You are on page 1of 20

SKENARIO B BLOK 11 TAHUN 2012 Tn.

S berusia 56 tahun datang ke UGD RSMH dengan keluhan badan lemas disertai mual muntah sejak 2 minggu SMRS. Sebelumnya (2 bulan terakhir) pasien mengeluh kepala pusing, muka kelihatan pucat, mudah mengantuk, badan terasa gatal, serta nafsu makan berkurang. BAB dan BAK seperti biasa. Pasien berobat ke dokter dan dikatakan sakit maag tapi keluhan tidak berkurang meskipun obat dari dokter sudah dimakan. Pasien menderita kencing manis selama 15 tahun dan darah tinggi selama 2 tahun tapi tidak teratur minum obat.

Pemeriksaan Fisik TB: 160 cm, BB: 70 kg Keadaan umum: sakit sedang, pucat, sensorium: compos mentis TD: 160/90 mmHg, Nadi: 90x/menit, RR: 24X/menit, Temp: 36,8oC Kepala: konjunctiva pucat (+), lidah: atrofi papil (+), edema pretibial (+) Lain-lain dalam batas normal

Pemeriksaan Laboratorium Hb: 8,2 g/dl, GDS: 215 mg/dl, ureum 210 mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, Na: 137 mg/dl, K: 6 mg/dl Urin: protein ++

Pemeriksaan Penunjang Lainnya EKG: LVH

I.

Klarifikasi Istilah 1. Maag : gastritis; peradangan lambung. 2. Atrofi papil: pengecilan dari papil lidah. 3. Konjungtiva pucat: membran halus yang melapisi kelopak mata, menutupi bola mata tampak pucat. 4. Edema pritibial: pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang. 5. LVH: pembesaran ventrikel kiri jantung. 6. Sakit sedang: pasien sakit tetapi masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari. 7. Pusing: gangguan perasaan dari hubungan terhadap ransangan; sensasi tidak kokoh dengan perasaan kepala berputar; pusing; kepala terasa ringan; ketidakseimbangan. 8. Muka pucat: 9. Ureum: produk akhir nitrogen utama dari metabolisme protein, yang dibentuk di dalam hati dari asam amino dan dari senyawa amoniak; ditemukan di dalam urin, darah, dan limfe. 10. Kreatinin : bentuk anhidrida kreatin, hasil akhir metabolisme fosfokreatin; pengukuran laju ekskresi urin dipakai sebagai indikator diagnostik fungsi ginjal dan massa otot.

II.

Identifikasi Masalah 1. Tn. S berusia 56 tahun datang ke UGD RSMH dengan keluhan badan lemas disertai mual muntah sejak 2 minggu SMRS. 2. 2 bulan terakhir pasien mengeluh: Kepala pusing Muka kelihatan pucat Mudah mengantuk Badan terasa gatal Nafsu makan berkurang BAB dan BAK seperti biasa

3. Pasien berobat ke dokter dan dikatakan sakit maag tapi keluhan tidak berkurang meskipun obat dari dokter sudah dimakan. 4. Pasien menderita kencing manis selama 15 tahun dan darah tinggi selama 2 tahun tapi tidak teratur minum obat. 5. Pemeriksaan Fisik TB: 160 cm, BB: 70 kg

Keadaan umum: sakit sedang, pucat, sensorium: compos mentis TD: 160/90 mmHg, Nadi: 90x/menit, RR: 24X/menit, Temp: 36,8 C Kepala: konjunctiva pucat (+), lidah: atrofi papil (+), edema pretibial (+) Lain-lain dalam batas normal 6. Pemeriksaan Laboratorium Hb: 8,2 g/dl, GDS: 215 mg/dl, ureum 210 mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, Na: 137 mg/dl, K: 6 mg/dl Urin: protein ++ 7. Pemeriksaan Penunjang Lainnya EKG: LVH

III.

