You are on page 1of 47

PEMERIKSAAN FISIK TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK

KAMAR PERIKSA THT

Kamar periksa THT memerlukan sebuah meja alat yang berisi alat-alat THT ( THT set, dengan lampu kepala yang arah sinarnya dapat disesuaikan dengan posisi organ yang akan diperiksa. serta suction ) serta obat-obatan dalam botol yang diperlukan untuk pemeriksaan. Di samping meja alat harus disiapkan kursi yang dapat diputar, ditinggikan serta dapat direbahkan sebagai tempat berbaring untuk pasien sesuai dengan posisi yang diinginkan pada pemeriksaan dan kursi dokter yang juga dapat berputar yang diletakkan saling berhadapan. Jika kursi pasien seperti itu tidak ada sebaiknya selain dari kursi pasien, disediakan juga sebuah tempat tidur.

ALAT-ALAT PEMERIKSAAN THT

ALAT-ALAT PEMERIKSAAN TELINGA

- Lampu kepala - Suction, dengan tip suction segala ukuran - Corong telinga - Otoskop - Aplikator (alat pelilit) kapas - Pengait serumen - Pinset telinga - Nierbekken - Spuit irigasi telinga - Garpu tala 1 set(128Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz)

Obat-obatan yang diperlukan untuk pemeriksaan - Alkohol 70% - Larutan rivanol - Merkurokrom atau betadine - Salep kloramfenikol, salep kortikosteroid

Lain lain - Kapas - Tampon telinga - Tissue - Lampu spiritus/ korek api

ALAT-ALAT PEMERIKSAAN HIDUNG

- spekulum hidung - kaca tenggorok no 2-4

- pinset bayonet - alat pengisap - alat pengait benda asing hidung - spatula lidah

Obat-obatan yang diperlukan : - adrenalin 1/10.000 - pantokain 2% atau xilokain 4% - salep antibiotika atau vaselin dan kapas - Alkohol 70% - Amonia.

Lain lain - Tampon - Kapas - Lampu spiritus/ korek api

ALAT-ALAT PEMERIKSAAN TENGGOROK

- spatula lidah - kaca tenggorok no 5-8 - kassa - kapas - Nierbekken - Tissue - Lampu spiritus

TEKNIK PEMERIKSAAN Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri

Pemeriksa menerangkan pemeriksaan yang akan dilakukan

Pemeriksa mengatur: Posisi pasien : - Pasien dewasa duduk berhadapan dengan pemeriksa lutut bersisian. - Mulai pemeriksaan dari yang tidak sakit. - Pasien anak dipangku dengan posisi yang sama dengan ibu - Pasien bayi ditidurkan di pangkuan (paha) orang tua

Mengucapkan terimakasih pada pasien/ op

TEKNIK PEMERIKSAAN TELINGA

Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani.

Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak mengganggu pergerakan, kira kira 20-30 cm di depan dada pemeriksa dengan sudut kira kira 60 derajat, lingkaran focus dari lampu, diameter 2-3 cm. Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas belakang , dan tragus ditarik ke depan. Pada anak, daun telinga ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga dan membran timpani akan tampak lebih jelas. Liang telinga dikatakan lapang apabila pada pemeriksaan dengan lampu kepala tampak membran timpani secara keseluruhan( pinggir dan reflex cahaya) Seringkali terdapat banyak rambut di liang telinga,atau liang telinga sempit( tak tampak keseluruhan membran timpani) sehingga perlu dipakai corong telinga. Pada anak oleh karena liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong telinga. Kalau ada serumen, bersihkan dengan cara ekstraksi apabila serumen padat, irigasi apabila tidak terdapat komplikasi irigasi atau di suction bila serumen cair. Untuk pemeriksaan detail membran timpani spt perforasi, hiperemis atau bulging dan retraksi, dipergunakan otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Untuk melihat gerakan membran timpani digunakan otoskop pneumatic.

DAUN TELINGA Diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan. Daun telinga ditarik, untuk menentukan nyeri tarik dan menekan tragus untuk menentukan nyeri tekan.

