Professional Documents
Culture Documents
TIt WtItIt Wtt tTtMt. t TIt WtItIt Wtt tTtMt. t TIt WtItIt Wtt tTtMt. t TIt WtItIt Wtt tTtMt. t
STIA LAN DANDUNC
1999 2000
{Introduction to Public Policy)
Public Choice / Public Demand
G
o
v
e
r
n
m
e
n
t
C
o
m
p
e
t
e
n
c
y
Public
Policy
Civil
Society
Chaos
Empowering
People
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
1
PENGERTIAN KEBIJAKAN
PBB (1975) : pedoman untuk bertindak. Pedoman itu dapat
sederhana atau kompleks, umum atau khusus, luas
atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, publik atau privat, kualitatif atau
kuantitatif.
JAMES E. ANDERSON (1978) : perilaku dari aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian
aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
EULAU DAN PREWITT
A STANDING DECISION
CHARACTERIZED BY BEHAVIORAL
CONSISTENCY AND
REPETITIVENESS ON THE PART OF
BOTH THOSE WHO MAKE IT AND
THOSE WHO ABIDE IT
(KEPUTUSAN TETAP YANG
DICIRIKAN OLEH KONSISTENSI DAN
PENGULANGAN TINGKAH LAKU
DARI MEREKA YANG MEMBUAT
DAN DARI MEREKA YANG
MEMATUHI KEPUTUSAN TERSEBUT
MIRIAM BUDIARJO
KEGIATAN DALAM NEGARA YANG MENYANGKUT
PROSES MENENTUKAN SUATU TUJUAN, DAN
MELAKSANAKAN TUJUAN ITU.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGENAI TUJUAN
DARI SISTEM POLITIK ITU MENYANGKUT SELEKSI
ANTARA BEBERAPA ALTERNATIF DAN
PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS.
UNTUK MELAKSANAKAN TUJUAN ITU PERLU
DITENTUKAN KEBIJAKSANAAN UMUM (PUBLIC
POLICY) YANG MENYANGKUT PEMBAGIAN
(DISTRIBUTION) ATAU ALOKASI (ALLOCATION).
POLICY POLITICS
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
2
PENGERT!AN KEB!JAKAN PUBL!K
(PUBLIC POLICY)
THOMAS R. DYE
PuIc oc s uIutcuc tIc goucnncnt cIoosc to do o
not to do (aaun iliIan cncriniaI uniul nclalulan
aiau iidal nclalulan scsuaiu}.
JAMES E. ANDERSON
PuIc occs uc tIosc occs dcucocd I goucnncnt
Iodcs und ocus (lclijalsaan yang dilcnlanglan
olcI ladan-ladan dan cjalai-cjalai cncriniaI}.
DAVID EASTON
TIc uutIotutuc uocuton o uuucs o tIc uIoc socct
(cngalolasian nilai-nilai sccara saI lcada scluruI
anggoia nasyaralai}.
Dibuat oleh pemerintah berupa tindakan pemerintah
Mempunyai tujuan tertentu
Ditujukan untuk kepentingan masyarakat
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
3
10 Pengertian Kebijakan
HOGWOOD & GUNN
{dalam SUNGGONO, 1994 : 15-20)
Kebijakan sebagai merek bagi suatu bidang kegiatan tertentu (as a
label for a field activity)
Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau
keadaan tertentu yang dikehendaki (as an expression of general
purpose or desired state of affairs)
Kebijakan sebagai usulan-usulan khusus (as specific proposals)
Kebijakan sebagai keputusan pemerintah (as decision of
government)
Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal (as formal
authorization)
Kebijakan sebagai program (as programme)
Kebijakan sebagai keluaran (as output)
Kebijakan sebagai hasil akhir (as outcome)
Kebijakan sebagai suatu teori atau model (as a theory or model)
Kebijakan sebagai proses (as process).
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
4
Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk
kepada pengertian sebagai KEPUTUSAN PEMERINTAH dan
juga sebagai sebuah PROGRAM. Hal ini sesuai dengan
pendapat :
1. Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1988 : 20) yang
mengartikan kebijakan publik sebagai . what the
government say to do or not to do. It is the goals or purpose
of government programs.
2. Charles O. Jones (1996 : 49), yang mengartikan kebijakan
adalah unsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dari
program-program dan keputusan-keputusan.
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa
KEBIJAKAN PUBLIK MERUPAKAN KEPUTUSAN
(FORMAL) PEMERINTAH YANG BERISI
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN sebagai realisasi dari
fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan nasional.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
5
TINDAKAN YANG DIRENCANAKAN, BERPOLA DAN
SALING BERKAIT
DILAKUKAN OLEH PEJABAT PEMERINTAH
DALAM BIDANG TERTENTU
DAPAT BERBENTUK POSITIF MAUPUN NEGATIF
MENGARAH PADA TUJUAN TERTENTU
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
6
KEPUTUSAN DAN PROGRAN
HOGWOOD & GUNN
KESEJAHTERAAN NASYARAKAT
T U J U A N
STRUKTUR
JAMES ANDERSON
T!NDAKAN
THOMAS R. DYE
N!LA!
DAVID EASTON
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
7
JENIS-JENIS KEBIJAKAN PUBLIK
{James E. Anderson, 1970)
SUBTANTIVE AND PROCEDURAL POLICIES
Subtantive Policy
Kebijakan dilihat dari subtansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
Contoh : Kebijakan Pendidikan, Lingkungan Hidup.
Procedural Policy
Kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya
(policy stakeholders).
DISTRIBUTIVE, REDISTRIBUTIVE, AND
REGULATORY POLICIES
Distributive Policy
Kebijaksaan yang mengatur tentang pemberian pelayanan kepada
individu-individu atau kelompok perusahaan. Contoh : Tax Holiday
Redistributive Policy
Kebijaksaan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,
pemilikan, atau hak-hak. Contoh : pembebasan tanah untuk kepentingan
umum.
Regulatory Policy
Kebijakan yang mengatur tentang pembatasan / pelarangan terhadap
perbuatan / tindakan. Contoh : larangan memiliki dan menggunakan
senjata api.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
8
MATERIAL POLICY
Kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian /
penyediaan sumber material yang nyata bagi penerimanya.