Analisis Masalah

1. Apa saja yang dapat menyebabkan badan lemas, mual, dan muntah? (secara umum) 1,2,3 2. Bagaimana mekanisme keluhan utama pada kasus ini? 2,3,4 3. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme keluhan 2 bulan terakhir? (sesuai kasus) 3, 4,5 4. Bagaimana mekanisme keluhan sesuai kasus? 4, 5, 6, 7 5. Bagaimana fisiologis ginjal dalam ekskresi zat sisa metabolik? 5, 6, 7 6. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit pasien (Hipertensi dan DM) dan kasus sekarang? 6, 7, 8 7. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik? 7, 8, 9 8. Bagaimana mekanisme keabnormalitasan hasil pemeriksaan fisik? 8, 9, 10 9. Apa kesimpulan dari hasil pemeriksaan laboratorium? 9,10,1 10. Bagaimana mekanisme keabnormalitasan hasil pemeriksaan laboratorium? 10,1,2 11. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya? 1,2,3 12. Bagaimana anatomi dan fisiologi traktus urogenitalia? 2,3,4 13. Apa diagnosis banding kasus ini? 3,4,5 14. Apa pemeriksaan penunjang lainnya? (+ cara menghitung Creatinine Clearance Test) 4,5,6 15. Apa diagnosis kerja dan bagaimana cara mendiagnosis kasus ini? 5,6,7 Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus . a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. b. Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). c. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU). 2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

16. Bagaimana epidemiologi kasus ini? 6,7,8 17. Apa etiologi dan faktor resiko kasus ini? 7,8,9 Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008). a. Glomerulonefritis Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. b. Diabetes melitus Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya. c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal. d. Ginjal polikistik Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa .

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga.

18. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis kasus ini? 8,9,10,1 Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Terjadi kerusakan dan penurunan progresif fungsi nefron. Saat terjadi penurunan nilai GFR dan klirens serum ureum dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih sehat mengalami hipertropi karena terus menggantikan semua fungsi nefron yang rusak. Hal ini menyebabkan ginjal kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine secara baik. Ginjal berupaya untuk mengeluarkan larutan urine dalam jumlah besar sehingga pasien mengalami kekurangan cairan tubuh. Kerusakan nefron terus terjadi, diikuti laju filtrasi ginjal terus menurun. Tubuh tidak mampu lagi membuang air, garam, dan produk-produk sampah lainya melalui ginjal. Jika laju filtrasi ginjal < 10 20 mL/mnt secara klinis akan terlihat uremia dan tanda-tanda toksik akibat produk sampah semakin terlihat. 19. Apa manifestasi klinis kasus ini? 10,1,2 Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006). a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost

e. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f. Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat . seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). g. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

20. Apakah perlu hemodialisis untuk Tn. S? 1,2,3 21. Bagaimana tatalaksana kasus ini? (ada 3 poin) Farmakologis dan non farmakologis 2,3,4 Pengelolaan hipertensi, anemia, hiperkalemi, dan keadaan patologis lainnya 8,9,10 Diet untuk pasien ini 9,10,1

a. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit . 1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. 2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. 3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan

gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. c. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal . 1) Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006). 2) Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah b) Kualitas hidup normal kembali c) Masa hidup (survival rate) lebih lama d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi 22. Bagaimana komplikasi kasus ini? 3,4,5 23. Bagaimana prognosis kasus ini? 4,5,6 Untuk vitam : dubia et malam Untuk fungsionam : malam

24. Bagaimana tindakan preventif untuk kasus ini? 5,6,7 Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.

25. Apa KDU pada kasus ini? 6,7,8 2

IV.

Hipotesis Tn. S, 56 tahun menderita badan lemas disertai mual muntah karena penyakit ginjal kronis stadium ..... akibat DM / nefropati DM stadium....

V.

Learning Issue 1. Nefropati Diabetikum (1,6) 2. Penyakit Ginjal Kronik (2,7) 3. Anatomi dan fisiologi traktus urogenital (3,8) 4. Hemodialisis (4,9) 5. Creatinine Clearance Test (5,10)

VI.

