You are on page 1of 30

Fungsi keluarga menurut BKKBN (1992)

Menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) bahwa fungsi keluarga dibagi menjadi 8. Fungsi keluarga yang dikemukakan oleh BKKBN ini senada dengan fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994, yaitu : 1. Fungsi keagamaan, yaitu dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini. 2. Fungsi sosial budaya, dilakukan dengan membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilainilai budaya keluarga. 3. Fungsi cinta kasih, diberikan dalam bentuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta memberikan perhatian diantara anggota keluarga. 4. Fungsi melindungi, bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman. 5. Fungsi reproduksi, merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga 6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, merupakan fungsi dalam keluarga yang dilakukan dengan cara mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak. Sosialisasi dalam keluarga juga dilakukan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik 7. Fungsi ekonomi, adalah serangkaian dari fungsi lain yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah keluarga. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang. 8. Fungsi pembinaan lingkungan Hal-hal yang berkaitan dengan KRR (Triad KRR) bagian pertama Seksualitas HIV/AIDS NAPZA Seksualitas Seksualitas merupakan semua yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk seksual. Emosi Kepribadian Sikap dll Asal kata Seks yang artinnya Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Reproduksi seksual Membuat Bayi Organ seks Laki-laki --> Penis Perempuan --> Luar dan Dalam Rangsangan/Gairah Seksual Seperti getaran di dalam tubuh Hubungan Seks Organ seks laki-laki bertemu organ seks perempuan (penetrasi) Yang akan dibahas: Organ reproduksi Pubertas Kehamilan Konsekuensi HUS bebas & tidak aman: KTD Aborsi IMS (termasuk HIV / AIDS)

Organ reproduksi PerempuanLuar : bibir luar, bibir dalam,Klitoris dan mulut vagina. Dalam : Ovarium, Fimbrae, Tuba falopi, Uterus, Cervix, Vagina, Mulut Vagina. Laki-lakiPenis, Glans, Uretra, Vas deferens, Epidydimis, Testis, Scrotum, Kelenjar Prostat, Vesikula Seminalis, Kandung Kencing. EREKSI pengerasan & pembesaran pada penis ketika pembuluh darah di penis dipenuhi dgn darah Ereksi bisa terjadi karena rangsangan seksual. Ketidakmampuan ereksi lebih dikenal dengan sebutan impotensi. Ejakulasi Keluarnya air mani yang mengandung sperma melalui saluran kemih di batang penis Ejakulasi yang terjadi secara alami (tidak disadari) disebut mimpi basah. Ejakulasi yang terjadi oleh rangsangan pada diri sendiri disebut onani Pubertas Pubertas adalah masa tubuh berubah dari anak-anak ke dewasa. Pubertas terjadi pada usia untuk perempuan awal terjadi 11/12 tahun dan akhir pada usia 17/18 tahun, sedangkan Laki-laki awal pubertas pada usia 13/14 dan akhir pada usia 17/18 tahun. Pubertas terjadi karena adanya perubahan kerja hormon, untuk laki-laki yaitu testosteron dan Perempuan yaitu Esterogen Progesteron. Perubahan Fisik Perubahan Fisik : Perempuan Organ Laki-laki Organ

Reproduksi Rahim Payudara Panggul membesar Timbulnya ovulasi Tumbuh rambut di Ketiak, Sekitar Vagina Reproduksi Penis, buah zakar dan testis bertambah besar Tumbuh rambut di ketiak, atas bibir (kumis), bawah bibir (janggut), sekitar penis, dada

Perubahan fisik (laki-laki dan perempuan) Pertumbuhan tinggi dan berat badan Perubahan suara Tumbuhnya jakun Peningkatan produksi kelenjar minyak dan keringat Pertumbuhan dan perkembangan organ pernapasan dan peredaran darah Perubahan psikilogis Sensitif : Mudah tersinggung, mudah marah Irasional Stress Takut Ingin mandiri Ekspresif Selalu ingin tahu Perhatian terhadap lawan jenis/ingin dipuja Setia terhadap KLP seusia Mudah terpengaruh APA ITU HIV / AIDS Pengertian HIV/AIDS AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia. HIV dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh, seseorang penderita AIDS biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem kekebalan itu masih baik. AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.

Gejala Orang yang Terinfeksi HIV/AIDS Sebenarnya belum ada ditemukan gejala-gejala yang pasti untuk menentukan seseorang terkena HIV/AIDS kecuali harus melalui tes darah. Namun gejala-gejala yang umum orang yang tertular HIV/AIDS biasanya adalah: * Berat badan turun secara mencolok, biasanya lebih dari 10% dalam waktu 1 bulan; * Demam lebih dari 38oC, disertai keringat tanpa sebab yang jelas pada malam hari; *Diare kronis lebih dari 1 bulan; *Rasa lelah berkepanjangan; *Pembesaran kelenjar getah bening yang menetap, biasanya di sekitar leher dan lipatan paha; *Gatal-gatal; *Herpes kulit; serta *Kelainan lain pada kulit, rambut, mata, rongga mulut, alat kelamin dan lainnya. Bagaimana HIV/AIDS Menyerang Tubuh Animasi 1. Sel T pembantu menyerang patogen Dalam keadaan sehat, sistem kekebalan tubuh dapat membasmi kebanyakan virus, bakteri dan patogen yang menyerang tubuh. Animasi. 2. Virus AIDS membunuh sel T pembantu Ketika virus AIDS menginfeksi tubuh, sel-sel T pembantu dirusak sehingga menyebabkan lemahnya sistem kekebalan. Animasi.3.V irus menyerang tubuh Pada saat sistem kekebalan rusak, tubuh menjadi semakin mudah terkena penyakit dan tubuh menjadi tak berdaya melawannya. Penyakit inilah yang biasanya menjadi penyebab kematian pada penderita AIDS. Cara HIV/AIDS Ditularkan AIDS adalah salah satu penyakit yang menular. Namun penularannya tak semudah seperti virus influenza atau virus-virus lainnya. Virus HIV dapat hidup di seluruh cairan tubuh manusia, akan tetapi yang mempunyai kemampuan untuk menularkan kepada orang lain hanya HIV yang berada dalam: darah, cairan vagina dan sperma. Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui: * Transfusi darah dari pengidap HIV; * Berhubungan seks dengan pengidap HIV; * Sebagian kecil (25-30%) ibu hamil pengidap HIV kepada janinnya. * Alat suntik atau jarum suntik/alat tatoo/tindik yang dipakai bersama dengan penderita HIV/AIDS; serta * Air susu ibu pengidap AIDS kepada anak susuannya. Mencegah HIV/AIDS Cara mencegah masuknya suatu penyakit secara umum di antaranya dengan membiasakan hidup sehat, yaitu mengkonsumsi makanan sehat, berolah raga, dan melakukan pergaulan yang sehat. Beberapa tindakan untuk menghindari dari HIV/AIDS antara lain: * Hindarkan hubungan seksual diluar nikah dan usahakan hanya berhubungan dengan satu pasangan seksual. * Pergunakan selalu kondom, terutama bagi kelompok perilaku resiko tinggi. * Seorang ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata positif HIV sebaiknya jangan hamil, karena bisa memindahkan virusnya kepada janin yang dikandungnya. Akan bila berkeinginan hamil hendaknya selalu berkonsultasi dengan dokter. * Orang-orang yang tergolong pada kelompok perilaku resiko tinggi hendaknya tidak menjadi donor darah. * Penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti; akupunktur, jarum tatto, jarum tindik, hendaknya hanya sekali pakai dan harus terjamin sterilitasnya. * Jauhi narkoba, karena sudah terbukti bahwa penyebaran HIV/AIDS di kalangan panasun (pengguna narkoba suntik) 3-5 kali lebih cepat dibanding perilaku risiko lainnya. Di Kampung Bali Jakarta 9 dari 10 penasun positif HIV Persepsi Salah Tentang HIV/AIDS AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang sampai sekarang belum ditemukan obat dan vaksinnya yang benar-benar bermanfaat untuk mengatasi AIDS. Itulah sebabnya AIDS merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. Munculnya anggapan yang salah terhadap tindakan dan prilaku sehubungan dengan HIV/AIDS semakin mengukuhkan penyakit ini untuk ditakuti. Oleh sebab itu perlu diketahui bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui: * Bekerja bersama orang yang terkena infeksi HIV. * Gigitan nyamuk atau serangga lain. * Sentuhan tangan atau saling pelukan. * Hubungan Seks dengan menggunakan kondom. * Penggunaan alat makan bersama. * Penggunaan toilet bersama. *Semprotan bersin atau batuk. Jenis-jenis Narkoba

Pada era globalisasi ini, banyak yang dihadapi oleh negara baik negara maju maupun negara berkembang semakin banyak masalah tak tekecuali dengan negara kita. Salah satu masalah yang hingga saat ini di banyak negara merupakan masalah serius adalah masalah narkoba di Indonesia, masalah ini sangat mengkhawatirkan karena sudah memasuki sekolah - sekolah, kampus bahkan orang - orang yang sudah mempunyai pekerjaan mapan dapat terpengaruh penggunaan narkoba.Saat ini tidak ada satu kecamatan pun di Indonesia yang terbebas dari narkoba. Narkoba adalah suatu zat, yang jika dimasukkan ke dalam tubuh, akan mempengaruhi fungsi fisik dan/atau psikologis (kecuali makanan, air atau oksigen). (WHO, 1982) Narkoba adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika, Bahan/zat adiktif yang merupakan obat-obat yang sangat berbahaya untuk di salah gunakan.(BNN, 2003)

1. Narkotika Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi penggunanya. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Macam-macam Narkotika a. Opioid Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium. Heroin termasuk kelompok opiate. Opium disaripatikan dari opium poppy(papaver somniferum) & disuling untuk membuat morfin, kodein & heroin (1847) Opium digunakan selama berabad-abad sebagai penghilang rasa sakit dan untuk kenikmatan (mencegah batuk, diare, dsb.) Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan karna efeknya sangat kuat. Obat ini bisa di temukan dalam bentuk pil, bubuk, dan juga dalam cairan. Heroin memberikan efek yang sangat cepat terhadap si pengguna, dan itu bisa secara fisik maupun mental. Dan jika orang itu berhenti mengkonsumsi heroin, dia akan mengalami rasa sakit yang berkesinambungan/sakaw/ gejala putus obat. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin(sering digunakan untuk medikasi) dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini Cara penggunaan heroin yang disuntikkan dapat memicu terjadinya penularan HIV/AIDS dan hepatitis C. Biasanya disebabkan oleh penggunaan jarum suntik dan peralatan lainnya secara bersamaan. b. Codein Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih.Codein sering juga digunakan sebagai obat batuk untuk batuk yang kronis. Pembeliannya pun harus dengan resep dokter. c. Demerol Nama lainnya adalah Demerol adalah pethidina. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. Demerol sering juga digunakan untuk pengobatan. d. Kokain Kokain adalah salah satu zat adiktif yang sering disalahgunakan. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan, seperti untuk meningkatkan daya tahan, stamina, mengurangi kelelahan, rasa lapar dan untuk memberikan efek eforia. Dampak jangka pendek lain penggunaan kokain adalah depresi, paranoid, serangan jantung, kejang, stroke dan psikosis e. Cannabis/ganja/cimenk Semua bagian dari tanaman ini mengandung kanabinoid psikoaktif. Tanaman ganja biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil - kecil dan digulung menjadi rokok disebut joints(di Indonesia disebut pocong). Akan mengikat pikiran dan dapat membuatmu menjadi ketagihan.Bentuk yang paling poten berasal dari sari tanaman ganja yang dikeringkan dan berwarna coklat-hitam yang disebut hashish atau hash. Ganja dikenal dapat memicu psikosis, terutama bagi mereka yang memiliki latar belakang (gen) schizophrenia. Ganja juga bisa memicu dan mencampuradukkan antara kecemasan dan depresi. Asap ganja mengandung tar 3 kali lebih banyak dan karbonmonoksida 5 kali lebih banyak daripada rokok biasa. THC(delta-9-tetrahydrocannabinol) disimpan di dalam lemak pada tubuh dan dapat dideteksi sampai enam minggu setelah memakai. 2. Psikotropika Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, kadang-kadang disertai dengan timbulnya halusinasi (gangguan persepsi visual dan pendengaran), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan. Jenis-jenis yang termasuk psikotropika Ecstasy/Ineks Ecstasy (methylen dioxy methamphetamine)/MDMA adalah salah satu jenis narkoba yang dibuat secara ilegal di sebuah laboratorium dalam bentuk tablet.Ekstasi akan mendorong tubuh