Contoh : penyediaan rumah sederhana.
PUBLIC GOODS AND PRIVATE GOODS POLICIES
Public Goods Policy
Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang /
pelayanan untuk kepentingan orang banyak. Contoh :
perlindungan keamanan, pengadaan barang kebutuhan pokok.
Private Goods Policy
Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang /
pelayanan untuk kepentingan perorangan di pasar bebas,
dengan imbalan biaya tertentu. Contoh : pengadaan barang
untuk keperluan pribadi, misalnya tempat hiburan.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
9
TNGKATAN KEBJAKAN PUBK
1. Kebijakan Nasional
Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis
dalam pencapaian tujuan nasional.
Wewenang MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR.
Bentuk : UUD, TAP MPR, UU, PERPU
2. Kebijakan Umum
Kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU,
guna mencapai tujuan nasional
Wewenang Presiden
Bentuk : PP, KEPPRES, INPRES
3. Kebijakan Pelaksanaan
Penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan
tugas di bidang tertentu
Wewenang : menteri / pejabat setingkat menteri dan pimpinan
LPND
Bentuk : Peraturan, Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
10
1. Kebijakan Umum
Kebijakan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan asas
Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga
Daerah
Wewenang Kepala Daerah bersama DPRD
Bentuk : PERDA
2. Kebijakan Pelaksanaan
Wewenang : Kepala Daerah atau Kepala Wilayah
Bentuk : Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala
Daerah, atau Keputusan Kepala Wilayah dan Instruksi Kepala
Wilayah.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
11
Dalam kehidupan suatu organisasi, sering ditemui adanya perbedaan pendapat,
perbedaan kepentingan, perbedaan cara mencapai tujuan, maupun konflik antar
anggota organisasi yang bersangkutan. Disamping itu, dalam skala yang lebih
luas, organisasi tidak jarang menghadapi berbagai kondisi kurang
menguntungkan seperti : adanya hambatan dalam proses pelaksanaan kegiatan,
kebingungan dalam menentukan arah dan misinya, kegagalan merealisasikan
rencana yang telah disusun, kesalahan dalam mengantisipasi suatu fenomena,
dan sebagainya. Keseluruhan kondisi tersebut adalah contoh-contoh masalah
yang sering dihadapi oleh suatu organisasi, baik secara individual maupun
kolektif.
Adanya suatu permasalahan memang tidak bisa dihindari, namun yang jelas
bahwa masalah tersebut harus dihadapi dengan sikap-sikap positif dan tindakan
kreatif, sehingga tidak akan mengganggu jalannya organisasi. Sebab, suatu
masalah biasanya akan menjadi semacam kanker yang akan semakin
mengganas jika dibiarkan saja tanpa upaya pencegahan dan pengobatan. Oleh
karena itu, dalam rangka memecahkan timbulnya masalah, perlu dilakukan
suatu upaya strategis, yakni pengambilan keputusan.
KEPUTUSAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Keputusan dapat diartikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan dari suatu
proses pemikiran untuk menjawab suatu pertanyaan, khususnya mengenai
suatu masalah atau problema. Sedangkan pengambilan keputusan adalah proses
pendekatan yang sistematis terhadap suatu masalah, mulai dari identifikasi dan
perumusan masalah, pengumpulan dan penganalisaan data dan informasi,
pengembangan dan pemilihan alternatif, serta pelaksanaan tindakan yang
tujuannya untuk memperbaiki keadaan yang belum memuaskan. Dari
pengertian tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan bukanlah
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
12
merupakan kegiatan yang sepele atau mudah. Artinya, suatu keputusan
mestilah lahir dari suatu proses panjang yang rumit, dimana di dalamnya terjadi
diskusi-diskusi intensif, saling tukar pemikiran dan brain storming yang
mendalam dengan analisis-analisis yang tajam dan interdisipliner.
Adapun mengenai proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan,
secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama kali, proses pengambilan keputusan dipicu oleh adanya masalah yang
dihadapi dan perlu segera dipecahkan oleh suatu organisasi. Dari adanya
masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah menetapkan secara tepat apa
sesungguhnya masalah yang dihadapi. Untuk itu perlu dilakukan pengenalan,
identifikasi, diagnosis dan analisis terhadap masalah yang ada, yakni dengan
cara menguraikan unsur-unsur masalah yang dihadapi, kemudian
dikelompokkan kembali menurut corak dan sifatnya masing-masing, serta
memperkirakan faktor-faktor kunci penyebab masalah tersebut.
Untuk mendukung hal ini, perlu dilakukan pengumpulan data pendahuluan
yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Adalah suatu kegagalan besar
jika SDM suatu organisasi salah dalam mengenali, mengidentifikasi serta
mendiagnosis sesuatu yang diduga merupakan masalah, padahal masalah
sesungguhnya belum atau tidak tersentuh sama sekali.
Setelah dilakukan identifikasi dan diagnosis masalah, maka tahap selanjutnya
adalah pengembangan alternatif. Tahapan ini merupakan kegiatan analisa
dalam rangka menggali dan menemukan berbagai macam pilihan atau
alternatif, sehingga membutuhkan daya cipta yang besar disamping
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang masalah yang akan dipecahkan.
Pada tahap berikutnya, terhadap berbagai alternatif tadi diadakan evaluasi atau
penilaian. Dalam hal ini, evaluasi dilakukan atas dasar ramalan (forecasting)
mengenai konsekuensi setiap alternatif yang dapat diperkirakan akan timbul.
Dalam meramalkan setiap alternatif, biasanya digunakan pola berpikir sebab
akibat, misalnya : jika alternatif 1 yang dipilih akan menimbulkan konsekuensi
A, B dan seterusnya. Dengan kata lain, perlu diadakan pembandingan antar
alternatif, sebelum sampai kepada pemilihan salah satu alternatif yang dianggap
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
13
terbaik, serta mengandung cost yang jauh lebih rendah dibanding benefit yang
akan dihasilkan.
