You are on page 1of 4

Bahasa dan Budaya

Sejak dahulu para ahli bahasa mencurahkan perhatiannya terhadap perkembangan budaya masyarakat dalam menggunakan bahasanya masing-masing. Bahasa dalam hal ini mempunyai peranan sebagai alat untuk mengembangkan budaya. Suatu budaya masyarakat (atau negara) setidaknya bisa diukur dari cara mereka berbahasamenyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Seperti kata pujangga kita M. Yamin, Bahasa menunjukkan bangsa. Lantas, hal apakah yang senantiasa membuat para ahli bahasa menaruh perhatiannya? Tiada lain apakah terdapat hubungan antara kemampuan penalaran suatu suku bangsa terhadap bahasa asli yang dimiliki (Cahyono, 1995: 409). Oleh karena itu, suatu masyarakat (atau bangsa) pengguna bahasa memandang sesuatu yang sama secara berbeda sesuai dengan perbedaan dari bahasa-bahasa mereka. Dalam hal ini antropolinguistik, linguistik bekerja sama dengan antropologi, disiplin ilmu lain yang disinyalir mampu memberikan jawaban atas fenomena ini. Dengan kata lain bahasa merupakan keluaran dari pikiran (deep structure-nya menurut teori generatif transformasi dari Profesor Linguistik Massachusetts Institute of Technology pandang budaya yang berbeda. Dalam corak kebudayaan masyarakat pengguna bahasa yang sama diniscayai pula adanya variasi bahasa yang mana akan membentuk dialek-dialek tersendiri. Dan di dalam linguistik historis komparatif pola dialek dalam bahasa yang sama semakin lama bisa membentuk bahasa yang baru seperti stembaumtheorie atau teori gelombang yang semakin jauh jarak dari pengguna bahasa semakin berbeda pula variasi leksikonnya. Dewasa ini linguistik sebagai ilmu bahasa mengkaji secara sinkronik (berdasarkan waktu sekarang) mengenai adanya pola-pola baru dalam perkembangan budaya meskipun dalam masyarakat pengguna bahasa yang sama. Setidaknya bahasa bisa mencerminkan suatu budaya. Akan tetapi dalam hal ini penulis mencoba mengangkat kembali beberapa hipotesa-hipotesa yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di antara para ahli bahasa. Dan bagaimana proses berbahasa itu. Pertama, kemampuan berbahasa dibentuk dari budaya yang melingkupinya (bahasa dibentuk oleh pengalaman). Kedua, kemampuan berbahasa yang membentuk kebudayaan (bahasa membentuk pengalaman). Kedua pernyataan itu diwarnai silang pendapat yang berlawanan antara teori Sapir-Whorf dan teori Wilholm Von Humbolt. Noam Chomsky) penutur bahasa yang relatif dalam hal memandang sesuatu yang sama dengan sudut

Proses Berbahasa, Bagaimana? Bahasa, ya tentu saja tidak lepas dari linguistik. Maka dari itu, penulis sengaja memaparkan mengenai bagaimana terjadinya proses berbahasa karena penulis rasa ini perlu diketengahkan karena ada hubungan antara berbahasa, berpikir, dan berbudaya. Dalam hal ini proses berbahasa dua arah pesapa dan penyapamerupakan serangkaian aktivitas otak yang dimulai dari enkode semantik, enkode gramatikal, enkode fonologi di dalam otak pembicara/penyapa. Lantas penerima/pesapa mentransformasikan bentuk bahasa di dalam otaknya dari mulai dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik. Aktivitas transformasi ini dimulai dengan semantik. Mengapa? Pertama, di dalam linguistik, semantik yang secara khusus menelaah masalah makna. Pada dasarnya semantic berkaitan dengan ciri tanda yang melibatkan dua unsur yaitusignifie dan significant (de Saussure, 1974:114). Signifie merupakan rangkaian di balik tanda (sign) yang seberupa konsep di dalam otak pembicara/penutur dan lazim disebut makna. Significant merupakan unsur bahasa yang menandai wujud konkret dan lazim disebut bentuk nyata. Misalnya kata pena yang mempunyai arti alat untuk menulismeskipun setiap orang bisa menafsirnya secara berbeda, Dalam kasus ini arti dari [pena] itu yang jadi signifie sedangkan wujud konkretnya ya misalnya terbuat dari plastik, ujungnya besi lancip, berisi tinta, dan bisa digunakan untuk menulis. Jadi dalam proses berbahasa orang akan mempunyai makna atau hal apa saja yang akan dibicarakan. Kemudian kita lanjut pada gramatikal. Kedua, gramatikal atau lazim juga disebut dengan tata bahasa. Di dalam suatu bahasa, entah itu bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Inggris, dsb. (langue dalam istilah dari Ferdinand de Saussure) pasti memiliki aturan yang mengatur bagaimana bahasa itu agar dikomunikasikan secara efektif. Seperti pada kalimat, Ayah memperbaiki sepeda di bengkel, pada kalimat ini proses penyerapan informasi tidak terhambat (jangan kacaukan pengertian informasi dan makna). Kalimat kedua, Di sepeda memperbaiki ayah bengkel, pada kalimat ini betapa tidak dimengertinya. Lalu ada lagi, Sepeda memperbaiki ayah di bengkel, kalimat ini terasa janggal bukan? Meskipun konstituen kata di dalam struktur sintaksis tidak menyalahi namun secara semantik tidak mungkin sepeda memperbaiki ayah. Nah ini yang harus kita perhatikan bahwa dalam berbahasa itu tidaklah ketepatan susunan kalimat saja. Akan tetapi, arti leksikal tentu akan memengaruhi kegramatikalannya di dalam kalimat. Lalu kita lanjut pada fonologi. Ketiga, fonologi sebagai bidang khusus dalam linguistik itu mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa tersebut (Verhaar, 1990: 36). Fonologi memang bertugas untuk mengidentifikasi fonemfonem dalam suatu bahasa (penulis sengaja tidak memperdalam ihwal fonologi dalam tulisan ini kelak akan dibahasa secara khusus pada tulisan selanjutnya). Dalam hal ini fonologi mengidentifikasi rangkaian huruf yang bersatu membentuk kata dan mempunyai makna (jangan

