You are on page 1of 13

Seminar dan Pameran HAKI 2009 1

STUDI EKSPERIMENTAL SAMBUNGAN KOLOM-KOLOM


PADA SISTEM BETON PRACETAK DENGAN
MENGGUNAKAN SLEEVES

Iswandi Imran, Liyanto Eddy, Mujiono, Elvi Fadilla

1. PENDAHULUAN

Sistem beton pracetak telah banyak digunakan sebagai sistem struktur untuk bangunan
rumah susun/apartemen. Beberapa keuntungan penggunaan sistem struktur beton
pracetak adalah percepatan waktu pelaksanaan, pengerjaan yang tidak tergantung
cuaca, serta penggunaan tenaga kerja di lapangan yang relatif lebih sedikit.

Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap gempa. Bagian kritis suatu sistem
struktur beton pracetak pada saat menerima beban lateral khususnya beban gempa
adalah sistem sambungan. Sistem sambungan yang digunakan untuk menghubungkan
elemen-elemen pracetak, harus direncanakan agar dapat berperilaku dengan baik,
dalam mentransfer beban gravitasi maupun beban lateral. Di samping itu, sistem
sambungan tersebut haruslah dapat mempercepat pelaksanaan konstruksi dan mudah
untuk dilaksanakan.

Secara umum, sambungan pada sistem struktur beton pracetak dapat dibedakan
menjadi 2 sistem, yaitu : sistem sambungan kuat dan sistem sambungan lemah
(daktail)
(5)
. Secara umum, sambungan beton pracetak dapat dibedakan menjadi 2
kategori, yaitu : sambungan kuat dan sambungan daktail. Penggunaan sleeves baja
yang diinjeksikan mortar grouting untuk menghubungkan tulangan longitudinal antara 2
elemen beton pracetak adalah salah satu cara untuk menciptakan sambungan kuat
(3)
.
Pada saat pabrikasi elemen beton pracetak, sleeves baja ditanam di salah satu elemen
beton pracetak, sedangkan pada elemen beton pracetak yang lainnya, tulangan
longitudinal ditonjolkan keluar dengan panjang tonjolan yang direncanakan berdasarkan
panjang penyaluran yang dibutuhkan, sesuai dengan diameter tulangan longitudinal
yang digunakan. Di lapangan, kedua elemen beton pracetak tersebut disatukan dengan
memasukkan tulangan longitudinal yang ditonjolkan tersebut ke dalam sleeves baja
yang telah tertanam pada elemen beton pracetak lainnya. Setelah kedua elemen beton
pracetak disatukan, sambungan diinjeksi dengan mortar grouting untuk mengisi ruangan
kosong yang ada di antara tulangan longitudinal dan dinding sleeves. Kekuatan
sambungan sangat mengandalkan kuat lekat antara tulangan longitudinal dan mortar
grouting. Sebagai tambahan, kehadiran sleeves dapat memberikan efek kekangan pada
mortar grouting, sehingga dapat meningkatkan kuat lekat antara tulangan longitudinal
dan mortar grouting.

Pada dasarnya sleeves dapat dipasang di posisi manapun di sepanjang elemen kolom
pracetak. Pada gambar 1, terlihat bahwa sleeves yang dipasang di dasar kolom akan
menghasilkan elemen kolom pracetak yang lebih sederhana (elemen kolom pracetak
berbentuk |) dibandingkan jika sleeves yang dipasang di daerah lain (elemen kolom
pracetak berbentuk +). Elemen kolom pracetak yang lebih sederhana, yang berbentuk |,
tentu akan lebih mudah untuk didistribusikan dari pabrik ke lapangan konstruksi
dibandingkan dengan elemen kolom pracetak yang berbentuk +. Berdasarkan alasan
tersebut di atas, maka posisi sleeves direncanakan terletak di dasar kolom.

Seminar dan Pameran HAKI 2009 2
Elemen Kolom Pracetak

Elemen Kolom Pracetak

Gambar 1. Perbandingan antara Sleeves yang dipasang di dasar kolom
dan di daerah lain di luar dasar kolom.