Sintesis

1. Cindy Kesty 2. Bella Fadillah Hais 3. Christian Chandra 4. Yosua Alexander 5. Randy Pangestu 6. Mardalena 7. Lastri Ronauli Sitompul 8. Ceyka Maduma 9. Yuliana Muharrami 10. M. Novran Chalik

NOTE: Teman2, nomor analisis dan LI dibagi sesuai urutan tempat duduk. Tolong dicari ya teman2, analisis dan LI tolong diketik rapi dan sudah diedit dengan format: Font: times new roman Font size: 12 Space : 1,5

DITUNGGU SAMPAI HARI RABU, 21 Maret 2012 paling lambat jam 20.00, kalau mau dikirim lebih cepat lebih baik sehingga laporan bisa cepat diselesaikan. Atas perhatian dan kerja sama teman2, saya ucapkan terima kasih. Tiada kesan tanpa bantuan dan kerja sama teman2. Hehehe..

Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Sistem kemih (urinaria) terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan menyalurkannya keluar tubuh. Komponen dari sistem kemih terdiri dari: a. Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ yang berbentuk seperti kacang, berwarna merah tua, terletak di belakang rongga abdomen. Satu berada di setiap sisi kolumna vertebralis dekat dengan garis pinggang dan dua pasang iga terakhir. Ginjal dipasok oleh arteri renalis dan vena renalis. Ginjal kanan terletak agak di bawah dibanding dengan ginjal kiri. Hal ini karena pada sisi kanan terdapat hati. Panjang ginjal sekitar 12,5 cm dan tebal 2,5 cm. Ginjal laki-laki memiliki berat sekitar 125-175 gr dan pada perempuan sekitar 115-155 g. Fungsi spesifik dari ginjal meliputi: Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian ion-ion penting Memelihara volume plasma yang sesuai Membantu memelihara keseimbangan asam-basa tubuh Memelihara osmolaritas darah Mengekskresikan produk-produk sisa dari metabolisme tubuh Mengekskresikan banyak senyawa asing Mensekresikan eritropoietin Mensekresikan renin Mengubah vitamin D dalam bentuk aktifnya.

Struktur internal sebuah ginjal berupa: Hilum, yaitu tingkat kecekungan tepi medial ginjal Sinus ginjal, yaitu rongga berisi lemak yang terbuka pada hilus. Tempat menempelnya jalan keluar masuk ureter, vena dan arteri renalis, limfatik dan saraf. Pelvis ginjal, yaitu perluasan ujung proksimal ureter, merupakan rongga pengumpul sentral. Parenkim ginjal, yaitu jaringan ginjal yang menutupi struktur sinus ginjal. Terbagi menjadi medula dan korteks luar. Medula terdiri dari massa triangular yang disebut piramida ginjal dan ujungnya yang sempit disebut papila. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron. Terletak di dalam antara piramida medula yang bersebelahan untuk membentuk kolumna ginjal. Lobus ginjal, yaitu bagian ginjal yang terdiri dari satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan korteks yang menyelubunginya.

