You are on page 1of 14

Sari Pustaka

Limfadenitis Tuberkulosis

Oleh:

Rahmi Geby Anthony Fuji Khairunnisa Jeffry Nugraha Wen Pau Min Ririn Wahyuni Elvi Hasanah Rizka Ariani Paul Alwin Khoman Andy William Kharisma P. Adhyatma Benny Harmoko Marintan A. Sitio Vitri Alya Ivan C. Pasaribu

070100027 070100037 070100371 070100327 070100127 070100154 070100040 070100049 070100152 070100033 070100083 070100097 070100165 070100143 070100367

Pembimbing: dr. Desmonia T. Damanik

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliar manusia (sepertiga penduduk dunia) telah terinfeksi kuman TB. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi TB di dunia ini.1 Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah penderita TB di dunia. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 539.000 kasus baru dengan kematian sekitar 100.000 orang. Insiden kasus TB Basil Tahan Asam (BTA) positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Munculnya pandemi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS) di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian TB secara signifikan.2 Dalam penyebarannya tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 bagian, diantaranya adalah TB paru dan TB diluar paru. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk salah satu penyakit di luar paru (TB-ekstraparu) Penyakit ini disebabkan oleh M. tuberculosis.3 Sekitar 43 persen dari semua limfadenopati perifer di negara berkembang disebabkan oleh karena TB, manifestasi ini juga tidak hanya terlihat di negara berkembang, di negara maju juga sering terdapat manifestasi ini. Angka kejadian di Amerika Serikat, sekitar 20 persen menimbulkan TB luar paru, dan sekitar 30 persen dari kasus-kasus ini hadir dengan limfadenitis. Prevalensi limfadenitis tuberkulosis pada anak-anak sampai 14 tahun di pedesaan India adalah sekitar 4,4 kasus per 1000.3 Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas tersebut di atas ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif, dalam studi diagnostik menemukan adanya gambaran lain dari limfadenitis TB, yaitu adanya bercakbercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dari

aspirat limfadenopati. Dan ternyata apabila sediaan ini dikultur dengan teknik Kudoh, ternyata 83% kasus memberikan kultur positif.4,5

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk salah satu penyakit TB di luar paru (Tb-extraparu). Penyakit ini disebabkan oleh M. tuberkulosis, kemudian dilaporkan ditemukan berbagai spesies M. Atipik.6,7

2.2. Etiologi8 Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan ZiehlNeelsen atau Kinyoun-Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5 m. M.tuberculosis dapat tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO dapat merangsang pertumbuhan. M.tuberculosis merupakan
2

mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam
0 0 0 0

organisme hospes. Kuman akan mati pada suhu 60 C selama 15-20 menit, Pada suhu 30 atau 40 -45 C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman. Daya tahan kuman M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi.

2.3. Epidemiologi Tuberkulosis ekstraparu telah memberikan kontribusi yang besar dalam kejadian TB terutama pada pasien yang menderita imunodefisiensi akibat HIV (45-70%) dibandingkan yang tidak menderita HIV AIDS (15%)9,12. Limfadenitis TB merupakan TB ekstraparu paling sering. Menurut jenis kelamin, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan

perbandingan 68:31. Menurut ras, Asia lebih sering terkena dibandingkan Afrika. Pada pasien limfadenitis TB terdapat pasien yang telah diimunisasi BCG sebanyak 37%.9 Pada penelitian infeksi Mycobacterium bovis merupakan penyebab tersering dari TB ekstraparu terutama limfadenitis TB. Konsumsi susu mentah memiliki peran penting dalam infeksi bakteri ini.12 Maka dari itu, limfadenitis TB ini lebih sering mengenai anak-anak. Menurut penelitian pada anak-anak yang menderita limfadenitis TB, umur rata-rata anak tersebut adalah 9,8 tahun dengan anak perempuan (61,3%) lebih banyak dari anak laki-laki (38,7%).10 Menurut penelitian dari 1112 anak-anak, 7,8% anak menderita limfadenitis TB. Penyakit ini didapati pada semua usia tapi lebih sering pada anak usia 10 dan 18 tahun (39,1%). Pada anak dengan rontgen dada yang normal didapati memiliki limfadenitis TB sebanyak 21,8%. Dan pada pasien ini didapati tes tuberkulin positif sebanyak 87,3% dan memiliki riwayat keluarga menderita TB sebanyak 82,7%.11

