You are on page 1of 5

Bolehkah Mendahulukan Puasa Sunnah dari Qodho Puasa?

Minggu, 12 September 2010 15:05 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Permasalahan ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho puasa. Di bulan Syawal pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho (utang) puasa? Lantas bagaimana jika hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna karena mesti mengqodho puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut. Perselisihan Ulama[1] Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho puasa Ramadhan. Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin. Ibnu Abdin mengatakan, Seandainya wajib qodho puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho puasa Ramadhan. Qodho puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya. Para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah). Ad Dasuqi berkata, Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa Asyura, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat. Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan

mendahulukan qodho puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho puasa Ramadhan). Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,


Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib. Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dhoif (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan. Merujuk pada Dalil Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dhoif sebagaimana diterangkan di atas. Dalam mengqodho puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Taala sendiri memutlakkan qodho puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,


Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 185). Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,


Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodhonya kecuali di bulan Syaban. Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[3] Sebagaimana pelajaran dari hadits Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho puasanya saat di bulan Syaban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, Tidak boleh mengakhirkan qodho puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.[4] Pendapat Terkuat Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho puasa selama waktu mengqodho puasa masih longgar. Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Taala berfirman (yang artinya), Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho

puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Taala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho puasa ada kelapangan.[5] Masalah Puasa Syawal Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.[6] Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Barangsiapa mempunyai qodho puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.[7] Ibnu Rajab rahimahullah kembali menjelaskan, Barangsiapa mendahulukan qodho puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.[8] Sebelumnya Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.[9] Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Kasus Wanita Haidh Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho puasa. Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjelaskan, Tidak disyariatkan mengqodho puasa Syawal setelah Syawal[10] baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syari, Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang

sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat. (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya). Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho sama sekali (setelah Syawal).[11] Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya. Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Diselesaikan di saat kumandang adzan Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com

[1] Lihat pembahasan ini di Al Mawsuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/9997-9998, index Shoum At Tathowwu, point 23. [2] HR. Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahiah dan dinilai dhoif, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhoifah wal Mawdhuah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dhoif. Begitu pula hadits ini didhoifkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352). [3] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146. [4] Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Marifah, 1379, 4/191. [5] Syarhul Mumthi, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 6/448. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429. [6] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori. [7] Lathoif Al Maarif, Ahmad bin Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392. [8] Idem. [9] Idem. [10] Sebagian ulama (seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah) menganjurkan mengqodho puasa Syawal di bulan Dzulqodah. Al Bahuti, penulis Kasyaful Qona (kitab fiqh Hambali) berkata, Keutamaan puasa enam hari Syawal tidaklah diperoleh jika puasa tersebut dilakukan selain di bulan Syawal. Demikianlah yang dipahami dari tekstual

hadits. (Kasyaful Qona an Matn Al Iqna, Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, Mawqi Al Islam, 6/132) [11] Majmu Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.

You might also like