Adapun fase atau tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan adalah
implementasi keputusan, yaitu pelaksanaan dari alternatif yang dipilih, serta
pemantauan pelaksanaan sebagai dasar tindak lanjut bagi organisasi yang
bersangkutan. Dalam bentuk bagan, proses pengambilan keputusan dapat
digambarkan sebagai berikut (Dimodifikasi dari model yang ciptaan James
Stoner & Charles Wankel dalam bukunya Management, 1982 : 223). Namun
sebelumnya akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai Corak dan Jenis
Masalah.
CORAK DAN JENIS MASALAH
Sebagaimana diketahui, corak atau jenis masalah yang dihadapi oleh suatu
organisasi biasanya dapat dikelompokkan kedalam dua golongan, yaitu
masalah yang sederhana (simple problem) dan masalah yang rumit (complex
problem). Corak atau jenis masalah yang berbeda akan menyebabkan cara
pengambilan keputusan yang berbeda pula. Adapun pengertian masalah
sederhana adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri antara lain berskala kecil,
berdiri sendiri dalam arti kurang memiliki sangkut paut dengan masalah yang
lain, tidak mengandung konsekuensi yang besar, serta pemecahannya tidak
memerlukan pemikiran yang luas dan mendalam.
Terhadap masalah yang sederhana seperti ini, maka pengambilan keputusan
dalam rangka pemecahan masalah dilakukan secara individual oleh setiap
pimpinan. Teknik yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah sederhana
ini pada umumnya dilakukan atas dasar intuisi, pengalaman, kebiasaan dan
wewenang yang melekat pada jabatannya.
Sementara itu, masalah rumit adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri antara
lain berskala besar, tidak berdiri sendiri melainkan memiliki kaitan erat dengan
masalah-masalah lain, mengandung konsekuensi yang besar, serta
pemecahannya memerlukan pemikiran yang tajam dan analitis. Oleh
karenanya, pengambilan keputusan atas masalah kompleks ini dilakukan secara
kelompok yang melibatkan pimpinan dan segenap staf pembantunya. Masalah
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
14
rumit ini sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu masalah yang
terstruktur (structured problems), dan masalah yang tidak terstruktur
(unstructured problems).
Structured problems adalah masalah yang jelas faktor-faktor penyebabnya,
bersifat rutin dan dan biasanya timbul berulang kali sehingga pemecahannya
dapat dilakukan dengan teknik pengambilan keputusan yang bersifat rutin,
repetitif dan dibakukan. Sebagai contoh masalah terstruktur ini misalnya adalah
masalah penggajian, kepangkatan dan pembinaan pegawai, masalah perijinan,
dan sebagainya. Oleh karena sifatnya yang rutin dan baku, maka pengambilan
keputusan menjadi relatif lebih mudah atau cepat, dimana salah satu caranya
adalah dengan penyusunan metode / prosedur / program tetap atau
pembakuan-pembakuan lainnya.
Berbeda dengan masalah yang terstruktur, maka pada masalah yang tidak
terstruktur, proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan lebih lama.
Sebab, masalah yang tidak terstruktur ini merupakan penyimpangan dari
masalah organisasi yang bersifat umum, tidak rutin, tidak jelas faktor penyebab
dan konsekuensinya, serta tidak repetitif kasusnya. Oleh karenanya, diperlukan
teknik pengambilan keputusan yang bersifat non-programmed
decision-making.
Hal ini mensyaratkan bahwa sebelum di tetapkannya suatu keputusan, perlu
disediakan berbagai bahan tambahan atau informasi, baik yang tertuang dalam
peraturan perundangan maupun dalam berbagai sumber yang tersebar.
Selanjutnya terhadap bahan-bahan dilakukan analisis, penguraian dan
pertimbangan-pertimbangan khusus. Dalam kaitan ini, peranan diskusi
sangatlah besar, sebab keputusan yang diambil tidak bisa semata-mata
didasarkan kepada pengalaman, terlebih lagi adalah faktor-faktor spesifik yang
membentuk masalah tersebut.
Selidiki Situasi
Tentukan
Masalah
Identifikasi
Sasaran
Diagnosis
Penyebab
Analisis
Faktor
Keterkaitan
Kembangkan
Alternatif
Cari
alternatif
yang kreatif
Jangan
terburu-buru
mengevaluas
i
Evaluasi
Alternatif Dan
Pilih Yang
Terbaik
Evaluasi
alternatif
Pilih
alternatif
terbaik
Laksanakan
Keputusan &
Adakan Tindak
Lanjut
Rencanakan
pelaksanaan
Laksanakan
rencana
Pantau
pelaksanaan
KEPUTUSAN
Hasa|ah
Terpecahkan
Pertanyaan
Terjawab
K|nerja er|anjut
Prof|t er|anjut
MASALAH
?
Nanajer Perusahaan X"
Lakukan Proses Pengambilan Keputusan
CUNAKAN
TEKNK ANALSS
MANA]EMEN
0r, .. wral
Car l 0o ?
Pengantar Kebijakan Publik
TrI WIdodo WuIyu ULomo, SH
16
DEF!N!S! PUBL!C POL!CY NAK!NG
CHARLES LINDBLOM (1968) : proses politik yang sangat
kompleks, analitis, dan tidak mengenal saat dimulai
dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses tersebut
sangat tidak pasti.
RAYMOND BOUER : proses transformasi atau pengubahan input
politik menjadi output politik. Pandangan ini
sangat dipengaruhi oleh Teori Analisis Sistem David
Easton.
DON K. PRICE : proses yang melibatkan interaksi antara
kelompok ilmuwan, pemimpin organisasi
profesional, administrator dan para politisi.
AMITAI ETZIONI (1968) : proses penerjemahan oleh para aktor
politik mengenai komitmen masyarakat yang masih
kabur dan abstrak kedalam komitmen yang lebih
spesifik, kemudian menjadi tindakan dan tujuan
yang konkrit.
CHIEF JO. UDOJI (1981) : keseluruhan proses yang
menyangkut : pendefinisian masalah, perumusan
kemungkinan pemecahan masalah, penyaluran
tuntutan / aspirasi, pengesahan dan pelaksanaan /
implementasi, monitoring dan peninjauan kembali
(umpan balik)
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
17
PEP8EDAAM DECISIOM MAIIM0 DEM0AM PU8LIC
POLICY MAIIM0
DECISION MAKING PUBLIC POLICY MAKING
A Single Choice A COURSE OF ACTION
PENENTUAN PILIHAN DARI BERBAGAI
ALTERNATIF, MENGENAI SESUATU
HAL DAN SELESAI.