DAERAH MASTOID Adakah abses atau fistel di belakang telinga. Mastoid diperkusi untuk menentukan nyeri ketok.

LIANG TELINGA Lapang atau sempit, dindingnya adakah edema, hiperemis atau ada furunkel. Perhatikan adanya polip atau jaringan granulasi, tentukan dari mana asalnya. Apakah ada serumen atau sekret.

MEMBRAN TIMPANI Nilai warna, reflek cahaya, perforasi dan tipenya dan gerakannya. Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara. Refleks cahaya normal berbentuk kerucut, warna seperti air raksa

Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila terdapat retraksi membrane timpani ke arah dalam.

Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya berbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya langsung berhubungan dengan sulkus timpanikus) Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini.

PEMERIKSAAN HIDUNG, NASOFARING DAN SINUS PARANASAL

HIDUNG LUAR Bentuk hidung luar diperhatikan apakah ada deformitas atau depresi tulang hidung. Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.

RINOSKOPI ANTERIOR

Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri (right handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi. Tangan kanan untuk mengatur

posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan : Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan) , adanya sekret, lokasi serta asal sekret tersebut. Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi. Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina. Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka inferior kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid. Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya. Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan.

RINOSKOPI POSTERIOR Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini dipanaskan dulu dengan lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca tidak menjadi kabur oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu pada punggung tangan pemeriksa apakah tidak terlalu panas. Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien diminta bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu kepala diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan : - septum nasi bagian belakang - nares posterior (koana) - sekret di dinding belakang faring (post nasal drip) - dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka superior, konka media dan konka inferior.

- Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan muara tuba, torus tubarius dan fossa rossen muller.

TES PENCIUMAN SEDERHANA

Tes Alkohol

Bahan dan Alat: 1. Alcohol prep pad (standard 70% isopropyl alcohol pad) 2. Penggaris

Prosedur: 1. Tes dilakukan pada ruangan tertutup yang bebas dari pengharum ruangan, AC atau kipas angin 2. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan 3. Alcohol pad dibuka dan pasien diminta untuk mengenali bau 4. Pasien diminta untuk menutup kedua mata dan pad secara perlahan dinaikkan dari posisi setinggi umbilikus hingga hidung dengan inhalasi normal 5. Dihitung jarak (dalam cm) dari pertama kali terdeteksi alcohol pad sampai hidung

Interpretasi: 1. Normosmia : terdeteksi pada jarak > 10 cm 2. Hiposmia : terdeteksi pada jarak 5-10 cm 3. Hiposmia berat : terdeteksi pada jarak < 5 cm

4. Anosmia : tidak terdeteksi sama sekali

NB: Bila didapatkan hasil anosmia, pemeriksaan dikonfirmasi dengan tes ammonia untuk menentukan apakah pasien benar-benar anosmia atau pura-pura.

Tes Ammonia

Bahan dan Alat: 1. Ammonia

Prosedur: 1. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan 2. Ammonia secara cepat ditempatkan di depan hidung 3. Dinilai apakah pasien merasakan efek menyengat dan stimulus lakrimal atau tidak

Interpretasi: 1. Anosmia murni : terdapat efek menyengat dan stimulus lakrimal 2. Anosmia malingering : menyangkal adanya efek menyengat dan stimulasi lakrimal

PEMERIKSAAN MULUT DAN FARING( OROFARING ) Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan : 1. Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak dan gerakan arkus faring. 2. Tonsil : besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas

Ukuran tonsil - To Tonsil sudah diangkat - T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris - T2 Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis para Median - T3 Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median( pertengahan uvula) -T4 Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor 3. Mulut :bibir, bukal, palatum, gusi dan gigi geligi 4. Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput 5. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.