untuk melakukan aktivitas yang melampaui batas maksimum dari kekuatan tubuh itu sendiri. Kekurangan cairan tubuh dapat terjadi sebagai akibat dari pengerahan tenaga yang tinggi dan lama, yang sering menyebabkan kematian. Zat-zat kimia yang berbahaya sering dicampur dalam tablet atau kapsul ecstasy. Zat-zat ini justru seringkali lebih berbahaya dibandingkan kandungan ecstasy yang ada. Ecstasy ini mempengaruhi reseptor dopamin di otak sehingga bila efek zat ini habis dapat menimbulkan depresi dan paranoid. Shabu-shabu Nama kimianya adalah methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu penyedap masakan. Obat ini berbentuk kristal maupun tablet, tidak mempunyai warna maupun bau Obat ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap syaraf diantaranya : ~ Merasa nikmat, eforia, waspada, enerjik, sosial & percaya diri (bila digunakan lebih dari biasanya). ~ Agitasi(mengamuk), agresi(menyerang), cemas, panik. ~ Mual, berkeringat, geraham lengket, gigi terus mengunyah. ~ Meningkatkan perilaku berisiko. ~ Kehilangan nafsu makan. ~ Susah tidur. ~ Gangguan jiwa berat. ~ Paranoid dan depresi. PENCEGAHAN NARKOBA Pencegahan dan Pengobatan Rata PenuhPencegahan dan Pengobatan Pencegahan Narkoba lagi narkoba lagi. Tahun-tahun belakangan ini, kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba semakin marak saja. Bukan hanya kasus ini marak di ibukota melaikan hingga di kota-kota lain di Indonesia. Tidak memandang dari status sosial mana dia berada, tidak melihat latar belakang keluarga baik-baik ataukah berantakan, tidak memandang dari daerah mana dia berasal. Orang-orang yang menjadi korban ketergantungan narkoba semakin beragam dan meningkat dari tahun ke tahun. Termasuk kamu, golongan anak muda yang menjadi pewaris bangsa. Jika banyak dari generasi muda sepertimu sekarang ketergantungan narkoba, maka akan begaimanakah nasib bangsa ini selanjutnya? Untuk itu informasi mengenai narkoba perlu diluruskan kepada semua orang. Hal ini agar kita tidak mudah dibohongi apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok orang. Nah, biar ngga gampang dicuci otak atau dibujuk untuk memakai narkoba, kamu harus tahu beberapa hal tentang narkoba seperti dibawah ini : 1. Jangan pernah berfikir untuk mencoba, meskipun hanya sekali Namanya anak muda, sifat yang paling umum adalah rasa penasaran. Sebenarnya sifat ini bisa positif jika memberikan pengetahuan bagi kamu. Namun rasa penasaran itu akan merusak ketika kamu ingin mengetahui rasa narkoba meskipun Cuma sekali, Satu hal yang perlu kamu ingat narkoba merupakan obat-pbatan yang mengandung zat atau kandungan yang dapat membuat kamu ketagihan. Sekali kamu mencobanya,maka seumur hidup kamu akan ketagihan. 1. Jangan berfikir bahwa narkoba adalah dewa penyelamatmu.

2. Namanya hidup, pasti ada suka dan dukanya. Alangkah indahnya jika dunia ini
dipenuhi suasana yang asyik-asyik terus. Namun tidak demikian adanya, bukan? Orang akan mudah mengontrol dirinya ketika merasa senang dan riang. Tapi hal itu tidak mudah dilakukan ketika orang harus menghadapi persoalan-persoalan sulit, rumit, bikin stress, atau depresi. Berdasar dari banyak kasus, seseorang akan mudah dicekoki narkoba ketika dirinya sedang dalam keadaan down. Untuk itu kamu harus selalu waspada. Ingatlah selalu kalau narkoba akan mengacaukan perasaanmu, malah akan menambah banyak persoalanmu. Kalau pun seseorang pemakai narkoba merasa punya perasaan gembira dan nyaman, itu hanya bersifat sementara waktu saja. Ketika pengaruh narkoba itu habis, maka si penggunanya akan merasakan hal-hal yang sebaliknya. Tidak heran jika akhirnya si pengguna akan mencari dan menagih narkoba yang sama. Makanya, kamu perlu meningkatkan iman dan ketakwaanmu pada Tuhan. Biasakan mengadu kepada Tuhan tentang perasaan sedih dan duka yang sedang kamu rasakan. Niscaya, Dia akan selalu mendengar dan membantu keluh-kesah umatNya. Secara otomatis, hal itu juga akan membentengi dirimu dari desakan untuk mencoba-coba narkoba. 3. Jangan bilang kalau hanya sebagian jenis narkoba saja yang mematikan, namun sebagian lagi justru menyehatkan. Berdasarkan riset medis, merokok saja dapat membahayakan tubuhmu. Dari hasil penelitian Departemen Kesehatan dari Australia Barat dikatakan bahwa rokok yang kamu hisap itu mengandung kurang lebih 4.000 bahan kimia. Empat puluh dua jenis dari bahan-bahan kimia tersebut,berisikan racun yang dapat merusak tubuhmu dan memicu kanker.Lain lagi dengan ganja(kanabis), jenis narkoba ini dapat mempengaruhi sistem syaraf dan memperlambat kegiatan dalam otak bahkan dapat memicu gangguan jiwa berat jika kamu memiliki keturunan genetika yang berisiko tinggi.

Kalau ecstasy merupakan jenis narkoba yang dibuat dari kumpulan bahan kimia. Pengaruhnya sama dengan amfetamin dan halusinogen. Jika seseorang menggunakan secara berlebihan dalam satu waktu, dampak yang harus ditanggung adalah kematian. Sedangkan putaw atau heroin adalah zat yang berasal dari popi opium, bunga yang tumbuh di iklim panas dan kering. Untuk kedokteran, zat ini biasa digunakan sebagai penghilang rasa sakit (analgesia). Namun kalau kamu pakai tanpa izin dokter atau pun mencampurnya dengan obat- obatan lain, hal ini sama saja dengan membahayakan hidupmu sendiri! Bagaimana tidak? Dengan pemakaian dosis tinggi, maka akan terjadi kerusakan otak yang parah. 4. Pakai narkoba dengan cara menghirup uap lem atau zat lain adalah murah tapi mematikan Penggunaan narkoba dengan cara menghirup/inhalen, yang umumnya disebut sniffing glue atau ngelem adalah sangat berbahaya! Ngelem dapat menyebabkan kematian mendadak(sudden sniffing death syndrome), baik buat yang sudah berpengalaman apalagi yang baru mencobanya. Dengan menghirup zat-zat inhalan tersebut, maka otak, lever dan ginjal si penghirup dapat rusak. 5. Selektif memilih teman jalan ataupun temen dekat Teman yang baik adalah teman yang selalu ada didekatmu, baik dalam keadaan senang maupun duka. Teman yang baik juga harus mampu memberi masukan, saran dan kritik yang membangun. Teman yang baik adalah seorang yang juga bisa mengajakmu meraih prestasi, baik dalam pelajaran, olahraga atau pun ekstrakurikuler lainnya. Tapi kalau temanmu berusaha merayu, memaksa, apalagi memerasmu untuk mengkonsumsi narkoba, itu bukan teman namanya! Bergaul boleh dengan siapa saja, asalkan waspada jika ada seseorang yang baru dikenal langsung memintamu untuk merasakan nikmatnya narkoba. Ingat, bukan berarti jadi kuper (kurang pergaulan) jika kamu tidak bergaul dengan orang-orang pemakai narkoba. Pengobatan Berikut ini adalah beberapa pusat rehabilitasi yang ada di Indonesia : Balai Kasih Sayang Pamardisiwi Jl. MT. Haryono No.11 Cawang Jakarta Timur 021-8008881 Rumah Sakit Marzuki Makhdi Jl. Dr. Semeru No. 112 , Bogor - Jawa Barat Indonesia (0251) 382952 (0251) 382052-3 Wisma Adiksi Jl. Jati Indah I No. 23 Pondok Labu, Jakarta Selatan Indonesia (021) 7690455 (021) 7540604 RS. Ketergantungan Obat Jl. Fatmawati Jakarta Selatan FAN Campus Jl. Jurong no.28 , Cisarua Indonesia (0251) 255502 (021) 330989 REPRODUKSI SEHAT REMAJA Usia Anak dan Remaja merupakan suatu periode transisi dalam upaya menemukan jatidiri kedewasaan biologis dan psikologis. Karena itu usia anak dan remaja merupakan periode kritis tetapi strategis untuk tetap dibina, dari berbagai penelitian bahwa permasalahan yang dihadapi remaja adalah kurangnya informasi yang benar dan bertanggung jawab tentang Reproduksi Remaja. Permasalahan lain yang saat ini terjadi dimasyarakat seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan obat narkotik, kehamilan remaja, anemia dan kurang gizi. Khusus untuk keluarga yang mempunyai anak remaja, harus mendapat perhatian, penanganan yang lebih intensif, karena anak dan remaja dipersiapka sebagai generasi penerus bangsa yang bersikap mandiri dan produktif, sehingga dapat menjadi modal dan potensi pemrakarsa dan penggerak pembangunan yang handal sehingga mampu memberikan nilai tambah dalam pembangunan segala bidang. Pendekatan keluarga merupakan suatu yang sangat penting untuk merancang program dan aktifitas masa depan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa memberdayakan lembaga keluarga melalui BKR sebagai wadah komunikasi interaksi dan tukar pengalaman serta pemikiran antara keluarga-keluarga yang mungkin sedang atau akan menghadapi masalah yang sama, sehingga dapat memberikan pandangan untuk memecahkan masalah secara bersama. Atas dasar pemikiran itulah, maka perlu dilakukan upaya pembinaan ketahanan keluarga dengan berbagai pendekatan. Salah satu upaya yang sangat strategis adalah melalui bimbingan dan pembinaan anak dan remaja dalam keluarga yang dilakukan sedini mungkin dengan pendekatan yang aktual dan contoh serta keteladanan dari orang tua. TIPS MENGHENTIKAN ONANI TIPS MENGHENTIKAN ONANI Terlepas dari sikap kita masing-masing terhadap onani dan alasan yang mendasarinya, tentunya kita setuju bahwa "segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik". Nah, Jika di antara kita ada yang rajin beronani ria dan ingin mengendalikannya (dengan alasan apapun), berikut ini ada sejumlah hal yang bisa dilirik sebagai langkah-langkah untuk mengurangi (kalau bisa, menghilangkan) kebiasaan onani. Tertarik? Coba kita lihat : Niat, tujuan, target dan strategi serta waktu evaluasi kemajuan mesti ditetapkan sejak awal. Juga, siapkan hadiah dan hukuman sebagai imbalan. Contohnya, sewalah film kesukaan. Jika berhasil memenuhi target, tontonlah; Jika gagal, kembalikan saja;