b. Ureter

Ureter adalah sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas medial dekat pangkal arteri dan vena renalis. Terdapat dua buah ureter yang mengalirkan urin dari masing-masing ginjal ke kandung kemih. c. Kandung Kemih Kandung kemih (vesika urinaria) yaitu suatu kantung rongga yang berfungsi menyimpan urin secara temporer. Dapat direnggangkan dan volumenya disesuaikan kontraktil otot polosnya. d. Uretra Secara berkala, kandung kemih dikosongkan. Urin dikeluarkan keluar tubuh melalui uretra. Uretra wanita berbentuk pendek dan lurus langsung dari leher kandung kemih keluar tubuh. Uretra pria jauh lebih panjang dan melengkung melewati kelenjar prostat dan penis. Uretra pria mempunyai dua fungsi, yaitu sebagi saluran untuk mengeluarkan urin dan saluran untuk semen. Selain beberapa komponen di atas, ada pula satuan fungsional ginjal yang juga sangat berpengaruh dalam sistem kemih, yaitu nefron. Satu ginjal bisa terdapat 1-4 juta nefron yang disatukan oleh jaringan ikat. Nefron mempunyai satu komponen vaskular dan satu komponen tubular, terletak di dalam ginjal memebentuk dua daerah khusus. Daerah sebelah luar tampak granuler yaitu di korteks ginjal dan daerah dalam yang berupa segitiga-segitiga bergaris yaitu di piramida ginjal. Secara kolektif semua itu sebagai medula. Nefron merupakan unit terkecil pembentuk urin. Karena fungsi utama dari ginjal sendiri adalah memproduksi urin. Struktur nefron terdiri dari: Glomerulus Bagian dominan pada komponen vaskuler. Glomerulus adalah berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dalam darah yang melewatinya. Kapsul Bowman Komponen tubulus berawal dari kapsul bowman. Kapsul bowman adalah suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi glomerulus. Kapsul bowman dan glomerulus bersama-sama membentuk korpuskel ginjal. Tubulus Kontortus Proksimal Tubulus ini keseluruhan terletak di dalam korteks, panjangnya mencapai 15 mm. Lengkung Henle (Ansa Henle) Tubulus kontortus proksimal yang mengarah masuk ke dalam medula membentuk lengkungan jepit dan membalik ke atas ke dalam korteks. Lengkungan yang terbenam dalam medula disebut pars desendens dan yang berjalan kembali ke korteks disebut pars asendens. Tubulus Kontortus Distal Berbentuk panjang dan berliku. Panjangnya mencapai 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefron Tubulus dan Duktus Pengumpul Setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks. Tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk duktus pengumpul besar yang lurus. Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar ke dalam ginjal melalui kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Dari pelvis ginjal, urin dialirkan melalui ureter menuju kandung kemih.

Mengingat kembali fungsi primer ginjal merupakan penghasil urin dan mengekskresi zat sisa metabolisme tubuh, terdapat tiga proses utama pembentukan urin. Ketiga proses tersebut adalah filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.

A. Filtrasi Glomerulus Adalah perpindahan (filtrasi) cairan dan zat terlarut dari kapiler glomerular menuju kapsul bowman dengan gradien tekanan tertentu. Cairan yang difiltrasi hartus melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler (membran basal), dan lapisan dalam kapsul bowman. Pada dinding kapiler glomerulus memiliki lubang-lubang dengan banyak pori-pori besar (fenestra) yang membuatya seratus kali lebih permeabel. Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen. Terselip di antara glomerulus dan kapsul bowman. Glikoprotein ini berfungsi menghambat filtrasi protein plasma kecil. Dan lapisan terakhir yaitu lapisan dalam kapsul bowman. Terdiri dari podosit (sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki tonjolan memanjang yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit diantara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kepiler glomerulus dan masuk ke lumen kapsul bowman. Faktor yang membantu filtrasi ini karena membran kapiler glomerular lebih permeabel dibanding kapiler lain dalam tubuh, tekanan darah dalam kapiler glomerular lebih tinggi dikarenakan diameter arteriol eferen lebih kecil dibanding diameter arteriol aferen.