6. Palpasi kelenjar liur mayor (parotis dan mandibula)

PEMERIKSAAN HIPOFARING DAN LARING

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah pasien dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa( dengan jari tengah dibawah dan jempol diatas lidah di pegang, telunjuk di bawah hidung, jari manis dan kelingking di bawah dagu). Pasien diminta bernafas melalui mulut denggan tenang. Kaca tenggorok no 9 yang telah dihangatkan dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil, diarahkan ke bawah, dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di muka uvula. Diperhatikan : - Epiglotis yang berberbentuk omega - Aritenoid berupa tonjolan 2 buah - Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan Epiglottis - Rima glotis - Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor. - Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan abduksi pada waktu inspirasi, tumor dan lain-lain - Valekula : adakah benda asing - Sinus piriformis : apakah banyak sekret

PEMERIKSAAN LEHER DAN KELENJAR LIMFA LEHER

Pemeriksaan kel tiroid, kista tiroid Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba dengan kedua belah tangan seluruh daerah leher dari atas ke bawah. Bila terdapat pembesaran kelenjar limfa, tentukan ukuran, bentuk, konsistensi, perlekatan dengan jaringan sekitarnya.

PEMERIKSAAN GARPU TALA (PENALA)

Manfaat : mengetahui jenis ketulian Prosedur : cara menggetarkan dan penempatan garpu tala Jenis tes : Rinne, Weber, Schwabach

Interprestasi

Cara Menggetarkan Garpu Tala Arah getaran kedua kaki garpu tala searah dengan kedua kaki garpu tala Getarkan kedua kaki garpu tala dengan jari telunjuk dan ibu jari( kuku)

Posisi / Letak Garpu Tala Penting : Telinga tidak tertutup, kaca mata, giwang dilepas Hantaran udara (AC) : arah kedua kaki garpu tala sejajar dengan arah liang Telinga kira kira 2,5 cm. Hantaran tulang (BC) : pada prosesus mastoid, tidak boleh menyinggung daun telinga Tes RINNE Prinsip : Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Setelah tidak terdengar, garpu tala dipindahkan dan dipegang kira-kira 2,5 cm di depan liang telinga yang di periksa Masih terdengar : Rinne (+), tidak terdengar : Rinne (-)

Tes WEBER Prinsip tes Weber : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan penderita Garpu tala digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus atas kemudian tentukan bunyi terdengar di mana ? - sama keras di kedua telinga - terdengar lebih keras di salah satu telinga Penilaiannya ada atau tidak ada lateralisasi Interpretasi - Lateralisasi ke telinga sakit ( tuli konduktif yang sakit) - Lateralisasi ke telinga sehat ( tulisaraf yang sakit)

Tes Schwabach Prinsip : Membandingkan hantaran tulang yang diperiksa dengan pemeriksa, dimana pemeriksa harus normal Garputala digetarkan, di letakkan di prosesus mastoid yang diperiksa, setelah tidak terdengar bunyi garputala dipindahkan ke prosesus mastoid pemeriksa dan sebaliknya.

Interprestasi : - Schwabach memanjang gangguan konduksi - Schwabach memendek gangguan sensorineural - Schwabach sama Normal

BUKU SAKU PEMERIKSAAN FISIK THT-KL

UNTUK SENIOR CLERKSHIP

DISUSUN OLEH STAF PENGAJAR THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND PADANG 2009

BUKU SAKU PEMERIKSAAN FISIK THT-KL

UNTUK SENIOR CLERKSHIP

DISUSUN OLEH

STAFF PENGAJAR FK.UNAND

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

BUKU SAKU PEMERIKSAAN FISIK THT-KL

UNTUK SENIOR CLERKSHIP

Yan Edward,Sp.THT-KL ( Otologi) Bestari.JB, Sp.THT-KL ( Rinologi) M.Abduh.F,Sp.HT-KL ( Onkologi) Novialdi.N,Sp.THT-KL ( Laring-Faring) Effy Huriyati,Sp.THT-KL ( Alergi-Immunologi)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal


29DEC
Cara Memeriksa Hidung & Sinus Paranasalis Oleh : Muhammad al-Fatih II Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan sinus paranasalis, yaitu :

Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi. Rinoskopia anterior. Rinoskopia posterior. Transiluminasi (diaphanoscopia). X-photo rontgen.

Pungsi percobaan. Biopsi.

Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, & sitologi. 1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

Kerangka dorsum nasi (batang hidung). Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial. Bibir atas.

Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

Lorgnet pada abses septum nasi. Saddle nose pada lues. Miring pada fraktur. Lebar pada polip nasi. Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat tersebut.

Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

Dorsum nasi (batang hidung). Ala nasi. Regio frontalis sinus frontalis. Fossa kanina. Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis.

Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara pertama diatas. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis. Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syaratsyarat palpasi. 2. Rinoskopia Anterior Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :

Cermin rinoskopi posterior. Pipa penghisap. Aplikator. Pinset (angulair) dan bayonet (lucae). Spekulum hidung Hartmann. Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan.

Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar. Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu :

Pemeriksaan vestibulum nasi. Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah. Fenomena palatum mole.

Pemeriksaan kavum nasi bagian atas. Pemeriksaan septum nasi. Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior

Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :

Posisi septum nasi. Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah. Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak. Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien dengan menggunakan ibu jari.

Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior. Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi. Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden. Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Bawah pada Rinoskopia Anterior Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan konka nasi media. Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah, yaitu :

Warna mukosa dan konka nasi inferior. Besar lumen lubang hidung. Lantai lubang hidung. Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina. Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan iii.

Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring. Setelah pasien mengucapkan iii, palatum mole akan kembali bergerak ke bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang kembali. Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien mengucapkan iii dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap terang benderang. Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu :

Paralisis palatum mole pada post difteri. Spasme palatum mole pada abses peritonsil. hipertrofi adenoid Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid. Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas pasien. Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian atas, yaitu :

Kaput konka nasi media. Meatus nasi medius : pus dan polip. Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi. Fissura olfaktorius. Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan sampai menekan konka nasi media pasien.

Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S. 3. Rinoskopia Posterior

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring. Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu : Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya. Harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi nasofaring. Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung. Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil. Spatula. Lampu spritus. Solusio tetrakain (- efedrin 1%). Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan. Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung. Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala. Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu 5 menit. Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu : Tahap 1 : pemeriksaan tuba kanan. Tahap 2 : pemeriksaan tuba kiri. Tahap 3 : pemeriksaan atap nasofaring. Tahap 4 : pemeriksaan kauda konka nasi inferior. Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan

Posisi awal cermin berada di paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba. Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan. Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring Kembali kita putar tangkai cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan. Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior Kita memeriksa kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul). Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu : Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC). Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma. Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu : Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula. Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah. Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin. Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh pemeriksa.

Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah. Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien. Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring. Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya. Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah. Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita. Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini. 4. Transiluminasi (Diaphanoscopia) Entah mengapa cara pemeriksaan sinus paranasalis terutama sinus frontalis dan sinus maksilaris ini belum pernah saya saksikan sendiri. Penuturan dari teman-teman dan para pembimbing juga belum pernah saya dengar. Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).

Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda. Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang. Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris, yaitu : Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang. Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit. Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka. 5. X-Photo Rontgen Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak. 6. Pungsi Percobaan Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris. 7. Biopsi Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.

Daftar Pustaka Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000

CHAPTER 1 Head and Neck History and Physical Examination A. Review of Systems B. Physical Examination 1. Examination of the Skin 2. Examination of the Ears a. Weber Test b. Rinne Test c. Audiometry d. Other Tests of Hearing e. Anatomy of the Ear and Mechanism of Hearing f. Physical Examination of the Ear 3. Examination of the Nose 4. Examination of the Throat (Oral Cavity, Oropharynx, Larynx, and Neck) The head and neck examination is complex. It is best learned by demonstration and practice under the guidance of an experienced clinician. REVIEW OF SYSTEMS The following is a basic review of systems. Any positive findings should be further investigated.

SKIN: Do you have any skin tumors, sores, or black pigmented moles? EYES: Do you have any problems with your eyes? Any problems seeing? Do you wear glasses? Do you have any eye pain or infection? Do your eyes dry out or tear? Do your eyes itch? EARS: Do you have or have you ever had any decrease in hearing? Do you have ringing in your ears? Have you ever had ear infections, drainage, or surgery? Do you have any ear pain? Do you have any trouble with balance or dizziness?

