You are on page 1of 5

RAMLIN AINARO

HAM di TIMOR LESTE Sungguh tragis, dimana nilai HAM telah menjadi suatu komoditi yang dapat menghasilkan uang yang kemudian berbalik menjadi mesin pembunuh HAM itu sendiri". Fenomena tersebut dapat menjadi jawaban terhadap berbagai aksi "GPK Fretilin" yang terjadi pada akhir-akhir ini di beberapa wilayah di Timor Timur. Belum terhapus dari ingatan kita, provokasi Ramos Horta ketika menerima hadiah Nobel perdamaian, bahwa hadiah tersebut diterimanya sebagai dukungan terhadap perdamaian dan pembelaannya terhadap "hak asasi" rakyat TImor Timur yang tertindas. Begitu juga pemberitaan surat kabar Portugal "Publico" (edisi 5 Nopember 1996) yang memberitakan bahwa "Komisi Parlemen untuk urusan Timor-Timur" telah mengajukan agar pemerintah Portugal memasukkan dana bantuan kepada pihak perlawanan (Ramos Horta & kelompok anti integrasi) kedalam anggaran negara 1997 sebesar 4 juta Contos Escudos atau + USD 25 juta. Dan kemudian dikatakan "Untuk menghindari polemik internasional dan tuduhan bahwa Portugal membiayai secara langsung suatu lembaga perjuangan bersenjata di Timor-Timur, Parlemen Portugal menggunakan dalih bahwa bantuan tersebut dimaksudkan untuk tujuan kemanusiaan dan kebudayaan bagi kepentingan rakyat Timor-Timur". Pemberitaan surat kabar Portugal tersebut secara eksplisit dapat memberikan gambaran bahwa sampai saat ini dimana usia integrasi telah memasuki 21 tahun dan telah memperlihatkan hasil pembangunan dan kemajuan disegala bidang, disatu sisi telah menimbulkan efek psikologis sosial terhadap Portugal (yang selama 450 tahun merasa Timor Timur sebagai bagian dari dominionnya) untuk menghindari kecaman baik dari masyarakat Timor Timur maupun dunia internasional, dan sekaligus ingin memperlihatkan eksistensinya terhadap dunia internasional bahwa Portugal masih konsisten dalam memperhatikan rakyat Timor Timur. Dan disisi lain menunjukkan bahwa parlemen (pemerintah) Portugal tidak rela melepas hasrat rakyat Timor Timur berintegrasi kedalam pangkuan ibu pertiwinya Indonesia, dan terus memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok tertentu (yang tersingkir dan demi kepentingan pribadi dapat dimanfaatkan) untuk melakukan aksi perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia. Jika kita ingin mengkaji lebih jauh lagi, bahwa dibalik semboyan "tujuan kemanusiaan", sebenarnya pemerintah Portugal hanya ingin menutupi kelemahan dan kesalahannya dimata internasional bahwa

