You are on page 1of 13

Article Reading

Coagulopathy and Blood Component Transfusion in Trauma

Oleh: Sandy Wijaya 0710710018

Pembimbing: dr. Djudjuk Rahmad Basuki, Sp.An, K-AKV

LABORATORIUM / SMF ANASTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2011

Koagulopati Dan Transfusi Komponen Darah Pada Trauma


1

D. R. Spahn1* and R. Rossaint2 Department of Anaesthesiology, University Hospital Lausanne, Lausanne, Switzerland. 2 Department of Anaesthesiology of the University Hospital, RWTH, Aachen, Germany *Corresponding author: Department of Anaesthesiology, University Hospital Lausanne, CHUV, rue du Bugnon 46, CH-1011 Lausanne, Switzerland. E-mail: donat.spahn@chuv.hospvd.ch

Trauma adalah masalah kesehatan global yang serius dan terjadi sekitar satu dari 10 kematian di seluruh dunia. Jumah pendarahan tak terkendali berjumlah sekitar 39% dari kematian yang berhubungan dengan trauma dan merupakan penyebab utama kematian yang berpotensi dapat dicegah pada pasien dengan trauma berat. Meskipun perdarahan dari cedera pembuluh darah biasanya dapat diperbaiki dengan operasi, perdarahan terkait koagulopati seringkali lebih sulit untuk dikelola dan mungkin juga dapat mengelabui lokasi cedera vaskular. Penyebab koagulopati pada pasien dengan trauma parah bersifat multifaktorial, termasuk konsumsi dan dilusi trombosit dan faktor koagulasi, serta disfungsi trombosit dan sistem koagulasi. Interaksi antara hipotermia, asidosis dan koagulopati progresif, disebut sebagai lethal triad, sering menyebabkan perdarahan masif. Manajemen saat ini pada perdarahan terkait koagulopati didasarkan pada terapi penggantian komponen darah. Namun, ada batas level hemostasis yang dapat dipulihkan dengan terapi pengganti. Selain itu, ada bukti bahwa transfusi sel darah merah segera setelah cedera meningkatkan terjadinya infeksi pasca-cedera dan kegagalan organ multiple (MOF). Strategi untuk mencegah koagulopati yang signifikan dan untuk mengontrol perdarahan kritis secara efektif pada keadaan koagulopati dapat menurunkan kebutuhan transfusi darah, sehingga meningkatkan keadaan klinis pada. pasien dengan trauma berat. Br J Anaesth 2005; 95: 130-9 Kata kunci: darah, hemostasis; darah, transfusi; komplikasi, perdarahan; komplikasi, koagulopati; komplikasi, luka; komplikasi, trauma

Trauma adalah masalah kesehatan global yang serius dan terjadi sekitar satu dari 10 kematian di seluruh dunia. Trauma bertanggungjawab atas 5 juta kematian pertahun, dimana 1 juta kematian diantaranya terjadi di Eropa. Diperkirakan pada tahun 2010, mortalitas akibat trauma di seluruh dunia akan meningkat menjadi 8,4 juta per tahun. Hampir 50% mortalitas akibat trauma terjadi pada rentang umur 17 44 tahun. Resusitasi pada pasien trauma telah berkembang secara signifikan selama bertahun-tahun. Namun, perdarahan yang tidak terkontrol tetap merupakan tantangan besar, dan bertanggung jawab terhadap sekitar 40% kematian akibat trauma, selain itu perdarahan yang tidak terkontrol merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Oleh karena itu, kontrol perdarahan secara efektif dapat menurunkan angka mortalitas. Perdarahan yang mengancam jiwa pada pasien trauma biasanya disebabkan oleh kombinasi antara cedera vaskular dan koagulopati. Cedera pada pembuluh darah besar sering membutuhkan intervensi pembedahan, namun embolisasi arteri dapat merupakan pendekatan yang berguna untuk mengontrol perdarahan, sekalipun pada pasien dengan trauma multipel. Perdarahan diffsue akibat koagulopati sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopati bermacam-macam (multifaktorial) dan saling berhubungan, termasuk konsumsi dan dilusi faktor koagulan dan platelet, disfungsi platelet dan sistem koagulasi, kompromi