Punya diary? Nggak ada salahnya untuk melihat catatan kegiatan "O" itu, misalnya berapa kali sehari / seminggu, pada jam berapa saja dilakukan, kejadian apa yang mengiringinya, dimana dan pada suasana apa saja onani dilakukan. Ngapain pakai lihat catatan segala? Untuk bikin kalender pencapaian target, tentunya; Susunlah sebuah daftar berjudul "Aktivitas yang Kusukai". Kemudian tuliskan "Onani" (dan aktivitas lain yang berkaitan dengan seks) pada nomor satu, kemudian aktivitas nomor dua, tiga, dan seterusnya. Syaratnya, haruslah aktivitas yang bisa kita lakukan, menyenangkan, dan positif; Biasanya onani dilakukan di pagi hari dan menjelang tidur pada malam hari. Nah, silakan beronani kecuali di waktu-waktu tersebut; Jika langkah 4) berhasil, coba langkah selanjutnya: Biasanya onani dilakukan pada saat kita menghadapi suatu masalah, dan kita butuh "rekreasi" sejenak untuk melupakannya. Nah, pilihlah sebuah aktivitas dari daftar untuk dilakukan pada saat kita ingin beronani saat menghadapi masalah; Onani juga sering dilakukan pada saat tidak ada orang di sekitar kita untuk diajak komunikasi. Nah, usahakan untuk selalu berada di tengah-tengah orang lain; Onani juga biasanya dilakukan setelah melihat sesuatu yang syuuur. Nah, kurangi konsumsi menu "sjurasic" itu kalau memang pingin mengurangi onani. Cara lain, pakailah karet gelang di tangan. Jika lewat sebuah "pemandangan yang indah", kita bisa menjepret lengan kita untuk mengalihkan perhatian; Onani juga menjadi pilihan pada waktu tidak bisa tidur atau terjaga di tengah waktu tidur. Nah, kita bisa pilih: Berusaha kembali tidur atau tetap bangun. Jika pingin tidur lagi, pilih aktivitas yang menimbulkan kantuk. Jika ingin tetap terjaga, lakukan aktivitas yang disukai dan menuntut konsentrasi (misalnya, main game) atau lebih baik mandi keramas. Bagi yang muslim bisa dilanjutkan dengan shalat tahajud; Olahraga bisa meningkatkan vitalitas, sehingga dorongan seksual juga meningkat. Tapi, olahraga juga menghabiskan tenaga yang sedianya digunakan untuk onani. Jadi, tetaplah berolahraga dan hindarilah hal-hal yang mendorong untuk onani; Onani sering jadi kelanjutan dari ngelamun jorok. Nah, selain teknik karet gelang di atas, selalu sibukkan dirimu dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Misalnya, jika PR untuk hari ini sudah dikerjakan, lanjutkan dengan PR untuk besok, atau koreksi lagi untuk meningkatkan kualitas PR-mu; KIAT DAMPINGI REMAJA Pola asuh remaja perlu cara khusus. Walau usia masih tergolong anak-anak, ia tak bisa diperlakukan seperti anak kecil. Remaja sudah mulai menunjukkan jati diri. Biasanya remaja lebih senang berkumpul bersama teman sebaya ketimbang dengan orangtua. Di masa-masa inilah orangtua kerap bersitegang dengan remaja. Terutama karena orangtua agak kesulitan mengatasi emosi dan tekanan lain yang secara alami muncul pada remaja. Ada kalanya orangtua bersikap permisif. Hal ini membuat anak hanya sedikit mengandalkan orangtua sebagai pembimbing. Remaja menganggap orangtua sebagai jasa valet saja. Keadaan ini tentu tidak sehat. Dikatakan Ken Mellor, ahli pengasuhan dari Melbourne seperti dikutip Good Health & Medicine, orangtua seolah-olah lebih menjadi pemberi jasa bagi anaknya yang bertindak sebagai konsumen. Orangtua, lanjutnya, berpikir bahwa menjadi tugas mereka untuk memuaskan anak-anak ketimbang memasukkannya ke dunia ini. Anak-anak itu perlu dimanajeri, tidak hanya didukung dan dilayani, ujar penulis buku Teen Stages: How to Guide the Journey to Adulthood ini. Secara global, orangtua mulai menyadari bahwa pola asuh terhadap remaja belum berhasil. Sebuah penelitian yang dilakukan Canadian Institute for Health Information (CIHI) mengungkapkan lima hal penting yang perlu dimiliki orangtua agar anak-anaknya tumbuh sebagai pribadi yang sehat dan gembira. Elizabeth GyorfiDyke, seorang peneliti, mengatakan

bahwa hasil riset tersebut akan memberi jalan berbeda dalam melihat solusi sebuah masalah, tak hanya mendefinisikannya saja. Mengobrol Mellor menyarankan orangtua untuk tidak pelit memberikan sentuhan pada anak, misalnya memeluk, merangkul, dan lainnya. Tidak hanya sampai di situ, orangtua juga mesti duduk bersama mereka dan mengobrol. Anda bisa mengajak si remaja menceritakan kegiatannya hari itu. Menurut Mellor, sebuah keluarga sebaiknya sesering mungkin bercengkerama. Keluarga yang makan malam bersama, setidaknya empat kali seminggu, anak remajanya 75 persen cenderung jarang terlibat dengan obat-obatan terlarang dan perilaku yang berisiko. Tetap Mengawasi Sangat penting bagi orangtua untuk menyelidiki kehidupan anak-anaknya guna mengetahui apa saja yang terjadi pada mereka. Kata Mellor, Saya tidak akan membaca buku harian anak-anak saya. Namun, bila mereka berada dalam risiko, saya tidak akan ragu membacanya. Oke saja memberi batasan pribadi pada anak remaja, tetapi kadang orangtua memiliki pengertian yang keliru atas proporsi dari respek. Nah, supaya tidak terjadi salah paham, ada baiknya orangtua membuat aturan. Bisa dengan cara menempatkan televisi dan komputer hanya di ruang terbuka atau ruang keluarga, dan bukan di kamar anak. Orangtua juga mesti membuat panduan atas tontonan dan permainan (games) yang diperbolehkan dan dilarang. International Society for Research on Aggression mengungkapkan, tindak kekerasan yang tergolong ringan dalam video games bisa menyebabkan pikiran dan tindakan agresif dan menurunkan perilaku suka menolong. Mellor juga mengingatkan orangtua agar tidak memberi aturan secara sewenang-wenang. Aturan perlu diberi penjelasan dengan jelas. Katakan kepada anak bahwa apa yang ia lihat akan membentuk kesadarannya. Masuk ke Kehidupan Sekolah

Saat bersekolah, anak mungkin masuk ke dalam kelas, tetapi pikirannya bisa ke mana-mana. Untuk membuat ia tetap fokus pada sekolah, orangtua sebaiknya membantu atau paling tidak menemaninya saat mengerjakan pekerjaan rumah. Orangtua juga mesti terlibat dalam kehidupan sekolah anak. Bila memungkinkan, amati guru yang mengajar. Menurut ahli pola pengasuhan dari Australia, Steve Biddulph, Remaja laki-laki kurang dapat menoleransi cara pengajaran dan kemampuan interpersonal atau karakter guru yang jelek. Dan mereka tidak akan belajar dari orang yang tidak menyukai mereka. Kalau sudah begitu, remaja akan cuek dengan pelajaran di sekolah. Jadi Sukarelawan Laporan CIHI menunjukkan hampir 75 persen remaja yang menjadi sukarelawan tumbuh sehat, dinamis, mencintai tantangan, dan menjadi pelajar yang kuat secara mental maupun spiritual. Orangtua sebaiknya mendorong anak-anaknya untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Orangtua sebaiknya memberi contoh karena mereka tetap jadi panutan bagi anak-anak. Banyak Berteman Laporan lain dari CIHI menyebutkan, remaja yang berteman dengan rekan sebayanya memiliki harga diri yang lebih tinggi dan secara menyeluruh sehat. Di sisi lain, sejalan dengan masa remajanya, keraguan diri dan ketakutan akan penolakan juga hadir dalam diri mereka. Keunikan seseorang perlu diperkuat. Tetapi, kala ia berada di luar teman sebayanya, itu bisa menjadi pertanda yang mesti dikhawatirkan oleh orangtua. Anda perlu memandunya, sebut Mellor. PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DAN HAK-HAK REPRODUKSI BAGI REMAJA INDONESIA KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga Buku Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia dapat diterbitkan. Kami menyambut dengan gembira atas diterbitkannya buku ini. Diharapkan buku ini menjadi buku bacaan bagi para pembina, pengelola program KRR dan para remaja di seluruh Indonesia. Dalam buku ini diuraikan tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, sasaran dan ruang lingkup; hak hak Reproduksi yang berisi tentang pengertian, jenis hak-hak reproduksi bagi remaja, masalah-masalah dan caracara pemenuhannya. Selanjut pada bab terakhir diuraikan tentang Pendewasaan Usia Perkawinan berisi tentang pengertian pendewasaan usia perkawinan, gambaran usia kawin di Indonesia dan pendewasaan usia perkawinan dan perencanaan keluarga. Buku Pendewasaan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia ini merupakan pengembangan dari beberapa materi yang berkaitan dengan program Pendewasaan Usia Perkawinan sebelumnya. Mengingat buku ini bersifat umum maka pelaksanaan dilapangan masih memerlukan penjabaran lebih teknis, sesuai dengan kondisi dan situasi wilayah masing-masing. Ii Disadari buku ini masih belum sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik, saran dan masukan bagi penyempurnaan buku Pendewasaan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia ini, sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan program PUP dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan kebijakan dan program yang dilaksanakan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyiapan materi Pendewasaan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Remaja di Indonesia. Semoga apa yang telah dilakukan dapat bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Jakarta, Oktober 2008 Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Rerpoduksi, BKKBN Dr. H. Muhammad Basir Palu, Sp.A, MH.A iii PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2008 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia 227 juta, (Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000-2025, BPS, BAPPENAS, UNFPA). Indonesia menghadapi banyak masalah berkaitan dengan bidang kependudukan yang dikhawatirkan akan menjadi masalah besar dalam pembangunan apabila tidak ditangani dengan baik. Sejalan dengan cita-cita mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, maka sudah selayaknya kependudukan menjadi titik sentral dalam perencanaan pembangunan. Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar 2

Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental dan socialekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa sehingga berdampak pada penurunan total fertility rate (TFR) Program Pendewasaan Usia Perkawinan didalam pelaksanaannya telah diintegrasikan dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang merupakan salah satu program pokok Pembangunan Nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 20042009). Arah kebijakan Program Kesehatan Reproduksi Remaja adalah mewujudkan Tegar Remaja dalam rangka Tegar Keluarga untuk mencapai Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Tegar remaja adalah membangun setiap remaja Indonesia menjadi TEGAR, yaitu remaja yang menunda usia perkawinan, berperilaku sehat, menghindari resiko TRIAD KRR (Seksualitas, HIV dan AIDS dan NAPZA), menginternalisasi norma-norma keluarga kecil bahagia sejahtera dan menjadi contoh, idola, teladan dan model bagi remaja sebaya. Kerangka Tegar Remaja merujuk pada hasil evaluasi program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) tahun 1990-2000, yang dilakukan oleh School of Public Health, University of Michigan, USA, 2005 dan evaluasi program Kesehatan Reproduksi Remaja di Asia, Afrika dan Amerika Latin (World Bank Report, 2007). Kerangka Tegar Remaja adalah strategi 3 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia program KRR yang dilaksanakan melalui pengembangan faktor-faktor pendukung (promotive faktor) yaitu: asset, resources dan second chance. Program KRR apabila tidak dilaksanakan dengan pengembangan ke tiga faktor pendukung tersebut diatas akan mengakibatkan meningkatnya jumlah remaja yang bermasalah (RB). Sebaliknya apabila program KRR didukung oleh ketiga faktor pendukung, yaitu (1) peningkatan assets/capabilities remaja, yaitu segala sesuatu yang positif yang terdapat pada diri remaja (pengetahuan, sikap, perlaku, hobi, minat dan sebagainya), (2) pengembangan resources/opportunities, yaitu jaringan dan dukungan yang dapat diberikan kepada remaja dan program KRR oleh semua stakeholders terkait (orang tua, teman, sekolah, organisasi remaja, Pemerintah, media massa, dan sebagainya), (3) Pemberian pelayanan kedua/second chance kepada remaja yang telah menjadi korban triad KRR, agar bisa sembuh dan kembali hidup normal. Program KRR dengan peningkatan dan pengembangan ketiga faktor tersebut akan menghasilkan Tegar Remaja (TR). B. Tujuan 1. Tujuan Umum Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran remaja dan pengelola program KRR tentang hak-hak reproduksi pada remaja serta perlunya pendewasaan usia perkawinan dalam rangka mewujudkan Tegar Remaja menuju Tegar Keluarga dalam mewujudkan keluarga norma keluarga kecil, bahagia sejahtera. 4 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia 2. Tujuan Khusus a. Meningkatkan pengetahuan pembina, pengelola program KRR dan remaja berkaitan dengan hakhak

reproduksi. b. Meningkatkan pengetahuan pembina, pengelola program KRR dan remaja berkaitan dengan pendewasaan usia perkawinan C. Sasaran dan Ruang Lingkup 1. Sasaran (audience) Sasaran yang terkait dengan Buku Pendewasaan Usia Perkawinan ini adalah: 1) Pembina dan Pengelola program KRR (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan/Desa). 2) Remaja 2. Ruang Lingkup Ruang Lingkup meliputi informasi mengenai jenis dan pengertian Hak-hak Reproduksi, masalah-masalah dalam pemenuhan hak reproduksi bagi remaja dan materi pendewasaan usia perkawinan (masa menunda kehamilan dan kelahiran, masa menjarangkan kehamilan dan masa mencegah kehamilan) D. Pengertian dan Batasan 1. Program KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia 5 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. 2. Kesehatan Reproduksi Remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem reproduksi (fungsi, komponen dan proses) yang dimiliki oleh remaja baik secara fisik, mental, emosional dan spiritual. 3. TRIAD KRR adalah tiga resiko yang dihadapi oleh remaja, yaitu resiko-resiko yang berkaitan dengan Seksualitas, Napza, HIV dan AIDS. 4. Resiko seksualitas adalah sikap dan perilaku seksual remaja yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual (IMS), Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), arborsi dan resiko perilaku seks sebelum nikah. 5. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia. 6. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu kumpulan dari berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu yang didapat akibat HIV. 7. Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, yaitu zat-zat kimiawi yang dimasukkan kedalam tubuh manusia baik secara oral (melalui mulut), dihirup (melalui hidung) atau disuntik yang menimbulkan efek tertentu terhadap fisik, mental dan ketergantungan. 6 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia 8. Program KRR adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya Tegar Remaja, yaitu remaja yang berperilaku sehat, terhindar dari risiko TRIAD (Seksualitas, Napza, HIV dan AIDS) menunda usia pernikahan, bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera serta menjadi contoh, model, idola dan sumber informasi bagi teman sebayanya. 9. Remaja (Adolescent) adalah penduduk usia 1019 tahun (WHO), Pemuda (Youth) adalah penduduk usia 15-24 tahun (UNFPA), Orang Muda (Young people) adalah penduduk usia 1024 tahun (UNFPA dan WHO), Generasi Muda (Young Generation) adalah

penduduk usia 12-24 tahun (World Bank), Remaja sebagai sasaran program KRR adalah penduduk usia 1024 tahun yang belum menikah. 10. Pendidik Sebaya KRR adalah remaja yang punya komitmen dan motivasi yang tinggi sebagai nara sumber bagi kelompok remaja sebayanya dan telah mengikuti pelatihan Pendidik Sebaya KRR dengan mempergunakan Modul dan Kurikulum standard yang telah disusun oleh BKKBN. 11. Konselor Sebaya KRR adalah Pendidik Sebaya yang punya komitmen dan motivasi yang tinggi untuk memberikan konseling KRR bagi kelompok remaja sebayanya yang telah mengikuti pelatihan konseling KRR dengan mempergunakan Modul dan Kurikulum standard yang telah disusun oleh BKKBN. 7 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia 12. Pengelola PIK-KRR adalah pemuda/remaja yang punya komitmen dan mengelola langsung PIK-KRR serta telah mengikuti pelatihan dengan mempergunakan Modul dan Kurikulum standard yang telah disusun oleh BKKBN. Pengelola PIK-KRR terdiri dari Ketua, Penanggung Jawab Bidang Administrasi, Penanggung Jawab Bidang Program/kegiatan, Pendidik Sebaya dan Konselor Sebaya. 13. Pembina PIK-KRR adalah seseorang yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah remaja, memberi dukungan dan aktif membina PIKKRR, baik yang berasal dari Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi pemuda/ remaja lainnya. 14. Tegar Remaja adalah remaja-remaja yang menunda usia pernikahan, berperilaku sehat, terhindar dari resiko Seksualitas, Napza, HIV dan AIDS, , bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera dan menjadi contoh, model, idola dan sumber informasi bagi teman sebayanya. 15. Life Skills menurut Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 adalah pendidikan non formal yang memberikan ketrampilan non formal, sosial, intelektual/akademis, dan vokasional untuk bekerja secara mandiri. 16. Hak-hak Repoduksi Hak reproduksi secara umum diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu baik 8 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia pria maupun perempuan yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya. 17. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu. Total Fertility Rate (TFR) yaitu rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh wanita selama usia reproduksinya C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia 9 BAB II

HAK-HAK REPRODUKSI PADA REMAJA A. Pengertian dan Jenis Hak-Hak Reproduksi Hak reproduksi merupakan bagian dari hak azasi manusia yang melekat pada manusia sejak lahir dan dilindungi keberadaannya. Sehingga pengekangan terhadap hak reproduksi berarti pengekangan terhadap hak azasi manusia. 1. Pengertian Hak-hak Reproduksi Hak reproduksi secara umum diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu baik pria maupun perempuan yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya. 2. Macam-macam Hak-hak reproduksi Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo 1994, ditentukan ada 12 hak-hak reproduksi. Namun demikian, hak reproduksi bagi remaja yang paling dominan dan secara sosial dan budaya dapat diterima di Indonesia mencakup 11 hak, yaitu: a. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Setiap remaja berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi Contohnya: seorang remaja harus mendapatkan informasi dan pendidikan perihal kesehatan reproduksinya. 10 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia b. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. Setiap remaja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan terkait dengan kehidupan reproduksinya termasuk terhindar dari resiko kematian akibat proses reproduksi. Contoh: seorang remaja yang positif HIV berhak mendapatkan perawatan dan pelayanan ARV (Anti Retroviral) sehingga kemungkinan mengalami infeksi opportunities dapat diperkecil. c. Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi. Setiap remaja berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan akan tetapi dengan melakukan upaya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) atau advokasi. Contoh: seseorang dapat saja mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta merta dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah 11 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia mempertimbangkan berbagai hal sebagai dampak dari KIE dan advokasi yang dilakukan petugas. d. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasaan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Remaja laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan perlindungan dari kemungkinan berbagai perlakuan buruk di atas karena akan sangat

berpengaruh pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap remaja putri misalnya dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya. e. Hak mendapatkan manfaat dari Kemajuan Ilmu Pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi; Setiap remaja berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, serta mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenarbenarnya dan kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja. 12 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, maka petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada remaja, karena mungkin pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk remaja. f. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimilikinya serta jarak kelahiran yang diinginkan. Contoh Dalam konteks program KB, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai dampak negatif dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki jumlah anak sedikit. Jikapun klien berkeputusan untuk memiliki anak sedikit, hal tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri. g. Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan) Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan tersebut. 13 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia Contoh; Pada saat melahirkan seorang perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalanghalangi dengan berbagai alasan. h. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh :Dalam konteks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi pemaksaaan atau pengucilan atau munculnya ketakutan dalam diri

individu karena memiliki hak kebebasan tersebut. i. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya misalnya informasi tentang kehidupan seksual, masa menstruasi dan lain sebagainya. Contoh: Petugas atau seseorang yang memiliki informasi tentang kehidupan reproduksi seseorang tidak boleh membocorkan atau dengan sengaja memberikan informasi yang dimilikinya kepada orang lain. Jika informasi dibutuhkan sebagai dana untuk penunjang pelaksanaan program, misalnya 14 Pendewasan Usia Kawin dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia C.E.R.I.A. Cerita Remaja Indonesia data tentang prosentase pemakaian alat kontrasepsi masih tetap dimungkinkan informasi tersebut dipublikasikan sepanjang tidak mencantumkan indentitas yang bersangkutan. PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN Oleh Drs. Mardiya Latar Belakang Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan diperlukan karena dilatarbelakangi beberapa hal sebagai berikut: 1. Semakin banyaknya kasus pernikahan usia dini. 2. Banyaknya kasus kehamilan tidak diinginkan 3. Banyaknya kasus pernikahan usia dini dan kehamilan tidak diinginkan menyebabkan pertambahan penduduk makin cepat (setiap tahun bertambah sekitar 3,2 juta jiwa) 4. Karena pertumbuhan penduduk tinggi, kualitasnya rendah 5. Menikah dalam usia muda menyebabkan keluarga sering tidak harmonis,sering cekcok, terjadi perselingkuhan, terjadi KDRT, rentan terhadap perceraian. Beberapa persiapan yang dilakukan dalam rangka berkeluarga antara lain: 1. Persiapan fisik, biologis 2. Persiapan mental 3. Persiapan sosial ekonomi 4. Persiapan Pendidikan dan ketrampilan 5. Persiapan keyakinan dan atau agama B. Pengertian Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal

mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu. Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR). C. Tujuan Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa. Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) Masa mencegah kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini. 1. Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan Kelahiran anak yang baik, adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu dibawah usia 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah usia 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan, dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti yang akan diuraikan dibawah ini. Beberapa alasan medis secara objektif dari perlunya penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 20 tahun adalah sebagai berikut: a. Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya. b. Kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut: 1) Keguguran 2) Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria) 3) Eklamsia (keracunan kehamilan) 4) Timbulnya kesulitan persalinan 5) Bayi lahir sebelum waktunya 6) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 7) Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina) Fistula Retrovaginal ( keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina) 9) Kanker leher rahim Penundaan kehamilan pada usia dibawah 20 tahun ini dianjurkan dengan menggunakan alat kontrasepsi sebagai berikut: a. Prioritas kontrasepsi adalah oral pil, oleh karena peserta masih muda dan sehat b. Kondom kurang menguntungkan, karena pasangan sering bersenggama (frekuensi tinggi) sehingga

akan mempunyai kegagalan tinggi. c. AKDR/Spiral/IUD bagi yang belum mempunyai anak merupakan pilihan kedua. AKDR/Spiral/IUD yangdigunakan harus dengan ukuran terkecil. 2. Masa Menjarangkan kehamilan Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode PUS berada pada umur 20-35 tahun. Secara empirik diketahui bahwa PUS sebaiknya melahirkan pada periode umur 20-35 tahun, sehingga resiko-resiko medik yang diuraikan diatas tidak terjadi. Dalam periode 15 tahun (usia 20-35 tahun) dianjurkan untuk memiliki 2 anak. Sehingga jarak ideal antara dua kelahiran bagi PUS kelompok ini adalah sekitar 7-8 tahun. Patokannya adalah jangan terjadi dua balita dalam periode 5 tahun. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi. Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan untuk menjarangkan kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan cukup banyak dan lama. Semua kontrasepsi, yang dikenal sampai sekarang dalam program Keluarga Berencana Nasional, pada dasarnya cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi dianjurkan setelah kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi spiral (IUD). 3. Masa Mencegah Kehamilan Masa pencegahan kehamilan berada pada periode PUS berumur 35 tahun keatas. Sebab secara empirik diketahui melahirkan anak diatas usia 35 tahun banyak mengalami resiko medik. Pencegahan kehamilan adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Kontrasepsi yang akan dipakai diharapkan berlangsung sampai umur reproduksi dari PUS yang bersangkutan yaitu sekitar 20 tahun dimana PUS sudah berumur 50 tahun. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi PUS usia diatas 35 tahun adalah sebagai berikut: a. Pilihan utama penggunaan kontrasepsi pada masa ini adalah kontrasepsi mantap (MOW, MOP). b. Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral c. Pil kurang dianjurkan karena pada usia ibu yang relatif tua mempunyai kemungkinan timbulnya akibat sampingan. Hubungan Sikap terhadap Penundaan Usia Perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan Posted on 19. Oct, 2008 by ave in Riset THIS Study examined the relationship between attitude toward delayed marriage and subjective norm and delayed marriage intention. In particular, this study applied the Fishbein and Ajzens Theory of Reason Action to investigate the behavior intention of delayed marriage. The study employed purposive sampling technique. The subject were 200 female students of Gadjah Mada university, that were single and unemployed. The data for attitude toward delayed marriage, subjective norm and delayed marriage intention were collected by using third closed questionnaires and were analyzed by using Pearson product-moment, partial correlation, and regression analysis. The results showed that (1) there was a very significant and positive correlation between between attitude toward delayed marriage and delayed marriage intention (r=0,4904; p= 0,00); (2) there was a very significant and positive correlation between subjective norm and delayed marriage intention (r=0,5260; p=0,00) Keywords: Attitude toward delayed marriage, Subjective norm, Delayed marriage intention. A. Pendahuluan Masa dewasa awal adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang memiliki masa terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada masa dewasa awal individu dianggap telah siap

menghadapi suatu perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Havigurst bahwa lima dari tugas perkembangan dewasa awal merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan

kehidupan berkeluarga (Papalia and Olds, 1986). Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993). Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan belum dapat disebut layak untuk melakukan perkawinan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan. Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Dalam laporan penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS, 1986) dikemukakan bahwa partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda usia perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi gadis) dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah karena masih sekolah, walaupun usianya sudah mencapai bahkan melampaui rata-rata usia perkawinan yang berlaku di masyarakat. Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak memberikan keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa akan menjamin kesehatan reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Hampir semua studi yang dilakukan berkaitan dengan hubungan antara usia perkawinan dengan kebahagiaan perkawinan menunjukkan bahwa peluang kebahagiaan dalam perkawinan lebih rendah tercapai jika pria menikah sebelum usia 20 tahun dan wanitanya menikah sebelum usia 18 tahun (Landis, 1963). Dikatakan pula bahwa meskipun usia tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam proporsi kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan belia cacat sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan terburu-buru, setelah perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa pertimbangan matang mengenai realitas yang akan mereka hadapi setelah menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak dianjurkan pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan. Terlebih lagi laporan dari Badan Survei Kesuburan Dunia dan Survei Demografi Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia perkawinan pertama wanita Indonesia masih termasuk dalam kategori usia kawin yang rendah yang sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas (Malhotra, 1997). Wanita yang menikah pada usia yang relatif muda (kurang dari 15 tahun) akan memiliki anak yang lebih banyak dari mereka yang menikah pada usia yang lebih dewasa (Adiotomo, 1983). Bagi Negara Indonesia yang menempati urutan ke 5 penduduk terpadat di dunia, tentu saja penundaan usia perkawinan menjadi masalah mendesak yang perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah untuk menghindari angka kelahiran yang tidak terkendali. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap terjadinya penundaan usia perkawinan dengan menggunakan teori tindakan beralasan ( Theory of Reason Action) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fisbhein. Peneliti tertarik menggunakan teori tindakan beralasan dalam penelitian ini, karena teori ini merupakan satu kerangka model yang dapat digunakan dalam menganalisis atau memprediksi perilaku manusia yang kompleks. Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Adakah hubungan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan 2. Adakah hubungan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. B. Kajian teori Penelitian ini mengaplikasikan model tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen dalam memahami intensi penundaan usia perkawinan (Ajzen, 1988). Berdasarkan model teori tindakan beralasan dijelaskan bahwa untuk melakukan penundaan usia perkawinan, ditentukan oleh adanya intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan atau tidak.

Ada dua komponen yang menjadi antaseden atau penentu intensi penundaan usia perkawinan. Kedua komponen tersebut adalah sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, dan norma subyektif yang diyakini oleh individu. Sikap terhadap penundaan usia perkawinan terbentuk oleh keyakinan akan penundaan usia perkawinan, yang memuat dua aspek pokok, yaitu: (1) keyakinan akan hasil atau manfaat yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan, dan (2) evaluasi terhadap masing-masing hasil yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan. Keyakinan akan hasil atau manfaat dari penundaan usia perkawinan meliputi empat aspek yaitu; aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi (Landis, 1963). Evaluasi terhadap hasil perilaku adalah merupakan penilaian dari individu terhadap aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi sebagai hasil atan manfaat yang dapat diperoleh apabila individu melakukan penundaan usia perkawinan. Evaluasi atau penilaian bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan,

menyenangkan atau tidak menyenangkan, berharga atau merugikan, baik atau tidak baik. Semakin positif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu tersebut untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Norma subyektif terbentuk dari keyakinan normatif yang terdiri dari dua aspek pokok, yaitu: (1) keyakinan akan harapan normatif referen terhadap penundaan usia perkawinan, dan (2) motivasi untuk mematuhi setiap harapan normatif referen tersebut. Keyakinan akan harapan normatif referen mengacu pada seberapa besar harapan-harapan yang dipersepsi oleh individu yang berkaitan dengan penundaan usia perkawinan, yang berasal dari orang-orang yang dianggap berpengaruh dan mempengaruhi individu (referen significant others) untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Referen dalam hal ini adalah orang tua, saudara, teman, tetangga, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Motivasi untuk patuh mengacu pada seberapa besar motivasi dari individu untuk mematuhi harapan-harapan dari orangorang yang dianggap penting tersebut. Semakin positif atau mendukung norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Ada hubungan positif antara sikap pada penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. 2. Ada hubungan positif antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan.

C. Metode Penelitian Subyek penelitian adalah individu yang berada dalam tahap masa perkembangan dewasa awal, usia 2225 tahun, status mahasiswi, belum menikah dan belum bekerja. Pemenuhan kriteria tersebut merupakan usaha untuk mengendalikan pengaruh variabel usia, tingkat sosial, dan tingkat pendidikan terhadap variabel tergantung penelitian ini. Pengambilan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi productmoment Pearson, analisis korelasi parsial dan analisis regresi. D. Hasil dan Pembahasan Hasil uji deskriptif menunjukkan sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap terhadap penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi yakni sebesar 77,5%, norma subyektif 50,5% untuk kategori tinggi dan 22% untuk kategori sangat tinggi, intensi penundaan usia perkawinan sebesar 48,5%, untuk kategori tinggi dan 24,5% untuk kategori sangat tinggi. Uji hipotesis pertama dengan analisis productmoment menunjukkan nilai r= 0,666; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil analisis korelasi parsial menunjukkan nilai r sebesar 0,4904 dengan p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia perkawinan, apabila norma subyektif dikendalikan. Uji hipotesis kedua dengan analisis product-moment menunjukkan hasil r= 0,685; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. Analisis korelasi parsial

menunjukkan nilai r sebesar 0,5260; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan, apabila sikap pada penundaan usia perkawinan dikendalikan. Hasil uji analisis regresi didapatkan nilai R Square sebesar 0,597. Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan menggunakan analisis korelasi product moment dan korelasi parsial ternyata didapatkan hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan terhadap intensi penundaan usia perkawinan sebesar 12,8%, berarti sekitar 87,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini, yakni: ada hubungan positif antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan, dapat diterima. Dari analisis korelasi product moment dan korelasi parsial juga didapatkan adanya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan, sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47%, berarti sekitar 53% dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti hipotesis kedua yang berbunyi ada hubungan positif antara norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan, dapat diterima. Sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap yang positif terhadap penundaan usia perkawinan (77,5%). Hal ini berarti mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau pendewasaan usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan psikologis, sosial dan

ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang berarti juga akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari (Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung individu untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil dan individu dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak. Kesiapan biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang dimilki individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak). Kesiapan psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan. Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap perkawinan, akan tetapi menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis bahwa individu yang siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase dalam kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963). Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi anakanak yang akan dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi. Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh individu yang siap secara psikologis adalah mereka akan menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah

bimbang dan putus asa. Kesiapan secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan memberi manfaat dalam

meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status baru dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya, serta bersedia untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan. Kartono (1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi sepenuhnya dari

pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat, sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu dipelajari oleh setiap individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk hubungan dan interrelasi diri di tengah masyarakat, khususnya untuk interrelasi yang sangat intim dalam bentuk perkawinan. Selain kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang akan

diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi berarti individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan mengelola keuangan dengan baik. Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat mengurangi friksi yang mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell, 1987). Norma subyektif yang diyakini oleh sebagian besar subyek penelitian berada dalam kategori tinggi (50,5%) dan sangat tinggi (22%). Hal ini berarti subyek penelitian memiliki keyakinan bahwa orangorang penting dalam kehidupan mereka (significant others) menyarankan untuk menunda usia perkawinan, dan subyek penelitian memiliki motivasi yang besar untuk mematuhinya. Perkawinan pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan yang akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan dua keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu perkawinan anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih pasangannya sendiri seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan dan Jepang. Dukungan significant others yang tinggi pada penundaan usia perkawinan disebabkan karena mereka menyadari bahwa persiapan yang lebih matang terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi diperlukan untuk menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono (1997) mengatakan bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial semakin lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain (Sarwono, 1997). Secara teoritis norma sosial terhadap perkawinan merupakan perwujudan sikap anggota masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Otani (1991) mengelompokkan tiga jenis sikap masyarakat terhadap perkawinan sebagai berikut: 1. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan merupakan suatu masa yang mutlak harus dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Masyarakat yang memiliki sikap demikian, pada umumnya menerima perkawinan yang diatur oleh orangtua. 2. Sikap masyarakat yang mengaggap bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang penting dan jika diperbolehkan akan dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Golongan masyarakat ini cenderung menunda perkawinan sampai dirasa mantap untuk memasuki kehidupan perkawinan.

3. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan lebih penting daripada perkawinan. Masyarakat pada golongan ini cenderung untuk melakukan perkawinan terlambat, bahkan sebagian besar memilih untuk tidak melakukan perkawinan (Ontani, 1991: 475-487). Berdasarkan penggolongan sikap masyarakat di atas terlihat bahwa referen atau orang-orang yang dianggap penting oleh subyek penelitian termasuk dalam golongan kedua. Hal ini sesuai dengan pendapat Otani yang mengatakan bahwa, masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan dan dengan status sosial menengah keatas termasuk dalam golongan kedua. Mereka memiliki keyakinan bahwa perkawinan merupakan sebuah fenomena yang universal, artinya secara cepat atau lambat seseorang akan melangsungkan perkawinan, hanya saja penetapan waktu

perkawinan menuntut persyaratan yang semakin tinggi, terutama kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Sebagian besar subyek penelitian memiliki intensi penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi (48,%5) dan sangat tinggi (24,5%) disebabkan oleh beberapa hal antara lain: 1. Seluruh subyek penelitian masih berstatus mahasiswa sehingga masalah perkawinan belum menjadi masalah yang mendesak untuk dipikirkan. Prioritas utama subyek penelitian adalah menyelesaikan kuliah dan meraih prestasi sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manning dan Singarimbun (2000) yang menunjukkan bahwa pendidikan memang memberi andil yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan. Semakin tinggi pendidikan yang diraih seorang individu, maka semakin tinggi pula usia kawin individu tersebut. Individu yang memiliki pendidikan tinggi akan mengalokasikan waktu yang lebih panjang untuk mengenyam pendidikan. 2. Seluruh subyek penelitian belum bekerja, sehingga mereka belum memiliki kemandirian secara ekonomis untuk menuju kehidupan perkawinan. Perkawinan mensyaratkan adanya kemandirian secara ekonomis dari pasangan, sehingga ketergantungan secara ekonomis pada orang lain merupakan sesuatu hal yang tabu dan sedapat mungkin harus dihindari. 3. Usia subyek penelitian juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Usia yang muda saat memasuki perkawinan biasanya berkaitan dengan ketidaksiapan secara sosial, psikologis, dan ekonomis. Lebih muda usia kawin berarti besar peluang untuk tidak stabilnya sebuah perkawinan, sehingga penundaan atau pendewasaan usia perkawinan merupakan sebuah hal yang wajar dan biasa untuk dilakukan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sikap terhadap penundaan usia perkawinan, norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian berada dalam kategori tinggi. Pada model perilaku beralasan dijelaskan, jika sikap terhadap perilaku dan norma subyektif tinggi, maka intensi untuk menampilkan perilaku juga akan tinggi. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Becker (Openheirmen, 1988) yang mengatakan bahwa penundaan perkawinan akan terjadi pada pria dan wanita, jika terdapat utility yang lebih besar yang akan diperoleh pria dan wanita tersebut daripada jika mereka tidak melakukan penundaan perkawinan. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan, menandakan subyek penelitian meyakini bahwa mereka akan mendapatkan utility yang lebih besar jika melakukan penundaan usia perkawinan. Hubungan yang positif dan sangat signifikan juga diperoleh antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan, yang menujukkan koefesien korelasi sebesar 0,685. Hal ini berarti norma subyektif yang diyakini oleh subyek penelitian berpengaruh secara positif terhadap intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Seperti telah dijelaskan pada dasar teori, bahwa pembagian fase kehidupan seorang individu kebanyakan mempunyai sifat normatif (Monk, 1999). Walaupun tidak selalu mutlak demikian, namun masih sering dipakai sebagai standar tingkah laku bagi individu. Hal ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat untuk selalu berusaha memperoleh standar tingkah laku. Tingginya dukungan normatif untuk melakukan penundaan usia perkawinan yang diyakini oleh subyek penelitian, menyebabkan intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan menjadi tinggi. Dalam masyarakat maju, usia memang

tidak selalu menjadi standar tingkah laku, terutama pada masa sesudah remaja, namun fenomena social oclock belum sepenuhnya hilang. Masyarakat masih menaruh pengharapan tertentu mengenai tingkah laku yang sesuai untuk usia-usia tertentu. Pengharapan masyarakat ini kemudian

diinternalisasikan oleh individu, dan mempengaruhi keputusannya dalam berperilaku tertentu. Dalam penelitian ini norma subyektif memiliki korelasi yang lebih besar dari pada sikap terhadap penundaan usia perkawinan. Hal ini disebabkan karena penundaan usia perkawinan merupakan perilaku yang secara langsung ataupun tidak, berhubungan dengan pihak-pihak lain terutama pihak yang dianggap penting oleh subyek penelitian. Alasan ini sesuai dengan gagasan yang dikemukakan oleh Merseliust (2002), yang mengaplikasikan model perilaku terencana dalam memahami intensi pengemudi untuk mematuhi aturan-aturan mengemudi. Parker (2002) mengatakan bahwa ketika seseorang membentuk intensi berperilaku tertentu yang membawa akibat-akibat atau berhubungan dengan pihak lain, maka variabel norma subyektif yang memuat keyakinan akan pandangan pihak yang dianggap penting (significant others) dan motivasi untuk memenuhi harapan referen, akan berpengaruh lebih besar daripada variabel sikap yang memuat keyakinan akan hasil perilaku dan evaluasi terhadap hasil perilaku. Sebaliknya, ketika individu membentuk intensi berperilaku yang bersifat pribadi dan tidak berhubungan dengan pihak lain, maka intensi berperilaku tersebut akan lebih banyak dipengaruhi oleh variabel sikap dari pada variabel norma subyektif. E. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin positif sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin rendah sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan sebesar 12,8% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti sikap terhadap penundaan usia perkawinan memiliki mempunyai peran yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan. 2. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti semakin positif norma subyektif, maka semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin negatif norma subyektif, maka semakin lemah pula intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti norma subyektif berperan besar terhadap peningkatan intensi penundaan usia perkawinan. Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Mengingat besarnya peran dari norma subyektif terhadap intensi penundaan usia perkawinan, maka bagi instansi yang memiliki program pendewasaan usia perkawinan hendaknya memberikan perhatian utama terhadap opini dari referen subyek yang dijadikan target program pendewasaan usia perkawinan. 2. Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan pada subyek yang menjadi target program pendewasaan usia perkawinan, hendaknya difokuskan pada pengubahan sikap yang lebih favorable terhadap penundaan usia perkawinan 3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti penundaan usia perkawinan, hendaknya

mempertimbangkan faktor lain dari pemilihan subyek, misalnya; jenis kelamin (pria dan wanita), tempat tinggal (desa dan kota) dan status (menikah dan belum menikah) untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang penundaan usia perkawinan. Daftar Pustaka Ajzen, I. 1988. Attitude, Personality, and Behavior. Milton Keynes, England: Open University Press.

Biro Pusat Satistik, 1986. Pola Umur Perkawinan. Jakarta Fishbein, M. & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Reseach. Sydney:

Addison-Wesley Publishing Company. Hurlock, Elizabeth.B. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kartono, Kartini, 1987. Psikologi Wanita. Jakarta: Gramedia. Landis, Judson dkk. 1963. Building a Succsessfull Marriage. Fourth Edition. Berkeley: Prentice Hall, Inc. Lasswell, Marcia, And Lassell, Thomas, 1987. Marriage and The Family. Second Edition. California: Wodsworth Publishing Company. Malhotra, Anju. 1997. Gender and The Timing of Marriage: Rural-Urban Differences in Java. Journal Marriage and Family. (51) 434-449. Marseliust. (2002). Hubungan Sikap, Norma Subyektif dan Kontrol Perilaku yang dipersepsi dengan intensi Kepatuhan Wajib Pajak Membayar Pajak Penghasilan. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: PPS UGM. Monks, F.J. Knoers, A.M.P dan Haditono, S.T. 1999. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalm Berbagai Bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oppenheimer, V.K., (1988). Theory of marriage timing. American Journal of Sociology, 49: 563-591. Otani, K. 1991. Time Distribution in The Process to Marriage and Pregnancy in Japan. Population Studies, 45: 475-487. Papalia, Diane E. and Olds, Sally Wendkos. 1986. Human Development. Third Edition. New York: Mc Graw Hill Book Company. Sarwono, S. Wirawan (1997). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Griya Persada Sumber: Jurnal PsikoIslamika VII yang diterbitkan oleh Fakultas Psikologi UIN Malang. Ditulis oleh Elok Halimatus Sa`diyah, Dosen Fakultas Psikologi UIN Malang Daerah diharapkan tetapkan KB sebagai isu strategis By on 18 Februari 2011 Banda Aceh (Solopos.com) Program Keluarga Berencana (KB) diharapkan bisa dimasukkan sebagai isu strategis pembangunan di setiap daerah di Indonesia sehingga bisa menyerasikan pertumbuhan penduduk. Jika jumlah penduduk kita tidak bisa dikendalikan, diperkirakan tahun 2050 penduduk di Indonesia akan mencapai dua kali lipat dari jumlah sekarang dan angka ini melebihi jumlah penduduk Amerika bahkan China, kata Inspektur Utama BKKBN Pusat, Anwar M Diah, di Banda Aceh, Kamis (17/2). BKKBN tidak hanya bertanggungjawab dalam program KB semata, tapi juga bertanggung jawab terhadap penyerasian pertumbuhan penduduk. Program KB bukan membatasi kelahiran, melainkan menyerasikannya, sehingga kualitas sumber daya manusia bisa terus meningkat. Dan sangat diharapkan program pembangunan di daerah didasarkan pada penyerasian jumlah pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, isu penyerasian jumlah pertumbuhan penduduk ini hendaknya dijadikan isu strategis pembangunan, jelas Anwar. Saat ini, sebut Anwar sangat dibutuhkan grand design induk kependudukan, sebagai pedoman

pembangunan kependudukan. Hal ini bertujuan mengendalikan lekahiran, kematian mobilitas dan meningkatkan daya saing. Dan untuk ini perlu dilakukan kajian analisis untuk fokus pada sasaran pembangunan kependudukan, yakni terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, katanya. Masalah kependudukan menjadi sangat serius di Indonesia bukan karena jumlah penduduknya yang besar melainkan karena kualitasnya yang kurang. Saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk tercatat sebanyak 237,6 juta jiwa, jumlah ini sama dengan jumlah proyeksi penduduk Indonesia untuk tahun 2013. Jumlah penduduk besar memang modal pembangunan, tapi bila kurang menguntungkan dan kurang berkualitas justru akan menjadi beban, ujar Anwar. antara