RAMLIN AINARO

sesungguhnya mereka telah gagal dalam "memanusiakan" rakyat dari beberapa negara yang pernah dijajahnya (Angola dan Mozambiq). Begitu juga jika kita membuat suatu perbandingan terhadap Timor Timur (selama 450 tahun dalam jajahan Portugal dengan 21 tahun berintegrasi dalam wilayah negara Republik Indonesia). Dalam upaya mencari jawaban terhadap berbagai kasus aksi unjukrasa/demonstrasi dan berbagai forum internasional yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu baik didalam maupun diluar negeri yang berkaitan dengan masalah (integrasi) Timor Timur, pemberitaan "Publico" tersebut dapat merupakan jawaban, walaupun kita tidak menutup mata terhadap adanya faktor-faktor lain (intern) sebagai jawaban dari penyebab timbulnya aksi-aksi tersebut. Namun secara jujur kita juga tidak dapat menutup mata dan merasakan bahwa dalam usianya yang relatif belia dibanding dengan provinsi lainnya, Timor-Timur telah dapat mengejar ketinggalannya disegala bidang kehidupan yang selama 450 tahun berada dalam kondisi ketertinggalan dan memprihatinkan. Adanya faktor intern (kesenjangan, perlakuan oknum aparat dan penegakkan HAM) yang menjadi isu sentral dalam berbagai aksi tersebut, memang merupakan keprihatinan kita bersama, dengan lapang dada kita menyadari dan berupaya untuk memperbaiki kekeliruan yang terjadi. Akan tetapi apakah permasalahan tersebut hanya tertumpu pada kesalahan pemerintah (aparat keamanan) ?. Dalam menilai permasalahan tersebut, kita harus melihatnya secara konprehensif. Tanpa mengecilkan faktor intern diatas, Timor-Timur sebagai propinsi termuda yang memiliki latar belakang sejarah berbeda, sebenarnya persoalan-persoalan yang timbul bukanlah semata kesalahan pemerintah (khususnya ABRI). Akan tetapi kesemuanya tidak terlepas dari sejarah proses integrasi, yaitu masih adanya sisa-sisa kelompok "GPK Fretilin" yang melakukan aksi perlawanan/ pengacauan, dan tentunya akan berhadapan dengan ABRI sebagai aparat yang memiliki peran dan fungsi mengamankan dan melindungi segenap wilayah dan rakyat Indonesia. Yang perlu menjadi renungan kita bersama adalah "bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, jika dalam masyarakat Timor-Timur sendiri masih ada oknum atau kelompok (GPK-Fretilin) yang ingin melakukan gerakan-gerakan pengacauan". Kita dapat melihat berbagai aksi teror dan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok "GPK Fretilin" seperti; penembakan yang terjadi pada tanggal 7 April 1997 di Desa Monumento, Kabupaten Viqueque, dibawah pimpinan Raul dan Maubuti, pihak GPK menyerang dan menewaskan 6 orang dan 6 warga masyarakat dalam kondisi luka

RAMLIN AINARO

parah. Pada tanggal 28 dan 29 Mei 1997 disaat rakyat Timor Timur sedang melaksanakan "pesta demokrasi" untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Desa Bairo Pita, Dili Barat, Desa Irarala, Kabupaten Lautem dan di Kabupaten Baucau, pihak GPK kembali melakukan aksinya menembak rakyat yang tidak berdosa, melakukan pembakaran dan menyerang aparat keamanan, dalam peristiwa tersebut 9 warga masyarakat dan 3 aparat keamanan tewas menjadi korban keganasan "GPK Fretilin". Dari anggota GPK yang berhasil ditangkap, aparat keamanan berhasil menyita berbagai jenis senjata yang berasal dari luar negeri. Hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa gerakan "GPK Fretilin" tersebut tidak terlepas dari jaringan internasionalnya. Dari pengamatan kita terhadap berbagai aksi yang timbul pada akhir-akhir ini hanyalah bersifat sporadis dan dilakukan oleh oknum atau kelompok kecil yang pada umum generasi muda (pada tahun 1975 masih balita) dan kurang memiliki pengetahuan serta tidak mengalami peristiwa/ sejarah integrasi tersebut. Dan yang lebih memprihatinkan kita bersama bahwa berbagai aksi tersebut merupakan rekayasa yang dilakukan/didukung oleh oknum atau kelompok bukan masyarakat/penduduk Timor Timur akan tetapi oleh kelompok/LSM atau "NGO" yang hanya ingin mengambil keuntungan pribadi dan memanfaatkan situasi dengan mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan masalah Timor Timur. Dalam kurun waktu 21 tahun usia integrasi tersebut, berbagai aksi kekerasan, unjuk rasa dan demonstrasi masih terus berlangsung baik di dalam maupun di luar negeri. Jika diamati dari kualitas dan kuantitas (frekuensi) gerakan, tema yang dijadikan isu, serta para pelakunya yang tidak mengalami perubahan, kita dapat menilai bahwa kegiatan tersebut seakan telah menjadikan kalender, dan tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit. Mungkin pemberitaan surat kabar "Publico" tersebut dapat memberikan jawabannya. Yang menarik dari berita "Publico", secara implisit menggambarkan bahwa alokasi dana bantuan pemeritah Portugal tersebut berkesinambungan dan melembaga, yang diperuntukkan bagi pihak perlawanan lembaga perjuangan bersenjata di Timor Timur (Weapon system). Dan untuk anggaran 1997, Ramos Horta yang notabene sebagai penerima nobel perdamaian dalam kaitannya dengan Timor Timur, melalui parlemen (Komisi urusan Timor-Timur) Portugal telah mengajukan penambahan dana. Hal ini tentunya dalam rangka meningkatkan eskalasi gerakan kelompok "perlawanan" baik di Timor