MELIPUTI BANYAK
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PEMILIHAN ALTERNATIF YANG
SEKALI DILAKUKAN LANGSUNG
SELESAI
PEMILIHAN ALTERNATIF YANG
TERUS-MENERUS DAN TIDAK
PERNAH SELESAI.
No Absolute Distinction Can Be Made Between Policy
Making And Decision Making, Because Every Policy
Determination Is A Decision
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
18
, Kesuluhun Lmom
ulum Pemboutun Kepotosun
1. CARA BERPIKIR YANG SEMPIT (COGNITIVE NEARSIGHTEDNESS)
Memenuhi kebutuhan sesaat
Hanya mempertimbangkan satu aspek / dimensi masalah.
2. ASUMSI BAHWA MASA DEPAN AKAN MENGULANGI MASA LALU
(ASSUMPTION THAT FUTURE WILL REPEAT PAST)
Perubahan dianggap hal normal, yang akan kembali pada
keadaan semula.
Tidak meramalkan / memprediksikan keadaan masa depan.
3. TERLALU MENYEDERHANAKAN MASALAH (OVER
SIMPLIFICATION)
Melihat masalah hanya dari gejala luarnya, tanpa mempelajari
secara mendalam faktor kausalitasnya.
Teknik pemecahan masalah selalu konvensional, tidak ada
inovasi.
4. TERLALU MENGGANTUNGKAN PADA PENGALAMAN SATU
ORANG (OVERRELIANCE ON ONES OWN EXPERIENCE)
Sared decision produces wiser decisions.
5. KEPUTUSAN YANG DILANDASI PRA KONSEPSI PEMBUAT
KEPUTUSAN (PRECONCEIVED NATIONS)
6. TIDAK ADA KEINGINAN MELAKUKAN PERCOBAAN
(UNWILLINGNESS TO EXPERIMENT)
7. KEENGGANAN MEMBUAT KEPUTUSAN (RELUCTANCE TO
DECIDE).
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
19
RASIONAL KOMPREHENSIF
1. Pembuat Keputusan dihadapkan pada masalah tertentu yang dapat
dibedakan / dibandingkan dengan masalah-masalah lain.
2. Tujuan, nilai, dan sasaran yang akan dicapai, harus telah dibuat
sebelumnya secara jelas dan ditetapkan rankingnya.
3. Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersenut diteliti
secara seksama.
4. Akibat yang ditimbulkan dari setiap alternatif (cost & benefit),
juga diteliti secara cermat.
5. Setiap alternatif dan akibat yang ditimbulkan, dibandingkan satu
sama lainnya.
6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif yang paling rasional
untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang telah ditetapkan.
KRITIK
PEMBUAT KEPUTUSAN SEBETULNYA TIDAK
BERHADAPAN DENGAN MASALAH YANG KONKRIT
DAN TERUMUSKAN DENGAN JELAS. JUSTRU
LANGKAH PERTAMA YANG HARUS DILAKUKAN
ADALAH MERUMUSKAN MASALAHNYA.
TERLALU MENUNTUT HAL-HAL YANG TIDAK
RASIONAL PADA DIRI PEMBUAT KEPUTUSAN, YANG
DIANGGAP MEMILIKI INFORMASI LENGKAP DAN
KEMAMPUAN TINGGI.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
20
INKREMENTAL
1. PEMILIHAN TUJUAN / SASARAN MERUPAKAN SESUATU YANG
SALING TERKAIT DENGAN TINDAKAN EMPIRIS YANG HARUS
DILAKUKAN UNTUK MENCAPAI TUJUAN / SASARAN.
2. PEMBUAT KEPUTUSAN HANYA MEMPERTIMBANGKAN BEBERAPA
ALTERNATIF YANG LANGSUNG BERHUBUNGAN DENGAN POKOK
MASALAH ; DAN ALTERNATIF INI HANYA BERBEDA SECARA
INKREMENTAL DENGAN KEBIJAKAN YANG TELAH ADA.
3. BAGI TIAP ALTERNATIF, HANYA SEJUMLAH KECIL AKIABT
MENDASAR SAJA YANG AKAN DIEVALUASI.
4. MASALAH YANG DIHADAPI AKAN DIREDEFINISIKAN SECARA
TERATUR, DENGAN MENYESUAIKAN TUJUAN / SASARAN
DENGAN SUMBER DAYA YANG ADA.
5. TIDAK ADA KEPUTUSAN / CARA PEMECAHAN YANG PALING
TEPAT UNTUK SETIAP MASALAH. YANG PENTING, TERDAPAT
KESEPAKATAN TERHADAP KEPUTUSAN TERTENTU.
6. PEMBUATAN KEPUTUSAN BERSIFAT PERBAIKAN KECIL
TERHADAP KEBIJAKAN YANG TELAH ADA, DAN BUKAN SESUATU
YANG SAMA SEKALI BARU.
KRITIK
Keputusan yang diambil lebih mewakili /
mencerminkan kepentingan kelompok kuat /
mapan, atau kelompok yang mampu
mengorganisasikan kepentingannya dalam
masyarakat.
Mengabaikan perlunya pembaharuan sosial,
karena memusatkan perhatian pada kepentingan
/ tujuan jangka pendek.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
21
PENGAMATAN TERPADU (MIXED SCANNING)
1. PENGGABUNGAN (KOMPROMI) ANTARA TEORI RASIONAL
KOMPREHENSIF DENGAN TEORI INKREMENTAL
2. MEMPERHITUNGKAN TINGKAT KEMAMPUAN PARA PENGAMBIL
KEPUTUSAN
3. IBARAT PENGAMATAN DENGAN 2 KAMERA : KAMERA PERTAMA
MEMILIKI SUDUT LEBAR YANG SANGGUP MENJELAJAHI
SELURUH PERMUKAAN (MASALAH), DAN KAMERA KEDUA
MEMFOKUSKAN PENGAMATAN PADA WILAYAH YANG
MEMERLUKAN KAJIAN SECARA MENDALAM.