sistem koagulan akibat pemberian koloid, hipokalsemi, dan sindrom yang mirip dengan disseminated intravascular coagulation. Koagulopati yang berhubungan dengan hipotermia dan asidosis sering disebut sebagai lethal triad karena angka mortalitasnya yang tinggi. Resusitasi pada pasien trauma dengan perdarahan yang gawat melibatkan infusi kristaloid dan koloid dalam jumlah besar yang diikuti dengan pemberian transfusi sel darah merah. Namun, konsentrat sel darah merah mengandung jumlah platelet dan faktor koagulasi yang tak berarti. Akibatnya, transfusi sel darah merah, meskipun meningkatkan transport oksigen, tidak memperbaiki penurunan faktor koagulan dan platelet dan dapat menyebabkan koagulopati. Tata laksana perdarahan akibat koagulopati kini terutama berdasarkan transfusi fresh frozen plasma (FFP), platelet, konsentrat faktor koagulasi (konsentrat kompleks fibrinogen dan prothrombin) dan cryoprecipitate jika tersedia. Ketika koagulopati disertai dengan hipotermia dan asidosis, maka akan terjadi perdarahan masif. Koagulopati terjadi pada awal periode pasca cedera, dan berperan sebagai prediktor independent pada mortalitas. Namun, perbaikan pada koagulopati dapat menurunkan angka kematian pada pasien dengan trauma berat. Infeksi dan kegagalan multi organ merupakan komplikasi serius pada pasien yang bertahan dari trauma. Bukti menyatakan bahwa transfusi sel darah merah jangka panjang dapat menimbulkan efek negatif dengan meningkatnya kejadian infeksi dan kegagalan multi organ pasca-cedera. Pengurangan transfusi sel darah merah dapat menurunkan komplikasikomplikasi tersebut dan dapat mempercepat penyembuhan. Artikel ini mendiskusikan patofisiologi koagulopati pada trauma mayor, hubungan antara transfusi sel darah merah masif, masalah-masalah yang belum terpecahkan pada terapi penggantian komponen darah, dan efek pemberian sel darah merah alogenik. Selain itu, artikel ini menyediakan beberapa panduan penggunaan komponen darah untuk terapi. Patofisologi koagulopati pada trauma Proses hemostasis Respon hemostasis pada cedera vaskular terdiri atas sebuah rangkaian interaksi antara matrix subendothelial, platelet, dan protein koagulasi (Gambar 1). Normalnya, sel endotelial yang melapisi dinding dalam pembuluh darah mencegah matriks subendotelial dan tissue factor mengalami kontak langsung dengan platelet dan protein koagulan yang tersirkulasi. Cedera vaskular merusak integritas lapisan endotel, sehingga mengekspos matriks subendotelial. Penempelan platelet pada matriks subendotelial menyebabkan aktifasi platelet dan terbentuknya formasi plak platelet. Plak platelet bertindak sebagai permukaan katalis untuk memanggil dan mengaktifkan protein koagulasi serta mengoptimalisasi proses koagulasi.

Gambar 1. Proses Hemostasis

Proses koagulasi (gambar 2) diawali dengan pengikatan faktor VII yang teraktifasi (yang normalnya tersirkulasi dalam jumlah sedikit) pada tissue factor yang terkspos, yang mengawali koagulasi dengan mengaktifkan faktor IX dan X. Faktor IX yang teraktifasi juga mengaktifkan faktor X. Faktor X yang teraktifasi dengan cepat mengubah protrombin menjadi trombin, menghasilkan trombin dalam jumlah kecil yang tidak cukup untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombin diperkuat oleh beberapa mekanisme timbal balik. Pertama, pembentukan faktor VII yang teraktifasi ditingkatkan dengan aktifasi faktor VII yang terikat pada tissue factor oleh faktor VII, IX, dan X yang teraktifasi. Kedua, trombin yang terbentuk mengaktifkan faktor V dan VIII, kofaktor yang mengakselerasi aktivasi protrombin dan kemudian faktor X. Trombin meningkatkan pembentukan faktor IX yang terkatifasi dengan mengubah faktor XI menjadi bentuk aktif. Pembentukan faktor X yang terkaktifasi dalam jumlah besar oleh faktor IX dan VII yang teraktifasi memastikan trombin dalam jumlah yang cukup terus dihasilkan untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin, sehingga membentuk klot. Pada langkah akhir pembentukan koagulasi, trombin mengaktifkan faktor XIII menjadi faktor XIII yang teraktifasi, yang kemudian berhubungan silang dengan monomer fibrin terlarut untuk membentuk stable fibrin clot. Selain itu, trombin mengaktifkan thrombin-activable-fibrinolysis inhibitor yang melindungi klot dari fibrinolisis prematur. Sistem hemostatik diatur oleh beberapa protein dan penghambat antikoagulant, seperti proses fibrinolisis. Ketika dalam keadaan seimbang, proses inter-dependent itu memastikan bahwaklot fibrin yang terbentuk sudah berhasil menghentikan perdarahan dan kemudian terjadi revaskularisasi untuk mengantur aliran darah. Perdarahan masif pada pasien dengan trauma mayor dapat memperpanjang kapasitas proses koagulasi hingga mencapai batas, menyebabkan koagulopati, perdarahan yang tidak terkendali, walaupun pada pasien yang sebelumnya memiliki hemostasis normal. Consumption coagulopathy Patogenesis koagulopati pada pasien trauma sangat kompleks. Penyebab pastinya sulit untuk diidentifikasi dan multifaktorial (Tabel 1). Kerusakan jaringan, anoksia, dan shock mengaktifkan sistem koagulasi, yang dapat mengaktifkan fibrinolisis. Terjadinya trombi intravaskular multipel yang dihubungkan dengan area-area nekrosis fokal pada berbagai

macam organ-organ vital mirip dengan temuan pada pasien dengan disseminated intravascular coagulation. Apakah perubahan-perubahan itu menunjukkan DIC yang sesungguhnya masih belum jelas. Namun, aktifasi normal sistem koagulasi dan fibrinolitik menyebabkan terjadinya konsumsi platelet dan faktor koagulasi , dan berlanjutnya perdarahan menyebabkan penurunan bahan-bahan hemostatik dari sirkulasi.