Seperti yang telah disebutkan di atas, plastifikasi pada sistem beton pracetak dengan
menggunakan sistem sambungan sleeves terjadi di luar daerah sambungan. Mekanisme
terjadinya sendi plastis pada sistem beton pracetak dengan menggunakan sleeves ini
sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem beton monolit yang dicor di tempat, di
mana adanya pergeseran sendi plastis, sehingga perilaku plastifikasi yang terjadi tentu
dapat berbeda antara sistem beton pracetak dengan menggunakan sistem sambungan
sleeves dan sistem beton monolit yang dicor di tempat. Kajian eksperimental belum
banyak dilakukan untuk memahami hal ini. Oleh karena itu pada penelitian ini, dilakukan
studi eksperimental untuk memahami perilaku yang terjadi akibat adanya pergeseran
plastifikasi ini.

Di samping itu, pada studi eksperimental ini juga akan dikaji apakah elemen kolom
pracetak yang disambung dengan sambungan kuat tanpa adanya tulangan longitudinal
kolom yang dipasang secara menerus di sepanjang daerah luar sambungan mampu
mencapai kekuatan yang disyaratkan untuk sistem rangka pemikul momen menengah,
di mana ACI 318-08 pasal 21.8.3c
(3)
mensyaratkan bahwa tulangan longitudinal kolom
harus dipasang menerus di sepanjang daerah luar sambungan pada elemen kolom
pracetak yang dihubungkan dengan sambungan kuat untuk sistem rangka pemikul
momen khusus.

Kedua hal tersebut di atas juga sejalan dengan pasal 23.2.1.5 SNI 03-2847-2002
(1)
, di
mana studi eksperimental perlu dilakukan untuk membuktikan apakah sistem beton
pracetak dengan menggunakan sistem sambungan sleeves memiliki kekuatan dan
ketegaran yang minimal sama dengan sistem beton bertulang monolit.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dilakukanlah kegiatan eksperimental yang
bertujuan untuk mengetahui performa serta perilaku sistem sleeves yang menyatukan
elemen-elemen kolom beton pracetak, dalam menerima beban lateral (gempa).

2. PROTOTIPE STRUKTUR PRACETAK DAN SAMBUNGAN PRACETAK

Benda uji yang dites merupakan model skala penuh suatu prototipe struktur beton
pracetak, yang direncanakan berdasarkan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002)
(1)
dan Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002)
(2)
.

Elemen-elemen kolom pracetak pada prototipe tersebut disambung pada dasar kolom,
seperti yang terlihat pada Gambar 1. Elemen-elemen kolom pracetak tersebut
disambung dengan menggunakan sambungan sleeves, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.
Seminar dan Pameran HAKI 2009 3

Gambar 2. Detail Sambungan Sleeves

Sebelum dilakukan pengecoran, tulangan longitudinal elemen kolom pracetak ditanam
terlebih dahulu pada sleeves bagian atas, yang berdiameter lebih kecil, memiliki
diameter 8 mm lebih besar dibandingkan dengan tulangan longitudinal kolom. Diameter
sleeves bagian bawah didesain lebih besar dibandingkan dengan sleeves bagian atas,
memiliki diameter hampir 2 kali diameter tulangan longitudinal kolom, dengan tujuan
untuk memudahkan pekerjaan penyatuan elemen kolom pracetak.

Pada bagian tengah sleeves, dipasang rebar stop yang berfungsi sebagai pembatas
agar penjang penyaluran tulangan longitudinal kolom yang tertanam dalam sleeves
dapat sesuai dengan yang direncanakan.

Pada gambar tersebut, dapat terlihat bahwa sleeves juga memiliki gerigi-gerigi pada
bagian dalam dan luar sleeves. Terdapatnya gerigi-gerigi pada bagian dalam dan luar
sleeves dimaksudkan agar sambungan mampu mengembangkan lekatan yang baik,
antara mortar grouting dan sleeves di bagian dalam sleeves dan antara sleeves dan
beton di bagian luar sleeves, pada saat sambungan menerima beban bolak balik akibat
beban lateral.