NOSE: Do you have any trouble breathing through your nose? Do you ever have bleeding or clear or cloudy drainage from your nose? Have you any problems smelling or tasting foods? Any problems with sinus infections or an itchy nose or sneezing or allergic rhinitis? Do you have any post nasal drip? MOUTH: Do you have any problems in your mouth, such as sores, tooth infections, sore throats, or unusual pain? Have you had your tonsils and/or adenoids removed? THROAT: Do you have any problems swallowing? Any trouble breathing, speaking, or coughing? Have you experienced any voice changes? Any lumps or pains in your neck? Do you have a history of irradiation to your neck or throat? Do you have gastroesophageal reflux disease (GERD) or heartburn? Do you have any problems with your thyroid gland? SLEEP: Do you snore? Do you ever wake up gasping for air? Has anyone told you that you stop breathing during sleep? Are you sleepy during the day?

PHYSICAL EXAMINATION Examination of the Skin The skin should be inspected and the scalp palpated for sores or tumors. Basal cell and epidermoid tumors are looked for, as are pigmented lesions suspicious for melanoma.

Examination of the Ears Weber Test Hearing is tested with a 256-cycles-per-second (cps) or a 512-cps tuning fork. A 128cps tuning fork measures vibration; it does not test hearing as well. The Weber test places the tuning fork in the center of the forehead and the physician asks the patient where he or she hears it (Fig. 1.1). Is it louder on one side than on the other or is it loudest in the center? With a normal Weber test, the sound is heard loudest in the center or it is heard equally in both ears.

Figure 1.1. The Weber Test. A 256-cps or 512-cps tuning fork is placed on the forehead and the patient is asked, Where do you hear that? Do you hear the noise in the center of your head or is it louder on one side or the other?" The patient may respond, I hear it right up in front in the center of my forehead. With an abnormal Weber test, the sound lateralizes; that is, it is heard louder in one ear. A lateralizing Weber test response is obvious to both patient and physician, but a midline Weber test response can be vague. The patient may not be certain exactly where he or she hears the sound, and it may be necessary to repeat the test several times. A Weber test will lateralize toward an ear with a middle ear conductive hearing loss. To understand this better, place a vibrating tuning fork on your own forehead. Move it to the right and to the left. Note how the sound also moves. Now create a conductive hearing loss by occluding your left external auditory canal with your finger. The sound now lateralizes to your left ear, no matter where on your forehead you place the tuning fork. With a sensorineural hearing loss -- that is, one affecting the cochlea, the acoustic nerve, or, rarely, the brain -- the Weber lateralizes away

from the affected ear. If the sensorineural hearing loss is symmetrical, as is found with presbycusis, the hearing loss from aging, the Weber will be midline.

Rinne Test Sound transmitted through an external ear traverses the middle ear and is perceived by the cochlea (inner ear). Sound can be transmitted directly to the cochlea, skipping the external and middle ear, by placing the vibrating tuning fork on the mastoid bone directly behind the ear. This is the basis for the Rinne hearing test. To perform this test, a 256-cps or 512-cps vibrating tuning fork is placed on the mastoid bone and then moved next to the external ear. The patient indicates at which of the two sites the sound is louder (Fig. 1.2). Normally, air conduction (AC) is greater than bone conduction (BC), a relationship written as Rinne AC > BC.

Figure 1.2. The Rinne Test. A 256-cps or 512-cps tuning fork is placed first on the mastoid bone (A) and then over the ear canal (B). The patient is asked, Where is the sound louder: behind your ear or in your ear? The patient should both hear and feel the vibration in A, and the sound should be louder in B. If the bone conduction is greater, this implies that there is a conductive hearing deficit; that is, sound is not conducted through the external or the middle ear. Again, you can perform this test on yourself after creating a conductive hearing loss by occluding your left external auditory canal with your finger. Gross hearing can be tested by having the patient listen for the sound of two fingers rubbing together or whispering in the ear or, optimally, by having the patient affirm whether he or she can hear the 256- or 512-cps tuning fork at a very low volume.