2.4. Patogenesis13 Untuk pasien-pasien tanpa infeksi HIV, terjadinya Limfadenopati Tuberkulosis perifer yang terisolasi (contoh, pada bagian cervical) kemungkinan besar disebabkan oleh reaktivasi dari penyakit pada bagian tersebut melalui jalur hematogen ketika pasien terinfeksi Tuberkulosis Primer. Akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa limfadenitis tuberkulosis pada bagian cervical mungkin disebabkan oleh infeksi pada tonsil, adenoid, dan cincin waldeyers dimana hal ini akan menyebabkan terlibatnya nodal cervical. Pada pasien yang terinfeksi HIV dengan limfadenitis tuberkulosis, lebih banyak terdapat bukti bahwa infeksi mereka lebih menyeluruh seperti sering timbul demam yang tiba-tiba, gambaran foto thoraks yang abnormal dan jumlah mycobacterium yang lebih banyak. Reaktivasi dari infeksi yang laten lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. rute yang menjadi kemungkinan tempat masuknya mikobakterium tuberkulosa ke kelenjar limfe :

1. Reaktifasi dari TB paru atau pelebaran hilus (paling sering). 2. Keterlibatan cervical melalui infeksi laring 3. Jalur hematogen

2.5. Gejala Klinis14


Manifestasi klinis tergantung pada lokasi limfadenopati dan status imun dari pasien. Manifestasi klinis juga bervariasi pada berbagai etnik dan geografi dari populasi. Lebih dari sepertiga pasien akan melaporkan adanya riwayat TB sebelumnya atau riwayat keluarga menderita TB. Manifestasi tersering yaitu limfadenopati nontender kronik pada pasien dewasa muda tanpa gejala sistemik. Massa tersebut dapat berkembang sampai lebih dari 12 bulan sebelum diagnosis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan massa yang terpisah-pisah atau matted nodes yang terfiksasi ke jaringan sekitarnya, kadang disertai dengan indurasi kulit di bawahnya. Kadang-kadang , draining sinus, fluktuasi, atau eritema nodosum dijumpai pada lokasi tersebut. -Limfadenopati Servikal Nodus limfe servikal biasanya terlibat pada limfadenitis TB dengan 63-77% dari kasus. Massa unilateral biasanya sering muncul di bagian anterior atau posterior triangular servikalis, tetapi nodus limfe submandibular dan supraklavikular juga terlibat. Lesi bilateral jarang dijumpai, mungkin terjadi kurang dari 10% kasus . Meskipun, kebnanyakan pasien mempunyai manifestasi di satu lokasi, nodus-nodus yang lain di lokasi tersebut dapat terlibat juga. -Nodus-nodus lain yang terlibat Meskipun regio servilkalis sering terkena, lokasi lain juga sering dilaporkan. Tuberkulosis pada nodus limfe aksilaris, inguinalis, mesentrik, mediastinal, dan intramammaris telah

dilaporkan. Tuberkulosis limfadenopati mediastinal dapat disertai dengan disfagia, perforasi esofagus, paralisis pita suara akibat terlibatnya nercus laringeal rekurens, dan oklusi arteri pulmonalis yang mirip dengan gejala emboli paru. Isolated TB Iutroabdominal lymphhadenopathy sering mengenai nodus limfe di regio periportal, diikuti dengan nodus limfe perpankreas dan mesentric. Nodus limfe hepar yang terkena menyebabkan jaundis, trombosis vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi ektrinsik pada arteri renalis akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal menyebabkan hipertensi renovaskular. Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi manifestasui klinis limfadenitis TB. Pasien dengan AIDS dan pada derajat yang lebih ringan, pasien yang hanya terinfeksi HIV, cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan keterlibatan lebih dari satu lokasi nouds limfe. 7

Gejala sistemik seperti demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering ditemukan. Kebanyakan pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan terkena TB paru dan menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan limfadenitis TB bisa terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang bersamaan. y Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis ke dalam beberapa stadium: a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang menunjukkan hyperplasia reaktif non-spesifik b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan sekitarnya c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses d. Stadium 4: formasi abses collar-stud e. Stadium 5: formasi traktus sinus Manifestasi yang jarang ditemukan pada pasien dengan keterlibatan mediastinal lymph node yaitu disfagia, fistula oesofagomediastinal, dan fistula trakeo-esofageal.

2.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena pembedahan tidak memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis biasa.15,18,19 Namun pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur dibawah ini: y Biopsy eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh atypical mycobacteria bisa mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi. y y Aspirasi Insisi dan drainase

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH.16

Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):17 1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis berdasarkan sifatnya yaitu:
a.

Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin.

b.

Bakteriostatik, yaitu etambutol. Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama

2.

OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs), terdiri dari Para-aminosalicylicAcid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunderini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah: 17 y Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. y Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). y Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif y Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. y Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. y Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan y Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama y Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan Regimen pengobatan yang digunakan adalah: 17 y Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk:    Penderita baru TB Paru BTA Positif. Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif yang sakit berat Penderita TB Ekstra Paru berat

kategori 3 (2HRZ/4H3R3).Obat ini diberikan untuk:   Penderita baru BTA negatif dan rntgen positif sakit ringan, Penderita TB ekstra paru ringan.