3. PROGRAM EKSPERIMENTAL
3.1 Pemodelan Benda Uji

Pengujian dilakukan pada benda uji kolom-pondasi pracetak berskala penuh yang
mewakili protipe struktur pracetak yang ditinjau. Panjang tinggi kolom ditentukan
berdasarkan titik belok garis elastis kolom, yang pada dasarnya dapat diasumsikan
terjadi di setengah tinggi kolom (Gambar 3).


Gambar 3. Deformasi Lateral pada Struktur Portal (Paulay, 1989)
(9)

Pemodelan perletakan jepit struktur prototipe dapat dilakukan dengan mengangkur
elemen pondasi benda uji pracetak pada strong floor (Gambar 4).
Seminar dan Pameran HAKI 2009 4

Gambar 4. Model Benda Uji

3.2 Pemodelan Benda Uji

Dimensi dan detailing benda uji kolom direncanakan berdasarkan persyaratan-
persyaratan SNI 03-2847-2002 untuk sistem rangka pemikul momen menengah
(1)
.

Terdapat 2 benda uji yang akan dikembangkan pada kegiatan eksperimental ini. Benda
uji pertama menggunakan 4 buah tulangan longitudinal berdiameter 25 mm. Rasio luas
tulangan longitudinal kolom terhadap luas bruto penampang kolom pada benda uji
pertama adalah 2.18%. Rasio luas sambungan sleeves terhadap luas bruto penampang
kolom pada benda uji pertama adalah 6.95%. Spasi bersih antara sleeves yang
berdekatan sebesar 131.5 mm.

Benda uji kedua menggunakan 6 buah tulangan longitudinal berdiameter 25mm. Rasio
luas tulangan longitudinal terhadap luas bruto penampang kolom pada benda uji kedua
adalah 3.3%. Rasio luas sambungan sleeves terhadap luas bruto penampang kolom
pada benda uji kedua adalah 10.426%. Spasi bersih antara sleeves yang berdekatan
sebesar 38.5 mm. Detail kedua benda uji dapat dilihat pada Gambar 5.



Gambar 5. Detail Benda Uji Kolom

Fungsi elemen pondasi pada pengujian ini adalah untuk memodelkan kondisi batas jepit
pada dasar kolom, di mana elemen pondasi akan diangkur pada strong floor. Tebal dan
tulangan longitudinal pondasi direncanakan dengan tujuan agar pada saat pengujian
dilakukan, kegagalan tidak terjadi di elemen pondasi. Detail elemen pondasi dapat dilihat
pada Gambar 6.
Seminar dan Pameran HAKI 2009 5
.
Gambar 6. Detail Pondasi

3.3 Karakteristik Material Benda Uji
3.3.1 Material Beton

Beton yang direncanakan pada penelitian adalah beton normal dengan kuat tekan beton
rencana 28 hari f
c`
= 30 MPa dengan deviasi standar 5 MPa serta memiliki nilai slump
75 mm 25mm. Pada saat dilakukan pengecoran benda uji, dilakukan pengambilan
sampel uji kontrol. Sampel uji kontrol tersebut berupa silinder yang memiliki diameter 15
cm dan tinggi 30 cm. Pengujian kuat tekan beton dilakukan pada umur 14 hari, 21 hari,
dan 28 hari. Hasil pengujian kuat tekan beton dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Kuat Tekan Beton
Kuat Tekan Beton (MPa) Rata-rata
Deskripsi Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 (MPa)
Kuat Tekan Beton 14 hari 29,97 29,96 30,56 30,17
Kuat Tekan Beton 21 hari 32,43 31,99 33,20 32,54
Kuat Tekan Beton 28 hari 36,70 33,31 35,15 35,06

3.3.2 Material Baja

Tulangan untuk benda uji kolom-pondasi pracetak menggunakan diameter 16 mm dan
25 mm. Hasil pengujian tarik tulangan baja dapat dilihat pada Gambar 7 dan Tabel 2.

