terlibat tawar-menawar. Di tingkat EksekutiI dalam hal ini adalah : (1)
Walikota, (2) Sekretaris Daerah, (3) Asisten Sekda, (4) Kepala Satuan Kerja,Camat, dan
beberapa Kepala desa dan (3) Aparat Pemkab non struktural (Tim Penyusun APBD). Di tingkat
LegislatiI adalah : (1) Pimpinan DPRD, (2) Ketua-ketua Komisi, (3) Ketua-ketua Fraksi dan (4)
Anggota Panitia Anggaran.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan / inIormasi dalam penelitian ini menggunakan cara-cara sebagai berikut :
1. Wawancara
Dalam kaitannya dengan tehnik ini Lexi J. Moleong (2001 :135) menyebutkan, wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (
interviuwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberi
jawaban atas pertanyaan itu. Sutrisno Hadi (1986 : 266) berpendapat bahwa : interview dapat
dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan
dengan sistematik dan berlandaskan pada tujuan penelitian.
Dengan demikian, wawancara yang dilakukan secara mendalam (Indepth interview) peneliti
dengan responden dilakukan untuk memperoleh inIormasi sebanyak-banyaknya. Wawancara
yang mendalam ini terutama dengan anggota Panitia / tim penyusun APBD Kota Lubuk Linggau.
2. Dokumentasi
Guba dan Lincoln (1981 dalam Moleong ,2001 : 161) mendeIinisikan dokumen adalah setiap
bahan tertulis atau Iilm, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan
seorang penyidik. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau
lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting. Dokumen dan
record digunakan untuk keperluan penelitian, menurut Guba dan Lincoln (dalam Moleong;
2001:161) karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan seperti berikut ini :
a. Karena merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong.
b. Berguna sebagai bukti` untuk suatu pengujian
c. Berguna dan sesuai dengan penelitian kualitatiI karena siIatnya yang alamiah, sesuai dengan
konteks, lahir dan berada dalam konteks.
d. Record relatiI murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi
dokumen harus dicari dan ditemukan.
e. Keduanya tidak reaktiI sehingga tidak sukar ditemukan
dengan tehnik kajian ini.
I. Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan
terhadap sesuatu yang diselidiki.
Sesuai dengan acuan ini dilakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen penting berupa arsip-
arsip risalah rapat (sidang), laporan, peraturan/instruksi maupun keputusan - keputusan lain yang
berkaitan dengan proses perumusan APBD Kota Lubuk Linggau.
3. Pemeriksaan Keabsahan data.
Untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data, sesuai dengan obyek penelitian ini yaitu analisis
Proses Perumusan Kebijakan, peneliti menggunakan tehnik Triangulasi. Triangulasi menurut
Moleong (2001:178) adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanIaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yang
memanIaatkan sumber, metode, penyidik, dan teori. ( dalam Moleong :2001: 178).
Lebih khusus lagi adalah triangulasi dengan sumber yang berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu inIormasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatiI ( Patton 1987 , dalam Moleong (2001 : 178). Hal itu dapat dicapai
dengan jalan : (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara; (2)
membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi
dan (3) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
E. Metode Analisa Data
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) (dalam Lexy J. Moleong, 2002 :103), Analisis Data
dideIinisikan sebagai proses yang memerinci usaha secara Iormal untuk menemukan thema dan
merumuskan hipotesis (ide) seperrti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Analisa data menurut Patton (1980 ) (dalam
Lexy J. Moleong 2002: 103); adalah proses pengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penaIsiran yaitu
memberikan arti yang signiIikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari
hubungan diantara dimensi-dimensi uraian.
Dari dua deIinisi tersebut, pada dasarnya deIinisi pertama menekankan maksud dan tujuan
analisis data, sedangkan deIinisi kedua lebih menitikberatkan pada pengorganisasian data.
Dengan demikian kedua deIinisi tersebut dapat disentesiskan menjadi : 'Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirmuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data.
Setelah data yang dibutuhkan diperoleh melalui penelitian lapangan, selanjutnya dilakukan
analisa data yang akan membantu dalam memahami permasalahan dan mengambil kesimpulan
hasil penelitian untuk akhirnya menghasilkan rekomendasi. Analisis yang digunakan adalah
metode analisis kualitatiI.
Milles dan Hubberman (1992 : 16 - 20) menyebutkan agar data-data tersebut sepenuhnya
berguna bagi laporan hasil penelitian, maka harus diolah melalui tahap analisis yang terdiri dari
tiga komponen pokok, yaitu :
a. Reduksi data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan,
transIormasi data kasar yang muncul dalam catatan-catatan tertulis di lapangan.
b. Sajian data
Merupakan rakitan organisasi inIormasi yang memungkinkan pengambilan kesimpulan riset, dan
pengambilan tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut.
Penyajian data tersebut dilakukan dengan sistematis, melalui gambar / skema, jaringan kerja
yang berkaitan dengan kegiatan atau tabel. Semua itu dirancang guna merakit inIormasi secara
teratur supaya penelitian dan hasil-hasilnya mudah dilihat dan dimengerti.
c. Menarik kesimpulan / veriIikasi
Merupakan proses mengartikan segala hal yang ditemui selama penelitian dengan melakukan
pencatatan, peraturan-peraturan, pola-pola pernyataan-pernyataan, konIigurasi-konIigurasi yang
mungkin, arahan sebab-akibat, dan proposisi-proposisi, dengan kata lain tahap ini merupakan
proses untuk menarik kesimpulan terhadap apa yang didapat selama penelitian itu dilakukan.
Ketiga komponen analisis tersebut diatas bekerja membentuk interaksi dengan proses
pengumpulan data, dan interaksi tersebut bersiIat siklus. Dalam bentuk ini, peneliti bergerak
diantara ketiga komponen pokok dan komponen pengumpulan data selama proses pengumpulan
data berlangsung. Setelah mengadakan pengumpulan data, kemudian bergerak diantara reduksi
data, sajian data dan veriIikasi dengan memanIaatkan waktu yang ada selama penelitian. Proses
semacam ini disebut model Analisa InteraktiI, yang lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut ini :

Gambar 3 :Komponen-komponen dalam Analisis Data : Model InteraktiI







Sumber : Milles dan Huberman (1992 : 20)
F. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian akan dilaksanakan adalah di Kota Lubuk Linggau terutama di tempat kerja
para aktor, seperti Sekretariat Daerah (Setda) , Bappeda Satuan Kerja dan DPRD Kota Lubuk
Linggau. Penunjukkan tempat lebih karena peran dan tindakan para aktor tersebut dalam
memIormulasikan kebijakan.
Kantor Setda, Bappeda, dan DPRD dijadikan tempat penelitian karena yang diteliti adalah
kebijakan negara, dimana para administratur publik mengadministrasikan kerja pembangunan.

You might also like