KE-3 MODEL DIATAS TERGOLONG MODEL YANG
BERSIFAT PRESKRIPTIF
(CARA MENINGKATKAN MUTU KEBIJAKAN ; HASIL / AKIBAT
KEBIJAKAN)
KE-4 MODEL DIBAWAH TERGOLONG MODEL YANG
BERSIFAT DESKRIPTIF
(MENGGAMBARKAN BAGAIMANA KEBIJAKAN DIBUAT)
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
22
MODEL INSTITUSIONAL
FOKUS PERHATIAN : ORGANISASI PEMERINTAH
Secara otoritatif, kebijakan publik
dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan
oleh lembaga pemerintah tersebut.
3 CIRI UTAMA KEBIJAKAN MENURUT MODEL INSTITUSIONAL
1. KEBIJAKAN PUBLIK DIPANDANG SEBAGAI KEWAJIBAN HUKUM
YANG HARUS DITAATI OLEH SELURUH RAKYAT.
2. KEBIJAKAN PUBLIK ITU BERSIFAT UNIVERSAL.
3. HANYA PEMERINTAH YANG MEMEGANG HAK MONOPOLI UNTUK
MEMAKSAKAN SECARA SAH MELALUI PENGENAAN SANKSI.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
23
MODEL ELIT MASSA
ADMINISTRATOR NEGARA TIDAK DIPANDANG SEBAGAI ABDI
RAKYAT, TETAPI SEBAGAI KELOMPOK KECIL YANG MAPAN
(ESTABLISHMENT).
MASSA (RAKYAT) BERSIFAT PASIF, APATIS, DAN BUTA
TERHADAP INFORMASI TENTANG KEBIJAKAN PUBLIK.
KEBIJAKAN PUBLIK MENCERMINKAN KEINGINAN DAN NILAI
GOLONGAN ELIT, SEHINGGA MAMPU MEMPENGARUHI DAN
MEMBENTUK MASSA. DENGAN KATA LAIN, KEBIJAKAN PUBLIK
MENGALIR DARI ATAS KEBAWAH (TOP DOWN).
KARENA KEBIJAKAN NEGARA DITENTUKAN OLEH KELOMPOK
ELIT, MAKA PEJABAT PEMERINTAH HANYA SEKEDAR PELAKSANA
KEBIJAKAN.
MOBILISASI VERTIKAL DARI MASSA KE ELIT TERJADI SECARA
SANGAT LAMBAT, KARENA MENYANGKUT DIMENSI ARISTOKRASI
(GENEALOGIS), STATUS SOSIAL EKONOMI, DSB.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
24
MODEL KELOMPOK
SETIAP ORANG YANG MEMILIKI KEPENTINGAN YANG SAMA
MENGIKATKAN DIRI SECARA FORMAL MAUPUN INFORMAL
KEDALAM KELOMPOK (INTEREST GROUP)
KELOMPOK INI DAPAT MENGAJUKAN ATAU MEMAKSAKAN
KEPENTINGANNYA KEPADA PEMERINTAH. TINGKAT PENGARUH
SETIAP KELOMPOK DITENTUKAN OLEH : JUMLAH ANGGOTA,
ASSET / KEKAYAAN, KESOLIDAN ORGANISASI, KEPEMIMPINAN,
HUBUNGAN DENGAN PARA PENGAMBIL KEPUTUSAN, DSB.
KEBIJAKAN PUBLIK MERUPAKAN KESEIMBANGAN (EQUILIBRIUM)
YANG DICAPAI SEBAGAI HASIL PERJUANGAN KELOMPOK.
RESPON PENGAMBIL KEPUTUSAN TERHADAP KELOMPOK
ADALAH DENGAN TAWAR-MENAWAR (BARGAINING), PERJANJIAN
(NEGOTIATING), DAN KESEPAKATAN (COMPROMIZING).
SISTEM POLITIK BERTUGAS MENENGAHI ATAU MENJAGA
KESEIMBANGAN ANTAR KELOMPOK JIKA TERJADI KONFLIK.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
25
MODEL SISTEM POLITIK
SISTEM POLITIK BERFUNGSI MENGUBAH INPUT MENJADI
OUTPUT.
AKTOR YANG BERPERAN UNTUK MENGUBAH INPUT MENJADI
OUTPUT TERSEBUT ADALAH BADAN-BADAN LEGISLATIF,
EKSEKUTIF, YUDIKATIF, PARTAI POLITIK, KELOMPOK
KEPENTINGAN, MEDIA MASSA, BURIKRASI, TOKOH
MASYARAKAT, DAN SEBAGAINYA.
KEBIJAKAN PUBLIK DIPANDANG SEBAGAI RESPON SISTEM
POLITIK TERHADAP KEKUATAN LINGKUNGAN DISEKITARNYA
(SOSIAL, POLITIK, EKONOMI, DSB). DENGAN KATA LAIN,
KEBIJAKAN PUBLIK ADALAH OUTPUT DARI SISTEM POLITIK.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
26
FEMEFlNI/H, KE8lJ/K/N FU8LlK, FCLlIlK D/N
K/lI/N Dl/NI/F/NY/
1. Pengertian Pemerintah
Pemerintah (government) menurut Mackenzie (1986 : 5) adalah institusi
formal dan proses kewenangan untuk merumuskan
keputusan-keputusan publik (the formal institutions and authorirative
processes in which public decisions are made). Dari pengertian tersebut
dapat ditemukan tiga unsur utama yang membentuk suatu pemerintah, yaitu
: a) Organisasi atau kelembagaan (institusi) formal ; b) Proses administratif
untuk menjalankan kewenangan ; dan c) Putusan-putusan atau kebijakan
yang dirumuskan dari proses kewenangan.
a. Pemerintah Sebagai Organisasi
Mengenai unsur pertama, organisasi secara umum dapat dikatakan
sebagai kumpulan manusia yang diintegrasikan dalam suatu wadah
kerjasama untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan yang ditentukan.
