You are on page 1of 4

Angka Kematian Bayi di Indonesia Tinggi

05 ec 2009

Media Indonesia Nasional

Angka kematian balita di Indonesia sejak periode 2002 tidak mengalami penurunan. Cornelius Eko Susanto DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) mengungkapkan rata-rata per tahun terdapat 401 bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber dari survei terakhir pemerintah, yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI). "Rata-rata kematian bayi di Indonesia masih cukup besar. Kewajiban kita semua untuk menguranginya," sebut Kepala Sub Direktorat Bina Kesehatan Depkes, Kirana Pri-tasari, kemarin, di Jakarta. Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang waktu 012 hari pas-cakelahirannya. Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data terakhir), angka neonatus tidak pernah mengalami penurunan. Penyebab kematian terbanyak pada periode ini, menurut Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi saluran pemapasan atas. Selaras dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiran hidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015. AKB di indonesia termasuk salah satu yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan jumlah AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10 per 1.000 kelahiran hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar mengatakan banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi. Antara lain, faktor kesehatan anak, lingkungan seperti keadaan geografis, dan faktor nutrisi. Bisa dicegah Menurut Kirana, peran puskesmas dan posyandu sejatinya menjadi kunci untuk menekan kejadian AKB.Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih berkomentar kematian bayi juga

bisa dicegah lewat penyehatan lingkungan. Pasalnya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan hampir separuh kematian bayi umur 29 hari sampai 11 bulan juga disebabkan oleh penyakit yang bisa dicegah dengan intervensi lingkungan dan perilaku. Penyakit itu adalah diare dan pneumonia. Lantaran itu, upaya penyehatan lingkungan seperti penyediaan air minum, fasilitas sanitasi dan higienitas yang memadai, serta pengendalian pencemaran udara mampu meredam jumlah bayi meninggal. "Untuk itu pemerintah tidak lelah mengampanyekan pentingnya upaya kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat," imbuhnya. Pada kesempatan yang sama, Esther Indriani dari Maternal and Child Health Specialist World Vision memaparkan, perawatan sederhana seperti pemberian air susu ibu (ASI) dapat menekan AKB. "Telah terbukti, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 13% kematian bayi dan bahkan 19/0 jika dikombinasikan dengan makanan tambahan bayi setelah usia 6 bulan." Direktur Lembaga Peningkatan Penggunaan ASI RS St Carolus, Utami Rusli, menambahkan inisiatif inisiasi bayi menyusu sendiri segera setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian bayi akibat berbagai penyakit. "Risiko kematian bayi diperkirakan bisa berkurang sebanyak 22% jika inisiasi menyusui bayi baru lahir dilakukan setidaknya 1 jam," imbuhnya.(N-l) comel@mediaindonesia. com

(dok ABC.net)