Audiometry An audiogram is the best test for hearing. Air conduction is measured by placing earphones over both ears. Each ear is tested individually to determine its hearing threshold at 250, 500, 1000, 2000, 4000, 6000, and 8000 cps. Hearing is measured in decibels (dB), which is a logarithmic scale. Thresholds of hearing at 0 to 10 dB represent very good hearing; thresholds at 10 to 30 dB indicate a mild hearing loss; at 30 to 60 dB, there is a moderate hearing loss; at 60 to 90 dB, hearing loss is severe; and when the threshold is greater than 90 dB, the individual is essentially deaf. By convention, air conduction thresholds for the right ear are indicated on the audiogram by the symbol "O" and for the left ear by an "X." Sensorineural hearing measures cochlear, eighth cranial nerve, brain stem, and cerebral auditory function. Sensorineural hearing is measured by placing a bone-conducting vibrator on the mastoid bone behind the ear. The same sound frequencies (250-8000 cps) are measured. Bone conduction on the right is indicated by the symbol "[" and on the left by the symbol "]." If air and bone conduction coincide, the air conduction is also a measure of sensorineural hearing and the bone conduction results are not recorded. Air conduction can never be better than bone conduction (sensorineural hearing). If air conduction is normal, it is not necessary to test bone conduction; only the airconduction results are recorded. Some patients have no trouble hearing pure tones, but still have difficulty hearing others talk. This is measured on the audiogram as speech reception threshold (SRT) and is recorded as a single number in decibels. The patient's ability to discriminate different words is also measured as discrimination ability and is recorded as a percentage. Discrimination percentages from 80% to 100% are considered good, 60% to 80% are acceptable, and less than 60% is poor. Figure 1.3 shows a normal audiogram. Several variations and combinations of tuning fork and audiogram results can be found. Table 1.1 summarizes the Weber and the Rinne tuning fork tests found in clinical medicine. Tuning fork tests are not 100% reliable, but are a useful screening examination. They should correlate with the audiogram; if they do not, the tuning fork tests or the audiogram, or both, should be repeated until the results all appear consistent. The following five cases illustrate some potential tuning fork and audiogram results.

Figure 1.3. A standard audiogram report from a patient with normal hearing, good speech reception thresholds (SRT), and good word discrimination (Discrim). The sound levels are measured in decibels and recorded vertically. The different frequency sounds are recorded horizontally and measured in cycles per second (cps). The lower limits of normal hearing are indicated by the dashed line at about 25 dB.

A patient complains of decreased hearing in the left ear. The Weber test lateralizes to the left. Rinne test, BC > AC AS and AC > BC AD. (AS means auris sinister [left ear], AD means auris dexter [right ear], and AU means auris unitas [both ears]). The results suggest that the patient has a conductive hearing loss in the left ear (Fig. 1.4). The tuning fork tests and the audiogram demonstrate that this patient has a left ear conductive hearing loss. The SRT on the right is 5 dB, which is normal. On the left side the SRT is decreased to 20 dB, which is expected because of the left ear hearing loss. Discrimination in both ears, measured at 15 dB above the respective SRTs, is 96%, an excellent result. Another patient complains of decreased hearing. Both ears seem equally involved. The Weber test is midline and bone conduction is greater than air conduction in both ears, suggesting a bilateral

conductive hearing loss. The audiogram for this patient is shown in Figure 1.5. A third patient complains of decreased hearing in the left ear. The Weber test lateralizes to the right ear. The Rinne test shows AC > BC AU. This suggests a left sensorineural hearing loss. The audiogram for this patient is shown in Figure 1.6. The tuning fork tests and the audiogram demonstrate that this patient has a left inner ear hearing loss (sensorineural hearing loss). The SRT in the right ear is 5 dB. The SRT in the left ear is decreased to 30 dB. Discrimination in the right ear is 96% when measured at 15 dB louder than the SRT. Discrimination in the left ear is decreased; it is 50% when measured at 15 dB louder than the SRT and 65% when measured at 40 dB louder than the SRT.

Figure 1.4. Audiogram of person with conductive hearing loss in the left ear. SRT = speech reception threshold; Discrim. = word discrimination.

Figure 1.5. Audiogram of patient complaining of decreased hearing. SRT = speech reception threshold; Discrim. = word discrimination.