RAMLIN AINARO

Timur maupun di kalangan internasional. Disamping itu juga masih perlu dipertanyakan motivasi dan latar belakang pemberian hadiah nobel perdamaian kepada Ramos Horta dan sejauh mana keterkaitan Portugal dalam proses pemberian nobel tersebut. Dari informasi tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa pemerintah Portugal sampai saat ini masih belum mengakui bahwa Timor Timur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kesatuan negara Republik Indonesia dan masih merasa berkepentingan terhadap perkembangan Timor Timur, walaupun secara diplomasi dinyatakan bahwa bantuan tersebut dimaksudkan untuk tujuan kemanusiaan dan kebudayaan masyarakat Timor-Timur. Haruslah diingat bahwa setelah ditandatanganinya deklarasi integrasi 17 juli 1976, Timor Timur merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari wilayah Indonesia, status dan kedudukannya sama dengan propinsi lainya. Semestinyalah jika bantuan tersebut ditujukan untuk proyek-proyek kemanusiaan demi kemajuan masyarakat Timor Timur, bukan diberikan langsung kepada suatu kelompok yang memang nyata-nyata menentang integrasi (pemerintah Indonesia) , akan tetapi harus melalui pemerintah Indonesia atau setidaknya dikoordinasikan, sehingga bantuan tersebut tidak disalahgunakan untuk aksi teror membunuh rakyat Timor Timur yang tidak berdosa. Inikah makna "nobel perdamaian" bagi Ramos Horta ?. Fenomena tersebut di atas dikaitkan dengan informasi tentang bantuan pemerintah Portugal tersebut, merupakan indikator bahwa; 1. Bantuan pemerintah Portugal tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan proyek-proyek kemanusiaan demi kemajuan masyarakat Timor-Timur, akan tetapi lebih merupakan bantuan terhadap perjuangan dan perlawanan kelompok (GPK)/ gerakan anti integrasi, khususnya terhadap kelompok yang bergerak/bergerilya di wilayah Timor Timur. 2. Masih maraknya berbagai aksi baik yang bersifat unjukrasa dan demonstrasi, maupun gerakan/aksi (GPK-Fretilin) yang dilakukan kelompok anti integrasi baik di dalam maupun diluar negeri dimotori oleh Ramos Horta, dan tidak terlepas dari peranan dan tanggung jawab pemrintah Portugal, mengingat bahwa gerakan tersebut sangat membutuhkan dana yang tidak kecil. 3. Gerakan/aksi dan berbagai provokasi yang dilakukan oleh kelompok anti integrasi tersebut, bukan murni sebagai gerakan rakyat/penduduk Timor Timur tetapi lebih merupakan proyek

RAMLIN AINARO

rekayasa orang-orang (petualang politik) yang mencari keuntungan pribadi. 4. Dengan bantuan dana tersebut pemerintah Portugal secara langsung telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, karena wilayah dan rakyat Timor Timur bagian dari wawasan nusantara negara Republik Indonesia. Berdasar pada indikator tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dibalik berbagai aksi yang dilakukan oleh kelompok anti integrasi baik didalam maupun diluar negeri, tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab Portugal sebagai negara penyandang dana. Pemberitaan surat kabar "Publico" tersebut hendaknya dapat menjadikan kita (khususnya masyarakat Timor-Timur) sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia, mawas diri dan perlu mewaspadai terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin memecah belah kesatuan dan persatuan tersebut. Dan masih dalam kaitan itu pula hendaknya kita introspeksi terhadap berbagai kekeliruan dan berupaya untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai permasalahan yang dapat dijadikan isu untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Semoga........ *) Penulis adalah aktivis mahasiwa Timor Timur di Jakarta.

NAMES: Luis Martins Email: ainarobrats@gmail.com Ph: +670 7522519 Ainaro, SORO

You might also like