Dalam kerangka teori Mc. Kinsey, terdapat tujuh aspek yang
membedakan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Tujuh
aspek tersebut adalah : 1) structure, 2) strategy, 3) style (leadership), 4)
skill, 5) staff, 6) share value, dan 7) system. Dalam hal struktur, beberapa
organisasi lebih senang memilih tipe garis atau lini, sementara organisasi
lain memilih tipe garis dan staf, tipe kepanitian, atau tipe fungsional.
Dalam aspek strategi, dapat ditemukan perbedaan mengenai pencapaian
tujuan organisasi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kemudian
dalam aspek gaya kepemimpinan atau style, ada pemimpin organisasi
yang menonjolkan sifat-sifat karismatik, otoriter, partisipatif demokratik,
dan sebagainya.
Selanjutnya dalam aspek keahlian, jelas bahwa setiap organisasi akan
membutuhkan keahlian yang spesifik sesuai dengan misi dan tujuan yang
akan diraihnya. Begitu juga dalam aspek staff, organisasi yang bergerak
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
27
dibidang pengantaran (delivery) misalnya, akan sangat berbeda
kualifikasi staff-nya dibanding dengan organisasi konsultansi.
Sedangkan aspek share value artinya bahwa seluruh aspek yang telah
disebutkan diatas, pada akhirnya difokuskan kepada superordinate goals,
atau tujuan organisasi yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, jelas bahwa
tujuan yang lebih tinggi dari setiap organisasi akan berbeda-beda pula.
Adapun aspek sistem, antar organisasi juga cenderung berbeda, baik
mengenai pemanfaatan sistem informasinya, penerapan sistem
perencanaan dan pengawasannya, dan sebagainya.
Meskipun pengertian, bentuk, karakteristik, maupun tujuan setiap
organisasi tidak sama, namun terdapat satu aspek yang dapat
menyamakan persepsi tentang organisasi, yakni bahwa organisasi
merupakan jalinan kontrak (a nexus of contracts). Dan oleh karena
organisasi merupakan jalinan kontrak, maka faktor penting bagi
keberadaan organisasi adalah sejauhmana organisasi tersebut mampu
mengadakan kontrak dengan pihak lain.
Dengan demikian, cakupan organisasi sesungguhnya tidak hanya
meliputi bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti pemerintah maupun
organisasi bisnis, tetapi lebih dari itu juga meliputi setiap kontrak
(perjanjian) yang terjadi antara dua orang / pihak atau lebih. Dengan kata
lain, organisasi tidak hanya diartikan sebagai wujud saja tetapi juga
sebagai proses interaksi berbagai pihak. Kontrak atau perjanjian yang
membentuk organisasi ini sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Spot Contract,
Yaitu kontrak yang terjadi karena adanya transaksi dadakan (spot
transaction). Kontrak jenis ini bersifat tidak fleksibel (inflexible)
dalam pengertian bahwa para pihak yang mengadakan kontrak tadi
tidak memiliki kebebasan untuk saling mengajukan penawaran.
Termasuk dalam jenis kontrak ini adalah belanja di supermarket,
ketaatan terhadap peraturan lalu lintas, menonton sepakbola di
stadion, dan sebagainya.
2. Relational Contract,
Yaitu kontrak yang terjadi dari adanya hubungan atau relasi antar dua
orang atau lebih. Kontrak jenis ini lebih fleksibel sifatnya karena
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
28
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah
pihak. Dengan kata lain, kontrak ini mengenal adanya clausul escape
atau klausul yang berhubungan dengan diadakannya kontrak tersebut.
Contohnya adalah pengangkatan seorang pekerja dengan terlebih
dahulu membuat kontraknya, pegawai negeri yang tunduk pada
aturan tentang hak dan kewajiban pegawai, dan sebagainya.
Khususnya mengenai posisi pegawai negeri ini dilihat dari
ketidakbebasan untuk menentukan pilihan sesungguhnya bisa
dikelompokkan kedalam spot contract. Namun karena sifat
relasionalnya yang lebih kuat dan proses untuk menjadi pegawai juga
panjang (tidak bersifat dadakan), maka ini lebih tepat dikelompokkan
dalam relational contract.
3. Implicite Contract,
Ini merupakan jenis kontrak yang paling fleksibel, dimana tanpa
adanya ikatan kontrak secara formal, seseorang dapat menjadi
anggota suatu organisasi. Seorang warga negara misalnya, tanpa
melakukan sesuatu tindakan telah melekat dalam dirinya perasaan
bangga sebagai anggota masyarakat serta memiliki sense of belonging
yang tinggi terhadap negaranya. Kelemahan dari kontrak implisit ini
adalah sifatnya yang tidak lengkap (incomplete) dan susah terukur,
sehingga ada baiknya jika diadakan clausul escape.
b. Pemerintah Sebagai Proses Kewenangan
Beberapa teori menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk memelihara
dan menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka
dan hak atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest
happines of the greatest number (John Stuart Mill), menciptakan
perdamaian dunia dengan jalan menciptakan undang-undang bagi
seluruh umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford Garner
membagi tujuan negara menjadi 3 (tiga), yaitu tujuan asli ialah
pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan keadilan, tujuan
sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan
peradaban.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
29
Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan
penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi
pertahanan, dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi
negara dan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya,
baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas
pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan
umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti
kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan
sebagainya.
Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini
merupakan tugas dari negara yang berbentuk Negara Kesejahteraan
(Welfare State). Untuk menyelenggarakan tugasnya ini, pemerintah
diberikan discretionary power atau freies ermessen, yakni kewenangan
yang sah untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat,
termasuk didalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada
pengaturannya tanpa persetujuan lebih dulu dari legislatif. Dari sini dapat
diketahui bahwa penyelenggaraan fungsi kesejahteraan pada Welfare
State dilakukan melalui regulasi (pengaturan). Dengan kata lain,
tugas-tugas kenegaraan dan atau pemerintahan tersebut dapat
dilaksanakan dengan adanya kewenangan (authority).
Dalam setiap pembicaraan mengenai kewenangan tersebut, selalu terkait
dengan konsep kekuasaan politik. Dalam hal ini, kekuasaan politik
adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. (Budiardjo, 1993 : 37).