Figure 1.6. Audiogram of patient complaining of decreased hearing in left ear. SRT = speech reception threshold; Discrim. = word discrimination. A fourth patient complains of decreased hearing in both ears. The Weber test is midline, and the Rinne test shows AC > BC AU. This suggests a bilateral sensorineural hearing loss. The audiogram for this patient is shown in Figure 1.7. The audiogram confirms the tuning fork tests. The SRTs are elevated in both ears, which is to be expected with this hearing loss. The discrimination is normal. The last patient complains of decreased hearing in both ears. The Weber test is midline, and the Rinne test shows AC > BC AU. The audiogram reproduced in Figure 1.8 shows a moderate sensorineural hearing loss. Poor discrimination is noted. The patient hears pure tones satisfactorily, but cannot discriminate words. The ultimate effect is that the individual does not perceive language.

Figure 1.7. Audiogram of a patient with decreased hearing in both ears. SRT = speech reception threshold; Discrim. = word discrimination.

Figure 1.8. Audiogram of a patient with decreased hearing in both ears. SRT = speech reception threshold; Discrim. = word discrimination.

Other Tests of Hearing When patients have mixed hearing losses -- that is, conductive and sensorineural -tuning fork test results can be confusing. An audiogram will be necessary to determine the nature of these hearing losses. Additional tests are available and compliment the audiogram. Tympanometry measures the sound transmitted by the tympanic membrane at different middle ear pressures. It is useful for distinguishing different causes of conductive hearing losses and for measuring middle ear pressures. It also identifies the presence or absence of the stapedial reflex, which is a seventh cranial nerve function. Brain stem-evoked-response audiometry (BERA) measures nerve potentials from the eighth cranial nerve and from the brain stem. It is useful for testing hearing in infants and for detecting cerebellopontine angle tumors. Brain stem-evokedresponse audiometry is an important addition to the neurotologic evaluation. This

method does not require subjective patient responses, as does standard pure tone audiometry. It is useful in localizing retrocochlear causes of sensorineural hearing loss. Figure 1.9 shows a normal tracing and correlates the different waves with their presumed respective anatomic origins. Both the waveforms and their respective latencies are important. The electronystagmogram is useful in measuring vestibular function.

Anatomy of the Ear and Mechanism of Hearing The anatomy of the ear should be known to all who deal with hearing disorders, but basic structures are reviewed here so that all will use the same terminology (see Fig. 1.10). The external ear canal is supported by cartilage laterally and by bone medially. Hairs and cerumen glands are present in the lateral third of the ear canal. The tympanic membrane, which lies at the medial end of this "sound tunnel," is very thin and supported about its circumference by a bony annulus. In this center, the tympanic membrane is attached firmly to the malleus. The middle ear is a small cavity connected with the nasopharynx through the Eustachian tube. It is continuous with the mastoid air cells behind the ear. The middle ear contains three small ear bones: the malleus, the incus, and the stapes. Sound transmitted through the external auditory canal causes the tympanic membrane to vibrate. This vibration is transmitted through and amplified 20 times by the middle ear (tympanic membrane, malleus, incus, and stapes). Sound enters the inner ear through the oval window. The sound is then perceived by the hair cells in the inner ear (cochlea) and is transmitted to the brain by the eighth cranial nerve. The round window is connected to the cochlea and is responsible for equalizing inner ear pressure. The vestibular system, containing the semicircular canals, is responsible for balance. It is intimately connected to the cochlea. The signals of the vestibular system to the brain are also carried by the eighth cranial nerve. The facial nerve runs through the inner ear, middle ear, and mastoid. The carotid artery, sigmoid sinus, and jugular bulb also course through the temporal bone.

Figure 1.9. Anatomic correlation of audiometric brainstem-evoked-response potentials. (Used with permission of Dr. Jeffrey P. Harris.)

Physical Examination of the Ear Physical examination of the ear is difficult. While the auricle and the lateral external ear canal are easily seen, visualization of the medial external ear canal and tympanic membrane requires an otoscope. The normal tympanic membrane is translucent and gray in color, and may have vascular streaks along the malleus.