Gambar 2. Proses Koagulasi Tabel 1. Penyebab Koagulasi

Peningkatan Fibrinolisis Bukti laboratoris telah mendemonstrasikan kondisi hipofibrinolitik dan hiperfibrinolitik pada pasien trauma. Keadaan fibrinolitik pada pasien trauma dapat bermacam-macam tergantung pada tingkat keparahan dan waktu terjadinya trauma sampai pemeriksaan aktifitas fibrinolitk dilakukan. Simmons telah menunjukkan bahwa aktifitas fibrinolitik sesaat setelah trauma meningkat. Aktifitas tersebut akan kembali normal setelah 24 jam pertama pada pasien dengan cedera ringan sampai sedang, tetapi tetap tinggi pada pasien dengan cedera berat. Dengan adanya hipotermia, aktifitas fibrinolitik meningkat. Namun, harus dicatat bahwa penelitian yang menunjukkan peningkatan fibrinolisis pada pasien trauma telah ada sebelum 1990. Ini hal ini menunjukkan bahwa ketrampilan di kegawatdaruratan, keputusan perubahan resusitasi cairan, dan peningkatan kualitas komponen darah dapat menghasilkan hasil yang berbeda jika penelitian-penelitian seperti itu dilakukan sekarang. Koagulopati akibat hipotermia Pada pasien trauma tanpa penyakit yang telah ada sebelumnya atau cedera kepala berat telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk koagulopati yang mengancam nyawa yang signifikan: skor keparahan cedera >25, tekanan darah sistolik <70mmHg, asidosis dengan pH < 7.10, dan hipotermia dengan suhu badan <34oC. Hubungan antara hipotermia, metabolik asidosis dan koagulopati progresif disebut sebagai lethal triad; setiap faktor dapat memperparah faktor lainnya,menyebabkan perdarahan yang dapat mengancam nyawa (Gambar 3). Penyebab hipotermia bermacam-macam dan saling berhubungan,

termasuk gangguan termoregulasi sentral, penurunan produksi panas karena hipoperfusi jaringan pada shock perdarahan, paparan pada suhu rendah, dan infusi cairan resusitasi dan transfusi komponen darah yang tidak cukup hangat. Proses koagulasi terdiri atas berbagai macam reksi enzim yang tergantung suhu dan berfungsi optimal pada suhu 37oC. Efek merugikan pada hipotermia pada koagulopati pada pasien trauma telah terdokumentasi dengan baik dan ketika terjadi berkaitan dengan asidosis metabolik, dapat mengakibatkan angka kematian menjadi 90%. Efek dari hipotermia pada koagulopati sulit diidentifikasi dengan test skrining koagulasi rutin, seperti PT (Prothrombin time) dan aPTT (activated partial thromboplastin time), karena tes-tes tersebut dilakukan secara rutin pada suhu 37oC. Namun, ketika test PT dan aPTT dilakukan pada suhu rendah, seperti pada pasien hipotermia, keduanya akan memanjang secara signifikan. Selain itu, baik dalam studi in vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa hipotermia secara signifikan mengganggu fungsi platelet dan aktifasi fibrinolisis. Kesimpulannya, hipotermia mengganggu pembentukan trombin dan pembentukan plak platelet dan klot fibrin, dan di saat yang sama meningkatkan lisisnya klot, menyebabkan koagulopati dan perdarahan yang tidak terkontrol. Test koagulasi rutin biasanya menurunkan derajat dari koagulopati pada pasien hipotermi dan tes itu harus dilakukan dengan pertimbangan ketika menginterpretasikan hasil tes dan memperbaiki kondisi koagulopatinya.

Gambar 3. Hubungan antara asidosis metabolit, hipotermia, dan koagulopati progresif