Kuat Tarik Tulangan Baja
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
-20 0 20 40 60 80 100 120
Stroke (mm)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
M
P
a
)
Tulangan 25 (1)
Tulangan 25 (2)
Tulangan 16

Gambar 7. Grafik Kuat Tarik Tulangan Baja Stroke vs Stress


Tabel 2. Hasil Uji Kuat Tarik Tulangan Baja
Material Kuat Leleh (MPa) Kuat Ultimit (MPa)
Tulangan Ulir diameter 25 mm (1)
1
365 529
Tulangan Ulir diameter 25 mm (2)
2
642 850
Tulangan Ulir diameter 16 mm 655 781

1
digunakan pada benda uji kolom pracetak
2
digunakan pada benda uji kuat lekat tulangan dalam sleeves



Seminar dan Pameran HAKI 2009 6
3.3.3 Kuat Lekat Tulangan dalam Sleeves

Pengujian dilakukan terhadap 3 benda uji untuk menentukan perilaku sistem sambungan
sleeves yang diinjeksi material grouting pada saat menerima beban tarik langsung. Agar
keruntuhan cabut tidak terjadi, material grouting yang digunakan haruslah memiliki
kekuatan tinggi. Selain itu, agar sistem struktur dapat stabil selama proses ereksi, maka
digunakanlah material grouting yang dipilih haruslah bersifat high early strength, mampu
mencapai kekuatan yang tinggi pada saat material grouting baru berumur muda.

Berdasarkan konsistensinya, material grouting terbagi atas 2 macam yaitu flowable dan
trowellable (Tabel 3). Agar material grouting mudah untuk diinjeksikan ke dalam
sambungan, maka dipilihlah material grouting yang berkonsistensi flowable.

Tabel 3. Propertis Material Grouting
Material consistency Flowable Trowellable
Compressive
strength 1 day 25 MPa 45 MPa
3 days 50 MPa 60 MPa
7 days 55 MPa 65 MPa
28 days 65 MPa 80 MPa
Water Addition 4,5 litres 3,2-3,4 litres

Tulangan baja yang digunakan sebagai benda uji merupakan tulangan ulir berdiameter
25 mm jenis 2, yang memiliki kuat leleh 642 MPa. Detail benda uji kuat lekat tulangan
dalam sleeves dapat dilihat pada gambar 8.
63
15
3
0
3
6
2
7
3
2
6
5
3
3
0
3
3
2
0
3
15
33
48
3
7
0
REBAR STOP
2
0
3
5
3
0
3
0
3
5
3
0
3
0
1
8
0
1
5
1
7
0
1
7
0
3
5
3
5

Gambar 8. Benda Uji Kuat Lekat Tulangan dalam Sleeves

Berdasarkan pengujian tarik yang dilakukan terhadap 3 spesimen, ketiga-tiganya
menunjukkan bahwa kegagalan disebabkan karena terjadinya cabut antara baja
tulangan dengan sleeves. Hal ini disebabkan karena kuat tarik baja tulangan dan
sleeves lebih tinggi dibandingkan dengan kuat friksi antara tulangan dengan mortar
semen grouting. Besarnya gaya tarik ultimate (F
u
) yang diperoleh pada pengujian kuat
Seminar dan Pameran HAKI 2009 7
tarik baja tulangan sebelumnya adalah sebesar 417kN (850 MPa), lebih besar
dibandingkan dengan gaya cabut antara baja tulangan dan sleeves yaitu sebesar 409-
416 kN (27.85 MPa-28.32 MPa)

Besarnya kuat lekat yang terjadi antara baja tulangan dengan mortar semen grouting di
dalam sleeves jika dihitung dengan menggunakan persamaan di atas adalah sebesar
27.85 MPa hingga 28.32 MPa. Nilai kuat lekat tulangan baja dalam sleeves ini hampir
mencapai 10 kali lebih besar jika dibandingkan dengan kuat lekat tulangan baja pada
beton normal yang hanya mencapai 2,853 MPa (SNI 03-2847-2002). Grafik hasil
pengujian dapat dilihat pada Gambar 9.