Filtrasi glomerulus disebabkan oleh adanya gaya-gaya fisik pasif yang serupa dengan gaya-gaya yang terdapat di kapiler tubuh lainnya. Terdapat tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi yaitu tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsul bowman. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah. Bergantung pada jontraksi jantung dan resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah. Tekanan osmotik koloid plasma yang ditimbulkan oleh distribusi protein plasma yang tidak seimbang dan tekanan hidrostatik kapsul bowman yang cenderung mendorong cairan keluar dari kapsul bowman ini melawan filtrasi. Tekanan osmotik yang melawan filtrasi rata-rata besarnya 30 mmHg. Tekanan hidrostatik kapsul bowman diperkirakan besarnya sekitar 15 mmHg. Gaya total yang mendorong filtrasi sebesar 55 mmHg, sedangkan jumlah kedua gaya yang melawan arus filtrasi sebesar 45 mmHg. Perbedaan netto yang mendorong filtrasi sebesar 10 mmHg disebut sebagai tekanan filtrasi netto. Dan pada setiap harinya, terbentuk rata-rata 180 liter (sekitar 47,5 galon) filtrat glomerulus. Komposisi filtrat dalam kapsul bowman identik dengan filtrat plasma yang berupa air dan zat terlarut dengan berat molekul rendah seperti, glukosa,natrium, klorida, kalium, urea, fosfat, asam urat, dan kreatinin. Sejumlah kecil albumin plasma dapat terfiltrasi namun sebagian besar diabsorpsi lagi. Sedangkan sel darah merah dan protein tidak difiltrasi.

B. Reabsorpsi Tubulus Bahan-bahan esensial yang difiltrasi perlu dikembalikan ke darah melalui proses reabsorpsi tubulus. Reabsorpsi tubulus merupakan suatu proses yang sangat selektif. Hanya sebagian kecil, itupun kalau ada, dari filtrat yang masih bermanfaat bagi tubuh ditemukan dalam urin. Hali ini karena sebagian besar telah diabsorpsi dan dikembalikan ke darah melalui difusi pasif gradien kimia, transpor aktif, atau difusi

terfasilitasi. Sekitar 85% filtrat diabsorpsi dalam tubulus kontortus proksimal, walaupun reabsorpsi berlangsung pada semua bagian nefron. Beberapa zat yang terabsorpsi yaitu: Ion natrium Ditranspor pasif melalui difusi terfasilitasi dan ditranspor aktif dengan pompa natrium kalium. Ion klor dan ion negatif lain Ditasnpor pasif dengan difusi. Glukosa, froktosa, dan asam amino Melalui kotranspor. Maksimum transporuntuk glukosa adalah jumlah maksimum yang dapat ditranspor per menit, yaitu sekitar 200 mg glukosa/100 ml plasma. Jika melebihi, maka glukosa muncul di urin. Air Urea

50% urea diabsorpsi secara pasif dan 50% diekskresi dalam urin. Ion organik lain Berupa kalium, kalsium, fosfat, sulfat, dan sejumlah ion lain ditranspor aktif. C. Sekresi Tubular Adalah proses aktif yang memindahkan zat keluar dari darah dalam kapiler peritubular melewati sel-sel tubular menuju cairan tubular untuk kemudian keluar bersama urin. Beberapa zat yang disekresikan berupa: Ion hidrogen, kalium, amonium kreatinin, asam hipurat, serta obat-obatan tertentu aktif disekresi ke tubulus. Ion hidrogen dan amonium diganti debgan ion natrium dalam tubulus kantortus distal dan tubulus pengumpul.