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Kategori 1 Tahap Pengobatan Lamanya Dosis per hari/kali Kaplet Rifampicin @ 450 mg 1 Tablet Pirazinamid @ 500 mg 3 Tablet Etambutol @ 250 mg 3

Pengobatan Tablet Isoniazid @ 300 mg

Tahap intensif (dosis 2 bulan harian) Tahap lanjutan (dosis 4 bulan 3x seminggu)

-----

-----

10

Kategori 3 Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Tablet Isoniazid Tablet @ 300 mg Rifampicin @450 mg Tahap intensif 2 bulan 1 1 Tablet Pirezinamid 500 mg 3 @

(dosis harian) Tahap (dosis seminggu) lanjutan 3x 4 bulan 2 1 -------

11

BAB III PENUTUP

Limfadenitis terjadi akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer. Limfadenitis TB disebabkan
oleh M.tuberculosis complex, yaitu M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan M.caprae. Tuberkulosis ekstraparu telah memberikan kontribusi

yang besar dalam kejadian TB terutama pada pasien yang menderita imunodefisiensi akibat HIV (45-70%) dibandingkan yang tidak menderita HIV AIDS (15%). Sering mengenai cervical
lymph nodes, diikuti dengan mediastinal, axillary, mesenteric, hepatic portal, perihepatic, dan inguinal lymph nodes. Berbentuk massa multiple atau single unilateral yang tumbuh lambat dalam beberapa minggu sampai bulan, terutama di region servikal posterior. Cervical nodes di region submandibular terutama mengenai anak-anak. Pasien biasa datang dengan demam yang tidak terlalu tinggi, penurunan berat badan, fatigue, dan beberapa dengan keringat malam. Batuk tidak menonjol pada limfadenitis tuberculosis.Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, farmakologis dan non farmakologis.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis, 2005. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2. Amin Z., Bahar A.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:Tuberkulosis Paru. Ed. 4. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Sharma, S., K., Mohan, A., 2004, Extrapulmonary Tuberculosis. Department of

Medicine, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi & Department of Emergency Medicine, Sri Venkateswara Institute of Medical Sciences, Tirupati, India. Indian J Med Res 120: 316-353
4. Herchline,

T.,

E.,

2011.

Tuberculosis.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview.[ accessed in 18 August 2011]. 5. Nardell, E., A., 2008. Tuberculosis. Available from:

http://www.merckmanuals.com/home/au/sec17/ch190/ch190a.html. [accessed in 18 August 2011. 6. Spelman, D., 2009. Tuberculous Lymphadenitis. www.Uptodate.com 7. Clevenbergh, P., et.al., 2010. Lymph Node Tuberculosis in Patients from Regions with Varying Burdens of Tuberculosis and Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection. Original Article Presse Med. 2010; 39 : e223-e230. 8. Utji, R., dan Harun, H., 1994. Kuman Tahan Asam. Dalam: Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ed.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara, 191-192. 9. Reyn, Ford Von, Elizabeth Talbot, Dr. J F Fontanilla, Dr. J Parsonnet. Tuberculous Lymphadenitis and the role of M.bovis. Available from :

http://newenglandtb.pbworks.com/f/TB+Intensive+Tuberculous+Lymphadenitis+and +M+bovis+Arti+Barnes.pdf (Accessed September 4th 2011) 10. Sharma, Sangeeta, dkk. 2009. Clinical Profile And Treatment Outcome Of Tuberculous Lymphadenitis In Children Using Dots Strategy. Available from : http://medind.nic.in/ibr/t10/i1/ibrt10i1p4.pdf (Accessed September 4th 2011)

13

11. Puiu, Ileana, dkk. 2008. Diagnosis Of Tuberculosis Lymphadenitis In Children. American Academy of Pediatrics. Available from :

http://pediatrics.aappublications.org/content/121/Supplement_2/S130.2.full.pdf+html (Accessed September 4th 2011) 12. Legesse, Mengistu, dkk. 2011. Knowledge of cervical tuberculosis lymphadenitis and its treatment in pastoral communities of the Afar region, Ethiopia. Available from : http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/157 (Accessed September 4th 2011) 13. Spelman D. 2008. Tuberculous Lymphadenitis. UpToDate Journal
14. Available from: http://www.japi.org/august_2009/article_06.pdf

15. Nanda BP, Padhi NC, Dandapat MC. Peripheral Lymph Node Tuberculosis A Comparison of Various Methods of Management. Ind. J. Tub 1986; 33: 2024.http://openmed.nic.in/2992/ (Accessed 31 Agustus 2011). 16. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia 2006. Indah Offset Citra Grafika, 2006. 17. Amin Z & Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In: Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI, 2006; 1007-1010. 18. Gupta P.R. Difficulties in Managing Lymph Node Tuberculosis. Lung India 2004; 21: 50-53. http://www.lungindia.com/temp/LungIndia21450-8399459_231954.pdf

(Accessed 31 Agustus 2011). 19. Shaikh U & Blumberg DE. Lymphadenitis Treatment & Management. Medscape, 2010. http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128 (Accessed 31 Agustus 2011).

14

You might also like