Hasil Pengujian Uji Tarik Baja dan Uji Bond Strength
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
STROKE (MM)
T
e
g
a
n
g
a
n
T
u
l
a
n
g
a
n
B
a
j
a

D
i
a
m
e
t
e
r
2
5
m
m
(
M
P
a
)

Uji Bond Strength 1
Uji Bond Strength 2
Uji Bond Strength 3
Uji Tarik Baja Diameter 25 mm

Gambar 9. Grafik Hasil Pengujian Kuat Lekat Tulangan dalam Sleeves

3.4 Instrumentasi dan Test Setup
3.4.1 Instrumentasi

Strain gages berukuran 2 mm, dipasang sebanyak 8 buah pada masing-masing benda
uji, digunakan untuk memonitor regangan di daerah strain gages tersebut dipasang.
Strain gages juga dipasang pada sleeves untuk memonitor regangan yang terjadi pada
sambungan beton pracetak. Detail penempatan posisi strain gages dapat terlihat pada
Gambar 10.



Gambar 10. Detail Penempatan Strain Gages

LVDT dipasang untuk memonitor besarnya peralihan dan rotasi pada daerah yang akan
ditinjau selama pengujian. Posisi LVDT yang dipasang pada benda uji dapat terlihat
pada Gambar 11.
Seminar dan Pameran HAKI 2009 8

a. Tampak Utara-Selatan b. Tampak Timur-Barat
Gambar 11. Detail Penempatan LVDT

3.4.2 Test Setup

Pembebanan yang akan diberikan ke benda uji berupa beban lateral siklik quasi-static
yang akan diaplikasikan pada ujung kolom, ditujukan untuk mengetahui performa sistem
sambungan beton pracetak yang diuji dalam menahan beban gempa. Pola pembebanan
benda uji dapat dilihat pada Gambar 12.

Pola Pembebanan
-7%
-6%
-5%
-4%
-3%
-2%
-1%
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Siklus
D
r
i
f
t

(
%
)

Gambar 12. Pola Pembebanan Benda Uji

Beban lateral yang diaplikasikan ke benda uji berasal dari servocontrolled hydraulic
actuator, yang memiliki kapasitas maksimum 1000 kN dan stroke maksimum 100mm.
Untuk menstransfer gaya tarik pada arah yang berlawanan maka pada kolom dipasang 4
batang baja kaku yang berdiameter 25 mm. Test Setup dapat dilihat pada Gambar 13.

Utara Selatan
LVDT-7

Gambar 13. Test Setup
Seminar dan Pameran HAKI 2009 9
4. PEMBAHASAN HASIL PENGUJIAN

Benda uji 1 mengalami keretakan lentur di luar daerah sambungan pada saat peralihan
lateral mencapai 6,64 mm (drift 0,45%) atau setara dengan beban lateral 51,8 kN. Hal
ini disebabkan karena daerah sambungan yang lebih kaku dibandingkan dengan daerah
luar sambungan. Seiring dengan bertambahnya beban, keretakan-keretakan baru
terbentuk di luar daerah sambungan, pada lokasi berjarak sekitar 150 mm ( tinggi
kolom) dari lokasi retak lentur pertama (Gambar 14). Pada saat beban lateral mencapai
51,8 kN atau setara dengan peralihan lateral 22,13mm (drift 1,5%), keretakan terjadi
pada daerah sambungan (Gambar 15). Pada saat beban lateral mencapai 96,4 kN atau
setara dengan peralihan lateral 95,88 mm (drift 6,5%), tulangan longitudinal kolom pada
daerah muka kolom mengalami fracture (putus).






















Gambar 14. Keretakan Lentur pada Daerah Gambar 15. Keretakan Lentur pada
di Luar Sambungan Benda Uji 1 Daerah Sambungan
Benda Uji 1

Benda uji 2 mengalami keretakan pertama kali di daerah muka kolom (Gambar 16),
pada saat beban lateral mencapai 21,46 kN atau setara dengan peralihan lateral 2,66
mm (drift 0.18%). Pada saat beban lateral mencapai 38,5 kN atau setara dengan
peralihan lateral 5,16 mm (drift 0,35%), keretakan terjadi di luar daerah sambungan
(Gambar 17). Ketika beban ditingkatkan, keretakan-keretakan baru terbentuk di luar
daerah sambungan, pada lokasi berjarak sekitar 150 mm dari lokasi retak lentur
sebelumnya (Gambar 18). Keretakan lentur terjadi pada daerah sambungan ketika
beban lateral mencapai 130,09 kN atau setara dengan peralihan lateral 59 mm (drift 4%)
(Gambar 19).