Figure 1.10. Anatomy of the Ear If the tympanic membrane is inflamed, as in otitis media, it thickens and loses its transparency. As it becomes increasingly inflamed, it becomes erythematous. The normal tympanic membrane lies in a neutral position. In otitis media, the middle ear contains a purulent exudate under pressure which bulges the drum laterally. In serous otitis media, conversely, the middle ear has a decreased pressure and the drum is retracted medially. Drum position is difficult to determine with monocular vision. Incidentally, the presence of a light reflex has no meaning except to let you know you remembered to turn on the light on your otoscope. Pneumomassage will help in evaluation of middle ear pressure. The otoscope speculum is placed so it gently seals the external ear canal. When the bulb on the otoscope is gently squeezed, the drum should visibly move away (medially) and then back (laterally). This is called normal movement to pneumomassage. If the drum is already retracted medially, it will not move when the bulb is squeezed. When the bulb is released, a negative pressure is created, and the drum moves laterally for an instant and then quickly back to its retracted position. This is called reverse movement to pneumomassage and is diagnostic of negative middle ear pressure. If the drum is under pressure and bulging laterally, it will not move at all to pneumomassage. Figure 1.11 illustrates these situations.

Figure 1.11. Pneumomassage. A great deal can be learned about the middle ear by applying pressure to the tympanic membrane, a procedure called pneumomassage. If it is done correctly, three different responses can be seen as depicted here. A severe negative pressure can pull the eardrum medially, and it too may exhibit no movement on pneumomassage. If a perforation is seen, its position and size should be noted. It is best to draw a picture of the drum and the perforation. It should be noted if the perforation extends to the margin or annulus of the drum (marginal perforation). Perforation that does not extend to the margin is called a central perforation. Figure 1.12 illustrates the most common perforations.

Figure 1.12. Tympanic membrane perforations. If a tympanic membrane perforation is seen, you should draw a simple picture, estimate its size (in percentage), and indicate whether it is marginal or central.

Examination of the Nose If the external nose is deformed, it should be indicated; if not, it need not be mentioned. The interior of the nose should be examined either with a nasal speculum or otoscope speculum. If a speculum is used for the nose, it should be disposable or carefully washed with soap and water, alcohol, or other disinfectant between patients.

The septum and the middle and inferior turbinates should be visible. The mucosal color must be examined; infection or irritation turns the mucosa red (erythema). Allergy swells the mucosa and it appears pale or bluish in color. Polyps or tumors must be looked for deep in the nose. Today, the nasal cavity is best examined with a flexible or rigid endoscope. The flexible scopes are easier to use and provide a view of the larynx, as well.

Examination of the Throat (Oral Cavity, Oropharynx, Larynx, and Neck) The nasopharynx can only be examined with special endoscopic instruments or a headlight and a mirror. This normally is not part of a routine physical examination except when performed by a head and neck surgeon. The oral cavity is examined by inspection and palpation. The mucosal surfaces and the patient's teeth are examined. The tonsils, the palate, and the pharynx must be visually examined. Palpate the palate, the cheeks, the tongue, the floor of the mouth, and the lips. If a pathologic condition exists in the posterior pharynx or nasopharynx, it should also be palpated. Check the uvula. An edematous uvula means the patient snores and may have sleep apnea. The larynx is examined with endoscopic instruments or with a mirror and headlight. Most physicians do not routinely examine the larynx, but the techniques can be learned from any head and neck surgeon. The neck is examined by palpating the pertinent structures in a routine systematic fashion. The posterior triangles are palpated while standing in front of the patient. The anterior triangles are palpated while standing behind the patient, beginning with the submental area. The submandibular gland can be located high under the mandible or can be ptotic, that is, hanging down lower in the neck. The hyoid, thyroid, and cricoid cartilages are palpated, followed by the internal jugular lymph node chain and finally the thyroid gland. The posterior cervical triangle is palpated, feeling for lymph nodes and abnormal masses. The area over the carotids is auscultated for bruits. As stated at the start of this chapter, the examination is complex. Guidance and practice are needed to achieve competence.

You might also like