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu
fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai
dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang
sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena
pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika
pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan
seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi
mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan
legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan
dari konsep kekuasaan.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
30
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam
karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah
kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini
bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang
menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power),
dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat
peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan
orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Dalam suatu negara yang bersifat demokratis konstitusional,
kewenangan tersebut tidak dimiliki secara sentralistis oleh suatu badan /
organisasi atau seorang pejabat tertentu. Kewenangan yang ada tersebut
didistribusikan kepada beberapa badan agar tidak menimbulkan
penumpukan yang dapat berekses terhadap penyalahgunaan kewenangan
oleh pemegang kewenangan (onrechtmatigeoverheidsdaad). Dengan
kata lain, suatu kewenangan atau kekuasaan dalam suatu negara /
pemerintahan perlu dibagi dan atau dipisahkan.
Munculnya gagasan tentang pemisahan kekuasaan (separation of power)
atau pembagian kekuasaan (division of power) dilatarbelakangi oleh
adanya absolutisme (monarki absolut) di Eropa abad pertengahan yang
mengarah kepada polarisasi rakyat dengan penguasa yang bertindak
sewenang-wenang. Oleh karena itu, agar terdapat proses demokratisasi
dan saling kontrol antar lembaga negara sekaligus mengakomodir
kepentingan masyarakat, kekuasaan negara perlu dipisahkan kedalam
berbagai organ.
Dalam kaitan ini, John Locke melalui bukunya Two Treaties of
Government memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu :
Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan
negara lain).
Sementara Montesquieu dalam bukunya LEsprit des Lois (1748)
memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu :
Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
31
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
Kekuasaan Yudikatif (mengadili kalau terjadi pelanggaran terhadap
undang-undang tersebut).
Pemisahan kekuasaan menjadi tiga pusat kekuasaan tadi, oleh Emmanuel
Kant diberi nama Trias Politika (Tri = tiga ; As = poros ; Politika =
kekuasaan). Dalam prakteknya, prinsip trias politika ini dijalankan
secara kontekstual (sesuai dengan kondisi sosial politik) untuk
masing-masing negara.
Disamping adanya prinsip trias politika, konsep pembagian kewenangan
juga ditempuh melalui prinsip desentralisasi. Ini berarti bahwa
pemerintah pusat mengalihkan (baik melalui penyerahan, pendelegasian
maupun pengakuan) sebagian kewenangan pemerintahan kepada
daerah-daerah yang ada di wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini
dimaksudkan agar tugas-tugas pemerintah dapat berjalan secara lebih
cepat, efektif dan efisien, sehingga fungsi pelayanan dan kesejahteraan
yang menjadi tanggung jawab pemerintah dapat terlaksana secara
optimal. Pada gilirannya, prinsip desentralisasi ini diharapkan dapat
mendekatkan masyarakat dengan pemerintah, meningkatkan kepuasan
masyarakat, dan sekaligus memperkuat legitimasi politis pemerintah
dimata masyarakat.
c. Keputusan Pemerintah Sebagai Output Kewenangan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal modul / diktat ini,
menurut pendapat Hogwood dan Gunn sebagaimana dikutip Sunggono
(1994 : 15-20), kebijakan (policy) dapat dikelompokkan menjadi 10
(sepuluh) pengertian.
Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk kepada
pengertian yang keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik
merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Hal
ini sesuai pula dengan pendapat Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy,
1988 : 20) yang mengartikan kebijakan publik sebagai . what the
government say to do or not to do. It is the goals or purpose of
government programs. Atau menurut Jones (1996 : 49), kebijakan
adalah unsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dari
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
32
program-program dan keputusan-keputusan. Dalam pengertian yang
serupa, Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan sebagai a standing
decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on
the part of both those who make it and those who abide it (keputusan
tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari
mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan
tersebut).
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa kebijakan publik
merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-program
pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Dalam sebuah organisasi (pemerintahan), keputusan yang berisi
program-program pembangunan tersebut disusun dalam suatu hierarkhi
yang sejajar dengan struktur organisasi. Artinya, struktur yang lebih atas
dalam suatu organisasi harus melaksanakan perencanaan yang memiliki
ruang lingkup lebih luas dibanding struktur yang lebih rendah. Dalam hal
ini, maka atas (top manajer) melaksanakan program pembangunan yang
terwujud dalam bentuk penetapan tujuan, misi, sasaran, dan strategi
organisasi. Sedangkan struktur menengah (middle manager) dan struktur
bawah (lower manager) melaksanakan program pembangunan yang
terwujud dalam bentuk pelaksanaan program, proyek, dan prosedur.
Disamping itu, pada setiap struktur hierarkhi atau tingkatan organisasi,
rencana / program pembangunan mempunyai dua fungsi, yakni :
menentukan sasaran yang harus dicapai pada tingkat yang lebih rendah,
dan sebagai alat mencapai sasaran pada tingkat lebih tinggi berikutnya.
2. Kaitan Pemerintah Dengan Kebijakan Publik
Kaitan antara pemerintah (government) dengan kebijakan publik (public
policy) adalah bahwa kebijakan publik adalah isi atau materi dari
keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan oleh
pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu
(the substance of those public decisions as implemented, what the
government actually does or doesnt do).
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
33
Menurut Mackenzie (1986 : 3-4), kebijakan publik tidak selalu identik
dengan hukum. Hukum adalah petunjuk bagi kebijakan publik, atau suatu
pernyataan yang diharapkan oleh pembuat hukum (lawmakers) menjadi
kebijakan. Disamping itu, peranan pelaksana (implementator) dalam
perumusan hukum (lawmaking) tidak sebesar peranan pelaksana dalam
perumusan kebijakan publik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik.
Aturan hukum lebih banyak didasarkan pada nilai-nilai normatif yang relatif
universal seperti baik buruk, benar salah, boleh tidak boleh, dan
sebagainya. Sedangkan kebijakan publik lebih bersifat politis, dimana
terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada
yang saling bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy
stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat
negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan
pemerintah) misalnya partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha dan
sebagainya.