Setelah serangkaian proses pembentukan urine, ada sebuah pembahan bernama konsep klirens. Konsep klirens berhubungan dengan fungsi ginjal membersihkan plasma darah dari zat sisa. Plasma klirens adalah volume darah per menit yang telah bersih dari zat. Dinyatakan dalam ml/ menit. Dapat dihitung dengan rumus= Laju ekskresi urinaria (mg/ menit) Plasma klirens (ml/ menit)= Konsentrasi plasma (mg/ ml) Volume urin yang dihasilkan tiap harinya bervariasi antara 600ml-2.500ml lebih. Jika volume urin tinggi, maka zat diekskresikan dalam larutan yang encer (hipotonik/ hipoosmotik terhadap plasma. Namun jika tubuh perlu untuk menahan air, maka urin yang dihasilkan kental dan dalam volume yang sedikit (hipertonik/ hiperosmotik terhadap plasma. Hal ini disebabkan dan diatur oleh mekanisme hormonal dan mekanisme pengkonsentrasian urine ginjal. Mekanisme hormonal dipengaruhi oleh hormon ADH (anti diuretic hormone) yang meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distal dan tubulus pengumpul dan hormon aldosteron. Hormon aldosteron adalah hormon steroid yang disekresi oleh sel-sel korteks, bekerja ada tubulus distal dan duktus pengumpul untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dan sekresi aktif ion kalium sehingga meningkatkan retensi air dan garam. Sedangkan mekanisme pengkonsentrasian urine dengan sistem arus bolak-balik dalam ansa henle dan vase rekta. Memungkinkan terjadinya reabsorpsi osmotik air sehingga memungkinkan tubuh untuk menahan air sehingga urine yang diekskresikan lebih kental. Sedangkan karakteristik urine dapat dirinci dari berbagai segi. Pertama, komposisi urine terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut barupa nitrogen, asam hipurat, badan keton, elektrolit, hormon, berbagai toksin; pigmen; vitamin; atau enzim, konstituen abnormal. Kedua, dari segi fisik. Warna urine encer berwarna kuning pucat dan kuning pekat jika kental. Bau dari urine khas dan cenderung berbau amonia. PH urine antara 4,8-7,5 dan berat jenis urine berkisar antara 1, 001-1, 035. Refleksi Pada proses filtrasi, normalnya albumin tidak terfiltrasi. Namun, pada kenyataannya, ada beberapa kasus yang di dalam urine seseorang terdapat albumin berlebihan (abuminuria). Hal ini disebabkan oleh gangguan muatan negatif di dalam membran glomerulus yang menyebabkan membran lebih permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori-pori tidak berubah.

Urine diekskresikan untuk membawa zat-zat sisa metabolisme tubuh. Warna urine akan berwarna pekat jika urine kental. Urine akan kental jika volume urine sedikit atau zat terlarut lebih banyak. Ini sangat terlihat saat kita sedang sakit dan meminum obat. Warna urine akan berbeda dengan biasanya ketika tidak meminum obat.

Seringkali kita masih dapat menahan kencing padahal sudah sangat mendesak harus dikeluarkan. Hal ini karena ada otot sfingter yang membantu menahan penutup kantong kemih sehingga tidak terjadi kebocoran.

NEFROPATI DIABETIK

A. Definisi Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45% penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 Nefropati diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh karena Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh k arena DM tipe ini lebih sering dijumpai. Dibandingkan DM tipe II maka Nefropati

Diabetika pada DM tipe I jauh lebih pro gr esif dan dramatis. Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa berkomplikasi ke Nefrop ati diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria. Hipertensi merupakan suatu tanda telah adanya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler pada Diabetes, Hipertensi dan diabetes biasanya ada keterkaitan patofisiologi yang mendasari yaitu adanya r esistensi insulin. Pasien- pasien diabetes tipe II sering mempun yai tek anan darah lebih tinggi atau sama dengan 150/90mmHg. Beberap a penelitian klinik menunjukkan hubungan erat tekanan dar ah dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler, progresifitas nefropati, retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah den gan obat anti hipertensi baik sistol dan diastole dan kontrol gula darah penderita pasien hipertensi dengan diabetes telah terbukti dari beberapa penelitian. Bahwa terbukti men aikkan life expentacyresiko stroke dan komplikasi kardiovaskuler pada pasien diabetes meningkat bila disertai hipertensi.

Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA.(5) Ada 5 fase Nefropati Diabetika. 1. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. 2. Fase II ekresi albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi Nefropati Diabetik. 3. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). 4. FaseIV, Difstick positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat. 5. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt. B. Etiologi Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika). C. Faktor Resiko Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain: 1. Hipertensi dan prediposisi genetika 2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika a. Antigen HLA (human leukosit antigen) Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9 b. Glukose trasporter (GLUT) Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik. 3. Hiperglikemia 4. Konsumsi protein hewani D. Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus. E. Gambaran Klinik Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap: 1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage) Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai: Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50% diatas niali normal menurut usia. Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria. Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min. 2. Stadium II (Silent Stage) Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min). Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal 3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun

Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-300mg/24j. Awal Hipertensi. 4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi danPenurunan laju filtrasi glomerulus. 5. Stadium V (End Stage Renal Failure) Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan prognosis yang buruk. F. Diagnosis Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan sederhana. Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini: 1. DM 2. Retinopati Diabetika 3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.(8) Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada: 1. Anamnesis Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens. 2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan Mata Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa : 1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina. 2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena. 3). Eksudat berupa : a). Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama. b). Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan iskhemia retina. 4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.

5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler. 6). Neovaskularisasi Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada : kardiomegali dan edema pulmo. 3. Pemeriksaan Laboratorium Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl. 4. Penatalaksanaan A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy) 1. Pengendalian hiperglikemia Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati. a. Diet Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi & Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit penyerta : - Hiperkolesterolemia - Urolitiasis (misal batu kalsium) - Hiperurikemia dan artritis Gout - Hipertensi esensial b. Pengendalian hiperglikemia 1). Insulin Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting . a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol) b). Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity). d). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi esensial dan nefropati.

e). Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali. f). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc) 2). Obat antidiabetik oral (OADO) Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik antara lain : a). Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya. b). Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar. c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell (ASMC). d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi. 2. Pengendalian hipertensi Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum. Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC) a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC) Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan). b. Golongan antagonis kalsium Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping): 1) Efek inotrofik negatif 2) Efek pro-aritmia 3) Efek pro-hemoragik Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine. c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus memperhatikan kondisi setiap pasien : _ Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik minimal misal atenolol. _ Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin. _ Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikati untnuk pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.

3. Mikroalbuminuria a. Pembatasan protein hewani Sudah lebih abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein (DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas. Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah progresivitas kerusakan ginjal: 1) Efek hemodinamik Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler, berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure) 2) Efek non-hemodinamik _ Memperbaiki selektivitas glomerulus Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke dalam ruang subendotelial dan mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi terutama monosit dan makrofag. _ Penurunan ROS Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis. Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan pembentukan ROS. _ Penurunan hipermetabolisme tubular Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme tubulus. _ Mengurangi growth factors & systemic hormones Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus). DRP diharapkan dapat mengurangi : - Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-b dan platelet-derived growth factors (PDGF). - Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1), epithelial-derived growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH). 3) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.

B. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy) Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak jarang melibatkan disiplin ilmu lain. Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata : 1. Manajemen Utama (esensi) a. Pengendalian hipertensi 1) Diet rendah garam (DRG) Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten. 2) Obat antihipertensi Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi. Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat antihipertensi antara lain : a) Efek samping misal efek metabolik b) Status sistem kardiovaskuler. - Miokard iskemi/infark - Bencana serebrovaskuler c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal. b. Antiproteinuria 1) Diet rendah protein (DRP) DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal. 2) Obat antihipertensi Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk mengurangi ekskresi proteinuria. a) Penghambat EAC Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. b) Antagonis kalsium Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik. c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine. Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT) kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine mempunyai efek.

3) Optimalisasi terapi hiperglikemia Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat antidiabetik oral (OADO). 2. Managemen Substitusi Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan mikroangiopati lainnya. a) Retinopati diabetik _ Terapi fotokoagulasi b) Penyakit sistem kardiovaskuler _ Penyakit jantung kongestif _ Penyakit jantung iskemik/infark c) Bencana serebrovaskuler _ Stroke emboli/hemoragik d) Pengendalian hiperlipidemia Dianjrkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi kolesterol-LDL. C. Nefropati diabetik tahap akhir (End Stage diabetic nephropathy) Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks komorbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas.

You might also like