Seminar dan Pameran HAKI 2009 10












Gambar 16 Keretakan Pertama pada Daerah Muka Kolom Benda Uji 2


Gambar 17 Keretakan Lentur pada Daerah Luar Sambungan Benda Uji 2


Gambar 18 Keretakan Lentur Terjadi pada Jarak 15 cm dari Keretakan Pertama Benda
Uji 2

Seminar dan Pameran HAKI 2009 11

Gambar 19 Keretakan Lentur Pertama pada Daerah Sambungan

Berdasarkan Gambar 14 dan Gambar 18, terlihat bahwa kedua benda uji mengalami
pergeseran daerah sendi plastis. Sendi plastis pada kedua benda uji terlihat terjadi di
luar daerah daerah sambungan sleeves.

Kurva histeresis kedua benda uji (Gambar 20) memperlihatkan bahwa benda uji memiliki
perilaku yang baik pada saat menerima beban lateral. Hal ini ditunjukkan dengan kurva
histeresis yang gemuk serta tidak mengalami degradasi kekuatan dan kekakuan yang
berlebihan.

Kurva Histeresis Benda Uji 1
-150
-100
-50
0
50
100
150
-8,00% -6,00% -4,00% -2,00% 0,00% 2,00% 4,00% 6,00% 8,00%
Drift (%)
B
e
b
a
n
(
k
N
)

Kurva Histeresis Benda Uji 2
-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
-8,00% -6,00% -4,00% -2,00% 0,00% 2,00% 4,00% 6,00% 8,00%
Drift (%)
B
e
b
a
n
(
k
N
)

Gambar 20. Kurva Histeresis Benda Uji

4.4.1 Degradasi Kekakuan

Kekakuan awal dapat didefinisikan sebagai besarnya kekakuan benda uji sebelum
bedan uji tersebut mengalami keretakan. Besarnya nilai kekakuan awal pada program
eksperimental ini adalah sebesar 3,598 kN/mm untuk benda uji 1 dan sebesar 10,600
kN/mm untuk benda uji 2.

Nilai degradasi kekakuan kedua benda uji disimpulkan pada Gambar 21 dan Gambar 22.
Seminar dan Pameran HAKI 2009 12
Degradasi Kekakuan
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Jumlah Siklus
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

D
e
g
r
a
d
a
s
i

K
e
k
a
k
u
a
n
Benda Uji 1 Benda Uji 2

Degradasi Kekakuan
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07
Drift (%)
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

D
e
g
r
a
d
a
s
i

K
e
k
a
k
u
a
n
Benda Uji 1 Benda Uji 2

Gambar 21. Kurva Degradasi Kekakuan Gambar 22. Kurva Degradasi Kekakuan
per Siklus Beban per Drift

4.4.2 Rasio Disipasi Energi Relatif

RSNI membatasi bahwa pada level drift maksimum yang dicapai sebagai acuan
penerimaan test, nilai rasio energi disipasi relatif harus lebih besar daripada 1/8
(4)
.