kacaukan fonem dengan huruf). Sehingga dari proses semantik, gramatikal, dan fonologi bisa disebut proses berbahasa. Teori Sapir-Whorf Pandangan analisis umum bahasa menjadi bagian dari budayamembentuk budayayang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf (Yule, 2006: 218). Dalam teorinya Edward Sapir (ahli bahasa dari Amerika) mengungkapkan pola bahasa dari masyarakat penggunanya mendirikan suatu peradaban tersendiri untuk mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak ada dua bahasa yang sama yang dapat mewakili masyarakat yang sama. Sehingga terciptalah satu relativitas system-sistem konsep yang bergantung pada bahasa yang beragam tersebut (Chaer, 2009: 52). Dengan kata lain, teori dari Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf bahwa bahasa itu memengaruhi cara berpikir masyarakat pengguna bahasa tersebut. Setiap bentuk kebudayaan menurut teori ini dibentuk berdasar dari bahasanyaada juga pandangan yang menyebut bahwa gagasan ini pernah dikemukakan oleh Frans Boas yang juga ahli bahasa Amerika (lihat Cahyono hal. 418). Sampai sekarang pun kontroversialnya teori ini masih jadi perbincangan dalam penelitian linguistik (kelak penulis ingin bekerja sama dengan para ahli bahasa untuk melakukan riset mengenai bahasa dan budaya di Indonesia). Teori ini didukung oleh Fearing, Hoijer, dan Hocket. Akan tetapi, banyak pakar yang menentang teori ini. Terjadi silang pendapat dalam hal ini. Dan yang banyak diikuti orang adalah kebalikan dari teori ini yaitu teori dari Wilhelm Von Humbolt. Teori Wilhelm Von Humbolt Teori ini adalah kebalikan dari teori Sapir-Whorf. Menurut teori ini bahwa budaya suatu masyarakat yang menentukan bahasanya. Dengan kata lain, masyarakat bahasa itu tidak bisa menyimpang dari pandangan budayanya sendiri. Dan jika anggota masyarakat bahasa ingin mempelajari budaya lain, maka harus dipelajari dulu bahasa lain tersebut. Sebagai contoh warga asingpenulis lupa lagi nama seorang warga Perancis yang meneliti budaya Sundayang ingin mempelajari wayang golek di Tatar Sunda, maka mau tidak mau ia harus mempelajari bahasa Sunda. Jika budaya Sunda ingin diteliti maka otomatis beserta bahasanya menjadi bagian yang dipelajari olehnya.

Logikanya seperti ini, penulis analogikan dengan hal yang lain. Misalnya kita ingin meminang anak gadis, otomatis kita harus mengenal serta mengambil hati orang tuanya. Begitu pula bahasa dan budaya. Demikianlah paparan sederhana dari penulis. Pertentangan demi

pertentangan dalam setiap pemikiran adalah sesuatu anugrah dari Ilahi yang mana perbedaan merupakan keaadaan yang patut kita sikapi secara arif. Bukan tidak mungkin kelak dari perbedaan akan timbul teori-teori baru yang memperkaya kita sebagai makhluk yang berbahasa (langage menurut istilah dari Ferdinand de Saussure).

You might also like