Penurunan kadar faktor koagulasi dan platelet Infusi kristaloid dan koloid dalam jumlah besar pada saat resusitasi menurunkan konsentrasi platelet dan faktor koagulasi. Selain itu, trombositopenia terlihat umum pada pasien yang menerima transfusi darah masif, dan telah diperkirakan menjadi penyebab utama koagulopati. Meskipun platelet ada di whole blood, penyimpanan pada suhu 4oC sangat merusak platelet dan platelet yang tersisa menghilang dari sirkulasi sesaat setelah transfusi. Pada prakteknya, sel darah merah di dalam cairan aditif lebih luas penggunaannya daripada whole blood. Akibatnya, unit sel darah merah mengandung sedikit faktor koagulasi dan platelet, trombositopenia dan level faktor koagulasi yang dibawah normal sering terjadi pada fase awal transfusi sel darah merah yang masif. Efek kehilangan sel darah merah pada koagulasi Efek spesifik dari sel darah merah pada koagulasi masih belum jelas. Pada percobaan in vitro telah menunjukkan bahwa membran sel darah merah berisi enzim elastase, yang dapat mengaktifkan faktor IX dan bisa bertindak sebagai pemicu mekanisme koagulasi darah. Pada relawan yang normal, penurunan hematokrit akut berakibat disfungsi

platelet yang reversibel. Sebaliknya, pada penggunaan thromboelastography, Iselin telah menemukan bahwa sebuah reduksi yang terisolasi pada hematokrit tidak menekan sistem koagulasi. Karena tidak ada data dari pasien trauma. Efek dari kehilangan sel darah merah akut pada koagulasi pada kelompok pasien ini masih tidak diketahui. Efek transfusi sel darah merah masif pada koagulasi Transfusi darah pada masa lampau sebagian besar bergantung pada penggunaan whole blood, sedangkan pada praktek modern didasarkan pada konsep terapi komponen darah spesifik. Di negara maju, unit darah yang paling utuh dipisahkan dalam 18-24 jam ke dalam sel darah merah, trombosit dan plasma, dan di beberapa pusat penyimpanan darah, kriopresipitat dipersiapkan setelah pencairan FFP di 2-4oC. Terapi komponen darah mengoptimalkan penggunaan sumber daya dengan memungkinkan komponen yang akan digunakan pada pasien. Hal ini untuk menghindari efek yang memiliki potensi berbahaya yang disebabkan oleh kelebihan bahan-bahan transfusi. Misalnya, transfusi whole blood, bukan sel darah merah dalam larutan aditif, untuk pasien anemia meningkatkan risiko terkait plasma seperti reaksi transfusi TRALI (transfusion related acute lung injury), yang berkaitan dengan adanya antibodi untuk HLA atau leukosit dalam plasma donor. Meskipun terapi komponen spesifik menyediakan keuntungan logistik dan ekonomi, pada transfusi koagulopati RBC masif, koagulopati karena rendahnya level platelet dan faktor pembekuan terjadi pada fase yang lebih awal dibandingkan dengan penggunaan whole blood. Satu unit whole blood berisi sekitar 200 ml plasma dengan jumlah yang cukup untuk faktor koagulan yang stabil, terutama fibrinogen. Sebaliknya, hanya sejumlah plasma yang tak berarti, begitu pula dengan faktor koagulasi dan platelet, terdapat di unit sel darah merah, dan larutan plasma tanpa aditif ditambahkan ke unit tersebut untuk menyediakan nutrisi dan energi untuk sel darah merah, serta penyangga pH selama penyimpanan. Selama perang Vietnam, ketika whole blood yang disimpan digunakan, ditemukan bahwa jumlah trombosit tidak turun di bawah 100.109 liter-1, bahkan setelah transfusi 6 liter. Sebaliknya pada saat ini, 85% dari pasien yang menerima setidaknya 10 unit sel darah merah dalam larutan aditif mengalami trombositopenia. Hubungan antara volume darah yang hilang, penggantian volume darah dan reduksi pada faktor koagulan masih sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk dinamika kehilangan darah, kesulitan dalam memperkirakan jumlah darah yang hilang sesungguhnya, variasi pada jumlah faktor pembekuan dan fungsi sistem organ yang terlibat dalam hemostasis pada setiap individu seperti hepar, limpa, dan sumsum tulang. Martinowitz menemukan pada 36 pasien dengan trauma berat, setelah menerima transfusi sel darah merah dalam jumlah besar dengan rata-rata pemberian sebanyak 21 unit, jumlah rata-rata fibrinogen sebanyak 1.5gr/liter (interkuartil range 1.1 2.6gr/liter). Temuan yang mirip juga diutarakan oleh Hiippala yang menemukan jumlah fibrinogen <1.0gr/liter setelah penggantian sekitar 1.5 volume darah pada 60 pasien dengan operasi besar. Namun, McLoughlin menemukan bahwa jumlah fibrinogen di bawah 1.0 gr/liter terjadi setelah penggantian 0.5 volume darah. Namun demikian, penelitian tersebut dilakukan pada 8 pasien yang memiliki ambang jumlah fibrinogen yang rendah (sekitar 1.6 gr/liter) Pada prinsipnya, pengukuran kemampuan hemostatik berkala harus menyertakan panduan untuk penanganan pasien. Celakanya, tes yang sering digunakan, PT dan aPTT, tes umum yang sebenarnya dikembangkan untuk memonitor terapi antikoagulan dan nilai prediksi pada seting trauma dan pembedahan, belum divalidasi. Pengukuran konsentrasi fibrinogen yang diulang-ulang dapat membantu menentukan kapan terapi penggantian