JUMLAH ANAK YANG DIINGINKAN DAN ISU PELEDAKAN PENDUDUK Aris Ananta Untuk MLETIKO, 8 Februari 2011 Akhir akhir ini di Indonesia terdapat perdebatan di kalangan pengamat isu kependudukan di Indonesia. Satu kelompok sangat aktif menyuarakan adanya ancaman peledakan penduduk di Indonesia seperti yang terjadi 40 dan 30 tahun yang lalu. Mereka rajin menakut-nakuti pemerintah dan wakil rakyat akan kemungkinan terjadinya peledakan penduduk di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa ancaman ini muncul karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu keluarga berencana sejak reformasi yang dimulai di tahun 1998. Dana untuk BKKBN juga makin sedikit. Kelompok ini mengutip beberapa statistik kependudukan untuk memperlihatkan ancaman tersebut. Mereka menyebut jumlah penduduk hasil sensus 2010, angka pertumbuhan penduduk tahunan di periode 2000-2010, dan jumlah bayi yang lahir tiap tahun di Indonesia. Kelompok pertama ini merasa berhasil dengan strategi menakut-nakuti pemerintah dan anggota DPR dengan ancaman peledakan penduduk. Kata mereka, kini pemerintah dan DPR telah memberikan perhatian yang lebih besar pada isu kependudukan. Dana untuk program kependudukan juga meningkat. Kelompok kedua, yang sebagian besar adalah demografer, mencoba melihat statistik itu dengan lebih mendalam. Mereka memperlihatkan bagaimana membaca statistik/ angka yang disebut kelompok pertama itu. Mereka menyimpulkan bahwa tak ada peledakan penduduk di Indonesia. Ancaman peledakan penduduk pun tidak ada. Yang dapat terjadi justru adalah Indonesia akan mengalami kekurangan tenaga kerja kira kira 30-40 tahun ke depan. Peledakan penduduk lanjut usia justru merupakan ancaman yang serius di Indonesia, terutama di beberapa propinsi dan kabupaten. Beberapa tulisan yang mencoba menjelaskan angka/ statistik itu dapat dilihat di mletiko. Lihat tulisan terkait di bawah tulisan ini. Kelompok pertama kemudian juga menunjukkan data lain. Mereka katakan bahwa di desa desa mereka sering melihat jumlah anak yang banyak. Tetapi, pengamat ini mungkin belum bertanya, jumlah anak yang banyak itu lahir dari berapa banyak ibu. Dalam analisis kelahiran, kita melihat jumlah anak per ibu, bukan jumlah anak di suatu desa. Selain itu, juga tidak jelas berapa banyak yang disebut banyak oleh kelompok pertama ini. 30-40 tahun yang lalu adalah lumrah melihat seorang Ibu mempunyai 6 sampai 8 anak. Sekarang 3-4 anak sudah dikatakan banyak. Itu mungkin sebabnya si pengamat mengatakan jumlah kelahiran di suatu desa masih tinggi, karena ia membandingkannya dengan kondisi Indonesia saat ini yang sudah

mempunyai angka kelahiran yang rendah. Maka ia kaget kalau melihat ada orang orang yang masih mempunyai 3 atau 4 orang anak. Kelompok pertama juga menanyakan ke orang di desa tersebut, mereka ingin punya anak berapa?

Pengamat dari kelompok ini mendapatkan jawaban yang mengejutkan, yaitu antara 4 dan 5 anak. Maka, menurut pengamat ini, data ini merupakan petunjuk apa yang akan terjadi masa depan. Dengan keinginan jumlah anak yang besar itu, menurut kelompok pertama ini, maka Indonesia mendapat ancaman peledakan penduduk. Kelompok kedua kemudian mempertanyakan, apakah sampel di desa itu representatif untuk Indonesia? Berapa persen ibu ibu di Indonesia yang menginginkan jumlah anak yang besar itu? Ibu ibu yang ditanya itu umur berapa, dan sudah mempunyai anak berapa? Semakin tinggi usia ibu, dan semakin banyak anak yang sudah dilahirkan, akan semakin besar jawaban untuk jumlah anak yang diinginkan. Kalau mereka memberikan jawaban yang lebih rendah dari jumlah anak yang sudah dilahirkan, berarti ada anak yang tidak diinginkan oleh ibu ibu. Padahal, anak yang tidak diinginkan bukan lah hal yang baik untuk para ibu dan orangtua pada umumnya. Oleh sebab itu, untuk membaca statistik jumlah anak yang diinginkan kita harus melihat lebih dahulu berapa anak yang sudah dilahirkan oleh para ibu itu. Dalam suasana angka kelahiran yang sudah di sekitar replacement, seperti di Indonesia saat ini, jumlah anak yang diinginkan merupakan hubungan terbalik dengan penggunaan kontrasepsi. Sementara itu, penggunaan kontrasepsi sangat tergantung pada harga penggunaan kontrasepsi. Di era demokrasi seperti saat ini, masyarakat sudah tidak dapat lagi dipaksa memakai kontrasepsi. Pemakaian kontrasepsi sudah menjadi pilihan mereka secara sadar, dan menjadi hak asasi mereka. Mereka juga ingin kontrasepsi yang bermutu (quality contraception)kontrasepsi yang aman, murah, dan dapat benar benar mencegah kelahiran.

Keinginan besar untuk penggunaan kontrasepsi yang bermutu menyebabkan harga penggunaan kontrasepsi menjadi lebih mahal. Lebih lanjut, dengan makin berkurangnya dana untuk BKKBN, subsidi untuk kontrasepsi makin kecil. Masyarakat makin sulit mencari kontrasepsi yang bermutu. Sangat

berkurangnya subsisi untuk alat kontrasepsi dan makin susahnya mencari kontrasepsi merupakan dua faktor penting lain yang mendorong peningkatan harga kontrasepsi. Dengan harga yang makin tinggi ini, tidak mengagetkan bahwa para ibu enggan menggunakan kontrasepsi. Maka, kalau mereka

ditanya, berapa jumlah anak yang mereka inginkan, mereka akan menjawab sekitar 4 atau 5, karena mereka merasa harga kontrasepsi terlalu mahal, harga untuk mengatur jumlah kelahiran tak terjangkau. Jadi, kalau pun jumlah anak yang dilahirkan itu besar, hal ini bukan sama dengan yang terjadi di tahun 60-an dan 70-an, ketika orang belum tahu bahwa jumlah kelahiran dapat diatur. Kini, mereka sudah tahu perlunya mengatur kelahiran, namun mereka tidak mampu membeli kontrasepsi. Dalam jargon demografi, hal ini disebut unmet need(kebutuhan yang tak terpuaskan) . Kita perlu menunggu survai nasional selanjutnya, untuk mengetahui apakah betul Jumlah anak yang diinginkan telah meningkat? Dugaan saya, statistik itu tidak akan meningkat. Mungkin saja ada yang menginginkan jumlah anak yang lebih besar, tetapi banyak ibu ibu lain yang justru menginginkan jumlah anak yang makin sedikit. Bahkan, tidak menutup kemungkinan banyak perempuan yang tidak ingin punya anak, atau tidak ingin berkeluarga sama sekali. Singkat kata, kalau pun angka jumlah anak yang diinginkan tidak menurun, kita tidak perlu menyimpulkan adanya ancaman peledakan penduduk. Statistik itu sudah menunjukkan angka rendah. Pada statistik yang rendah ini, sudah biasa bila angka kelahiran dan jumlah yang yang diinginkan berfluktuasi. Selain itu, mahalnya penggunaan kontrasepsi dapat membuat jumlah anak yang diinginkan meningkat. Lebih lanjut, karena angka kelahiran sudah rendah, sangat mungkin jumlah anak yang diinginkan tidak akan turun lagi.

Pemerintah dan DPR harus kita beritahu dengan benar, bukan ditakut-takuti dengan ancaman peledakan penduduksesuatu yang sebetulnya tidak ada. Sebagai gantinya, kita dapat sampaikan ke pemerintah dan DPR bahwa isu Keluarga Berencana kini menjadi makin penting secara politis. Kini muncul kebutuhan baru yang tak terpuaskan di masyarakat, yaitu kebutuhan untuk berkontrasepsi yang bermutuaman, harga terjangkau dan mudah didapat. Kalau beras dan cabai mahal, mereka tidak malu berteriak. Kalau kontrasepsi yang bemutu makin mahal, mereka akan malu untuk berdemonstrasi. Tetapi, ketidak-puasan yang terpendam ini dapat menjadi bom waktu secara politik. Di sini lah pemerintah perlu berperan: meningkatkan penyediaan kontrasepsi yang bermutu (*) KELAHIRAN RENDAH, KEMANA ARAH PROGRAM KB? Evi Nurvidya Arifin Untuk MLETIKO, 2 Februari 2011 Tiap tahun Indonesia mendapatkan tambahan bayi sebanyak 4,5 juta. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura. Artinya, tiap tahun Indonesia mendapatkan bayi dalam jumlah yang hampir sama dengan jumlah penduduk di Singapura. Luar biasa! Bagaimana kita akan memberi makan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan pada bayi bayi ini dan ketika kelak mereka makin besar? Memang, Indonesia sedang mendapatkan ancaman peledakan penduduk! Itulah beberapa pendapat yang belum lama ini muncul di sebuah harian nasional. Isu peledakan penduduk menjadi ramai setelah hasil sementara sensus penduduk tahun 2010 untuk pertama kalinya diumumkan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan menyambut HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI tanggal Agustus 2010. Isu peledakan penduduk ini sesungguhnya pernah menjadi topik yang penting di tahun 60-an hingga 80an di Indonesia. Di tahun 60-an, kita menguatirkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang luar biasa karena terjadinya jumlah kelahiran yang sangat besar. Jumlah kelahiran yang besar berarti biaya yang besar untuk makanan, minuman, kesehatan dan pendidikan. Tanpa makanan, minuman, pendidikan, dan kesehatan yang baik, bayi bayi ini akan menjadi penduduk dewasa yang tidak sehat dan tidak berpendidikan. Mereka menjadi beban perekonomian yang besar. Keluarga dengan anak yang banyak pun akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan para orangtua dan anak anak mereka. Memang,

di tahun 60-an, sebuah keluarga dengan 6 orang anak atau lebih merupakan hal yang biasa. Kekuatiran adanya peledakan penduduk ini telah mendorong terciptanya program nasional Keluarga Berencana (KB) di tahun 1969. Pemerintah Orde Baru memberikan perhatian yang sangat besar pada program KB. Adanya program ini telah berhasil menekan angka kelahiran menjadi relatif rendah. Saat ini, sebuah keluarga dengan 6 orang anak sudah merupakan pengecualian. Bahkan, sudah semakin jarang kita menemui keluarga dengan 4 orang anak. Program 2 anak cukup yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 70-an tampaknya telah menjadi kenyataan saat ini. Akibatnya, isu peledakan penduduk mulai jarang didengar. Lebih lanjut, setelah reformasi yang dimulai di tahun 1998, perhatian pemerintah pada program KB berkurang dengan amat drastis. Kurangnya perhatian ini menyebabkan banyaknya penduduk Indonesia yang tidak dapat memperoleh alat kontrasepsi yang mereka harapkan. Harga mahal, sulit didapat, informasi tidak lengkap, padahal mereka sangat ingin mengatur kelahiran mereka. Dalam bahasa teknis-demografis, terjadilah unmet need terhadap kontrasepsi. Untuk membangkitkan kembali perhatian pemerintah pada program KB, isu peledakan penduduk tampaknya kini mulai digulirkan lagi. Salah satunya adalah seperti yang disebut di awal tulisan ini,