Tabel 4. Rasio Disipasi Relatif Benda Uji 1
Drift A
h
E
1
E
2

1

2

1'

2'
4,50% 5297,30 77,59 -84,94 64,98 -67,14 43,41 -43,53 0,37
5% 5607,47 76,78 -84,78 72,52 -77,02 51,18 -53,46 0,33


Tabel 5 Rasio Disipasi Relatif Benda Uji 2
Drift A
h
E
1
E
2

1

2

1'

2'
4,00% 7125,67 96,38 -129,88 58,82 -58,60 49,75 -46,38 0,33
5,00% 9685,96 97,71 -133,51 73,46 -74,04 64,27 -61,48 0,33
6,00% 12188,75 90,47 -139,19 88,92 -90,14 80,41 -77,04 0,34


Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 terlihat bahwa nilai disipasi relatif kedua benda uji
memenuhi persyaratan, yaitu lebih besar daripada 1/8.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan pada sambungan sleeves yang
menghubungkan elemen-elemen kolom pracetak dan analisis yang dilakukan dengan
asumsi sistem beton monolit, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedua benda uji memperilhatkan perilaku yang baik dan memenuhi persyaratan-
persyaratan kriteria penerimaan seperti yang disebutkan pada RSNI
(4)
, di mana
pada level drift maksimum yang harus dicapai sebagai penerimaan hasil tes, di
mana nilainya tidak boleh kurang dari 0,035, kedua benda uji memenuhi
karakteristik sebagai berikut :
a Kekakuan sekan yang lebih besar dari 0,05 kali kekakuan awal
Rasio kekakuan sekan terhadap kekakuan awal untuk benda uji 1 adalah
20% (drift 5%) dan untuk benda uji 2 adalah 11,97% (drift 6%).
b. Nilai rasio energi disipasi relatif yang lebih besar dari 1/8
Benda Uji 1 memiliki nilai 0,33 (drift 5%), sedangkan benda uji 2 memiliki nilai
0,34 (drift 6%).
2. Parameter-parameter yang menjadi persyaratan sebagai kriteria penerimaan pada
RSNI, seperti yang disebutkan di atas, merupakan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh sistem rangka pemikul momen khusus
(4)
. Persyaratan-persyaratan
tersebut dapat dipenuhi oleh kedua benda uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak tertutup kemungkinan bahwa sistem sambungan sleeves dapat digunakan
Seminar dan Pameran HAKI 2009 13
juga sebagai sistem sambungan kuat elemen kolom pracetak untuk sistem rangka
pemikul momen khusus, dengan ketentuan bahwa detailing elemen kolom pracetak
tersebut harus mengikuti persyaratan untuk sistem rangka pemikul momen khusus.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan, terdapat keretakan di daerah sambungan
pada saat drift 2,25% untuk benda uji 1 dan 4% untuk benda uji 2. Untuk
penggunaan sleeves sebagai sambungan kuat pada sistem rangka pemikul
momen khusus, ACI 318-08 mensyaratkan detailing yang lebih ketat, di mana
untuk mencegah terjadinya keretakan di daerah sambungan, tulangan longitudinal
tambahan harus dipasang di sepanjang daerah sambungan
(3)
.

6 DAFTAR PUSTAKA

1. Purwono,Rahmat, Tavio, Imran,Iswandi, dan Putu Raka,Gusti. Tata Cara
Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002 & S-
2002). Itspress. Surabaya, Indonesia. Maret 2007.
2. Bandar Standarisasi Nasional. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Bangunan Gedung. 2002.
3. ACI Committee 318. Building Code Requirements for Structural Concrete.
American Concrete Institute. Farmington Hills, MI, USA. January 2008.
4. Bandar Standarisasi Nasional Metode Uji dan Kriteria Penerimaan Sistem Rangka
Pemikul Momen Beton Bertulang Pracetak untuk Bangunan Gedung (RSNI
XXXX).
5. Task Group 7.4. Seismic Design of Precast Concrete Building Structures.
International Federation for Structural Concrete (fib). Laussanne, Switzerland.
2003.
6. Macgregor, James G. dan Wright,James K. Reinforced Concrete Mechanics and
Design. Prantice Hall, Inc. Singapore. 2005.
7. Englekirk, Robert E. Seismic Design of Reinforced and Precast Concrete
Building. John Wiley & Sons. 2003.
8. Park, R., Paulay, T. Reinfoced Concrete Structure. J.Wiley and Sons. Singapore.
1975.
9. Paulay, T. (1989). Equilibrium Criteria for Reinforced Concrete Beam-Coloumn
Joints, ACI Structural Journal, 86(6), 635-643.

You might also like