fibrinogen dibutuhkan pada pasien. Data Thromboelastograph menyediakan pemeriksaan proses koagulasi dari pembentukan klot sampai lisisnya klot itu secara kualitatif dan dinamis, serta penggunaan Thromboelastograph dapat berguna pada pasien trauma. Meningkatnya kandungan asam dari unit sel darah merah juga menyebabkan koagulopati. pH unit sel darah merah rendah, dan menurun secara progresif selama penyimpanan, karena produksi asam laktat oleh sel darah merah, dimana pH awalnya 7.0 menjadi sekitar 6.3 pada akhir masa hidupnya. Karena kemampuan penyangga plasma yang tinggi pada sirkulasi, transfusi sel darah merah dengan pH yang rendah biasanya tidak menyebabkan gangguan keseimbangan asam basa. Namun, pada kasus pasien trauma yang sudah asidosis, transfusi sel darah merah masif menyebabkan peningkatan asam yang dapat memperparah koagulopati yang sudah terjadi. Transfusi sel darah merah pasti dapat menyelamatkan nyawa pasien trauma dengan shock perdarahan. Namun, dengan komponen sel darah merah modern yang tidak mengandung platelet dan faktor koagulasi, koagulopati terjadi pada fase awal transfusi sel darah merah masif. Jumlah yang berlebihan dari antikoagulan sitrat teradapat dalam FFP. Pasien trauma, biasanya mengalami shock hipovolemi atau hipotermia, dan ketika menerima FFP dalam jumlah besar dapat mengalami hipokalsemia akibat pengikatan sitrat pada ion kalsium yang tersirkulasi. Karena ion kalsium adalah salah satu elemen esensial pada koagulasi, hipokalemia dapat berperan dalam koagulopati. Masalah yang tidak terselesaikan mengenai transfusi darah pada trauma Terapi penggantian yang optimal untuk FFP dan platelet Telah diketahui bahwa pasien yang menerima transfusi sel darah merah dalam jumlah besar harus juga diberi FFP, platelet, konsentrat fibrinogen atau cryoprecipitate. Namun, tidak ada panduan yang diterima secara umum untuk penggantian komponen hemostatik tersebut. Rekomendasi yang ada kini biasanya didasarkan pada opini para ahli atau pengalaman pribadi daripada bukti berdasarkan uji acak. Dua pendekatan yang berbeda pada terapi penggantian darah telah direkomendasikan dan masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian. Pendekatan yang pertama adalah dengan transfusi FFP dan platelet untuk profilaksis setelah sejumlah sel darah merah dalam jumlah tertentu ditransfusikan. Namun, tidak ada konsensus untuk rasio optimal, antara 1:10 hingga 2:3 untuk perbandingan FFP:SDM, dan dari 6:10 sampai 12:10 untuk platelet:SDM. Yang paling penting, tidak ada bukti konkrit pada prakteknya dalam mencegah terjadinya koagulopati atau memperbaiki perdarahan. Tidak ada hubungan yang jelas antara perdarahan dan volume total plasma yang ditransfusikan. Keuntungan transfusi platelet sebagai profilaksis juga tidak konkrit, meskipun fakta menunjukkan trombositopenia umumnya terjadi pada pasien yang telah menerima transfusi sel darah merah masif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa trombositopenia tidak selalu berkolerasi dengan perdarahan abdominal. Sangat masuk akal bahwa fungsi dan jumlah platelet menjadi dasar terjadinya hemostasis yang efektif. Pendekatan yang kedua adalah untuk mentransfusi FFP, Platelet, atau cryoprecipitate hanya ketika ada bukti klinis dan laboratorium adanya koagulopati, atau singkatnya ketika terjadi perdarahan mikrovaskular, PT atau aPTT >1.5 kali dari nilai normal, trombositopenia dengan jumlah platelet <50-100.109/liter, atau konsentrasi fibrinogen < 1 gr/liter. (gambar 4). Panduan untuk terapi komponen darah direkomendasikan oleh American Society of Anesthesiology Task Force on Blood Component Therapy dirangkum

dalam tabel 2.1. pendekatan ini juga punya kekurangan. Bukti klinis koagulopati seperti perdarahan mikrovaskular yang tidak diketahui asalnya dapat menyulitkan observasi. Selain itu, tes laboratorium membutuhkan waktu 30-60 menit dari pengambilan sampel darah sampai keluarnya hasil laboratorium. Status hemasotasis pada pasien trauma dengan perdarahan masif dapat berubah cepat, sehingga hasilnya tidak dapat menggambarkan status pasien saat itu. Selebihnya, seperti yang didiskusikan sebelumnya, tes yang dilakukan pada suhu standar 37oC, tidak dapat mendeteksi koagulopati terkait dengan hipotermia. Mungkin ada keterlambatan antara menerima bukti klinis serta laboratorium dan penyediaan komponen darah yang dibutuhkan, selama status koagulasi dapat berubah lagi. Keterbatasan pada perbaikan hemostasis FFP dan cryoprecipitate secara fisiologis hanya berisi faktor koagulasi, dengan konsentrasi rendah, yang mana sangat bervariasi tergantung donor. Selama preparasi FFP, kadar faktor koagulasi terdilusi sekitar 15% pada fase awal sebagai akibat dari penambahan larutan antikoagulan. Faktor koagulasi bisa jauh berkurang saat proses pembekuan dan pencairan. Akibatnya, FFP dalam jumlah besar dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan faktor koagulasi. Turunnya platelet selama proses persiapan lebh substansial: sekitar 50% dari jumlah sesungguhnya pada whole blood. Selama penyimpanan, platelet mengalami perubahan yang menyebabkan hilangnya aktifitas fungsional dari platelet. Karena itu, transfusi sel darah merah, FFP, dan platelet dengan rasio 1:1:1, tidak akan mengembalikan fungsi faktor koagulasi dan platelet hingga normal seperti pada whole blood.
Tabel 2. Panduan terapi penggantian darah pada koagulopati