menyebutkan jumlah kelahiran bayi per tahun yang hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura. Angka yang disebutkan di awal tulisan ini mungkin benar. Namun, saya menghitung bahwa kelahiran sebanyak kira kira 4,5 juta itu lebih dari separohnya berasal dari ibu-ibu berusia muda, antara 20-29 tahun. Mereka ini memang baru di awal usia reproduksi mereka. Jadi, tidak mengejutkan bila kita mendapatkan jumlah bayi yang banyak dari mereka. Oleh sebab itu, data 4.5 juta bayi ini tidak memberikan indikasi telah terjadi peledakan jumlah bayi atau peledakan penduduk di Indonesia. Selanjutnya, jumlah bayi yang lahir di Indonesia tidak boleh dibandingkan dengan penduduk Singapura, karena jumlah penduduk Singapura sangart kecil, yaitu kira kira 5 juta. Jumlah bayi di Indonesia juga tidak dapat kita bandingkan dengan penduduk China, yang jumlah penduduknya amat besar, kira kira 1,5 milyar penduduk. Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah membandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sendiri. Dengan penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6 juta, jumlah bayi itu sesungguhnya relatif kecil. Jumlah bayi itu mengacu pada angka kelahiran kasar sebesar 18 per 1000 penduduk, suatu angka kelahiran yang sudah rendah. Dengan pengukuran yang lebih baik, yaitu dengan TFR (total fertility rate), jumlah 4,5 juta bayi itu kira-kira menghasilkan angka 2,3, suatu angka yang telah berada disekitarreplacement level, suatu angka yang memperlihatkan bahwa seorang ibu secara rata rata melahirkan satu bayi perempuan yang akan bertahan hidup sampai usia reproduksinya. Ini angka yang sudah amat rendah. Walau begitu, saya menduga bahwa angka kelahiran di Indonesia bahkan sudah di bawah replacement level dan angka kelahiran akan cenderung terus menurun dengan sedikit fluktuasi. Kesimpulannya adalah bahwa peledakan penduduk bukan lagi merupakan isu kita saat ini. Walau begitu, saya tidak mengatakan bahwa program KB sudah tidak dibutuhkan lagi. Justru karena angka kelahiran di Indonesia sudah rendah, kita sangat membutuhkan program KB. Kebutuhan untuk alat kontrasepsi telah menjadi amat besar. Namun, program KB semestinya tidak lagi diukur dengan penurunan angka kelahiran. Program KB kini harus berfokus ke quality contraception, yaitu memberikan pelayanan KB yang bermutu, murah, dan mudah diperoleh di mana pun di Indonesia. Bermutu dalam arti risiko kegagalan yang kecil. Bermutu dalam arti pengguna kontrasepsi sadar benar akan kebaikan dan kelemahan alat kontrasepsi yang dipakai. Bermutu dalam arti pengguna benar-benar faham akan manfaat pengaturan kelahiran. Alat dan pelayanan kontrasepsi ini pun harus murah, agar terjangkau semua masyarakat, termasuk yang miskin, dan di tempat yang terpencil. Akibatnya, program KB dengan fokus pada quality contraception tidak dapat diserahkan pada pasar. Mereka yang mempunyai uang dapat memperoleh pelayanan yang baik dari sektor swasta. Maka, program KB harus mampu menjangkau mereka yang tidak mempunyai uang, yang tidak mampu mendapatkan informasi yang lengkap, dan mereka yang tinggal di daerah yang sulit terjangkau. Alat kontrasepsi dan pelayanan KB yang bermutu, murah, dan mudah didapatkan telah menjadi salah satu kebutuhan dasar penduduk Indonesia. menimbun frustasi di masyarakat. Mereka dapat Kegagalan pemenuhan kebutuhan dasar ini dapat

mengungkapkan secara terbuka bila mereka kesulitan mendapatkan beras atau cabai, tetapi mereka akan enggan mengatakan secara terbuka kekecewaan mereka terhadap ketersediaan alat kontrasepsi. Namun, kekecewaan yang terpendam ini suatu ketika dapat meledak, dan mempunyai dampak sosial dan politik yang besar. Semoga pemerintah Indonesia dapat segera memberikan perhatian yang besar lagi pada program Keluarga Berencana. Saat ini, fokusnya padaquality contraceptionpelayanan yang bermutu, murah, dan mudah diperoleh. (*)

Ancaman Peledakan Penduduk pada Pembangunan Ekonomi? Aris Ananta Untuk Seputar Indonesia, 18 Januari 2011 Saya sangat kaget ketika salah satu harian nasional kembali mengungkap isu ancaman ledakan penduduk di Indonesia. Isu ini pernah muncul pada Agustus tahun lalu, begitu hasil sementara sensus penduduk 2010 diumumkan pemerintah. Beberapa teman langsung ramai mengatakan adanya ancaman tersebut. Mereka mengatakan, program Keluarga Berencana gagal karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Mereka kemudian mengatakan berbagai akibat negatif, khususnya pada perekonomian, dari peledakan penduduk itu. Ada yang kemudian mengatakan bahwa ledakan penduduk sebagai sebab permasalahan sosialekonomi. Ini seperti kemacetan yang terjadi di mana-mana, termasuk Jakarta, masih tingginya kemiskinan, masalah pendidikan, dan berbagai masalah ekonomi lainnya. Mereka mengatakan, sensus penduduk Indonesia 2010 menghasilkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta. Jumlah ini lebih besar dari proyeksi yang dibuat para demografer dalam dan luar negeri. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS), tiga tahun sebelum dilakukan sensus menghasilkan proyeksi penduduk pada 2010 sejumlah 234,2 juta. Perbedaan seperti inilah yang kemudian membuat beberapa teman mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan. Pendapat mereka ini mungkin benar, para demografer (termasuk BPS) telah membuat perkiraan yang benar. Karena itu, pemerintah telah melakukan kesalahan dalam kebijakan. Namun, mungkin saja yang salah justru para demografer tersebut. Demografer dari lembaga internasional pun belum tentu benar. Data dasar yang mereka peroleh juga dari BPS.Beberapa demografer lupa bahwa mereka membandingkan sensus penduduk 2010 dengan sensus penduduk sebelumnya, yaitu sensus penduduk 2000. Padahal, sebenarnya hasil cacahan sensus penduduk pada 2000 underestimate, terlalu kecil dibandingkan dengan hasil yang sesungguhnya. Terry Hull, di jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies baru-baru ini telah dengan tepat menceritakan betapa sensus penduduk 2000underestimate. Akibatnya, penghitungan pertumbuhan penduduk 20002010 menjadi terlalu tinggi. Lebih lanjut, para demografer tersebut menggunakan data pada 2000 sebagai data dasar untuk proyeksi mereka. Karena data dasarnya underestimate, proyeksi mereka juga underestimate. Itu dapat menjadi penyebab jumlah penduduk di sensus 2010 lebih besar dari yang diproyeksikan para demografer, baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun, cobalah melihat proyeksi penduduk yang dibuat sebelum sensus penduduk 2000. Misalnya, pada 1994, saya membuat proyeksi penduduk Indonesia hingga 2025. Dalam proyeksi itu, penduduk Indonesia akan berjumlah 235,1 juta pada 2010. Dengan demikian, saat melihat hasil sensus penduduk 2010 yang hasilnya 237,6 juta, saya langsung gembira. Sebab, hasilnya mirip sekali dengan dugaan saya pada 1994. Menurut saya, perbedaan 1,0% itu tidak penting. Artinya, hasil sensus penduduk 2010 tidak mengagetkan, tidak ada ledakan jumlah penduduk. Yang lebih penting lagi, angka kelahiran di Indonesia sudah rendah. Sudah berada di sekitar replacement level, suatu angka yang sudah relatif rendah. Dengan angka ini, dalam waktu 40 tahun jumlah penduduk Indonesia akan berhenti bertambah. Bahkan, dugaan saya, Indonesia pada 2010 sudah berada di bawah replacement level. Artinya, pada 2050 jumlah penduduk Indonesia akan menurun. Saat ini,banyak daerah Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Timur telah berada di bawah replacement

level. Kalau tak ada migrasi masuk yang lebih besar dari migrasi keluar, jumlah penduduk Jakarta akan

menurun paling lambat pada 2050. Kalau penurunan angka kelahiran terus terjadi, penurunan jumlah penduduk Indonesia dan banyak daerah di Indonesia akan terjadi lebih awal. Bagaimana dengan data bahwa sekarang terdapat 4,5 juta bayi per tahun, yang dikatakan beberapa teman sebagai buktiadanya peledakan penduduk di Indonesia? Mereka menunjukkan jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura. Bayangkan, kata mereka, tiap tahun Indonesia mendapat tambahan jumlah bayi sebesar jumlah penduduk Singapura! Namun, mereka tidak melihat dalam konteks Indonesia. Jumlah 4,5 juta dapat terlihat besar untuk penduduk Singapura yang hanya 5 juta. Namun, jumlah 4,5 juta itu jumlah yang kecil dibanding penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6 juta. Jumlah bayi itu hanya mencerminkan angka kelahiran kasar 18 bayi per 1.000 penduduk. Angka yang relatif amat rendah. Jumlah bayi itu sesungguhnya, dengan ukuran yang lebih tepat,mencerminkan angka kelahiran total (total fertility rate), sekitar 2,3. Angka yang sudah relatif kecil, sekitar replacement level. Singkatnya, kita tidak perlu merisaukan adanya ledakan penduduk seperti yang diungkapkan salah satu harian nasional tersebut. Walau begitu, saya sependapat dengan beberapa teman tersebut bahwa pemerintah telah kurang memperhatikan program Keluarga Berencana sejak reformasi pada 1998. Sudah saatnya, pemerintah kembali meningkatkan perhatian pada Keluarga Berencana. Perbedaan dengan program pada 1970-an adalah bahwa program saat ini harus tidak berfokus pada penurunan angka kelahiran. Sebab, angka kelahiran di Indonesia telah rendah. Masyarakat sudah ingin membatasi kelahiran mereka. Alat kontrasepsi kini telah menjadi salah satu kebutuhan dasar penduduk Indonesia. Saat ini, masyarakat membutuhkan quality contraception, pelayanan keluarga berencana yang bermutu, murah, dan mudah didapatkan. Bermutu dalam arti akibat sampingan yang makin kecil. Bermutu dalam arti masyarakat tahu betul alasan memakai alat kontrasepsi, serta mengetahui keuntungan dan kerugian alat tersebut. Bermutu dalam arti menggunakan alat kontrasepsi yang risiko kegagalannya kecil. Tentu saja penyuluhan mengenai pentingnya keluarga berencana tetap perlu diteruskan. Masyarakat tetap perlu disadarkan bahwa mereka dapat mengatur jumlah kelahiran anak mereka. Karena alat kontrasepsi telah menjadi salah satu kebutuhan dasar penduduk Indonesia, kegagalan pemerintah (program KB) dalam menyediakan alat kontrasepsi yang murah dan bermutu dapat membuat keresahan di masyarakat, walau mereka akan enggan untuk menyuarakannya secara terbuka. Namun, kekecewaan yang terpendam ini dapat meledak suatu ketika. Ini tentu tidak menguntungkan bagi kita. Semoga pemerintah Indonesia dapat mengelakkan terjadinya peledakan kekecewaan ini dengan kembali memberikan perhatian yang besar pada program Keluarga Berencana, yakni dengan fokus pada quality contraception.(*)

You might also like