3. Kaitan Pemerintah, Kebijakan Publik dan Politik
Menurut Mackenzie (1986 : 5), politik adalah usaha-usaha individu maupun
kelompok yang terorganisir untuk mengawasi atau mempengaruhi
pemerintah dalam menentukan isi / materi kebijakan publik (the efforts of
individuals and organized groups to control or influence the government in
order to affect the substance of public policy). Dengan kata lain, politik
berkaitan dengan masalah partisipasi masyarakat dalam proses perumusan
kebijakan publik oleh pemerintah. Menurut Mackenzie, politik selalu
menempatkan diri dalam seluruh institusi formal maupun proses
pemerintah, misalnya dalam hal pelaksanaan pemilu, badan legislatif,
birokrasi, bahkan di badan peradilan.
Munculnya wacana partisipasi dalam terminologi politik kontemporer, jelas
tidak bisa dipisahkan dari sejarah nasional yang dialami oleh bangsa-bangsa
di dunia, khususnya negara-negara berkembang. Pada umumnya negara
berkembang merupakan negara-negara bekas jajahan, sehingga
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
34
masyarakatnya telah terkondisi dengan kehidupan politik yang statis dan
mandeg. Dalam keadaaan seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dinamika
pembangunan yang terjadi hanya terbatas pada konteks mobilisasi. Artinya,
pembangunan memang cukup berhasil mendatangkan berbagai kemajuan.
Namun kemajuan itu sifatnya sepihak, karena masyarakat belum tentu dapat
merasakan hasil-hasil pembangunan, dan sekaligus pula belum tentu
memberikan apresiasi yang positif terhadap pelaksanaan dan keberhasilan
pembangunan yang ada. Fenomena demikian jelas terkait dengan tingkat
keterlibatan masyarakat yang sangat rendah dalam pembangunan, baik sejak
tahap perencanaan, pelaksanaan maupun sampai pemanfaatannya.
Secara lebih makro dan teoretik, Rauf (1990 : 6) yang mengutip pemikiran
Easton, mengemukakan tiga penyebab berkembangnya studi partisipasi
politik. Pertama, partisipasi politik adalah kewajiban setiap warganegara
dalam arti agar masyarakat tidak dirugikan oleh adanya keputusan politik
penguasa; Kedua, adanya kepedulian para ilmuwan politik Barat terhadap
pelaksanaan ide demokrasi, tidak saja di negara maju, tetapi juga di negara
dunia ketiga; Ketiga yang mendorong studi partisipasi politik adalah
keinginan para ilmuwan politik untuk menjadikan ilmu politik lebih ilmiah,
dengan cara mengadakan penelitian dan pengkajian terhadap masyarakat
sebagai sebuah gejala empirik.
Partisipasi politik menurut Huntington (1994 : 6-8) dapat diartikan sebagai
kegiatan warganegara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan demikian, partisipasi
politik minimal mencakup empat elemen dasar.
Pertama, partisipasi politik mencakup kegiatan-kegiatan, tetapi tidak
sikap-sikap. Yang biasanya berkaitan dengan tindakan politik misalnya
pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan
mengenai kompetisi dan keefektifan politik, serta persepsi mengenai
relevansi politik. Kedua, partisipasi politik adalah kegiatan politik warga
negara preman atau lebih tepat lagi, perorangan dalam peranan mereka
sebagai warga negara. Dalam hal ini, partisipasi politik tidak mencakup
kegiatan pejabat pemerintah, pejabat partai, calon politikus dan lobbyist
profesional.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
35
Ketiga, pusat perhatian partisipasi politik hanyalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Sebagai contoh
kegiatan ini adalah pemogokan buruh yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi pengelolaan sebuah perusahaan swasta agar menaikkan
tingkah upah minimum. Elemen partisipasi politik yang keempat adalah
kegiatan yang mempunyai tujuan, baik legal maupun tidak legal. Dengan
demikian, kegiatan protes, huru-hara, demonstrasi bahkan bentuk-bentuk
kekerasan pemberontakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pejabat-pejabat pemerintah, merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.
Namun jika kegiatan tersebut merupakan usaha-usaha ilegal untuk
mempengaruhi pemerintah dan termasuk suatu jenis profesional politik,
maka kegiatan semacam ini tidak bisa digolongkan ke dalam definisi
partisipasi politik.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
36
MASALAH : adanya kesenjangan antara das sollen / teori dengan das
sein / fakta empiris ; antara yang ditetapkan sebagai
kebijakan dengan kenyataan implementasi kebijakan.
MASALAH KEBIJAKAN : unrealized needs, values, opportunities,
however we identified, the solution require public
actions (tidak terwujudnya kebutuhan, nilai, dan
peluang, yang bagaimanapun kita sudah bisa
mengidentifikasikannya, tetapi pemecahannya
mengharuskan adanya tindakan-tindakan publik /
negara / pemerintah.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
37
SISTIM, I!OSIS A SIK!!S
KIIIJAKA I!I!IK
SISTEM KEBIJAKAN PUBLIK
Keseluruhan pola kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik
yang melibatkan hubungan diantara 4 elemen, yaitu masalah
kebijakan, pembuatan kebijakan, kebijakan publik dan dampaknya
terhadap kelompok sasaran.
(Bintoro T. & Mustopadidjaja, 1988).
NPUT - PROCE88 - OUTPUT
INPUT : MASALAH IE8IJAIAM
Timbul karena faktor lingkungan kebijakan yakni keadaan yang
melatarbelakangi suatu peristiwa yang menyebabkan timbulnya
masalah kebijakan tersebut, yang berupa tuntutan masyarakat
atau tantangan dan peluang, yang diharapkan dapat diatasi melalui
suatu kebijakan publik.
Masalah itu dapat juga timbul justru karena adanya suatu
kebijakan tertentu.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
38
PROSES : PEM8UATAM IE8IJAIAM
Bersifat politis, dimana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang
berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini
terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka
yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy
stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga
pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah)
misalnya partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha dan
sebagainya.
OUTPUT : IE8IJAIAM PU8LII
Berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan
masalah atau mencapai tujuan tertentu.
IMPACT : DAMPAI TEPHADAP MASYAPAIAT
Kondisi yang diharapkan terhadap target groups (kelompok sasaran)
yakni orang-orang, kelompok atau organisasi yang perilaku atau
keadaannya ingin dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik
tersebut.
Pengantar Kebijakan Publik
Tri Widodo W. Utomo
39