Fungsi whole blood segar Penggunaan whole blood segar tanpa pendingin dibandingkan dengan sel darah merah pada pasien trauma yang membutuhkan transfusi masif telah direncanakan dengan maksud mengatasi koagulopati. Pendekatan ini memiliki masalah besar pada logistiknya. Kebanyakan bank darah memproses hampir semua unit whole blood ke dalam komponen darah, dan pada kasus darurat, whole blood segar tidak tersedia, terutama dalam jumlah banyak. Selain itu, di beberapa negara telah menginmplementasikan leukodeplesi universal, contohnya semua unit darah mengalami leukodeplesi sebelum penyimpanan, whole blood yang mengalami leukodfeplesi tidak bisa lagi disebut whole blood karena hampir semua platelet dan beberapa faktor pembekuan terbuang ketika proses filtrasi leukosit. Karena itu, penggunaan whole blood segar tidak dapat memperbaiki koagulopati karean perdarahan masif dan merupakan tindakan yang jarang dilakukan. Selain itu, penggunaan whole blood segar akan menghalangi tes skrining yang adekuat, yang akan menurunkan keamanan

transfusi darah. Jelasnya, tindakan transfusi untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa masih belum ideal. Ada batas pada apa yang dapat dicapai dengan terapi penggantian komponen darah pada pasien trauma dengan pendarahan tak terkendali. Efek transfusi sel darah merah jangka panjang pada trauma Selama bertahun-tahun, risiko infeksi yang ditransmisikan lewat transfusi yang disebabkan oleh patogen seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV telah menurun signifikan. Namun, hal itu menyisakan risiko sisa infeksi oleh patogen-patogen itu. Ada peningkatan kekahawatiran atas infeksi yang disebabkan oleh patogen yang muncul, seperti agen dari varian Creutzfeldt-Jacob disease (vCJD), hepatitis G virus, dan West Nile virus. Selain itu, transfusi darah dikaitkan dengan sejumlah komplikasi non-infeksi akut dan tertunda (Tabel 3). Pada pasien dengan trauma mayor, nampak ada hubungan antara transfusi sel darah merah dan hasil yang lebih buruk, khususnya kegagalan multi organ dan infeksi post cedera, yang akan didiskusikan lebih detail. Kegagalan multi organ Kegagalan multi organ merupakan komplikasi serius pasca-cedera yang mengakibatkan perawatan di ICU yang lama, penggunaan ventilator mekanis dalam periode yang lebih lama, dan meningkatkan angka mortalitas. Sekali kegagalan multi organ terjadi, angka kematian dapat mencapai 36%. Transfusi sel darah merah telah menunjukkan faktor risiko independent akan kegegalan multi organ pasca-cedera dan terdapat keterkaitan respon dosis yang kuat antara transfusi awal sel darah merah dan terjadinya kegagalan multi organ. Analisis pada sebuah pusat data yang terdiri dari 513 pasien dengan trauma mayor, perdarahan parah, dan shock perdarahan mengindikasikan bahwa pasien yang mengalami kegagalan multi organ awalnya menerima rata-rata 13 unit sel darah merah pada 12 jam pertama pasca cedera, dibandingkan dengan 3,8 unit pada pasien yang tidak mengalami kegagalan multi organ. Penurunan volume transfusi sel darah merah dapat menurunkan risiko dan keparahan kegagalan multi organ. Mekanisme yang pasti antara kegagalan multi organ akibat transfusi sel darah merah belum diketahui. Namun, bukti yang ada mendukung hipotesis bahwa saat penyimpanan, lemak bioreaktif yang memiliki aktifitas sel PMN terbentuk dari sel darah merah. Transfusi sel darah merah yang sudah disimpan mengandung lemak bioreaktif yang mengaktifkan respon inflamasi sistemik dan mengakibatkan kegagalan multi organ.
Tabel 3. Komplikasi transfusi masif non infeksious