Jakarta, Hidup cuma beberapa hari atau beberapa jam adalah nasib tragis yang harus dialami bayi-bayi yang tidak dapat bertahan hidup ketika dilahirkan. Bagaimana tak bikin miris, sudah bersusah payah mengandung, seorang ibu harus rela kehilangan buah hatinya ketika dinyatakan meninggal oleh dokter. Hingga tahun 2008, angka kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR) di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 31,04/1000 kelahiran hidup artinya terdapat 31,04 bayi meninggal dalam setiap 1.000 kelahiran. Angka tersebut masih lebih tinggi dibanding Malaysia dan Singapura yang masing-masing sebesar 16,39/1000 dan 2,3/1000 kelahiran hidup. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) pun mengakui lambatnya penanganan masalah tersebut. Tahun 2005 saja, Indonesia hanya mampu menurunkan 2 angka, dari 33/1000 pada tahun 2003 menjadi 31/1000. Padahal, sesuai dengan Millenium Development Goals 4 (MDG 4), tahun 2015 Indonesia harus mampu menurunkan angka kematian bayi hingga 17/1000 kelahiran hidup. Target yang masih sangat jauh untuk kurun waktu yang cukup singkat, kurang lebih 6 tahun lagi dari sekarang. Bayi dengan berat lahir rendah serta prematur adalah bayi yang paling berisiko meninggal pada saat dilahirkan. Masalah lain yang mungkin muncul, terutama untuk bayi berat lahir rendah diantaranya berisiko mengalami kebutaan, tuli, pendarahan di otak dan osteopenia prematur. Lalu, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab menangani masalah tersebut? Dokter atau pemerintah? Menurut Dr. Rina, terdapat tiga pemecahan masalah mengenai newborn survival tersebut, diantaranya kompetensi dokter anak atau dokter umum yang harus ditingkatkan, ketersediaan alat atau jaminankesehatan harus ada, serta dukungan pemerintah atau pemda dalam upaya mempermudah alur rujukan harus lebih ditingkatkan. Kompetensi merupakan hal yang paling dasar dan wajib diperhatikan, khususnya dokter-dokter yang baru terjun dan menangani pasien secara langsung. "Kebanyakan dokter yang baru lulus dan baru praktek di rumah sakit, hanya meneruskan dan mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan di rumah sakit tersebut, meskipun itu adalah kebiasaan yang salah," ujar Dr. Rina disela-sela acara HUT IDAI ke-55, pada 23 Juni 2009. Teori-teori yang sudah dipelajari di bangku kuliah pun sering diabaikan dan tidak dilaksanakan dalam prakteknya. Oleh karena itu, pemantauan khusus terhadap rumah sakit pun perlu digencarkan.

Dr. Rina menyayangkan rumah sakit yang justru kurang responsif jika ada kunjungan-kunjungan seperti itu. "Pihak rumah sakit umumnya sangat antusias jika ada pihak yang datang untuk akreditasi, tapi giliran pemantauan khusus perawatan di rumah sakit, mereka kurang tanggap," ucapnya. Yang harus diingat juga, tambahnya, sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dapat menangani kasus kematian bayi, jangan lupa dilakukan inkubasi terlebih dahulu untuk menghindari bertambah buruknya keadaan bayi. "Jangan pindahkan atau rujuk bayi sebelum keadaannya stabil", tegasnya. Selain itu bayi juga harus dikondisikan mulai dari tekanan darahnya, oksigen, suhu, dan emosinya. Ruangan tempat melahirkan sebisa mungkin juga harus berdekatan jaraknya dengan ruang perawatan (inkubasi) bayi sehingga penanganan dapat dilakukan secepat mungkin. Masalah sumber daya manusia (kompetensi dokter) memang sangat urgen dalam hal ini, namun yang tak kalah pentingnya adalah peralatan medik dan sarana penunjang lainnya yang harus diperhatikan pemerintah. "Bagaimana bisa mempertahankan hidup bayi, jika peralatannya pun tidak tersedia di beberapa rumah sakit", ujar Dr. Rina. Selain itu, masalah administrasi juga masih sulit hingga saat ini. Sebaiknya pemerintah mulai membenahi sistem dan manajemen pelayanan yang lebih baik di rumah sakit, terutama untuk mereka dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. "Sebenarnya jika kita mau mencari siapa yang salah dan harus bertanggung jawab dalam hal ini, kita tidak bisa saling menyalahkan, semua pihak sudah menjalankan tugasnya masing-masing, hanya saja perlu diintrospeksi dan ditingkatkan lagi", tutur dokter yang tergabung dalam divisi neonatology, departemenkesehatan anak RSCM tersebut. "Sebaiknya pemda lebih memperhatikan target MDG lagi, jangan hanya disibukkan program pemekaran saja. Depkes juga sudah banyak memberikan bantuan pelatihan dan fasilitas, namun alangkah lebih baiknya jika melakukan pemantauan rutin bersama-sama IDAI untuk mengetahui keefektifan dari pelatihan tersebut," sarannya.

You might also like