Infeksi pasca cedera Infeksi merupakan komplikasi umum pada pasien trauma. Transfusi sel darah merah telah menjadi faktor risiko independen pada terjadinya infeksi pasca cedera. Paparan pasien pada antigen dari luar dalam jumlah besar mengakibatkan penurunan sistem imun. Adanya leukosit pada unit sel darah merah diperkirakan menjadi kontributor utama pada efek imunosipresif pada transfusi darah allogenik. Namun, hasil dari uji klinis tidak dapat menyimpulkan apakah leukodeplesi menghilangkan efek imunosupresi pada darah allogenik. Sebuah mekanisme alternatif yang tidak dimediasi faktor imun sudah dikembangkan. Sel darah merah yang tersimpan memiliki sifat lebih kaku, dan ketika ditransfusikan akan menyebabkan obstruksi pada kapiler, menyebabkan iskemi jaringan dan infeksi karena antibiotik profilaksis yang tidak sampai ke jaringan. Sebuah studi observasional prospektif oleh Claridge dan rekan mengungkapkan bahwa tingkat infeksi pada pasien trauma yang menerima setidaknya satu unit sel darah merah selama 48 jam pertama setelah masuk rumah sakit secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada pasien yang tidak menerima (33,0 vs 7,6%, P <0,0001), dan ada korelasi yang tergantung dosis yang kuat antara jumlah transfusi dan perkembangan infeksi. Namun, odds rasio transfusi sel darah merah sebagai faktor risiko bagi perkembangan infeksi pascacedera hanya 1,084 (95% confidence interval 1,028-1,142, P = 0,0028) Dalam studi observasional prospektif, Malone dan rekan menganalisis data dari 15.534 pasien trauma 1703 di antaranya menerima transfusi sel darah merah dengan ratarata 6,8-6,7 unit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, setelah mengatasi keparahan shock, transfusi sel darah merah dalam waktu 24 jam pertama dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, masuk keperawatan ICU dan memperpanjang perawatan di ICU dan rumah sakit, yang mungkin terkait dengan peningkatan risiko infeksi nosokomial. Meskipun demikian, tidak ada bukti yang mendukung hubungan sebab-akibat tersebut. Perkembangan infeksi mungkin berhubungan dengan lamanya penyimpanan sel darah merah yang ditransfusikan. Berdasarkan 269 pasien yang menjalani operasi bypass arteri koroner, Vamvakas dan Carven menemukan bahwa risiko pneumonia pasca operasi meningkat sebesar 1% per hari dari peningkatan waktu penyimpanan rata-rata dari sel darah merah yang ditransfusikan. Selain itu, sebuah temuan serupa diteliti oleh Leal-Noval dan rekan, yang melakukan penelitian pada 897 pasien yang menjalani operasi jantung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap hari, unit yang terlama disimpan meningkatkan risiko pneumonia sebesar 6% dan transfusi unit RBC yang disimpan selama >28 hari bisa menjadi faktor risiko pneumonia nosokomial. Perlu dicatat bahwa studi tentang efek transfusi sel darah merah pada infeksi pascacedera kebanyakan merupakan studi pengamatan dan harus diinterpretasikan dengan hatihati. seperti pada studi yang tidak dapat dengan jelas menentukan apakah transfusi sel darah merah menyebabkan komplikasi pasca cedera atau apakah pada pasien trauma yang memerlukan transfusi sel darah merah memiliki penyakit lebih parah, dan karenanya,lebih mungkin untuk terjadinya komplikasi. hanya percobaan prospektif secara acak akan memberikan jawaban yang definitif. Namun, melakukan uji seperti pada pasien trauma parah sangat sulit, jika tidak mungkin, sebagaimana dicontohkan oleh Schulman dan rekan. Mereka melakukan secara acak calon percobaan untuk menetapkan pengaruh variasi umur terhadap transfusi sel darah merah pada hasil klinis pada pasien trauma. Pasien hanya diacak jika ada minimal 15 unit "muda" (<11 hari) dan 15 unit 'lama' (> 20 hari) sel darah merah leukodeplesi tipe tertentu yang tersedia waktu itu. Meskipun pasien cedera yang dievaluasi sebanyak 8000, yang mana 3600 trauma berat, hanya 24 pasien yang bisa dimasukkan dalam percobaan, karena keterbatasan darah pada bank darah. Rata-rata,

pasien yang dilibatkan dalam percobaan menerima 10 unit sel darah merah. Tidak ada perbedaan komplikasi pasca cedera yang signifikan secara statistik antara dua kelompok yang dapat disebabkan terbatasnya jumlah pasien yang diteliti. Namun juga mungkin bahwa tidak hanya usia sel darah merah, tetapi juga faktor lain yangberkontribusi terhadap infeksi akibat transfusi pasca cedera. Unit sel darah merah memiliki usia yang terbatas sekitar 42 hari. Bank darah biasanya mendistribusikan darah yang usianya tua untuk menghindari pemborosan dari pembuangan unit transfusi akibat kadaluwarsa . Ini mungkin logis untuk menunjukkan bahwa unit sel darah merah segar digunakan untuk resusitasi pasien trauma dengan perdarahan masif. Namun, pendekatan ini mungkin tidak praktis dalam hal manajemen persediaan. Sebuah strategi yang lebih praktis akan mencoba untuk mengurangi jumlah sel darah merah yang ditransfusikan. Sebuah uji coba terkontrol secara acak prospektif pada pasien trauma sakit kritis telah menunjukkan bahwa strategi transfusi sel darah merah terbatas (konsentrasi hemoglobin 70 g/ liter) tampaknya aman. Kebutuhan terhadap agen hemostatik Meskipun penanganan pada pasien trauma telah meningkat secara signifikan, perdarahan yang terkait dengan koagulopati masih menjadi tantangan terbesar. Andalan manajemen koagulopati adalah transfusi FFP, trombosit, fibrinogen dan kriopresipitat jika tersedia. Selama persiapan dan penyimpanan komponen darah, trombosit mengalami perubahan yang menyebabkan penurunan secara progresif kelangsungan hidup dan fungsi dari platelet itu sendiri. Meskipun beberapa perubahan bersifat reversibel, hanya ada sedikit bukti bahwa platelet yang ditransfusikan segera kembali pada fungsi normal mereka , dan aktivitas fungsional dari faktor koagulasi dalam FFP juga menurun dari level yang sesungguhnya. Meskipun perubahan ini terjadi pada saat penyimpanan, FFP, trombosit dan kriopresipitat menyediakan hemostasis yang cukup pada kebanyakan pasien. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, seperti ketika koagulopati hadir dalam hubungannya dengan hipotermia dan asidosis, ada batasasn tingkat hemostasis yang dapat dipulihkan dengan terapi pengganti. Dalam beberapa kasus, pengganti yang memadai gagal untuk mengontrol perdarahan yang mengancam jiwa. Terapi hemostatik yang lain, yang berguna dalam pengaturan tersebut, mungkin dapat menyelamatkan jiwa, dan penggunaan pengobatan hemostatik yang mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah mungkin mengurangi komplikasi pasca-cedera seperti kegagalan multi organ dan infeksi, dan akhirnya meningkatkan angka keberhasilan terapi. Penyebab pasti perdarahan yang berkaitan dengan koagulopati sulit untuk diidentifikasi dan biasanya multifaktorial. Agen hemostatik yang ideal seharusnya manjur dalam berbagai disfungsi hemostatik, mudah disimpan dan digunakan, dan punya efek yang cepat. Selain itu, status hemostatik pasien dengan trauma parah dengan cepat dapat mungubah perdarahan menjadi trombosis, dengan waktu paruh yang relatif pendek diperlukan untuk meminimalkan komplikasi tromboemboli. Rekombinan faktor VII yang teraktifasi (rFVIIa) adalah calon yang potensial. Sebuah review terbaru oleh Goodnough telah menunjukkan bahwa rFVIIa dapat memberikan hemostasis yang efektif dalam berbagai kondisi perdarahan. Dalam pasien trauma dengan perdarahan koagulopati, Dutton menggunakan rFVIIa sebagai pilihan terakhir dan menemukan bahwa perdarahan menurun dalam banyak kasus. Sebuah uji acak menunjukkan bahwa rFVIIa signifikan menurunkan permintaan transfusi sel darah merah pada pasien dengan trauma besar,dan ada kecenderungan ke arah menurunnya kegagalan multi organ dan ARDS. Hasil rinci masih belum dipublikasikan. Meskipun demikian,

berdasarkan data dari 36 pasien dengan trauma parah, Multidisiplin Israel mengeluarkan petunjuk untuk penggunaan rFVIIa pada perdarahan tak terkendali. yang direkomendasikan bahwa prasyarat optimal (konsentrasi fibrinogen> 0,5 gr/liter, jumlah trombosit > 50/liter, pH> 7,2) harus tercapai sebelum pemberian rFVIIa. Seperti halnya agen hemostatik, ada kekhawatiran atas potensi thrombogenicity dari rFVIIa. Namun demikian, ada beberapa data klinis yang menunjukkan berbagai macam keuntungan. Kesimpulan Akhir-akhir ini, resusitasi pada pasien trauma dengan shock perdarahan telah berkembang. Namun demikian, perdarahan yang bisa dikoreksi tanpa pembedahan masih menjadi tantangan utama. Sebenarnya, terapi penggantian komponen darah masih menjadi andalan untuk perdarahan yang terkait dengan koagulopati. Pada kasus tertentu, hal di atas dapat gagal dan menyebabkan perdarahan. Meskipun transfusi sel darah merah dapat menyelamatkan jiwa, efek negatif pada pasca cedera sudah terdokumentasikan. Agen hemostatik yang dapat mengontrol perdarahan secara efektif dan mengurangi jumlah transfusi sel darah merah yang dibutuhkan, dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma, tetapi tidak mungkin untuk menggantikan transfusi darah sepenuhnya.

You might also like